Untuk memperingati 100 tahun kematian Lenin, kami terbitkan artikel berikut yang mengupas bagaimana Lenin memahami demokrasi proletar dan parlementarisme borjuis secara konkret. Selepas Revolusi Oktober, kaum Bolshevik dihadapkan dengan problem Majelis Konstituante, apa yang harus mereka lakukan dengan institusi borjuis ini ketika Soviet (dewan buruh) telah mengambil kekuasaan ke tangan mereka?
Salah satu tuduhan utama yang kerap dilemparkan terhadap Lenin dan kaum Bolshevik adalah mereka anti-demokratik. Revolusi Oktober dinilai oleh para pengkritik demokrat kita yang terhormat ini sebagai sebuah kudeta oleh segelintir orang yang dipaksakan pada rakyat. Mereka akan menunjuk pada episode dibubarkannya Majelis Konstituante oleh kaum Bolshevik sebagai bukti tak terbantahkan. Namun, kalau kita sungguh memahami apa itu demokrasi, bukan hanya sebagai retorika kosong yang kerap digunakan untuk mengalihkan perhatian kita dari problem-problem konkret kehidupan, maka kita akan bisa memahami mengapa justru pembubaran Majelis Konstituante adalah aksi yang paling demokratik dari Revolusi Oktober.
Mari kita paparkan terlebih dahulu latar belakang Revolusi Rusia, yang tanpanya kita akan terombang-ambing.
Pada Februari 1917, rakyat pekerja Rusia bangkit memberontak dan menumbangkan rejim Monarki Tsar. Rakyat pekerja menuntut diakhirinya keterlibatan Rusia dalam Perang Dunia I yang telah memakan korban jutaan. Kaum buruh menuntut roti dan kaum tani menuntut tanah. Untuk memenuhi tiga tuntutan utama ini – Perdamaian, Roti dan Tanah – mereka menginginkan terbentuknya sebuah republik demokratik, menggantikan monarki Tsar yang otoriter. Dalam kata lain, rakyat mendambakan demokrasi bukan untuk demokrasi semata, tetapi untuk mencapai tuntutan-tuntutan konkret yang menyentuh kehidupan mereka. Dari sinilah tuntutan diselenggarakannya Majelis Konstituante bermula.
Akan tetapi Revolusi Februari 1917 melakukan sesuatu yang melebihi penumbangan rejim Tsar. Revolusi ini melahirkan sebuah institusi demokratik kelas pekerja yang baru, yakni Soviet – yang dalam bahasa Rusia berarti Dewan. Kaum buruh, tani dan tentara (yang mayoritas adalah buruh dan tani yang direkrut untuk keperluan Perang Dunia) dengan spontan membentuk dewan-dewan di pabrik-pabrik, desa-desa, barak-barak, dan parit-parit perang, yang lalu menyatu menjadi satu organ nasional bernama Kongres Soviet Seluruh Rusia. Soviet-soviet ini menjadi saluran demokrasi rakyat pekerja dalam perjuangan mereka untuk memenuhi tuntutan Perdamaian, Roti dan Tanah.
Di pabrik-pabrik, soviet mulai mendikte kebijakan para majikan. Tidak boleh lagi ada lembur tanpa bayaran. Gaji-gaji yang tidak dibayar langsung ditagih. Mandor yang sewenang-wenang langsung disingkirkan oleh soviet. Tidak boleh ada PHK tanpa persetujuan soviet. Semua yang terjadi di pabrik intinya harus didiskusikan dan disetujui oleh soviet. Para majikan pun menggerutu: “Pabrik ini sebenarnya milik siapa? Milik saya bukan?” Tetapi mereka tidak berdaya di hadapan buruh-buruh dalam soviet yang semakin percaya diri.
Di desa-desa, kaum tani miskin menggunakan soviet untuk melawan kaum tuan tanah. Mereka sita gandum yang ditumpuk oleh para tuan tanah dan bagikan di antara mereka. Mereka tolak harga sewa tanah tinggi yang mencekik petani. Dan bahkan dalam banyak kesempatan, mereka mulai menyita tanah milik tuan-tuan tanah besar untuk dibagi-bagikan. Soviet tani memulai reforma agraria dengan cara mereka sendiri.
