Pemilu telah usai. Beberapa bulan setelah dilantik kita mulai bisa melihat watak rejim Jokowi. Semua hipotesa yang telah dikedepankan oleh berbagai individu serta kelompok selama periode pemilu tahun lalu mulai dapat dikaji hasil-hasilnya. Karya ini akan mencoba melakukan persis ini. Karya ini adalah kelanjutan dan boleh dikatakan penutup dari beberapa karya yang sebelumnya telah kami terbitkan berkaitan dengan masalah pemilu. (“Perspektif Marxis untuk Pemilu 2014: Kritik, Analisa, dan Tugas Kita”, “Apa Ada Bahaya Fasisme di Indonesia?”) Kami telah memulai kritik kami, dan kami pun akan menutupnya. Sejak awal memang kemunculan Jokowi telah menciptakan kebingungan di antara Kiri kita. Ini bukan sesuatu yang mengejutkan karena Kiri kita secara umum tidak berpijak pada Marxisme dan sebagai konsekuensinya mereka pun terombang-ambing di tengah badai politik yang keji ini.
Marxisme adalah sebuah metode analisa yang dapat memberikan kita sebuah perspektif bagaimana mengorientasikan diri kita di tengah peristiwa-peristiwa politik yang bergulir. Orientasi ini bahkan menjadi lebih penting dan krusial ketika kekuatan kita masih sangat kecil; ketika kekuatan Marxis masihlah minoritas di antara minoritas. Di sini menjadi penting untuk terus membenturkan semua gagasan-gagasan yang keliru lewat sebuah polemik yang tajam. Ketika ketidakstabilan dan kebimbangan ideologi adalah fitur utama dalam gerakan, maka perjuangan ideologi ini harus dilakukan dengan tanpa belas kasihan. Semua harus dilucuti dengan tegas. Garis demarkasi yang jelas harus ditarik antara Marxisme kami dan Marxisme mereka, yang tidak lain adalah liberalisme (serta semua turunan mereka).
Tetapi sebelum kita memulai ini, mari kita alihkan perhatian kita terlebih dahulu pada demagogi kaum Kiri liberal kita, yang mencoba menaburkan lebih banyak debu kebingungan lagi ke mata para pembacanya.
“Merasa dan Mengklaim Paling Benar”
Kaum Marxis liberal kita sungguh tersinggung ketika Marxisme mereka diekspos sebagai tiada lebih daripada liberalisme. Bahkan secara umum, banyak dari Kiri kita yang alergi pada polemik. Alih-alih membalas polemik dengan gagasan, mereka membalasnya dengan serangkaian demagogi. Apakah bukan demagogi, ketika kita meluncurkan sebuah kritik yang pedas kita lantas mendapatkan berbagai cercaan yang intinya adalah “jangan merasa diri paling benar”? Kita bisa memaklumi kalau pendekatan seperti ini datang dari mereka-mereka yang baru saja terjun ke dalam politik revolusioner. Kepada lapisan muda yang baru ini kita akan menjelaskan dengan sabar. Tetapi berbeda ketika demagogi macam ini justru datang dari kaum intelektual gerakan, dari mereka-mereka yang sudah makan pahit getirnya pergerakan. Mari kita kutip salah satu editorial Indoprogress, yang berjudul “Ultra-Kiri”:
“Perilaku suka meng’kafir’kan ini memang merupakan penyakit laten di kalangan Kiri, yang umumnya datang dari segelintir kaum terpelajar. Dengan setumpuk bacaan yang dikunyahnya, kalangan ultra-kiri ini merasa dirinyalah yang paling benar. Yang lain itu bukan hanya berbeda, tapi telah memutarbalikkan dan menyelewengkan ajaran-ajaran Marx, Lenin, atau Trotsky. Bagi mereka, penafsirannya terhadap teks adalah teks itu sendiri. Akulah Marx, Akulah Engels, Akulah Lenin, Akulah Stalin. … Itu satu hal. Hal lainnya, dari klaim bahwa merekalah yang paling benar dan paling sadar akan tugas-tugas kelas pekerja.” (Coen Husain Pontoh, Ultra Kiri, 9 Juni 2014) [Italik dari saya]
Dengan demagogi murahan seperti ini, yang diinginkan Coen, salah satu pimpinan dewan editorial Indoprogress, dan kawan-kawan Marxis liberalnya adalah kebebasan untuk mengutarakan gagasan apapun tanpa konsekuensi. Menurutnya setiap gagasan yang mengaku ingin membebaskan rakyat pekerja dari penindasan adalah sama benarnya dan sama validnya. Sebagai konsekuensinya kita akan menjadi sombong dan dogmatis kalau kita menyerang gagasan lain sebagai sesuatu yang keliru. Seperti kata Coen, “Sebagai ilmu pengetahuan, ia [Marxisme] terbuka pada beragam tafsir, pada temuan-temuan terbaru dan berdialog secara setara[!] dengannya.” [Italik dari saya]
Dengan pendekatan macam ini, maka Marxisme dijadikan sesuatu yang steril dan impoten. Ia tidak lebih daripada sebuah diskursus akademik dimana tiap-tiap intelektual bisa mengutarakan apapun dan menulis research paper apapun. Esok hari sang intelektual bisa mengubah pendiriannya sesuai dengan suasana hatinya dan tren-tren terbaru, tanpa konsekuensi karena ia adalah agen bebas yang tidak terikat pada apapun.
Demagogi seperti ini diluncurkan untuk memikat kaum muda yang baru saja melek politik, yang belum memahami dunia pergelutan Marxisme sepenuhnya. Bagi kaum muda ini, semua tendensi Marxisme (dan bahkan semua tendensi Kiri) tampak sama dan kerap mereka bertanya pada diri mereka sendiri “Bukankah lebih baik semuanya bersatu?” Tetapi kalau kita telusuri lebih lanjut maka akan kita temui berbagai tendensi atau aliran di dalam Marxisme, dan mereka tidak terdamaikan satu sama lain karena ada perbedaan-perbedaan fundamental di dalamnya. Ada perjuangan ideologi yang hidup di dalam gerakan Marxisme sejak awal guna menarik garis demarkasi yang jelas antara Marxisme yang revolusioner dan berbagai “Marxisme” lainnya yang vulgar. Menutup-nutupi perbedaan-perbedaan ini adalah sebuah kekeliruan fatal karena ia tidak mendidik.
Kami akan menyatakan dengan penuh percaya diri kalau Marxisme yang kami pegang adalah Marxisme yang sungguh benar dan revolusioner. Kami berani menyatakan demikian karena kami berani membenturkan gagasan-gagasan yang kami pegang. Kami tidak takut diserang dan tidak akan merasa tersinggung oleh kritik-kritik pedas karena kami berpegang pada metode dan tradisi Marxisme. Kami tidak akan membodohi rakyat pekerja dengan demagogi. Kami akan ajukan gagasan yang kami percayai kepada mereka dan meyakinkan mereka akan kebenarannya, bahwa gagasan ini adalah milik mereka. Kalau mereka belum yakin, kami akan terus menjelaskan dengan sabar. Yah, kami masih muda – dalam umur maupun dalam pengalaman Marxis – dan masih harus banyak belajar. Kami akan melakukan banyak kesalahan dan harus menanggung harga dari kesalahan tersebut. Tetapi kami tidak lantas menjadi ragu akan gagasan-gagasan kami. Kami tidak lantas bersembunyi di balik kedok “Marxisme multi-tafsir”.
