Perang yang berkecamuk di Ukraina kini telah berlangsung lebih dari 18 bulan. Ini adalah perang yang barbar dan brutal, yang telah menciptakan kesengsaraan tak tertanggungkan. Namun, ini bukanlah satu-satunya perang yang tengah berkobar. Perang sipil di Yemen misalnya telah memporak-porandakan bangsa tersebut sejak 2014, menelan 370 ribu korban jiwa, dan menyingkirkan lebih dari 4 juta penduduk dari rumah mereka. Perang adalah peristiwa yang berdarah-darah. Ketika artikel ini ditulis, Israel tengah meluncurkan invasi lagi ke Gaza, yang merupakan kelanjutan dari penjajahannya terhadap Palestina. Tetapi kaum Marxis tidak mengembangkan posisi dan program mereka mengenai perang berdasarkan kesengsaraan yang disebabkan oleh barbarisme perang. Kaum Marxis tidak mendekati perang dari sudut pandang moralis, tetapi dari sudut pandang kelas.
Posisi Marxis mengenai masalah perang berbeda secara fundamental dari kaum Kiri umumnya, entah Kiri borjuis kecil, kaum liberal, maupun kaum pasifis. Pertama, kami memahami hubungan tak terpisahkan antara perang, perjuangan kelas dan kapitalisme, bahwa inheren dalam kapitalisme adalah perang. Kedua, kami memahami bahwa ada itu perang reaksioner dan ada itu perang progresif. Tidak seperti kaum pasifis, kami tidak menuntut perdamaian secara abstrak, dan kami harus mempelajari setiap perang dalam kondisi historisnya yang unik. Ketiga, pada analisa terakhir, kami menentukan sikap kami terhadap perang berdasarkan sudut pandang kepentingan proletariat dunia. Apapun yang mendorong maju kesadaran kelas buruh dan menguntungkan perjuangan menuju sosialisme adalah progresif. Apapun yang menghalangi perkembangan kesadaran kelas buruh dan merugikan perjuangan menuju sosialisme adalah reaksioner.
Kapitalisme sebagai sumber perang
Perang adalah bagian tak terpisahkan dari kapitalisme. Perang bukanlah disebabkan oleh kebijakan keliru dari pemimpin ini atau itu. Perang bukanlah disebabkan oleh kegagalan diplomasi dari pejabat pemerintah, atau para jendral yang haus perang. Di permukaan, mungkin tampaknya perang disebabkan oleh faktor-faktor yang sekunder dan aksidental. Tetapi secara fundamental, perang merupakan hasil dari tendensi ekonomi kapitalisme itu sendiri.
Kapitalisme adalah sistem ekonomi di mana produksi komoditas telah menjadi umum. Kapitalis memproduksi komoditas, yaitu barang yang diproduksi hanya untuk dijual demi profit. Inilah yang membedakan kapitalisme dari masyarakat-masyarakat sebelumnya. Fakta ini lalu menentukan karakter kapitalisme.
Kapitalisme telah mengembangkan sarana produksi yang begitu besar, yang mampu menghasilkan komoditas dalam jumlah yang tak pernah bisa terbayangkan bahkan oleh Firaun dan Kaisar Romawi di masa lampau. Komoditas ini harus terus dijual, dan ini mendorong kapitalis untuk terus mencari pasar agar bisa bertahan.
Marx menulis dalam Manifesto Komunis:
“Kebutuhan [kapitalisme] untuk terus memperluas pasar bagi produk-produknya mendorong kaum borjuasi untuk menyebar ke seluruh permukaan bumi. Mereka harus bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, membangun hubungan di mana-mana.”
Kapitalisme hanya bisa bertahan hidup bila ia terus menjual produknya. Ini berbenturan dengan fakta bahwa kapitalis membayar pekerjanya upah seminim mungkin, sehingga rakyat pekerja – yang merupakan pasar terbesar – tidak mampu membeli semua produk yang dihasilkannya. Pasar domestik tidak lagi mencukupi dan menjadi jenuh. Ini mendorong kapitalis untuk menaklukkan pasar baru di luar negeri.
Tidak hanya itu. Kapitalis juga terus mencari medan investasi baru untuk menanamkan modalnya. Modalnya tidak bisa hanya duduk diam tetapi harus terus dikerahkan untuk terus memproduksi lebih banyak lagi komoditas dan kapital. Kapital yang terakumulasi begitu besar mulai melompati perbatasan yang sempit. Kebutuhan produksi kapitalis juga membutuhkan semakin banyak bahan mentah dari seluruh penjuru dunia.