Di barak-barak dan garis depan peperangan, para tentara membentuk soviet yang menjadi tandingan hierarki kedisiplinan militer. Komandan-komandan militer yang lama – yang dibenci oleh para tentara bawahan – dipaksa turun dan digantikan oleh perwakilan terpilih dari soviet. Bila ada komandan yang mencoba mengirim batalionnya ke garis depan, tiba-tiba terjadi “kecelakaan” dimana sang komandan mati “tertembak peluru musuh.” Komandan yang terkenal kejam langsung dieksekusi oleh soviet tentara. Kedisiplinan militer yang lama – yang digunakan untuk mengirim rakyat pekerja ke ladang pembantaian perang – ambruk di hadapan demokrasi soviet. Tentara menginginkan perdamaian. Mereka ingin pulang dan kembali mencangkul sawah mereka.
Lewat Soviet, untuk pertama kalinya jutaan rakyat pekerja masuk ke arena sejarah, terlibat dalam politik, dan menentukan nasib mereka sendiri. Mereka berkumpul, mendiskusikan problem-problem mereka, memformulasikan solusi, dan memutuskan secara kolektif aksi-aksi untuk menerapkan solusi-solusi tersebut. Di sini kita bisa melihat bahwa soviet adalah institusi demokratik yang jauh lebih unggul dibandingkan semua institusi demokratik yang ada sampai hari ini. Soviet melibatkan massa dengan lebih luas, lebih fleksibel, dan lebih dinamis dibandingkan “pesta-pesta demokrasi lima-tahunan” dan parlemen yang diisi politisi-politisi profesional.
Namun rakyat pekerja masih belum sepenuhnya memahami arti sesungguhnya dari Soviet-soviet yang mereka bentuk ini. Mereka masih memiliki ilusi terhadap bentuk demokrasi yang lama, yakni parlementarisme borjuis. Inilah mengapa, bersandingan dengan keberadaan soviet-soviet, rakyat pekerja juga mengedepankan tuntutan diselenggarakannya Majelis Konstituante, dengan pemilihan umum yang akan memilih anggota-anggota Majelis Konstituante layaknya pemilu-pemilu di banyak negeri demokrasi Barat lainnya.
Ilusi parlementer di antara kaum buruh ini bersumber terutama dari kaum intelektual borjuis kecil yang mendominasi kepemimpinan soviet pada periode awal. Mereka adalah kaum sosialis dari partai Menshevik dan Sosialis Revolusioner (SR). Pada periode awal revolusi, Lenin dan kaum Bolshevik hanyalah minoritas dalam soviet, walaupun mereka punya posisi kuat di sentra-sentra industri besar di Petrograd. Perimbangan kekuatan ini berubah dalam 8 bulan, dan pada bulan Oktober Bolshevik telah menjadi mayoritas dalam soviet-soviet.
Pada saat bersamaan ketika rakyat pekerja membentuk soviet-soviet setelah mereka menumbangkan Tsar, kaum liberal borjuis membentuk Pemerintahan Provisional (Pemerintahan Sementara) untuk mengisi kevakuman kekuasaan. Pemerintahan Provisional ini tidak memiliki mandat dari rakyat. Para menteri dalam Pemerintahan Provisional ini tidak dipilih rakyat, tetapi hanyalah politisi-politisi liberal yang menunjuk diri mereka sendiri. Pemerintahan Provisional ini hanya bisa eksis karena rakyat pekerja belum memahami apa arti soviet yang telah mereka dirikan. Selain itu, para pemimpin Menshevik dan SR dalam soviet justru memberikan dukungan mereka terhadap keberadaan Pemerintahan Provisional karena mereka terus berkubang dalam ilusi parlementarisme borjuasi mereka.
Kita saksikan di sini periode Kekuasaan Ganda, antara Soviet di satu sisi dan Pemerintahan Provisional di sisi lain. Rakyat pekerja belum memahami kalau kekuasaan sesungguhnya sudah ada di tangan mereka lewat soviet-soviet, sehingga mereka membiarkan keberadaan Pemerintahan Provisional, yang dalam setiap langkahnya mencoba menghancurkan kekuasaan soviet. Dalam pertarungan antara dua kekuasaan ini, para pemimpin soviet dari kubu Menshevik dan SR terus berpihak pada Pemerintahan Provisional. Sebaliknya, kaum Bolshevik dalam soviet terus mempropagandakan slogan “Semua Kekuasaan untuk Soviet!”, bahwa sesungguhnya buruh, tani dan tentara bisa mengambil kekuasaan ke dalam tangan mereka lewat soviet-soviet.