Kalau kita lihat sejarah Marxisme, maka kita akan lihat bagaimana Marx, Engels, Lenin, Trotsky, Rosa Luxemburg, dan yang lainnya berani menyatakan bahwa Marxisme mereka adalah yang paling benar dan menyerang penafsiran-penafsiran Marxisme lainnya (Bernstein, Kautsky, Plekhanov, Martov, Martynov, Struve, dsb.) sebagai Marxisme yang keliru. Mereka pun kerap jadi target serangan dari “Marxis-Marxis” lain yang menuduh mereka sebagai kafir. Yang membedakan para tetua Marxis ini dari Coen adalah mereka tidak lantas mengeluh “dikafirkan”.
Bersembunyi di balik “Marxisme multi-tafsir” dan gagasan bahwa semua ide adalah sama validnya adalah pengecut yang menghindar dari tanggung jawab. Dengan cara ini para Marxis liberal kita ingin bisa mengajukan gagasan apapun pada gerakan dan ketika gagasan ini terbukti keliru mereka lantas bisa menghindar dari tanggung jawab. Mereka akan bisa berdalih, “Kami tidak mengatakan bahwa gagasan kami adalah yang benar. Kami hanya mengajukan salah satu tafsir dari Marxisme.”
Indoprogress ingin lari dari tanggung jawab mereka dengan melemparkannya kembali ke rakyat pekerja, dan mereka melakukan ini dengan memelintir apa yang dikatakan oleh Marx dan menjadikannya sebuah demagogi. Mari kita periksa demagogi ini:
“Marx mengatakan, kemenangan kelas pekerja haruslah merupakan karya mereka sendiri. Bukan karya dari sekelompok kecil prajurit-prajurit intelektual yang menyuntikkan kesadaran kelas pada benaknya rakyat pekerja. Kesadaran kelas rakyat pekerja bukan sesuatu yang diimpor atau dicangkokkan dari luar, ia tumbuh dan berkembang berdasarkan pergulatannya dengan relasi-relasi konkret yang dihadapinya sehari-hari dan pengalaman perjuangannya menghadapi respons kelas berkuasa yang ingin melanggengkan hubungan sosial yang menindas tersebut.” (Coen Husain Pontoh, Ultra Kiri, 9 Juni 2014)
Sekilas, ujar-ujar di atas tampak begitu bijak, begitu merakyat dan tidak elitis. Akan tetapi, apa makna yang sesungguhnya dari demagogi di atas ketika ada di tangan kaum Marxis liberal ini? Kalau rakyat pekerja gagal dalam perjuangan mereka, ini bukan disebabkan oleh kekeliruan gagasan-gagasan yang kami ajukan karena “kemenangan kelas pekerja … bukan[lah] karya dari sekelompok kecil prajurit-prajurit intelektual”. Kegagalan ini adalah kekeliruan rakyat pekerja sendiri. Tentu para Marxis liberal ini tidak akan mengatakan ini dengan begitu gamblang. Mereka akan berkelit dengan menggunakan alasan bahwa kesadaran kelas pekerja belumlah cukup berkembang, karena menurut mereka “kesadaran kelas rakyat pekerja bukan sesuatu yang diimpor … [tetapi] tumbuh dan berkembang berdasarkan pergulatannya dengan relasi-relasi konkret yang dihadapinya sehari-hari.” Karena kesadaran rakyat pekerja “tumbuh dan berkembang berdasarkan pergulatannya” dan tidak bisa diimpor dari luar, maka dari itu kekeliruan gagasan mereka tidak akan punya pengaruh pada hasil perjuangan rakyat pekerja. Ini adalah cara pintar untuk menghindari tanggung jawab.
Dengan pemahaman yang begitu mekanis dan formalis akan perkembangan kesadaran rakyat pekerja, maka sungguh tidak ada yang bersalah ketika gerakan menemui kegagalan. Untuk jatuhnya PKI dan hancurnya gerakan buruh pada 1965, kepemimpinan Aidit dkk., tidak bisa disalahkan sama sekali karena kemenangan rakyat pekerja bukan karya dari sekelompok kecil prajurit-prajurit intelektual; kegagalan revolusi di Chile yang berakhir dengan kudeta pada 1973 juga tidak bisa ditimpakan pada gagasan-gagasan keliru yang dikedepankan oleh Allende, para pemimpin Partai Komunis Chile, dan para pemimpin Partai Sosialis Chile; begitu juga kegagalan banyak perjuangan revolusioner lainnya. Ini semua hanya karena kesadaran rakyat pekerja belum cukup “tumbuh dan berkembang”. Seperti kata orang, “It is all just a big misunderstanding”.
Ketika Marx mengatakan bahwa kemenangan rakyat pekerja adalah karya mereka sendiri, apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Marx? Pernyataan ini dibuat oleh Marx dan Engels untuk menjawab tendensi Blanquisme yang cukup dominan pada saat itu. Polemik dengan tendensi Blanquisme adalah salah satu polemik keras yang diluncurkan oleh Marx dan Engels. Mengenai ini, Engels menulis:
“Dalam aktivitas politiknya, dia [kaum Blanquis] adalah terutama ‘seorang yang bertindak’ (man of action), yang percaya bahwa sebuah kelompok minoritas yang kecil dan terorganisir dengan baik, yang akan berusaha melakukan serangan politik yang keras pada momen yang tepat, akan dapat menyeret massa rakyat bersama mereka melalui beberapa keberhasilan pada awalnya dan dengan ini memenangkan revolusi …asumsi kaum Blanquis [adalah] bahwa semua revolusi akan dibuat oleh ledakan pemberontakan oleh sekelompok minoritas revolusioner yang kecil.” (Engels, The Program of the Blanquist Fugitives from the Paris Commune, 1874).
Yang ingin ditekankan oleh Marx dan Engels adalah bahwa kaum revolusioner harus bersandar pada gerakan massa kelas buruh dan harus melakukan intervensi di dalam organisasi-organisasi buruh, bahwa kemenangan rakyat pekerja hanya bisa dicapai melalui aksi massa. Bentuk konkret intervensi ini adalah kerja agitasi dan propaganda di antara massa kelas buruh secara sabar. Ini tidak lain adalah “menyuntikkan kesadaran kelas pada benaknya rakyat pekerja”, yang menurut Coen adalah sesuatu yang haram. Marx dan Engels menulis ratusan artikel, pamflet, dan buku bukan untuk tujuan akademis, tetapi adalah bagian dari kerja agitasi dan propaganda.
Masalahnya bukan menyuntik atau tidak menyuntik kesadaran kelas (atau gagasan), tetapi apa yang disuntik dan bagaimana menyuntiknya. Yang membedakan Marx dan Engels dari para “sosialis” dan “komunis” lainnya pada jaman mereka (dan sampai jaman sekarang) adalah konten dari gagasan yang dibawakan oleh Marx dan kemampuan Marx untuk memahami gerak kesadaran rakyat pekerja sehingga bisa mengedepankan (menyuntik) program, slogan, taktik dan strategi yang tepat pada momen yang tepat pula.
Mungkin akan ada yang mencoba berkelit dari ini dengan mengatakan bahwa mereka tidak sedang “menyuntik” gagasan ke dalam benak rakyat pekerja. Mereka hanya “menganjurkan”,“membantu”, “mengelaborasi”,“memperjelas”, dan berbagai kata ekspresi lainnya. Secara konkret semua ini esensinya sebenarnya sama.