Pada satu titik, kapitalisme mencapai tahapan tertingginya, yaitu imperialisme. Peralihan ini terjadi pada akhir abad ke-19. Perang penaklukan dan penjajahan menjadi sarana bertahan hidup bagi setiap kekuatan kapitalis. Dunia dibagi-bagi di antara kekuatan-kekuatan kapitalis besar, yang berseteru di antara diri mereka sendiri untuk memperoleh porsi koloni dan lingkaran pengaruh yang lebih besar. Perang ekonomi akhirnya meletus menjadi perang militer. Perang ini tidak lain adalah perang untuk profit, untuk pasar, untuk lingkaran pengaruh. Perang ini tidak lain adalah kompetisi kapitalis yang diperjuangkan di arena global antara bangsa-bangsa.
Perang menjadi tidak terelakkan di bawah kapitalisme, dari perang-perang kecil sampai perang besar yang menyapu seluruh dunia seperti dua perang dunia pada paruh pertama abad ke-20.
Perang Dunia Pertama bukanlah disebabkan oleh terbunuhnya Archduke Franz Ferdinand dari Austria-Hungaria di Sarajevo, yang lalu membuat Austria menyatakan perang terhadap Serbia, atau pun karena kurangnya diplomat-diplomat ulung. Perang ini telah dipersiapkan selama bertahun-tahun oleh menajamnya antagonisme antar kekuatan-kekuatan imperialis besar Eropa, terutama karena Jerman sebagai kekuatan kapitalis baru tengah menuntut porsi pasar dunia yang lebih besar. Jerman menuntut pembagian-ulang dunia sesuai dengan kekuatan ekonominya yang semakin menguat, dan tuntutan ini berbenturan dengan kepentingan kekuatan-kekuatan Eropa lainnya yang dengan gigih mempertahankan koloni-koloni dan lingkaran pengaruh mereka.
Perang Dunia Kedua tidak lain adalah kelanjutan dari Perang Dunia Pertama. Kekalahan Jerman dalam perang pertama tidak menyelesaikan apapun. Kapitalisme Jerman masih membutuhkan pasar baru. Di belahan dunia lainnya, muncul juga kekuatan kapitalis baru yang menginginkan porsi pasar dunia mereka sendiri: Jepang. Kapitalisme Jepang menginginkan untuk dirinya sendiri koloni-koloni di Asia (China dan Asia Tenggara) yang sebelumnya sudah dijajah oleh kekuatan-kekuatan Eropa.
Maka dari itu, dalam perang imperialis, perang yang berkobar antar negara-negara kapitalis, kaum Marxis tidak memihak pada satu sisi pun. Tidak peduli siapa yang memulai terlebih dahulu. Bayangkan perang antara dua pemilik budak. Pemilik budak yang satu memiliki 200 budak. Malangnya, pemilik budak kedua hanya memiliki 100 budak! Dia lalu meluncurkan perang demi distribusi budak yang lebih adil. Sungguh bodoh bila para budak lalu mendukung majikan mereka dalam perang ini. Para budak ini tidak punya urusan apapun, kepentingan apapun, dalam perang antar-pemilik-budak ini. Sebaliknya, dalam perang ini kaum budaklah yang disembelih. Kaum budak dari berbagai negeri punya kepentingan untuk bersatu dan berjuang untuk menumbangkan tuan-tuan mereka masing-masing.
Perang borjuis revolusioner melawan feodalisme
Namun, tidak semua perang adalah reaksioner. Ada juga perang progresif: yaitu perang antara kelas tertindas yang melawan kelas penindas; kelas yang diluncurkan budak melawan pemilik budak; perang tani melawan tuan tanah; perang buruh melawan kapitalis. Semua perang ini adalah perang yang absah, yang progresif dan diperlukan.
Di sinilah kita memerlukan analisa historis dan materialis dalam setiap perang. Kita bukanlah kaum pasifis yang menentang perang secara abstrak. Perang itu kejam, berdarah-darah, tetapi posisi kita tidak ditentukan serta merta oleh fakta tersebut.
Dalam sejarah, salah satu perang yang progresif adalah perang yang diluncurkan oleh borjuasi yang baru saja lahir terhadap tatanan feodal lama yang membelenggunya. Ada masanya ketika borjuasi adalah kekuatan revolusioner, yakni dalam perjuangan mereka untuk menumbangkan monarki feodal dan pertuantanahan. Tatanan feodal yang lama ini telah membusuk, dan telah menjadi penghalang bagi kemajuan umat manusia. Maka dari itu, perang kaum borjuis untuk menumbangkan feodalisme adalah perang yang progresif dan absah secara historis.