Salah satu tuntutan rakyat pekerja adalah diselenggarakannya pemilu untuk memilih Majelis Konstituante, yang mereka harapkan dapat menjadi sarana demokrasi untuk pemenuhan tuntutan Perdamaian, Roti dan Tanah. Namun Pemerintahan Provisional – dan juga para pemimpin Soviet Menshevik/SR – terus menunda penyelenggaraan Majelis Konstituante, karena mereka paham kalau lewat Majelis Konstituante ini rakyat akan menuntut dipenuhinya dengan segera[!] Perdamaian, Roti, dan Tanah.
Pada kenyataannya Pemerintahan Provisional mewakili kepentingan kaum kapitalis dan tuan tanah. Roti dan tanah adalah dua hal yang tidak bisa mereka berikan pada rakyat pekerja. Kaum kapitalis dan tuan tanah juga terikat pada kepentingan modal asing – terutama negeri-negeri Sekutu – dan oleh karenanya seperti kerbau yang dicocok hidungnya harus mematuhi perintah Tuan-tuan Besarnya di Prancis dan Inggris untuk turut terlibat dalam Perang Dunia I. Kelas penguasa Rusia juga punya ambisi imperialis mereka sendiri untuk mencaplok wilayah-wilayah di Mediterania dan perbatasan Rusia-Jerman.
Ada kontradiksi yang tampaknya kacau balau dalam Revolusi Rusia. Rakyat telah membangun satu institusi demokratik yang paling mutakhir, yakni Soviet. Lewat Soviet rakyat telah memegang kekuasaan di tangannya. Tetapi pada saat yang sama mereka membiarkan keberadaan Pemerintahan Provisional dan juga mengharapkan diselenggarakannya Majelis Konstituante, sebuah institusi demokratik yang jelas lebih inferior dibandingkan Soviet. Demikianlah laju kesadaran kelas, yang tidak bergerak dalam satu garis lurus. Revolusi memang bukan sebuah peristiwa yang rapi dan apik. Mereka-mereka yang mengharapkan Revolusi yang apik akan menunggu selamanya untuk Revolusi macam ini.
Tugas kaum revolusioner oleh karenanya adalah menjelaskan dengan sabar apa arti Soviet kepada rakyat pekerja. Inilah yang dilakukan oleh Lenin dan kaum Bolshevik lewat slogannya “Semua kekuasaan untuk Soviet”. Kaum Bolshevik menemani rakyat dengan sabar, agar lewat pengalaman mereka sendiri rakyat dapat memahami kalau Soviet adalah satu-satunya bentuk demokrasi yang sejati, dan bahwa mereka tidak memerlukan Pemerintahan Provisional ataupun Majelis Konstituante.
Namun ini tidak berarti Lenin mencampakkan tuntutan Majelis Konstituante, karena ini masih merupakan bagian dari tuntutan rakyat. Bagi rakyat pada saat itu, penyelenggaraan Majelis Konstituante terkait dengan pemenuhan aspirasi mereka untuk Perdamaian, Roti dan Tanah. Selain itu Lenin memahami bahwa tuntutan Majelis Konstituante menelanjangi kemunafikan Pemerintahan Provisional dan juga Menshevik dan SR, yang menjanjikan penyelenggaraannya tetapi terus menundanya.
Demikian yang ditulis Lenin di Tesis April-nya yang terkenal itu:
“Saya mengkritik Pemerintahan Provisional karena mereka tidak menetapkan tanggal yang lebih awal, atau bahkan tidak menetapkan tanggal sama sekali, untuk penyelenggaraan Majelis Konstituante, dan hanya berjanji saja. Saya berargumen kalau tanpa Soviet Deputi Buruh dan Tentara penyelenggaraan Majelis Konstituante tidaklah terjamin dan keberhasilannya akan mustahil.” (V.I. Lenin. Tesis April. 7 April, 1917)
Kita lihat di sini bagaimana Lenin menempatkan Soviet di atas Majelis Konstituante, bahwa tanpa Soviet maka Majelis Konstituante tidak akan terjamin dan mustahil keberhasilannya. “Semua kekuasaan untuk Soviet” oleh karenanya menjadi fondasi bagi Revolusi Rusia.
Lenin bahkan mengatakan kepada para pemimpin Menshevik dan SR yang saat itu mendominasi Soviet untuk mengambil kekuasaan lewat Soviet, dan kaum Bolshevik siap menjadi oposisi minoritas. Tetapi kaum Menshevik dan SR terlalu pengecut untuk melakukan ini. Mereka terus mengekor Pemerintahan Provisional.