Tentunya benak rakyat pekerja bukanlah sesuatu yang kosong, yang bisa diisi apa saja dengan cara apa saja dan pada waktu kapan saja. Kemampuan untuk memahami gerak kesadaran rakyat pekerja sehingga bisa mengedepankan gagasan yang tepat dengan metode yang tepat dan memenangkan benak mereka adalah sebuah seni yang membutuhkan perspektif Marxis. Seluruh tugas kaum revolusioner dan kemenangan revolusi bersandar pada ini. Tetapi ini tidak bisa dilakukan bila sejak awal kita mencoba membohongi diri sendiri — dan membohongi rakyat pekerja — kalau kita tidak sedang “menyuntikkan” gagasan ke dalam gerakan kelas buruh.
Kelas buruh bukanlah satu blok massa yang homogen. Ada berbagai lapisan di dalamnya, yang akan bergerak pada waktu yang berbeda dengan kecepatan yang berbeda-beda pula. Ada yang lebih maju dan ada yang lebih terbelakang, dan mereka terus bergerak serta saling merasuki satu sama lain. Secara umum, di bawah masyarakat kapitalis, mayoritas rakyat pekerja akan berada dalam cengkeraman kesadaran palsu, tetapi tidak selamanya dan tidak selalu dalam intensitas yang sama. Akan ada selapisan minoritas yang, untuk alasan yang berbeda-beda dan melalui jalan yang berliku-liku, dapat mencapai kesadaran kelas yang lebih maju. Lapisan yang lebih maju ini akan menjadi pelopor bagi seluruh kelasnya dan mencoba memberikan kepemimpinan kepada saudara-saudari kelas mereka. Bahkan lapisan termaju kelas buruh tidak harus datang dari kelas buruh itu sendiri. Ia bisa datang dari individu-individu di luar kelas tersebut.
Kaum buruh yang pernah mengorganisir serikat buruh akan paham dengan dinamika seperti ini. Di sebuah pabrik, sebuah serikat buruh tidak akan tercipta secara spontan dengan ratusan buruh tiba-tiba mencapai kesimpulan yang sama dan seiya-sekata untuk membentuk serikat buruh. Ada sebuah proses. Ini diawali dengan satu dua buruh yang mencapai terlebih dahulu pemahaman akan perlunya sebuah serikat buruh di pabrik tersebut. Segelintir buruh ini akan berdebat di antara mereka bagaimana caranya membangun serikat buruh ini. Mungkin akan ada yang berpikir bahwa serikat ini cukup langsung dideklarasikan saja, dan para buruh akan berbondong-bondong mengikuti mereka. Pengalaman akan membuktikan gagasan ini keliru. Mungkin akan ada yang berpikir bahwa serikat ini bisa dilahirkan dengan kerja sama dengan pengusaha. Setelah mencobanya, mereka belajar bahwa ini tidak mungkin. Dengan melewati berbagai pengalaman yang panjang, segelintir buruh maju ini belajar bahwa mereka harus “menyuntikkan” gagasan ini ke kawan-kawan buruh mereka secara sabar melalui kerja agitasi dan propaganda. Mereka membentuk lingkaran-lingkaran studi; membuat selebaran, koran, pamflet-pamflet, dan buku untuk “menyuntik” kawan-kawan buruh mereka dengan kesadaran perlawanan.
Kelas buruh juga bukan sebuah kelas yang tertutup. Ia menjadi subjek dari tekanan borjuasi dan kelas-kelas lain yang datang dari berbagai sumber. Berbagai gagasan asing dan prasangka-prasangka membebani mereka. Pergelutan ideologi menjadi kenyataan sehari-hari di dalam pergerakan kelas buruh dan menjadi masalah hidup mati bagi keberhasilan revolusi. Oleh karenanya yang salah harus dinyatakan salah dan diperbaiki, yang benar harus dinyatakan benar dan dikembangkan lebih lanjut, yang masih belum jelas harus diperjelas. Tidak ada ruang di sini untuk “kesopanan” yang munafik, untuk “tata krama akademik” yang sesungguhnya hanyalah demagogi belaka untuk menutup-nutupi kekurangan diri sendiri. Kejujuran revolusioner menuntut ketegasan dalam polemik.
Kami merasa malu harus mengulang ABC ini dengan begitu panjang lebar, bahwa bukanlah sesuatu yang keliru bagi siapa pun untuk “merasa dirinyalah yang paling benar”, untuk merasa “paling benar dan paling sadar akan tugas-tugas kelas pekerja”.Yang terpenting adalah konten politik dari gagasan yang diusung oleh seseorang, apakah gagasan tersebut dapat menahan ujian-ujian praktek dan peristiwa. Pengeksposan demagogi macam ini menjadi perlu ketika, semenjak diterbitkan lebih dari 6 bulan yang lalu, editorial Indoprogress ini (“Ultra-Kiri”) tidak mendapatkan respons serius sama sekali dari siapa pun. Ini bukan masalah sepele. Pemahaman akan hubungan dialektis antara faktor subjektif dan faktor objektif, antara kehendak bebas agen-agen revolusi dan keniscayaan/determinisme dari situasi objektif, dan pemahaman akan peran individu di dalam sejarah menjadi prasyarat utama bagi kaum revolusioner untuk bisa, seperti kata Marx, mengubah dunia dan bukan hanya menafsirnya.
Reformisme dari Para Pemimpin Buruh
Sekarang mari kita masuk ke sejumlah perbedaan yang ada, yang ingin kami perjelas bagi para pembaca agar yang satu bisa dibedakan dari yang lain.
Dalam dua tahun terakhir, kami telah meluncurkan sejumlah artikel untuk menjawab masalah-masalah yang terkait dengan Jokowi, sejak kemunculannya di pilgub DKI Jakarta sampai ke pemilihannya sebagai presiden. Kalau kita bisa menyarikan semua kritik kita terhadap Kiri-kiri yang mendukung Jokowi (dan juga Prabowo), maka poin utamanya adalah mengenai kemandirian politik kelas buruh. Sementara banyak aktivis dan pemimpin-pemimpin reformis buruh yang telah melupakan, menggadaikan, dan mengkompromikan kemandirian politik kelas buruh untuk berbagai alasan, kaum Marxis terus menekankan pentingnya membangun kemandirian kelas buruh.
Untuk yang belakangan, yakni para pemimpin buruh yang reformis, kita tidak perlu terkejut kalau mereka dalam berbagai kesempatan menjual kelas buruh. Sejarah telah menunjukkan bahwa implisit di dalam reformisme adalah pengkhianatan. Oleh karenanya, menjadi penting bagi kaum revolusioner untuk menabuh genderang perang terhadap reformisme, dan menabuhnya di dalam organisasi-organisasi buruh reformis. Reformisme tidak bisa diperangi dengan berdiri di luar organisasi-organisasi massa ini. Adalah tugas setiap kaum revolusioner untuk bekerja di antara massa, bahkan bila mereka ditemui di dalam serikat-serikat yang reaksioner.