Salah satu perang borjuis yang progresif ini adalah perang Revolusi Prancis melawan semua kekuatan monarki Eropa lama. Revolusi Prancis 1789 adalah revolusi borjuis yang paling megah. Ia tidak hanya menghancurkan sampai ke akar-akarnya rejim monarki Prancis, tetapi juga menyebarkan semangat revolusi demokratik ke seluruh Eropa dengan aksinya yang paling revolusioner itu. Revolusi ini mengguncang seluruh Eropa dan membuat lutut para raja dan tuan tanah Eropa gemetar. Seluruh kekuatan Eropa lama segera berkonspirasi untuk meremukkan Revolusi Prancis.
Pada dasarnya, dua bentuk masyarakat dengan prinsip yang sepenuhnya berbeda dan bertolak belakang tidak akan bisa hidup bersama secara damai. Prancis telah mengakhiri absolutisme di wilayahnya sendiri, sementara rejim absolut tua yang sama masih berdiri tegak di negeri-negeri tetangganya.
Prancis menjawab ancaman kontra-revolusi dengan mengobarkan perang revolusioner melawan seluruh monarki Eropa. Prancis menawarkan “fraternitas dan bantuan” bagi semua orang yang ingin mengikuti langkah Revolusi Prancis dalam mengakhiri feodalisme. Republik yang muda ini segera menyatakan bahwa mereka akan menerapkan prinsip-prinsip revolusioner di mana pun tentara Prancis berada. Tentara revolusioner Prancis akan menghapus feodalisme dan menyita kekayaan aristokrasi dan gereja. Deklarasi revolusioner ini segera disambut dengan penuh semangat militan oleh rakyat seluruh Eropa yang tertindas oleh monarki dan pertuantanahan.
Walaupun Revolusi Prancis akhirnya mengalami degenerasi, dengan reaksi Thermidor pada 1794 yang menyingkirkan sayap revolusioner Jacobin dan meredam partisipasi militan rakyat miskin Prancis, dengan kudeta 18 Brumaire yang meletakkan Napoleon ke tampuk kekuasaan sebagai diktator yang reaksioner, ini tidak mengubah secara fundamental karakter revolusioner rejim Revolusi Prancis, yang tugas utamanya adalah mengakhiri relasi feodal dan menegakkan relasi kapitalis. Perang revolusioner yang dikobarkan Prancis mengandung elemen penjarahan dan penjajahan terhadap bangsa lain, dan secara formal melanggar kedaulatan bangsa lain, namun ini sama sekali tidak mengubah signifikansi revolusioner dari perang-perang tersebut, yang menghancurkan feodalisme dan absolutisme di seluruh Eropa.
Tetapi masa di mana borjuasi memainkan peran revolusioner dalam sejarah telah berakhir, terutama sejak kelahiran dan kristalisasi kelas proletariat. Seawal 1848, Marx dan Engels telah mengkritik dengan keras kebimbangan dan kepengecutan kelas borjuasi dalam melawan feodalisme dan menuntaskan revolusinya sendiri. Kehadiran proletariat sebagai kelas untuk dirinya sendiri – dan bukan lagi kelas dalam dirinya sendiri – mengubah segalanya. Kini kelas borjuasi menjadi lebih takut terhadap proletariat ketimbang kaum feodal dan monarkis, dan lebih memilih berkompromi dengan yang belakangan demi meredam gerakan proletariat yang independen.
Sejak itu, di mana pun revolusi borjuis belum tuntas, kelas proletariat menjadi satu-satunya kekuatan yang dapat menuntaskan tugas-tugas revolusi tersebut. Tetapi dalam merebut kekuasaan, kelas proletariat tidak dapat berhenti hanya pada tugas-tugas borjuis-demokratik dan harus mulai melangkah ke tugas-tugas sosialis. Contoh positif yang paling jelas adalah Revolusi Oktober. Hanya kelas proletariat Rusia, bersama dengan kelas tani yang dipimpinnya, dapat mengakhiri feodalisme dan pertuantanahan. Borjuasi Rusia terlalu reaksioner dan terikat pada feodalisme untuk bisa menuntaskan revolusi borjuis. Bahkan mereka telah menjadi penghalang dan lebih memilih berkompromi dengan kekuatan monarkis. Hanya dengan menyingkirkan borjuasi dan merebut kekuasaan maka kelas proletariat dapat mengakhiri Tsarisme, dan dengan demikian langsung melangkah ke revolusi sosialis.
