Ada hantu berkeliaran di Indonesia – hantu Golput. Semua kekuatan di Indonesia telah menyatukan diri dalam sebuah persekutuan keramat untuk mengusir hantu ini: Jokowi dan Prabowo, para relawan paslon dan tuan-nyonya pengamat politik, kaum demokrat dan liberal, aktivis lama 98 yang sudah letih, pengumbar NKRI dan Pancasila, para abdi Bela Negara, dan kaum Marxian di kampus-kampus.
Dimanakah ada kaum revolusioner hari ini yang tidak dicacimaki sebagai pecundang oleh lawan-lawannya yang kini berkuasa lantaran menolak mendukung kandidat borjuasi? Dimanakah ada aktivis lama 98 yang tidak melontarkan cap tuduhan “pendukung fasis” kepada kaum muda dan buruh yang sadar kelas, yang karena kesadaran kelasnya maka menjaga kemandirian kelasnya dan menolak mencampuradukkan panji perjuangan mereka dengan kelas penguasa borjuasi?
Dua hal bisa ditarik dari kenyataan ini:
-
Golput telah diakui oleh semua kekuatan politik di Indonesia sebagai kecenderungan politik yang tidak bisa diabaikan.
-
Telah tiba waktunya bagi kaum revolusioner untuk menarik garis demarkasi yang jelas, menyiarkan pandangan mereka, cita-cita revolusi mereka, tujuan mereka, tendensi mereka, dan melawan dongeng kanak-kanak tentang Hantu Golput ini dengan manifesto revolusioner mereka sendiri.
Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang adalah sejarah perjuangan kelas. Tidak ada yang berubah sejak kalimat ini ditulis lebih dari 150 tahun yang lalu. Sebaliknya, perkembangan kapitalisme di Indonesia telah semakin menyederhanakan garis-garis kelas yang bertentangan dan dengan demikian membuat pertentangan kelas semakin tajam.
Di satu sisi adalah kelas borjuasi, sang pemilik kapital. Dengan dominasinya atas kapital mereka mengendalikan ekonomi dan politik bangsa, dan dengan demikian mengendalikan nasib jutaan rakyat pekerja yang tidak punya apapun kecuali keringat mereka. Kelas borjuasi bisa terbagi dalam berbagai kecenderungan politik sesuai dengan kepentingan sempit dan kesejarahan mereka. Namun dalam kepentingan memeras keringat buruh untuk mengembangbiakkan kapital, mereka selalu seiya sekata.
Di sisi seberang adalah rakyat pekerja: kaum buruh (proletariat), tani dan miskin kota. Mereka tidak punya apapun selain kedua tangan mereka untuk bekerja. Mereka tetap miskin dan melarat di tengah kegemilangan peradaban yang sesungguhnya adalah hasil kerja mereka. Dibodohkan dan dipecah belah oleh suku, agama, ras, kebangsaan, gender, dsb. mereka selalu pada akhirnya menemukan persatuan dalam perjuangannya melawan kelas borjuasi, penindas bersama mereka. Kemandirian dan persatuan kelas jadi senjata terampuh mereka untuk mengenyahkan penindasan yang mereka alami.
Dalam perjuangannya, rakyat pekerja tidak berhenti pada tuntutan-tuntutan ekonomi saja. Mereka terdorong untuk memasuki arena politik. Tidak bisa tidak. Pemerintahan telah menjadi badan eksekutif yang mengurusi kepentingan kelas borjuasi: PP78 untuk menjaga upah murah, konflik agraria dan penggusuran rakyat miskin demi apa-yang-disebut pembangunan, mobilisasi militer di Papua untuk menjaga kepentingan Freeport. Untuk itu, rakyat pekerja menuntut partisipasi dan kendali atas badan eksekutif ini.
Pintu gerbang politik ini dijaga rapat-rapat oleh kelas penguasa karena mereka mafhum akan kekuatan aparatus negara dalam mempertahankan relasi penindasan yang ada. Di era Orde Baru, UU politik yang drakonian dan Dwifungsi ABRI jadi gemboknya, yang memasung hak demokrasi rakyat. Reformasi 98 mendobrak pintu gerbang ini, dan dengan penuh kegembiraan rakyat pekerja melangkah memasuki arena politik yang selama puluhan tahun diasingkan darinya.
Karnaval demokrasi ini tidak berlangsung lama. Dengan sigap dan cerdik, kelas penguasa kembali menutup pintu gerbang politik. Tidak dengan gembok besar yang mengerikan kali ini, tetapi dengan tipu daya dan distraksi. Deretan penjaja politik kini menyambut rakyat pekerja di pintu gerbang ini dengan baliho-baliho yang berwarna-warni, dengan menawarkan berbagai janji manis, dan tidak jarang pula amplop dan sembako. Rakyat pekerja digiring ke partai ini atau itu, ke paslon ini atau itu, untuk dibenturkan satu sama lain. Kemandirian kelas mereka menjadi kabur. Pemilu demi pemilu mereka memilih justru pemerintah yang menindas mereka sendiri. Alih-alih memasuki gerbang politik dengan kendaraan politik mereka sendiri, berbaris rapat di bawah panji kelas mereka sendiri, kini rakyat pekerja jadi bulan-bulanan politisi ini atau itu.