Mari kita kaji hasil-hasil yang telah diraup oleh para pemimpin buruh reformis yang telah melemparkan diri mereka ke berbagai pangkuan kaum borjuasi. Taktik titip caleg telah menemui kegagalan yang begitu menyedihkan, jauh dari yang diharapkan dan jauh dari potensi yang sebenarnya ada. Tidak ada satu pun dari pemimpin-pemimpin ini yang berani mengkaji taktik dan hasil-hasil yang [tidak] diperolehnya secara kritis dan komprehensif. Mari kita coba lihat sekilas apa pencapaiannya.
Menurut sebuah laporan, dari 32 caleg yang diusung FSPMI-KSPI lewat berbagai partai borjuasi, hanya 2 yang terpilih di Bekasi. Bahkan di antara yang terpilih ini jumlah suara yang mereka peroleh jauh lebih kecil daripada jumlah basis buruh yang ada di dapil mereka. Antusiasme buruh pada pileg 2014, kendati telah dimobilisasi oleh para pemimpinnya untuk mendukung para caleg mereka di partai-partai borjuasi, sangatlah jauh dari antusiasme mereka selama mogok nasional dan gelombang aksi 2012-2013. Ini tidaklah mengherankan. Insting mereka adalah menolak partai-partai borjuasi yang mereka lihat korup, busuk, dan tidak kompeten.
Para pemimpin ini mencoba menenangkan hati mereka sendiri — dan terutama keresahan para anggota mereka — dengan mengatakan bahwa biar gagal yang penting buruh mendapatkan pengalaman berpolitik. Namun, permasalahannya adalah bahwa buruh mestinya bisa mendapatkan pelajaran yang jauh lebih berharga kalau mereka tidak menitipkan nasib mereka pada partai borjuasi dan justru memulai langkah-langkah konkret untuk membangun partai buruh mereka sendiri. Pengalaman berpolitik yang terbaik akan diperoleh ketika buruh membangun kendaraan politiknya sendiri.
Memasuki pilpres, tidak mengherankan kalau para pemimpin serikat-serikat buruh ini lalu melayangkan dukungan mereka pada dua sayap kelas borjuasi: KSPSI dan SBSI pada Jokowi, dan KSPI (FSPMI) pada Prabowo. Secara fundamental tidak ada yang berbeda di sini, dari sudut pandang para pemimpin serikat-serikat ini. KSPSI dan SBSI bisa saja mendukung Prabowo, dan KSPI (FSPMI) bisa saja mendukung Jokowi. Ini hanya masalah negosiasi antar elit dan bagaimana kepentingan-kepentingan para elit ini bertemu, karena perspektif para pemimpin ini secara fundamental sama. Mereka tidak pernah punya perspektif merobohkan kapitalisme dan membangun sosialisme. Mereka terbentur pada logika memperbaiki nasib buruh di dalam kerangka kapitalisme dan pada akhirnya ini mendorong mereka ke arah kompromi dan kolaborasi. Ini sekali lagi bukan masalah amanah atau kejujuran para pemimpin ini, tetapi masalah gagasan politik. Banyak di antara para pemimpin reformis ini yang sungguh-sungguh percaya bahwa kebijakan mendukung Jokowi atau Prabowo (atau sayap-sayap borjuasi lainnya) adalah kebijakan yang akan membela kepentingan buruh.
Dalam pilpres kemarin, para pemimpin KSPSI dan SBSI – dan sejumlah serikat-serikat lainnya – melemparkan dukungan mereka pada Jokowi dengan harapan bahwa Jokowi setidaknya akan memberikan sesuatu untuk kepentingan buruh-buruh anggota mereka. Tentunya para buruh serikat-serikat ini juga memiliki ilusi pada populisme Jokowi. Dengan begitu cepat, ilusi ini buyar, bahkan lebih cepat daripada yang kami perkirakan. Dari susunan kabinet, kebijakan kenaikan BBM, hingga ke sales-pitch yang dipresentasikan oleh Jokowi pada pertemuan APEC, semua ini sungguh jauh panggang dari api. Semua rujukan Jokowi mengenai Berdikari dan Trisakti – celoteh-celoteh populis yang gaungnya dibesar-besarkan juga oleh para Kiri liberal – segera ambruk di hadapan realitas ekonomi kapitalisme. Mari kita kutip apa yang kami tulis:
“Kenyataan krisis kapitalis hari ini, yakni krisis yang paling akut di dalam sejarah, akan memaksa mereka melakukan program-program penghematan, privatisasi yang semakin luas dan mendalam, pemotongan subsidi, penekanan upah buruh, dan lain sebagainya. Kita sedang memasuki periode konter-reforma, dan inilah keniscayaan yang ada hari ini. Maka dari itu, rejim yang akan datang akan menjadi rejim krisis. Ilusi terhadap rejim ini akan segera terbongkar dengan cepat. Bulan madu kelas penguasa akan berakhir sebelum ia dimulai.” (Masa Depan Kita Setelah Pemilu, 5 Juni 2014)
Sekarang kita lihat serikat-serikat yang dulunya terpisah oleh pilihan pilpres kemarin “bersatu” kembali untuk menentang kebijakan kenaikan BBM dari rejim Jokowi dan menuntut kenaikan UMK, sesuatu yang mana Jokowi diam seribu bahasa. Tidak heran karena dia telah menjanjikan upah buruh yang kompetitif untuk para investor asing di pertemuan APEC. MPBI yang sudah menjadi mayat dicoba dihidupkan kembali oleh para pemimpin buruh ini. Serpihan-serpihan mayat MPBI yang sudah berserakan dicoba dikumpulkan kembali dan dihidupkan kembali oleh para pemimpin buruh ini. Mereka pikir mereka hanya perlu “menghembuskan nafas hidup ke dalam hidung” MPBI, dan demikianlah MPBI akan bangkit lagi dan serta-merta mengembalikan kejayaan mereka seperti kemarin dulu pada 2012. Namun MPBI “II” ini ternyata hanya seperti macan kertas. Mogok Nasional yang diumumkannya luluh lantak menjadi debu sebelum bahkan dicoba diluncurkan.
Kekuatan buruh bukan seperti bohlam yang bisa dihidupkan dan dimatikan sekehendak hati. Mereka pikir hanya dengan mengeluarkan sejumlah pernyataan dan pertemuan pers mereka bisa memobilisasi massa. Masalahnya selama 2 tahun terakhir para pemimpin reformis ini telah melembabi bubuk mesiu dengan berbagai kebijakan kolaborasi dan kompromi kelas mereka. Sehingga ketika ingin diledakkan, bukan suara boom yang didapatkan tetapi keheningan yang menyedihkan.
Dukungan Kritis yang Tidak Kritis
Di sisi lain adalah kaum Kiri yang menemui diri mereka mendukung kaum borjuasi nasional “progresif” untuk berbagai alasan. Berbeda dengan para pemimpin reformis buruh yang secara umum miskin teori dan beroperasi sesuai dengan apa yang mereka sering sebut sebagai “akal sehat” dan “real politik” – yang tidak lain adalah akal sehat kapitalis dan pragmatisme kelas penguasa – para Kiri kita setidaknya mencoba memberikan kerangka teori dan sepuhan “Marxisme” pada kebijakannya. Kami telah memaparkan dengan cukup detil posisi-posisi mereka di “Perspektif Marxis untuk Pemilu 2014: Kritik, Analisa, dan Tugas Kita” serta “Apa Ada Bahaya Fasisme di Indonesia?” Sekarang kita bisa mengkaji tiap-tiap posisi ini, karena seperti kata orang “The proof of the pudding is in theeating” (Bukti dari puding adalah memakannya).