Perang pembebasan nasional
Satu lagi perang yang adil dan progresif adalah perang pembebasan nasional melawan penjajahan oleh kekuatan imperialis. Kapitalisme dibangun di atas dasar kebijakan penaklukan dan penghisapan atas bangsa-bangsa lain. Seperti yang dikatakan oleh Marx, “penemuan emas dan perak di Amerika; pemusnahan, perbudakan, dan penguburan penduduk asli di tambang; awal penaklukan dan penjarahan Hindia Timur [Indonesia]; diubahnya Afrika menjadi tempat untuk secara komersial memburu orang kulit hitam, menandai fajar indah dari era produksi kapitalis. Proses-proses idilik ini adalah momentum utama dari akumulasi primitif.”
Maka dari itu, ketika rakyat koloni yang terjajah ini meluncurkan perang melawan penjajahnya, kaum Marxis bersimpati pada kemenangan koloni terjajah itu. Ini cukup jelas. Tetapi apa yang tampaknya adalah posisi yang sederhana dan masuk di akal, yakni membela perjuangan pembebasan nasional dalam melawan kekuatan penjajah, ternyata jauh lebih kompleks. Bila kita tidak menganalisis masalah ini dengan tepat, secara historis dan materialis, kita bisa berakhir di kubu reaksi.
Pertama, masalah kelas mana yang memimpin perang anti-kolonial ini sangatlah menentukan. Borjuasi kolonial sudah bukan lagi kekuatan progresif. Mereka hanyalah progresif selama fase awal – yang sangatlah singkat – dalam sejarah perjuangan anti-kolonial. Setelah proletariat muncul dan menegaskan dirinya, kelas borjuasi kolonial menjadi lebih takut pada proletariat ketimbang imperialisme. Borjuasi kolonial ini terikat dalam seribu benang pada imperialisme dan feodalisme, dan selalu bimbang dan takut dalam perjuangannya. Di mana pun, mereka selalu mencari kompromi dan puas menjadi kacung imperialis selama mereka memperoleh remah-remah yang mencukupi. Ini membuat kelas proletariat menjadi satu-satunya kelas yang bisa diandalkan dalam perjuangan anti-imperialis.
Kelas proletariat harus selalu mempertahankan kemandirian kelas mereka, bahkan selama perjuangan pembebasan nasional, dan terutama selama itu. Dalam perjuangan nasional, kelas borjuasi selalu mencoba mengaburkan perbedaan kelas dengan ilusi nasional. Kaum Marxis dari bangsa terjajah harus menarik garis kelas yang tajam, dan menekankan di hadapan seluruh rakyat pekerja bahwa hanya di bawah kepemimpinan kelas buruh dan dengan program sosialis maka penjajahan imperialis bisa dikalahkan.
Aspirasi Nasional Bangsa Tertindas
Kedua, sering kali, aspirasi nasional bangsa-bangsa kecil yang tertindas menjadi recehan dalam perseteruan antar kekuatan imperialis besar. Dalam percaturan imperialis, bangsa-bangsa kecil kerap dijadikan pion. Kaum revolusioner harus bisa memeriksa dengan teliti kepentingan imperialis apa yang bersembunyi di balik apa yang disebut “perjuangan pembebasan nasional”, dengan demikian bisa memisahkan apa yang progresif dari yang reaksioner.
Kita ambil contoh saja perang Serbia melawan Austria yang menjadi pemicu Perang Dunia Pertama. Pada Juli 1914, Austria-Hungaria menyerang Serbia untuk menganeksasi bangsa kecil ini. Bila kita hanya melihat masalah Serbia secara terisolasi, tampaknya kita semestinya membela bangsa Serbia, termasuk kelas borjuasinya, dalam perang defensifnya melawan Austria. Namun, perang Austria-Serbia ini tidak hanya terbatas pada masalah kebangsaan Serbia saja, melainkan merupakan bagian dari konflik umum antar berbagai kekuatan imperialis. Tiap-tiap kekuatan imperialis ini menggunakan dalih kedaulatan nasional bangsa-bangsa kecil (Serbia dan Belgia dalam kasus Perang Dunia Pertama; dan hari ini Ukraina dalam kasus konflik antara AS dan Rusia) sebagai kedok nyaman untuk menyembunyikan tujuan imperialis mereka yang sesungguhnya.
Jadi, berdiri di belakang Serbia adalah Tsar Rusia, Inggris, dan Prancis, sementara di belakang Austria-Hungaria adalah Jerman, dan Serbia hanyalah salah satu teater benturan militer antara dua kubu imperialis besar. Lenin dan Trotsky tidak jatuh ke dalam perangkap ini. Mereka tidak lantas berdiri membela Serbia dalam perang tersebut. Sebaliknya, kaum reformis Internasional Kedua yang menelan bulat-bulat argumen “membela tanah air” dan “membela perjuangan pembebasan nasional” berakhir mendukung borjuasi mereka sendiri selama Perang Dunia Pertama dan mengirim jutaan buruh ke parit-parit perang untuk dibantai.