Hari demi hari, setelah menyaksikan dengan mata mereka sendiri bagaimana Pemerintahan Provisional, serta para pemimpin Menshevik dan SR, tidak akan memenuhi tuntutan-tuntutan mereka, rakyat semakin memahami makna program dan slogan Bolshevik “Semua kekuasaan untuk Soviet”. Dukungan rakyat terhadap Bolshevik dalam Soviet terus meningkat, sementara SR dan Menshevik mulai ditinggalkan rakyat. Sampai akhirnya pada 25 Oktober, 1917, rakyat lewat Soviet — di bawah kepemimpinan Bolshevik — merebut kekuasaan dan menumbangkan Pemerintahan Provisional.
Pemerintahan Soviet yang baru ini segera bekerja dengan mengeluarkan dua dekrit pada hari yang sama:
1) Dekrit Perdamaian: “Pemerintah buruh dan tani, yang dibentuk oleh Revolusi pada 24-25 Oktober dan mendasarkan dirinya pada Soviet Deputi Buruh, Tentara dan Tani, menyerukan kepada seluruh rakyat yang kini sedang berperang dan pemerintahan-pemerintahan mereka untuk memulai perundingan segera untuk perdamaian yang adil dan demokratik. … yakni perdamaian segera tanpa aneksasi.”
2) Dekrit Tanah: “Kepemilikan pribadi atas tanah mulai dari sekarang akan dihapus untuk selama-lamanya; tanah tidak boleh diperjual-belikan, disewa, dihipotekkan, atau diasingkan. Semua tanah, entah milik negara, monarki, biara, gereja, pabrik, warisan, swasta, publik, tani, dll. akan disita tanpa ganti rugi dan menjadi milik seluruh rakyat, dan akan digunakan oleh semua yang menggarapnya.”
Dengan dua dekrit ini, tuntutan utama rakyat pekerja menjadi kenyataan di bawah kekuasaan Soviet. Di hari-hari berikutnya sejumlah dekrit lainnya diterbitkan: 8 jam kerja, kontrol buruh, nasionalisasi perbankan, hak kaum perempuan, dsb. Perubahan-perubahan fundamental dalam kehidupan buruh dan tani segera menyusul Revolusi Oktober.
Namun kontradiksi dalam laju kesadaran kelas belumlah terselesaikan. Pertama, Revolusi Oktober praktis dimulai di Petrograd, dimana lapisan rakyat pekerja Rusia yang paling maju — yakni buruh Petrograd — mengambil langkah pertama untuk merealisasikan “Semua kekuasaan untuk Soviet.” Namun Rusia bukan Petrograd saja, dan sesungguhnya Petrograd hanyalah bagian kecil dari seluruh Rusia, tetapi bagian kecil yang paling penting dan krusial dalam perpolitikan. Revolusi Oktober masih harus menyebar ke provinsi-provinsi, ke desa-desa di antara kaum tani, ke garis depan peperangan di antara tentara, ke seluruh pelosok Rusia sampai ke kedinginan Siberia yang paling terpencil. Akan tetapi, sekali saja rakyat pekerja di pelosok-pelosok mendengar kabar kemenangan Soviet di Petrograd mereka segera mengikuti langkah Petrograd: membubarkan pemerintahan setempat dan menaruh soviet-soviet mereka sebagai pemangku kekuasaan yang baru. Seperti api liar, gelombang Revolusi Oktober menyebar ke seantero Rusia, tidak dengan merata, tidak dengan intensitas yang sama, tetapi yang pasti ia menyebar dan menjungkirbalikkan tatanan yang ada.
Karena Rusia bukan Petrograd saja, maka kesadaran kelas rakyat pekerja juga bukanlah satu blok yang homogen. Kaum tani, terutama, masih memiliki ilusi terhadap Majelis Konstituante dan masih belum memahami secara penuh arti dari kemenangan Soviet. Setelah Pemerintahan Provisional yang menjadi penghalang diselenggarakannya Majelis Konstituante roboh, kaum tani melihat ini sebagai kesempatan untuk akhirnya memiliki Majelis Konstituante, walaupun yang menghancurkan penghalang ini adalah Soviet, sebuah institusi demokratik yang lebih dekat dengan kaum tani itu sendiri. Rakyat pekerja masih harus melihat dengan mata mereka sendiri superioritas Soviet di atas Majelis Konstituante.