Hingar-bingar “dukungan kritis” – sebuah konsep “dukungan” yang bisa diisi apa saja – yang diberikan oleh berbagai kelompok dan individu Kiri pada Jokowi sudah bisa dilihat hasilnya hari ini. Berbagai Kiri menanamkan berbagai harapan mereka pada Jokowi; entah itu harapan kalau Jokowi akan membawa semacam “politik baru” ke Indonesia, mengembalikan kedaulatan Indonesia, mengobarkan semangat Trisakti dan Berdikari, melawan neoliberalisme, atau menyelamatkan demokrasi Indonesia dari rongrongan “Fasisme”nya Prabowo. Tetapi para Kiri ini cukup pintar. Untuk menjaga bokong mereka kalau-kalau mereka salah menempatkan harapan, mereka lalu menamakan dukungan mereka sebagai “dukungan kritis”. Apa arti “dukungan kritis” ini? Setelah dilucuti dari berbagai frase pintar yang tujuannya adalah menebar kebingungan pada para pembacanya, dukungan kritis ini adalah seperti “kartu bebas dari penjara”dari permainan Monopoli. Dengan kartu “dukungan kritis” ini, para Kiri liberal kita bisa memberikan dukungannya pada kelas mana pun tanpa konsekuensi.
Bila ternyata perspektif mereka keliru, bila sosok yang mereka dukung ternyata patah di tengah, maka mereka telah menyiapkan 1001 kualifikasi dan persyaratan akan dukungan mereka. “Kan sudah kami jelaskan kalau dukungan kami ini bersifat kritis. Kalau nanti Jokowi tidak memenuhi janji-janjinya, kalau nanti Jokowi tidak memenuhi apa yang kami tuntut sebagai ganti dari dukungan kami, maka kami tidak bertanggung jawab akan pengkhianatan ini dan kami akan berpaling melawannya,” begitu kiranya logika dari dukungan kritis ini. Dengan metode berpikir seperti ini maka dukungan kritis bisa diberikan pada siapa pun, kapan pun, dan di manapun. Dukungan kritis macam ini oleh karenanya adalah sebuah dukungan yang tidak akan pernah salah, yang melampaui batas waktu dan ruang, dan bersifat keilahian.
Tidak ada masalah kalau hanya mereka yang berjalan ke rawa oportunisme ini. Kami akan biarkan mereka dan bahkan sediakan bantuan bagi mereka agar mereka cepat tiba di rawa oportunisme ini dan tenggelam. Tetapi masalahnya mereka juga ingin menyeret orang lain ke rawa ini.
Mari kita lihat transformasi dari dukungan kritis ini dalam berbagai bentuk dan rupanya. Kita awali dengan “Dukungan Kritis” yang digagas oleh pimpinan editorial Indoprogress, Coen:
“Di sinilah kita mengenal kosakata Dukungan Kritis, yakni sebentuk dukungan dengan sejumlah persyaratan tertentu. Persyaratan itu bukan sesuatu yang ditawarkan kepada Jokowi (memangnya apa daya tawar kita?), tetapi sesuatu yang kita putuskan bagi diri kita sendiri untuk melawan hambatan-hambatan struktural yang ada.” (Coen Husain Pontoh, Dukungan Kritis. Editorial Indoprogress, 31 Maret 2014) [Italik dari saya]
Luar biasa! Dukungan dengan “sejumlah persyaratan tertentu … yang kita putuskan bagi diri kita sendiri”. Caranya adalah dengan “mengawal” Jokowi, dengan membangun semacam “lingkaran-lingkaran pendukung Jokowi” untuk “mengalang dukungan elektoral”, sebagai “wadah pengorganisiran politik” dan “menyebarkan gagasan dan program Jokowi”. Intinya, kaum Kiri harus memobilisasi rakyat untuk mendukung Jokowi dan terus memberi tekanan kepada Jokowi agar bergerak ke kiri dan tidak mengecewakan rakyat.
Kebimbangan dan kekaburan dari “dukungan kritis” bahkan semakin hari semakin terungkap. Coen menyatakan bahwa “persyaratan [dukungan kritis] itu bukan sesuatu yang ditawarkan kepada Jokowi (memangnya apa daya tawar kita?)”, tetapi dalam dua bulan tiba-tiba Coen dan kelompoknya memiliki daya tawar untuk meminta “imbalan” dari Jokowi untuk “dukungan kritisnya”:
“Sebagai imbalan dari dukungan [kritis] tersebut, saya menuntut agar Jokowi harus bertindak melampaui seorang politisi biasa … Jokowi harus mentransformasikan dirinya menjadi seorang negarawan, di mana ia harus berpikir dan bertindak sebagai pembela dan penjamin hak-hak kaum minoritas yang tertindas selama ini.” (Coen Husain Pontoh, 50 Hari Menuju Pilpres” Demokrasi vs Fasisme-Religius. 22 Mei 2014)
Yang awalnya adalah “dukungan kritis” dengan persyaratan-persyaratan “yang kita putuskan bagi diri kita sendiri” dengan cepatnya berubah menjadi “dukungan kritis” dengan “imbalan”. Mungkin dalam waktu dua bulan yang singkat itu kawan Coen dan kelompoknya telah mendapatkan basis massa yang begitu besar dan kokoh sehingga sekarang telah memiliki daya tawar dan bisa menuntut sesuatu dari Jokowi. Kita akan periksa “basis massa” ini nanti dan juga apa daya tawar ini.
Inilah mengapa akan sulit sekali bagi siapa pun untuk mendaratkan “dukungan kritis” ini. Ia terus mengapung di langit, tak berbentuk dan tak bisa didefinisikan. Ia seperti botol kosong yang bisa diisi apa saja sesuai dengan prasangka yang empunya. Namun bukan pekerjaan yang sia-sia bagi kita untuk mencoba memahaminya, karena akan ada “imbalan” yang riil dari usaha pemahaman ini.
Rekan editorial Indoprogress, Martin Suryajaya, memaparkan lebih detil apa bentuk dukungan kritis ini:
“Ada tiga tugas pokok yang mesti diperjuangkan relawan pasca-elektoral: 1. Mengawal realisasi Visi-Misi Jokowi dalam semangat Revolusi Mental dan Trisakti; 2. Memperluas gelombang relawan dengan menjahit kelompok-kelompok relawan lain (yang pernah berlawanan sekalipun) dengan basis programatik’ 3. Menyelamatkan Jokowi dari oligarki dengan menjangkarkannya di tengah massa.” (Martin Suryajaya, Taksonomi Politik Pasca Kemenangan Jokowi?, 23 Juli 2014) [Italik dari saya]
Ini diperjelas lagi olehnya dalam artikel yang sama:
“ikut terlibat mengawal realisasi program Jokowi itu: mendorong dan membantu sekuat tenaga agar pelaksanaannya konsekuen dengan Visi-Misi serta mengkritik manakala pelaksanaannya inkonsekuen. …
“memastikan agar program politik yang disepakati selama masa kampanye betul-betul diberlakukan pada situasi pasca-pemilu
“partisipasi politik gerakan Kiri sebagai relawan Jokowi semestinya dilihat sebagai upaya pembentukan ‘lingkaran Bolivarian’ atau gerakan rakyat pendukung (program) Jokowi yang akan mengawal pelaksanaan program tersebut, memberikan masukan maupun kritik—singkatnya, melaksanakan dan memperhebat Revolusi Mental bersendikan Trisakti di segala bidang: berdaulat di lapangan politik, berdikari di lapangan ekonomi dan berkepribadian di lapangan kebudayaan.”