Lenin menjelaskan:
“Seandainya perang ini [perang Austria-Serbia] adalah perang yang terisolasi, dalam kata lain, seandainya perang ini tidaklah terhubungkan dengan perang umum Eropa, dengan tujuan egois dan predatoris Inggris, Rusia, dll., maka sudah menjadi kewajiban semua kaum sosialis untuk mendukung keberhasilan borjuasi Serbia. … [Namun] dialektika Marxis mengesampingkan pemeriksaan terhadap sebuah objek secara terisolasi, yaitu, pemeriksaan yang berat sebelah dan sangat terdistorsi. Elemen [pembebasan] nasional dalam perang Serbia-Austria bukanlah, dan tidaklah dapat menjadi, hal yang signifikan dalam perang umum Eropa. … Triple Entente (Rusia, Inggris, Prancis), yang tengah “membebaskan” Serbia, sebenarnya sedang menjual kepentingan kemerdekaan Serbia ke imperialisme Italia sebagai imbalan atas bantuan Italia dalam merampok Austria.” (Lenin. The Collapse of the Second Internasional, 1915)
Trotsky dalam artikel yang berbeda memaparkan garis yang sama:
“Bila Sosial Demokrasi Internasional [yang dimaksud adalah kaum Marxis Internasionalis yang menentang Perang Dunia] bersama dengan kontingen Serbia [kaum Marxis Serbia] menentang dengan tegas klaim nasional Serbia, ini jelas bukan karena kami membela hak historis Austria-Hungaria untuk menindas dan memecah-belah bangsa-bangsa yang bermukim di balik perbatasannya; dan jelas bukan karena kami membela misi pembebasan monarki Habsburg. … Sikap kaum Sosialis dipengaruhi oleh motif yang sepenuhnya berbeda. Pertama, kaum proletariat, walaupun tidak menyangkal hak historis Serbia untuk berjuang demi persatuan nasional, tidak dapat mempercayakan solusi terhadap problem ini kepada kekuatan-kekuatan yang mengendalikan nasib kerajaan Serbia. Kedua, dan ini adalah faktor yang menentukan bagi kami, Sosial Demokrasi Internasional tidak dapat mengorbankan perdamaian Eropa demi hak nasional Serbia.” (L. Trotsky. The War and the International, 1914)
Inilah pentingnya metode pemikiran Marxis, yang mengkaji hal-ihwal dalam kesalingterhubungannya dan dalam keseluruhannya, bukan secara terisolasi dan parsial.
Selama Perang Dunia Pertama, kaum Marxis Serbia mengambil posisi kelas dan internasionalis yang teramat berani. Ketika bangsa mereka digempur oleh kekuatan imperialis yang lebih besar, mereka menolak mendukung borjuasi mereka dalam perang tersebut dan justru mengekspos kepentingan imperialis yang bersembunyi di belakang Serbia. Mereka tidak berpikir sempit hanya mempertimbangkan masalah kebangsaan Serbia, melainkan kepentingan proletariat sedunia. Inilah yang membedakan Marxis dari yang lainnya. Masalah kebangsaan bagi kaum Marxis adalah subordinat pada masalah kelas, pada kepentingan proletariat internasional.
Kekuatan imperialis selalu memanfaatkan aspirasi nasional bangsa tertindas – dengan bantuan aktif dari borjuasi bangsa tertindas tersebut – untuk membenarkan tujuan imperialis mereka sendiri. Tidak jarang pula, bangsa kecil pun punya ambisi imperialis mereka, seperti yang Rosa Luxemburg jelaskan mengenai Serbia:
“Secara formal Serbia tengah terlibat dalam perang defensif nasional. Tetapi monarki dan kelas penguasanya penuh dengan ambisi ekspansionis, seperti halnya kelas penguasa di semua negara modern … Tetapi di atas segalanya kita tidak boleh lupa: di belakang nasionalisme Serbia berdiri imperialisme Rusia. Serbia sendiri hanyalah pion dalam permainan besar politik dunia. Analisa mengenai perang di Serbia dari sudut pandang yang gagal mempertimbangkan relasi-relasi besar ini dan latar belakang politik dunia secara keseluruhan adalah analisa yang tidak memiliki landasan sama sekali.” (Rosa Luxemburg. The Junius Pamphlet, 1915)
Pasifisme
Satu lagi perang yang progresif adalah perang sipil antara proletariat dan borjuasi. Ini adalah perang antara budak dan pemilik budak, satu-satunya perang yang paling adil. Ketika seorang berbicara mengenai perdamaian tanpa mempertimbangkan perjuangan kelas dan imperialisme, maka dia sesungguhnya berbicara mengenai perdamaian demi kelas penguasa. Inilah mengapa kaum Marxis bukanlah pasifis.
