Lebih dari 150 tahun yang lalu, Marx membuka karya agungnya Manifesto Komunis dengan statemen yang gagah berani ini:
“Ada hantu berkeliaran di Eropa – hantu komunisme. Semua kekuasaan di Eropa lama telah berhimpun ke dalam satu persekutuan suci untuk mengusir hantu ini … Di manakah ada partai oposisi yang tidak dicaci sebagai komunis oleh lawan-lawannya yang sedang berkuasa? Di manakah ada partai oposisi yang tidak melontarkan kembali cap tuduhan komunisme, baik kepada partai-partai oposisi yang lebih maju maupun kepada lawan-lawannya yang reaksioner?”
Dengan pembukaan ini, Marx dengan jitu telah memprediksi hingar bingar isu Komunisme seputar RUU HIP. Ketakutan terhadap Komunisme begitu terpatri di dalam sukma semua kaum penguasa, sehingga sampai hari ini tuduhan komunis terus digunakan sebagai momok tidak hanya untuk memberangus gerakan tetapi juga menghantam lawan-lawan politik di antara diri mereka sendiri.
Momok komunis ini bukan monopoli Indonesia saja. Di Kanada, pemerintahan Liberal Trudeau juga kerap dituduh komunis oleh lawannya Partai Konservatif. Belum lama ini ada seorang serdadu yang mendobrak gerbang kompleks rumah Perdana Menteri Trudeau dengan mobil, menenteng senapan otomatis, jelas dengan tujuan membunuhnya. Alasan yang dikemukakan adalah dia khawatir negeri ini akan menjadi kediktatoran komunis di bawah kepemimpinan Liberal. Di Amerika, protokol kesehatan Covid-19 ditentang banyak politisi Konservatif sebagai konspirasi komunis oleh Demokrat untuk berkuasa.
Komunisme tampaknya ada di mana-mana. Tetapi menurut Romo kita (dalam artikel “Komunisme Memang Gagal”, Franz Magnis-Suseno, Kompas, 9 Juli, 2020), “komunisme internasional sudah hilang dari peta bumi”. Kita disuguhkan kursus sejarah instan, bahwasanya Komunisme sudah mati sejak lama. Dia terheran-heran, bercampur berang, kalau fitnah komunisme kini digunakan untuk “menggoyangkan Presiden Jokowi” yang dicintainya. Dasar Bodoh, Psycho-freak! Mungkin begitu umpatnya dalam hati. Dia mencoba menjadi secercah nalar di tengah histeria anti-komunis.
Tetapi kalau memang menurutnya Komunisme sudah berpulang pada 1989, dan “tak ada orang yang tertarik pada ide-ide kuno dari seratus tahun yang lalu”, kita diherankan oleh usaha keras kepala Romo Magnis dalam menulis banyak buku untuk membantah gagasan Marx. Untuk gagasan yang sudah gagal, mengapa harus terus dibantah? Kecuali memang kalau gagasan tersebut masih hidup. Yang sebenarnya runtuh di Uni Soviet pada 1989 bukanlah Sosialisme, tetapi karikatur birokratis Sosialisme, yakni Stalinisme. Degenerasi birokratik Uni Soviet yang berujung pada keruntuhannya sudah dikaji jauh-jauh hari oleh Leon Trotsky, dan justru adalah validasi terhadap Marxisme.
Terlebih lagi, dalam artikelnya, dia menentang dicabutnya TAP MPRS Nomor XXV/1966, sebuah hukum yang berdiri di atas tulang belulang jutaan rakyat. Alasannya: “TAP MPRS Nomor XXV/1966 ini mempunyai kekuatan simbolis penting … bahwa bagi PKI tidak ada tempat lagi di Indonesia.” Dengan ini, sebenarnya dia mengakui bahwa Komunisme sesungguhnya belumlah mati. Atau, kalaupun sudah mati, komunisme dapat bangkit kembali. Bagi seorang rohaniwan yang mafhum akan Kebangkitan Yesus, mungkin ini yang ditakutinya, dan dia berharap TAP MPRS ini bisa berperan seperti para penjaga kubur Yesus yang dikirim oleh Pilatus. Layaknya imam-imam kepala Farisi, hanya kekecewaan yang menantinya.
Sesungguhnya, ada persekutuan terkutuk antara kaum intelektual seperti Romo Magnis dan kelompok-kelompok “tidak Bonafide” seperti Alumni 212, dan MUI. Ada semacam simbiosis, dimana seperti kata Marx mereka berpadu untuk mengusir hantu Komunisme.
Kaum intelektual seperti Romo Magnis menggunakan penipuan intelektual yang halus nan pintar untuk mendiskreditkan gagasan Komunisme. Buku-buku tebal ditulisnya untuk memelintir arti sesungguhnya Marxisme dan sejarah Revolusi Rusia, sampai mereka tidak bisa dikenali lagi. Tetapi, tidak semua lapisan rakyat punya kemampuan ataupun waktu membaca buku tebal dengan nuansa akademis yang kental. Terlalu di awang-awang. Untuk ini, dibutuhkan elemen-elemen “tidak Bonafide”, yang menggunakan propaganda anti-komunis yang kasar, vulgar, non-intelektual, irasional, yang menyasar ke prasangka paling terbelakang rakyat luas. Keduanya, yang “Bonafide” dan yang “tidak Bonafine” ini, saling membutuhkan dan saling menopang dalam tugas mempertahankan tatanan status-quo yang ada: kapitalisme.
Selama kapitalisme masih hidup, dan terus melanggengkan kemiskinan dan kesengsaraan bagi mayoritas rakyat pekerja sementara kekayaan berlimpah ruah di tangan segelintir, maka hantu komunisme akan terus berkeliaran. Marxisme terus hidup, dan bahkan bersinar lebih terang lagi ketika hari ini kapitalisme ada dalam krisis dan terbukti tidak kompeten dalam menangani pandemi. Romo Magnis dan Alumni 212 memahami ini dengan baik, dan mereka telah melakukan segalanya untuk mencegah hantu komunisme dari bangkit kembali. Hanya saja, kali ini dia agak tersinggung kalau cap komunis digunakan sebagai serangan politik terhadap jagoannya, Jokowi. Itu saja.