Lebih konkretnya bagaimana? Kita kutip lagi dari Martin mengenai salah satu langkah yang bisa dilakukan oleh para relawan dalam mengawal pemerintahan Jokowi:
“Inilah yang dilakukan, misalnya, lewat gerakan #sekolahlayak yang dipelopori oleh Hilmar Farid. Melalui gerakan ini, terwujud partisipasi rakyat dalam mengawal kebijakan pendidikan di Indonesia, dimulai dengan penyediaan laporan real-time ke pemerintah tentang infrastruktur pendidikan yang kurang layak. Setiap relawan #sekolahlayak akan mendokumentasikan kondisi aktual infrastruktur pendidikan di lingkungannya dan laporan lengkap dari seluruh relawan itu akan menjadi basis pertimbangan pemerintah dalam menjalankan kebijakan pendidikan.” (Martin Suryajaya, Perjuangan Kelas dan Holopis Kuntul Baris, 6 Agustus 2014) [Italik oleh saya]
Terlepas dari judul artikel ini yang menggunakan kata “perjuangan kelas”, kita semua tahu apa sebenarnya makna dari politik yang ditawarkan oleh Martin. Ini bukan politik perjuangan kelas; ini tidak lebih adalah politik LSM atau NGO. Dengan sepuhan Marxisme, Martin mencoba menggagaskan sesuatu yang katanya baru, tetapi setelah dilihat lebih dalam tidak lebih dari politik liberal. Ini sudah dilakukan puluhan tahun oleh berbagai LSM di Indonesia, yang menerbitkan berbagai laporan mengenai kondisi aktual infrastruktur sosial dan dipersenjatai dengan laporan ini melakukan “lobi” atau “tekanan” ke instansi-instansi pemerintah terkait dengan harapan dapat membuka mata dan mencerahkan para pengambil kebijakan [baca: kelas penguasa] dan mempengaruhi kebijakan yang mereka buat. Dengan ini, Marxisme diubah menjadi NGO-isme, atau lebih tepatnya NGO-isme dikedoki dengan ujar-ujar Marxis.
Sosialisme Utopis dan Artikulasi Politik
Ini bukanlah sebuah kebetulan. Dari artikel Martin yang lain, “Marxisme dan Artikulasi Politik” (9 April 2014), kita sudah temui kecenderungan ini. Dalam artikel ini Martin menggagaskan dengan jelas apa yang menjadi tugas dari seorang Marxis, yakni “meyakinkan sebanyak mungkin orang—dengan kepentingan [kelas] yang tentu saja berbeda-beda—pada tujuan-tujuan sosialisme dan komunisme”, meyakinkan para ekonom liberal dan pengusaha bahwa “kapitalisme merugikan para pengusaha”, menunjukkan bahwa kapitalisme “secara jangka panjang merugikan kaum kapitalis itu sendiri”, dan “menunjukkan bahwa dari sudut pandang kepentingan investasi [kapitalis] itu sendiri, neoliberalisme memang bermasalah karena tidak hanya merugikan kaum buruh, tetapi juga para pemodal dan perekonomian negara.” Intinya, sang Marxis liberal kita percaya bahwa yang dibutuhkan untuk menumbangkan kapitalisme adalah mencerahkan kaum kapitalis dan pemodal bahwa kapitalisme merugikan mereka juga, sehingga kalau mereka bisa diyakinkan maka mereka akan meninggalkan cara penindasan yang usang ini dan melangkah maju menuju sosialisme. Sungguh luar biasa!
Tidak ada yang baru sebenarnya dengan gagasan ini. Jauh sebelum Marx dan Engels lahir, lebih dari 250 tahun yang lalu, metode berpikir seperti ini telah dikembangkan dan dipraktekkan oleh kaum sosialis utopis, yang tiga tokoh utamanya adalah Saint-Simon, Charles Fourier, dan Robert Owen. Mereka utopis karena mereka percaya bahwa satu-satunya penghalang mengapa umat manusia belum melangkah ke sosialisme adalah karena pikiran mereka belum tercerahkan. Oleh karenanya yang diperlukan untuk bisa melangkah ke sistem masyarakat yang lebih baik adalah dengan meyakinkan semua orang – terutama kaum yang berpunya – akan keunggulan dari sistem sosialisme dibandingkan dengan kapitalisme. Melalui artikel-artikel, pidato-pidato, buku-buku, dan bahkan juga eksperimen-eksperimen sosial, para sosialis utopis ini bermaksud mencerahkan kaum borjuasi, dengan meyakinkan mereka bahwa keserakahan mereka akan laba, praktek-praktek penindasan yang mereka lakukan terhadap kaum buruh, kebijakan-kebijakan pasar bebas mereka, semua ini adalah sesuatu yang keliru dan justru merugikan masyarakat secara keseluruhan. Mereka ingin meyakinkan para kapitalis untuk tidak menjadi kapitalis, yang dalam kebanyakan hal adalah seperti mencoba meyakinkan macan untuk makan sayur kol.
Para sosialis utopis menyandarkan diri sepenuhnya pada prinsip-prinsip abstrak seperti “nalar dan keadilan murni” (pure reason and justice); seperti tulis Engels:
“Mereka [kaum sosialis utopis] tidak mengklaim ingin membebaskan satu kelas tertentu, tetapi seluruh umat manusia … mereka ingin menghadirkan kerajaan nalar dan keadilan abadi … Bagi ketiga pembaru sosial kita [Owen, Fourier, dan Saint-Simon] dunia borjuis … adalah sangat tidak rasional dan tidak adil …. Bila nalar dan keadilan murni belumlah, sampai sekarang, berjaya di dunia, ini hanyalah karena manusia belum memahaminya secara benar.” (Frederick Engels, Sosialisme: Utopis dan Ilmiah)
Dua ratus lima puluh tahun kemudian Martin mengulang hal yang sama ketika dia mengatakan bahwa “secara formal, politik adalah perkara penemuan kebenaran berkenaan dengan perikehidupan sosial. Apa yang hendak dicapai melalui setiap laku politik adalah penemuan kebenaran mengenai bagaimana semestinya kehidupan sosial dikelola.” [Italik dari saya] Bila kebenaran ini sudah ditemukan, maka hanya perlu diungkapkan dan dijelaskan kepada semua pihak yang terkait (buruh, pengusaha, dan pemerintah) agar mereka yakin akan kebenaran ini dan tibalah kita pada “agenda Marxis”. Kepentingan kelas di sini adalah tidak relevan, karena kebenaran ini adalah sesuatu yang murni dan berdiri di atas kelas-kelas.
Namun harus kita ingatkan para pembaca bahwa utopismenya Owen, Fourier, dan Saint-Simon pada saat itu memiliki karakter revolusioner, karena lewat karya-karya mereka keburukan-keburukan kapitalisme untuk pertama kalinya diekspos dan dikritik secara menyeluruh. Pada masa mereka (1750-1850) kelas proletariat belumlah terkristalisasi, sehingga gagasan mereka memang tidak bisa melangkah lebih jauh dari itu. Mereka tidak bisa menemukan jalan keluar dari kapitalisme karena tahapan perkembangan kapitalisme pada masa mereka belum menyediakan jawaban bagi mereka.