Kaum pasifis menyerukan perdamaian secara abstrak. Tetapi, menyerukan perdamaian secara abstrak berarti membela status quo, membela kapitalisme yang sesungguhnya membuat perdamaian itu mustahil. Itu berarti menyebarkan ilusi di kalangan rakyat pekerja bahwa perdamaian itu mungkin tercapai di bawah kapitalisme, dan demikian menutupi fakta bahwa perang itu inheren dalam kapitalisme.
Pasifisme memungkinkan kaum imperialis menutupi kejahatan mereka, dan membuat seakan-akan perang itu adalah produk dari kegagalan individual, kegagalan diplomasi, alih-alih produk tak terelakkan dari kapitalisme itu sendiri.
Sejak PBB didirikan pada 1945, tidak ada satupun perang yang berhasil dihentikan oleh lembaga ini. Berbagai resolusi perdamaian telah dihasilkan oleh PBB, tetapi perang terus berkecamuk. Kekuatan imperialis besar dapat dengan mudah mengabaikan PBB. Berkedok menjaga perdamaian, PBB sesungguhnya adalah lembaga yang mengesahkan imperialisme.
Salah satu slogan utama kaum pasifis adalah “pengurangan dan pembatasan senjata” atau mengurangi anggaran militer. Tetapi perang tidak terjadi karena adanya senjata. Trotsky mengatakan:
“Program pengurangan senjata sementara antagonisme imperialis masih ada adalah fiksi yang paling berbahaya. Kaum imperialis tidak berperang karena mereka memiliki senjata; sebaliknya, mereka membuat senjata ketika mereka perlu berperang.”
Kaum Marxis mendekati masalah militerisme dengan cara yang berbeda. Kita mengekspos kemunafikan kapitalis yang memangkas anggaran sosial sementara terus meningkatkan anggaran militer. Kita menjelaskan kepada rakyat bahwa militerisme dan perang sungguh tak terpisahkan dari kapitalisme. Demikian penekanan kita, dan bukan berharap akan adanya kapitalisme yang humanis dan bebas perang.
Tuntutan pasifis lainnya yang biasa kita dengar adalah “Bubarkan NATO”. NATO adalah aliansi militer paling reaksioner yang dipimpin AS, yang telah mengobarkan banyak perang. Tetapi ini kembali lagi mengacaukan sebab dan akibat. Bukan aliansi militer yang menyebabkan perang, tetapi kebutuhan untuk berperanglah yang mendorong terciptanya aliansi militer. Membubarkan NATO tidak akan menyelesaikan kontradiksi kapitalisme yang akan selalu mendorong dunia ke peperangan. Tuntutan ini adalah utopis dan mengalihkan perhatian dari kontradiksi kapitalisme itu sendiri.
Kaum Marxis menyerukan dengan lantang: kita hanya dapat mengakhiri perang imperialis dengan mengobarkan perang kelas melawan kapitalis. Slogan kita bukanlah perdamaian, tetapi perang kelas dengan metode aksi massa revolusioner. Musuh kita bukanlah buruh dari bangsa lain, tetapi borjuasi internasional, dan dimulai dari borjuasi kita sendiri.
Perjuangan untuk perdamaian adalah perjuangan untuk sosialisme
Kaum buruh mendambakan secara jujur dan tulus dunia yang damai, dan kaum revolusioner harus bisa membangun jembatan ke aspirasi tulus kaum buruh ini. Tugas kita adalah mengekspos kemunafikan kelas penguasa ketika mereka berbicara mengenai perdamaian. Kita harus menjelaskan dengan sabar dan konkret bagaimana kelas kapitalis tidak akan pernah bisa menjamin dunia yang damai. Kompetisi kapitalis antar-bangsa niscaya membawa kita ke perang. Hanya kelas buruh yang berkuasa, dengan negara buruhnya sendiri, yang bisa menjamin perdamaian yang berkelanjutan.
Kita harus mengajarkan kepada buruh untuk tidak percaya pada diplomasi borjuis dan semua organisasi internasional mereka. Hanya aksi massa revolusioner yang bisa melawan perang imperialis.