Tercelalah mereka-mereka yang membantu para penjaja politik borjuasi ini, entah para pemimpin FSPMI yang menyeret buruh ke Prabowo atau aktivis 98 yang menjadi bagian timses Jokowi. Mereka tidak ubahnya salesman mobil bekas, yang lidahnya memang sudah terlatih berbicara dengan rakyat miskin dan oleh karenanya jasanya sangat berguna bagi kelas penguasa untuk menipu rakyat pekerja.
Kaum revolusioner dibandingkan dengan para aktivis Kiri yang telah menjadi pelayan borjuasi selama pemilu ini berbeda karena hal ini:
-
Dalam perjuangan rakyat pekerja di seluruh Indonesia, mereka selalu mengedepankan serta mempertahankan kemandirian kelas, dan tidak mengobralnya untuk kepentingan sesaat yang ilusif.
-
Pada berbagai tingkatan perkembangan perjuangan rakyat pekerja melawan borjuasi, kaum revolusioner terus mengekspos semua kebangkrutan dan kemunafikan kelas borjuasi dan para politisi mereka, tidak peduli dari partai mana mereka datang.
Oleh karenanya kaum revolusioner di satu pihak dalam prakteknya adalah pejuang yang paling maju dan tegas, yang paling konsisten dan prinsipil dalam memperjuangkan transformasi masyarakat secara revolusioner; di lain pihak, secara teoretis, kaum revolusioner punya kelebihan dalam perspektif perjuangan, yang memahami alur besar perjuangan, syarat-syaratnya serta gol akhirnya: yakni revolusi sosialis.
Tujuan dari kaum revolusioner adalah: pembentukan proletariat menjadi kelas untuk dirinya sendiri, penggulingan kekuasaan borjuasi, perebutan kekuasaan politik oleh proletariat. Ini semua hanya bisa dicapai dengan, lagi dan lagi, menjaga kemandirian kelas proletariat. Untuk itu, tidak ada pilihan lain bagi rakyat pekerja hari ini selain memboikot pilpres dan pemilu yang ada hari ini.
Golput jadi ekspresi penolakan politik borjuasi yang ada. Di balik apatisme dan sinisme Golput di antara rakyat adalah benih revolusioner, benih pemberontakan terhadap tatanan politik yang ada. Inilah Hantu Golput yang kerap membuat kelas penguasa selalu was-was.
Namun Golput saja tidak cukup. Memasuki arena politik secara mandiri masih jadi tugas segera rakyat pekerja. Pembangunan Partai Buruh masih jadi agenda urgen kelas proletariat, agar rakyat pekerja tidak lagi jadi mangsa dari para politisi borjuasi. Kelas proletariat dengan kendaraan politiknya sendiri akan mampu menjadi pemimpin dari seluruh lapisan tertindas, dari kaum tani dan kaum miskin kota.
Maka dari itu, partai buruh ini harus mengusung program yang merangkul rakyat pekerja tertindas lainnya – tani, nelayan, dan kaum miskin kota. Program ini sekurang-kurangnya harus mencantumkan tuntutan:
1) Nasionalisasi cabang-cabang industri penting – seperti perbankan, pertambangan migas dan non-migas, pertanian dan perkebunan besar atau agrobisnis, kehutanan, transportasi, telekomunikasi – yang akan diletakkan di bawah sistem ekonomi terencana yang demokratis.
2) Reforma agraria dan kredit murah bagi kaum tani miskin dan nelayan miskin
3) Kepastian kerja untuk semua rakyat, pemberlakuan upah layak untuk penghidupan, penghapusan sistem outsourcing dan kerja kontrak, dan kebebasan berserikat
4) Rumah untuk semua rakyat
5) Pelayanan kesehatan gratis dan bermutu untuk semua rakyat
6) Pendidikan gratis bermutu bagi semua rakyat sampai tingkat perguruan tinggi
7) Program sosial dan perlindungan untuk kaum miskin kota dan anak jalanan
8) Perlindungan lingkungan hidup, untuk menciptakan lingkungan yang sehat bagi semua rakyat pekerja dan anak cucunya.
9) Kesetaraan hak sosial, ekonomi, politik dan budaya untuk kaum perempuan. Lawan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan di tempat kerja, lingkungan tempat tinggal, sekolah, dan keluarga.
10) Akhiri semua bentuk diskriminasi ras, agama, suku, gender, dan seks. Persatuan rakyat pekerja adalah satu-satunya cara untuk melawan diskriminasi.
Kaum proletariat akan menggunakan kekuasaan politiknya untuk merebut, selangkah demi selangkah, semua kapital dari kelas borjuasi, memusatkan semua sarana produksi di tangan Negara Buruh, yakni kaum proletariat yang terorganisir sebagai kelas yang berkuasa.
Biarlah para aktivis yang sudah letih, yang sudah tidak percaya lagi pada sosialisme, yang oleh karenanya menemukan dirinya dalam kubu borjuasi ini atau itu, mencaci-maki kaum revolusioner yang masih berpegang teguh pada cita-cita Revolusi Sosialis. Kaum revolusioner tidak takut kehilangan kawan, tidak gentar jadi minoritas di antara minoritas. Kaum revolusioner tidak sudi menyembunyikan pandangan dan cita-citanya, dan akan selalu menerangkan dengan sejelas-jelasnya kepada rakyat pekerja bahwa tidak ada suatupun yang bisa mereka raih dari Jokowi ataupun Prabowo, ataupun politisi borjuasi lainnya.
Kaum Buruh, Tegaskan Kemandirian Kelas dan Kepemimpinan Kelasmu! Bangun Partai Buruh!