Hanya pada jaman Marx (sekitar pertengahan 1800), ketika kelas proletariat telah cukup terkonsolidasi, maka sosialisme utopis ini bisa dilampaui dan lahirlah apa yang disebut sebagai sosialisme ilmiah. Marx dan Engels menemukan jawaban bagi kapitalisme yang tidak tersedia untuk para tokoh sosialis utopis tersebut, yakni kelas proletariat. Bertentangan dengan sosialisme utopis, sosialisme ilmiah melihat jalan menuju sosialisme melalui perjuangan kelas yang tak terdamaikan antara kelas proletariat dan kelas kapitalis, di mana kelas proletariat akan menumbangkan kelas kapitalis lewat sebuah perjuangan revolusioner. Sosialisme ilmiah menemukan motor penggerak sejarah di dalam kekuatan-kekuatan produksi, bukan di dalam “akal dan keadilan murni”.
Walaupun Marx dan Engels mengkritik habis-habisan gagasan sosialisme utopis, mereka menghormati jasa-jasa para tokoh sosialis utopis awal ini karena telah mengembangkan gagasan-gagasan yang begitu maju di jaman mereka. Akan tetapi Marx dan Engels tidak punya kesabaran sama sekali terhadap para sosialis utopis di masa mereka, yang dikecamnya sebagai “reaksioner”. Ketika sejarah telah melahirkan sebuah kelas, yakni proletariat, yang mampu dan telah meluncurkan gerakan politik yang independen, para sosialis utopis hari ini justru menentang aksi revolusioner dari kelas proletariat (yang diolok-olok oleh Martin sebagai revolutionary showmanship) dan ingin mengandalkan pengertian dari kelas kapitalis. Semakin kapitalisme berkembang, maka semakin reaksioner pula gagasan sosialisme utopis.
Hari ini kita temui Martin yang mencoba menyusupkan kembali sosialisme utopis lewat logika Marxis. Kami akan ucapkan “semoga berhasil” pada usaha Martin dan kawan-kawannya untuk meyakinkan kaum kapitalis bahwa mereka adalah korban tertindas dari kapitalisme itu sendiri, pada usaha mereka untuk menyelamatkan kaum kapitalis dari dirinya sendiri. Yang menjadi masalah adalah ketika para teoretikus Marxian ini ingin meyakinkan rakyat pekerja bahwa tugas yang tertindas adalah meyakinkan yang menindas bahwa mereka sedang sama-sama dirugikan oleh sistem yang sama. Alih-alih berorganisasi dan melakukan mogok, kaum buruh diminta untuk memberikan penjelasan kepada sang pemilik pabrik mengapa kebijakan upah rendah ini akan merugikan mereka juga; alih-alih mengorganisir aksi massa untuk menentang kenaikan BBM, rakyat pekerja diminta untuk membujuk pemerintah kalau pemotongan subsidi BBM ini “tidak hanya merugikan kaum buruh, tetapi juga para pemodal dan perekonomian negara”. Bagaimana caranya? “Penyediaan laporan real-time ke pemerintah [atau pemilik pabrik] … [yang] akan menjadi basis pertimbangan pemerintah [atau pemilik pabrik] dalam menjalankan kebijakan.” Jadi, alih-alih membangun organisasi-organisasi perlawanan (serikat buruh, serikat tani, partai buruh), yang dibutuhkan adalah sejumlah lembaga-lembaga think-tank untuk memproduksi laporan-laporan bagi pengambil kebijakan supaya informasi yang “tepat” ada di tangan mereka dan yang berwenang bisa membuat keputusan yang “tepat” pula untuk kepentingan seluruh masyarakat. Seluruh penindasan kapitalisme ini hanyalah sebuah kesalahpahaman yang besar; it is all just a big misunderstanding.
Ketika kaum kapitalis (yang menindas) disodorkan fakta-fakta mengenai penindasan yang berlangsung di bawah kuasanya, dia mengapresiasi fakta-fakta ini secara berbeda dibandingkan dengan kaum buruh (yang tertindas). Ini bukanlah karena dia telah membuat pertimbangan moral yang keliru, atau bukan karena dia tidak memiliki informasi yang tepat serta kemampuan analisa yang memadai, tetapi karena posisi dia dalam relasi produksi yang berlaku di dalam masyarakat mendorongnya untuk mencapai apresiasi yang berbeda. Tentunya dalam kasus satu dua individu kita dapat temui seorang yang datang dari latar belakang kapitalis memilih untuk berdiri bersama proletariat (seperti Robert Owen dan Frederick Engels) dan melakukan apa yang sering disebut sebagai bunuh diri kelas. Tetapi secara umum ini tidak berlaku untuk keseluruhan kelas kapitalis.
Aksi “mengawal” dan “menyelamatkan” sekilas tampak seperti sesuatu yang dilakukan orang yang memiliki karakter keksatrian, layaknya ksatria yang mengawal sang raja dari bahaya, layaknya seorang pahlawan atau superhero yang menyelamatkan yang lemah. Dalam prakteknya, kita akan lihat bagaimana kerja real politik mereka adalah kerja memelas yang menyedihkan. Mari kita tengok bagaimana kaum Marxis liberal kita mencoba “mengawal” Jokowi agar tidak menaikkan BBM:
“Pak Jokowi, coba tengok sekeliling Anda, perhatikan baik-baik, siapakah yang mendesak-desak Anda untuk segera mencabut subsidi BBM ini? Apakah rakyat miskin yang mayoritas pemilih Anda, yang menaruh harapan pada program-program kerakyatan yang Anda janjikan? …
“Pak Jokowi, sekali Anda naikkan harga BBM, maka inflasi segera naik, harga barang-barang juga berkejaran naik pada saat bersamaan dan tak pernah lagi akan turun-turun. Sementara, pendapatan wong cilik itu tak pernah ikut naik. …
“Pak Jokowi, jika Anda tetap bersikeras menaikkan harga BBM, maka Anda membuka konfrontasi politik terbuka dengan rakyat pemilih Anda. … jika Anda semakin terdesak secara politik, saya berani memastikan para pendesak Anda itu juga akan segera menjauh dari Anda. Hanya rakyatlah, yang selama ini tertindas, yang paling berharap pada kepemimpinan Anda, merupakan sahabat setia Anda.” (Coen Husain Pontoh, Menuntut Pembuktian Terbalik Jokowi Soal Subsidi BBM, Editorial Indoprogress, 8 September 2014)
Begitu menyedihkan “pengawalan” ini, yang setelah dipreteli dari segala retorika intelektualnya berakhir menjadi pemelasan dan pengemisan yang memalukan: “Pak Jokowi, jangan begitu donk! Kalau BBM naik maka rakyat akan susah. Kalau rakyat susah, nanti mereka kecewa dan Anda akan kehilangan sahabat setia Anda. Tolong jangan bohongi dan khianati mereka.” Inilah yang dimaksud dengan dukungan kritis mereka.
Tapi tunggu sebentar, dukungan kritis ini telah berubah wujud kembali. Kali ini ia telah berubah dari “dukungan personal (ketika masih dalam proses pemilihan presiden) menjadi dukungan atas program” (Kritik atas Program, Editorial Indoprogress, 17 November 2014). Apa artinya itu? Siapa yang tahu selain yang menulisnya.