Misalnya dengan mengorganisir buruh pelabuhan untuk mogok menolak mengangkut senjata yang ditujukan ke daerah perang. Ini adalah salah satu taktik yang digunakan oleh buruh pelabuhan Italia di Genoa. Pada 2019, kapal dari Saudi berlabuh di Genoa untuk mengangkut senjata yang akan digunakannya dalam perang imperialis di Yemen. Buruh pelabuhan Genoa mogok dan menolak memuat senjata ke kapal. Konfederasi serikat buruh Italia mendukung aksi tersebut dan melarang semua pelabuhan untuk menerima kapal Saudi tersebut. Kapal tersebut akhirnya kembali ke Saudi dengan tangan kosong. Walaupun ini adalah aksi yang terisolasi, dan sayangnya tidak menyebar luas, ini menunjukkan kekuatan kelas buruh. Metode perjuangan kelas menghantarkan pukulan yang jauh lebih besar dan signifikan terhadap perang imperialis daripada metode pasifis liberal yang mengandalkan PBB dan diplomasi borjuis.
Terlebih lagi, aksi seperti ini mengembangkan kesadaran kelas proletariat, dengan memperkuat kemandirian kelas dan kepercayaan diri kelas buruh atas kekuatan mereka sendiri. Tidak lagi mereka bersandar pada para politisi borjuasi dan mekanisme negara borjuis, tetapi pada kekuatan aksi mereka sendiri. Semua ini merupakan modal penting bagi perjuangan sosialis.
Bila kita tengok sejarah, intervensi imperialis AS di Vietnam berhasil dipatahkan tidak hanya oleh keberanian buruh dan tani Vietnam tetapi juga kebangkitan massa revolusioner di AS. Tahun 1960an menyaksikan periode pergolakan sosial besar di AS, terutama dengan gerakan anti-perang dan anti-rasisme yang mengambil dimensi revolusioner. Rakyat pekerja memboikot wamil secara masif; tentara (buruh berseragam) membangkang, sampai-sampai membunuhi perwira mereka. Intervensi massa inilah yang memaksa AS meninggalkan Vietnam.
Contoh terbaik bagaimana revolusi massa menghentikan perang imperialis adalah Revolusi Oktober, yang berhasil tidak hanya menghentikan keterlibatan Rusia dalam Perang Dunia tetapi juga menghentikan seluruh perang tersebut. Revolusi Oktober mengubah perang imperialis menjadi perang kelas revolusioner dalam skala global. Kaum Bolshevik tidak menghentikan perang dengan memohon pada penguasa atau “komunitas internasional”, tetapi dengan menyerukan kepada tentara dari semua negara lain untuk mengarahkan moncong senjata mereka bukan ke saudara-saudari kelas mereka tetapi ke borjuasi mereka sendiri.
Mengenai Perang Ukraina
Mari kita singgung sedikit saja di sini mengenai perang yang kini berkecamuk di Ukraina, karena perang ini mengandung cukup banyak pelajaran bagi kita. (Untuk penjabaran yang lebih komprehensif mengenai posisi Marxis mengenai Perang Ukraina, baca statemen kami: “Posisi Internasionalis dalam Perang Ukraina”.) Ini adalah perang antara AS dan Rusia, dengan Ukraina sebagai medan perangnya.
Setelah runtuhnya Uni Soviet, kebijakan imperialis Barat adalah memperluas pengaruhnya ke Eropa Timur dan kawasan-kawasan eks-Soviet, guna menaklukkan pasar baru. Awalnya Rusia kapitalis ada dalam posisi lemah setelah kekacauan ekonomi dan politik yang menyusul keruntuhan Uni Soviet, dan situasi ini memungkinkan ekspansi NATO yang pesat di Eropa Timur. Tetapi setelah kapitalisme Rusia ada dalam posisi yang lebih stabil, mereka tidak dapat berdiam diri melihat ekspansi NATO ke wilayah yang sebelumnya ada di bawah kendali mereka. Kapitalis Rusia mulai menegaskan ambisi imperialis mereka, untuk mempertahankan pengaruh mereka di wilayah Eropa Timur dari rongrongan Barat.
Pada 2014, kekuatan Barat mengganti rejim Ukraina yang sebelumnya pro-Rusia menjadi pro-Barat, dalam apa yang disebut “Revolusi Euromaidan”, yang sesungguhnya jauh dari revolusi, dan ini sama sekali tidak bisa diterima oleh kelas penguasa Rusia. Rusia adalah negara kapitalis dengan ambisi imperialis untuk memperluas pengaruhnya dan mengendalikan wilayah yang kaya dengan sumber daya alam. Kebijakan luar negeri Rusia sepenuhnya ditentukan oleh kepentingan oligarki Rusia untuk memperoleh lebih banyak profit. Rusia tidak dapat menerima jatuhnya Ukraina ke tangan AS dan Uni Eropa. Dari sinilah perang Ukraina bermula.
Semua celoteh mengenai kedaulatan Ukraina terekspos hampa ketika kita dihadapkan dengan fakta bahwa Ukraina sudah berada di bawah jempol AS semenjak kemenangan Euromaidan pada 2014. IMF mendikte kebijakan ekonomi Ukraina, dan kedutaan besar AS berperan besar dalam menentukan kebijakan pemerintah Ukraina.