Pada 12 November, 1917, pemilu Majelis Konstituante diselenggarakan. Lenin menjelaskan pada rakyat pekerja dan memberi peringatan bahwa:
“Majelis Konstituante, yang diselenggarakan berdasarkan daftar kandidat partai yang diserahkan sebelum revolusi proletariat-tani dan di bawah kekuasaan borjuis, niscaya akan berbenturan dengan kehendak dan kepentingan kelas-kelas tertindas, yang pada 25 Oktober memulai revolusi sosialis melawan kelas borjuasi … Satu-satunya kesempatan untuk mengamankan solusi yang mulus untuk krisis yang telah muncul karena jurang pemisah antara pemilu Majelis Konstituante di satu sisi dan kehendak dan kepentingan kelas pekerja tertindas di sisi lain adalah dengan secepat-cepatnya memberi rakyat hak seluas-luasnya untuk memilih kembali anggota-anggota Majelis Konstituante. Majelis Konstituante ini harus menerima undang-undang pemilu yang ditelurkan oleh Komite Eksekutif Sentral, memproklamirkan kalau mereka akan mengakui sepenuhnya kekuasaan Soviet, revolusi Soviet, dan kebijakannya mengenai masalah perdamaian, tanah, dan kontrol buruh.” (V.I. Lenin. Tesis Mengenai Majelis Konstituante. 11 Desember, 1917)
Hasil pemilu Majelis Konstituante memberi Bolshevik ~24% suara (mayoritas buruh), Partai Sosialis-Revolusioner ~50% suara (mayoritas tani), dan sisanya terbagi antara Menshevik, Kadet, dan partai-partai kecil lainnya. Hasil ini tidak sesuai dengan perimbangan kekuatan politik yang sesungguhnya karena: 1) Daftar kandidat yang digunakan adalah berdasarkan daftar lama yang diserahkan sebelum Revolusi Oktober, sehingga tidak merefleksikan perpecahan dalam SR menjadi Kiri dan Kanan. Mayoritas kandidat SR yang terpilih adalah kandidat Kanan yang anti-Soviet, sementara SR sesungguhnya sudah bergeser jauh ke kiri dan mendukung Soviet; 2) Berita kemenangan Revolusi Oktober dan Soviet masih terbatas di kota-kota besar. Ini tercerminkan dalam jumlah suara yang diterima Bolshevik, dimana mereka mendapatkan hasil terbaik mereka di sentra-sentra industri dan wilayah sekitarnya, di front-front perang yang dekat dengan kota-kota besar, dan di desa-desa sepanjang rel kereta api.
Jurang pemisah antara Majelis Konstituante dan Revolusi Oktober akhirnya terpampang jelas di mata rakyat pekerja, terutama kaum tani, pada hari pertama – dan hari satu-satunya – rapat Majelis Konstituante pada 5 Januari 1918. Perwakilan Bolshevik dan SR Kiri mengajukan resolusi agar Majelis Konstituante meratifikasi kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh Soviet (Dekrit Perdamaian, Dekrit Tanah, Dekrit Hak Bangsa Menentukan Nasib Sendiri, dsb.), dan ini ditolak Majelis Konstituante dengan 237 suara melawan 138 suara. Dengan tindakan ini, menjadi jelas bahwa Majelis Konstituante tidak ingin mengakui Soviet dan pencapaian-pencapaian Revolusi Oktober. Perwakilan Bolshevik dan SR Kiri melakukan walk out. Perwakilan lainnya terus berdebat sampai dini hari, sampai akhirnya seorang kelasi Anarkis Zhelezniakov menyuruh mereka semua pulang karena “para penjaga sudah letih.” Para perwakilan ini pun bubar dengan kepala tertunduk, dan tak akan pernah lagi kembali.
Dengan gertakan seorang buruh-tentara, berakhirlah parlementarisme borjuis dalam wujud Majelis Konstituante ini. Tidak ada seorang pun dari 40 juta buruh, tani dan tentara, yang sebelumnya mencoblos kertas suara pemilu Majelis Konstituante yang peduli untuk membela badan ini. Dari hari pemilu Majelis Konstituante pada 12 November, 1917, sampai pada pembukaannya pada 5 Januari, 1918, dua bulan berlalu, tetapi ini tidak berlalu begitu saja. Dalam waktu yang pendek tersebut, kabar kemenangan Soviet menyebar ke seantero Rusia. Buruh dan tani, lewat pengalaman konkret mereka, akhirnya memahami apa arti Soviet. Benturan antara Majelis Konstituante dan kehendak Soviet segera membangunkan rakyat pekerja dari ilusi parlementarisme borjuis yang telah menipu mereka.
Kepemimpinan Bolshevik, yaitu lapisan pelopor proletariat, adalah elemen yang krusial untuk menghancurkan ilusi ini. Sejak awal kaum Bolshevik telah dengan sabar dan tegas terus menjelaskan kepada rakyat pekerja mengenai keunggulan Soviet, atau demokrasi buruh, di atas Majelis Konstituante, atau demokrasi borjuis. Tidak hanya menjelaskan, mereka juga mengambil langkah konkret memimpin perebutan kekuasaan oleh Soviet, dan dengan demikian merealisasikan slogan “Semua kekuasaan untuk Soviet”. Lewat Soviet, Lenin dan kaum Bolshevik langsung menerapkan kebijakan-kebijakan yang menjawab problem-problem mendesak yang dihadapi oleh seluruh strata rakyat pekerja, terutama lapisan semi-proletar dan non-proletar. Dengan langkah ini kaum proletar menunjukkan kepada seluruh rakyat bahwa Soviet adalah instrumen kekuasaan buruh yang serius, tegas, dan sigap dalam mengubah kondisi kehidupan rakyat miskin, sementara parlemen borjuis (entah Pemerintahan Provisional atau Majelis Konstituante) hanyalah tempat debat kusir, yang terus menipu dan meninabobokkan mereka.
Seperti yang dijelaskan oleh Lenin:
“Kaum proletariat harus terlebih dahulu menumbangkan kaum borjuasi dan memenangkan untuk dirinya kekuasaan negara, dan kemudian menggunakan kekuasaan negara tersebut, yakni, kediktatoran proletariat, sebagai instrumen kelasnya demi tujuan memenangkan simpati mayoritas rakyat pekerja. … Beberapa jam setelah kemenangan atas kaum borjuasi di Petrograd, kaum proletariat yang menang menerbitkan “dekrit tanah”, dan lewat dekrit tersebut kaum proletariat dengan sepenuhnya, dengan segera, dengan kecepatan, energi dan pengabdian revolusioner, memenuhi semua kebutuhan ekonomi yang paling mendesak dari mayoritas kaum tani, mengekspropriasi kaum tuan tanah, dengan sepenuhnya dan tanpa ganti rugi.” (V.I. Lenin. Pemilihan Majelis Konstituante dan Kediktatoran Proletariat. 16 Desember, 1919)
Kemunafikan Partai Menshevik, SR, dan Kadet terpampang pula. Sebelum Revolusi Oktober mereka terus menunda penyelenggaraan Majelis Konstituante. Mereka terus menunda memberikan roti pada buruh, tanah bagi tani, dan perdamaian bagi semua rakyat pekerja. Bahkan Partai Kadet mendukung usaha kudeta militer Kornilov. Mereka lebih memilih kediktatoran militer daripada demokrasi. Namun setelah Revolusi Oktober, yakni setelah mereka kehilangan kekuasaan, mereka tiba-tiba mendambakan Majelis Konstituante. Ini karena sekarang mereka melihat Majelis Konstituante sebagai peluang untuk merebut kembali kekuasaan yang telah direnggut oleh Soviet di bawah Bolshevik.
Pada saat yang sama, perjuangan kelas telah melampaui norma-norma demokrasi borjuis ketika Jenderal Kaledin, pada November 1917, memimpin pemberontakan militer melawan otoritas Soviet. Bahkan sebelum Majelis Konstituante bertemu, kekuatan-kekuatan militer Tentara Putih mulai dimobilisasi oleh kelas penguasa untuk meremukkan Soviet. Kelas penguasa telah mencampakkan demokrasi, dan hanya para intelektual borjuis kecil dan kaum reformis yang masih bermimpi mengenai revolusi yang rapi, dengan parlemennya yang sempurna dan terhormat.
Pada akhirnya, pembubaran Majelis Konstituante adalah hasil tak terelakkan dari pertarungan antara demokrasi buruh dan demokrasi borjuis. Mengakui keabsahan Majelis Konstituante berarti menafikan demokrasi buruh yang telah terekspresikan lewat Soviet dan Revolusi Oktober. Rakyat pekerja, setelah menguji Majelis Konstituante dan menilainya tidak sesuai dengan kehendak dan harapannya, dengan tanpa ragu-ragu membuang Majelis Konstituante ini ke tong sampah sejarah. Dengan ini, dibukalah babak baru dalam sejarah umat manusia: usaha pertama kelas pekerja untuk membangun demokrasi buruh dan masyarakat sosialis.