Kaum proletariat tidak punya urusan untuk membela kebebasan kelas kapitalis Ukraina untuk bergabung dengan AS atau Rusia. Masalah apakah pemilik budak kecil bebas bergabung dengan pemilik budak besar ini atau itu jelas tidak akan mengubah nasib para budak sama sekali.
Borjuasi Ukraina melihat bahwa mereka bisa meraup profit yang lebih besar bila mereka berada di bawah sayap Uni Eropa. Pada kenyataannya, ini tidak akan mengubah nasib kaum buruh Ukraina. Di bawah AS atau Rusia, buruh Ukraina akan tetap dieksploitasi dengan kebrutalan yang sama. Hari ini, rakyat Ukraina dicekoki dengan ilusi demokrasi dan nasionalis, bahwa mereka tengah berperang demi kebebasan mereka, tetapi sesungguhnya kebebasan yang diperjuangkan adalah kebebasan bagi kapitalis Ukraina untuk bagaimana lebih baik mengeksploitasi buruh.
Ukraina tidaklah lebih dari pion dalam pertarungan besar antar imperialis. Kaum Marxis tidak dapat mendukung satupun pihak dalam perang ini, karena ini adalah perang reaksioner. Yang jadi korban adalah rakyat pekerja Ukraina, dalam perang yang tidak mereka mulai dan tidak mereka inginkan. Posisi kita harus jelas: posisi kelas dan internasionalis, dan tidak menaruh kepercayaan pada imperialisme NATO ataupun Rusia.
Satu-satunya solusi bagi perang ini adalah persatuan kelas proletariat dalam perjuangan untuk menumbangkan oligarki Ukraina, Rusia, dan imperialisme AS. Selama kapitalisme dan imperialisme masih berkuasa, maka perang akan terus berkecamuk. Masalah kebangsaan bangsa-bangsa kecil akan digunakan oleh kekuatan-kekuatan imperialis sebagai recehan dalam perseteruan mereka.
Cepat atau lambat perang ini akan berakhir, dengan semacam gencatan senjata dan pakta perdamaian. Tetapi “perdamaian” ini tidak akan menyelesaikan kontradiksi yang ada, yakni perseteruan antar kekuatan imperialis AS dan Rusia, di mana Ukraina jadi “koloni” untuk diperebutkan di antara kedua kekuatan ini. Ini adalah perdamaian imperialis yang hanyalah menunda perang selanjutnya.
Tugas kaum revolusioner
Tugas terutama kaum revolusioner adalah dengan sabar, konsisten, dan telaten menjelaskan kepada rakyat pekerja bahwa perang adalah inheren dalam kapitalisme. Tidak akan ada perdamaian di bawah kapitalisme. Berharap ada perdamaian dalam kapitalisme hanyalah menyebarkan ilusi dan membantu kapitalis bersiap untuk perang di hari depan. Perjuangan untuk perdamaian adalah perjuangan untuk mengakhiri kapitalisme dan membangun sosialisme.
Kaum reformis biasanya berargumen bahwa selama kita belum sanggup memenangkan sosialisme maka kita sebaiknya mendukung PBB dan semua usaha diplomasi borjuis untuk mencapai perdamaian. Tetapi mereka menutup mata bahwa PBB adalah sarang imperialis, yang tujuan utamanya adalah mengecoh rakyat pekerja agar mereka bisa terus mengobarkan perang sembari berbicara mengenai perdamaian. Semua usaha diplomasi adalah sandiwara untuk menutupi kebijakan predatoris imperialisme.
Kaum reformis sesungguhnya sudah menyerah dan tidak lagi percaya pada sosialisme. Bila memang gerakan buruh belum memiliki kekuatan untuk memenangkan revolusi sosialis, maka tugas kaum revolusioner adalah terus membangun kekuatan tersebut, dan bukannya menyerah pada status quo dan membuntuti kelas penguasa. Pembangunan kekuatan buruh dimulai dengan menjelaskan hubungan tak terelakkan antara perang dan kapitalisme, mengekspos kemunafikan borjuasi ketika mereka berbicara mengenai perdamaian, menyingkap kebijakan predatoris yang bersembunyi dalam semua diplomasi mereka, dan menegaskan pentingnya bagi kelas buruh untuk tidak menaruh kepercayaan sama sekali pada kelas penguasa. Hanya dengan demikian maka kita bisa terus konsisten berjuang demi cita-cita sosialisme, sebagai satu-satunya solusi bagi dunia yang penuh perang dan semua horor yang menyertainya.