Relawan dan Basis Kelas
Dukungan kritis kaum liberal ini tidak bisa mengambil bentuk yang lain daripada pemelasan yang menyedihkan semacam ini karena para liberal kita tidak memiliki basis massa yang kokoh. Basis relawan yang dibesar-besarkan oleh mereka – yang katanya mencapai 2000 kelompok relawan dan menurut Coen adalah “kekuatan terpenting di balik kemenangan Jokowi … [dan] menandai satu perubahan penting dalam hubungan antara massa dan partai politik” – pada kenyataannya bukanlah basis massa yang kokoh. Keteguhan dan ketegasan kaum liberal kita berbanding lurus dengan kecairan dari basis massa “relawan” ini. Inilah mengapa secara historis kebimbangan, keragu-raguan, dan kepengecutan adalah fitur utama dari kaum liberal, karena mereka tidak punya sandaran fondasi massa yang solid. Segala macam “basis massa” dicari-cari oleh kaum liberal (relawan, multitudes, kelas menengah, masyarakat sipil, dsb.), semuanya kecuali kelas buruh.
Kaum liberal kita bermimpi kalau mereka telah menemukan sebuah batu filsuf yang akan menjawab segalanya: Relawan! Berbagai skema, “taksonomi”, dan teori politik disuguhkan untuk mengkategorikan kelompok sosial yang baru ini dan menggagaskan bagaimana “idealnya hubungan antara Relawan dengan Jokowi”. Relawan harusnya begini, relawan harusnya begitu; yang ada pada akhirnya adalah memaksakan skema dan prasangka pada realitas. Dari sini kita bisa melihat bahwa konsep relawan ini adalah sebuah konstruksi abstrak belaka, hasil inspirasi ilahi dari para penggiat teori politik kita dengan bantuan yang tidak sedikit dari media mainstream. Relawan adalah sebuah kategori sosial yang ahistoris. Dalam konteks pilpres, relawan bisa kita definisikan secara umum sebagai “orang yang memberikan waktu dan tenaga mereka tanpa pamrih untuk mendukung calon presiden tertentu”, yang tidak berbeda jauh dengan definisi pendukung klub sepak bola. Ia adalah sebuah kategori metafisik yang melampaui batas waktu dan ruang, dan tidak terikat pada relasi produksi yang berlaku di dalam masyarakat, dan oleh karenanya bisa diisi dengan prasangka apapun. Di sinilah letak keajaiban batu filsuf ini!
Yang perlu kita kaji sebenarnya adalah proses politik konkret yang hidup selama periode ini untuk bisa memahami fenomena populisme Jokowi, bukannya lantas menciptakan kategori yang abstrak untuk memaksakan skema siap-saji dan prasangka kita pada realitas. Kami cukup mengutip apa yang sudah kami paparkan sebelumnya mengenai ini:
“Sistem politik hari ini sudah begitu bangkrut dan legitimasinya di mata rakyat sudah begitu tipis dan tampak bisa roboh kapan saja. Satu-satunya hal yang mencegah sistem ini dari kerobohan adalah lemahnya kepemimpinan revolusioner dari rakyat pekerja. Inilah mengapa banyak partai politik borjuasi yang sedang berlomba-lomba untuk memenangkan Jokowi ke sisinya. Selain untuk memberikan legitimasi pada partai mereka masing-masing, mereka juga ingin memberikan legitimasi umum kepada sistem politik bangsa ini, bahwa sistem demokrasi politik borjuasi masih bisa menyodorkan seorang pemimpin yang kompeten dan bersih. …
“Dari pihak rakyat pekerja, banyak yang menginginkan Jokowi untuk menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan. Dari pihak elit politik borjuasi, mereka juga mulai melihat Jokowi sebagai figur yang dapat menyelamatkan Indonesia. Tetapi walau di permukaan kedua harapan ini tampak serupa, ada kepentingan kelas yang jauh berbeda. Keselamatan bangsa yang ada di pikiran rakyat jelata adalah cukup sederhana, yakni: pekerjaan dan upah layak, tempat tinggal yang layak, pelayanan kesehatan, pendidikan, dll. Sementara bagi elit politik borjuasi, keselamatan bangsa adalah keselamatan sistem eksploitasi kapitalisme, yang sudah semakin terdiskreditkan karena ketidakmampuannya untuk memberikan kesejahteraan pada rakyat jelata, ditambah lagi ulah-ulah vulgar dari banyak pemimpinnya yang bermental “aji mumpung”, yang menjarah sistem ini tanpa mempertimbangkan keselamatan kapitalisme dalam jangka panjang. Jokowi dilihat oleh kaum borjuasi sebagai seorang yang dapat menyatukan kedua harapan tersebut, atau lebih tepatnya memberikan kesan atau ilusi bahwa ia sedang memenuhi harapan yang pertama, sementara pada kenyataannya ia sedang memenuhi harapan yang belakangan.” (Berlomba-lomba Memenangkan Jokowi ke Pemilu 2014, 30 Mei 2013)
Dan lagi:
“Tokoh populis seperti Jokowi lahir karena kebuntuan politik yang dirasakan oleh rakyat pekerja. Krisis kapitalisme yang tak tertanggungkan tidak bisa menunggu terbentuknya kepemimpinan revolusioner yang dapat memimpin rakyat pekerja. Rakyat tidak dapat menunggu hadirnya Partai Bolsheviknya Lenin. Ketika serikat-serikat buruh tidak bisa menjadi organisasi perjuangan rakyat luas, ketika partai-partai buruh massa dengan pemimpin reformis mereka lantas menjadi halangan terbesar bagi perjuangan rakyat pekerja, rakyat akan menggunakan saluran-saluran apa pun untuk mengekspresikan kehendak mereka. Inilah mengapa di tengah absennya kepemimpinan revolusioner, kita temui beragam formasi politik – dari yang kiri sampai yang kanan – yang mencuat begitu cepat dan sering kali pupus juga dengan kecepatan yang sama.” (Perspektif Marxis untuk Pemilu 2014: Kritik, Analisa, dan Tugas Kita, 7 April 2014)
Dari kondisi seperti inilah kita saksikan selapisan rakyat pekerja menaruh harapan mereka pada Jokowi. Akan tetapi mereka bergerak bukan sebagai kelas bagi dirinya sendiri. Massa luas ini belum menemukan kemandirian politik kelas mereka sendiri, tetapi mereka menemukan ekspresi kasar (mentah) dari kepentingan kelas mereka di dalam sosok Jokowi dan gerakan perubahan yang tampaknya sedang ia pimpin. Analisa kelas dapat memberikan kita pedoman yang jitu mengenai gerak politik yang hidup ini, dan kita tidak perlu menyulap sebuah kategori sosial yang abstrak seperti “relawan” karena ini justru akan menjauhkan kita dari realitas dan membawa kita ke tempat-tempat yang tidak kita inginkan.
Kaum Marxis mengedepankan kelas buruh sebagai satu-satunya kelas yang bisa menjadi pijakan kokoh untuk mendorong masyarakat ini keluar dari kapitalisme yang sedang membusuk dan menuju transformasi sosialis, dan postulat ini bukanlah karena romantisme semata. Ia telah terkonfirmasikan di dalam sejarah, dan bukan hanya dalam buku-buku sejarah yang tua dan penuh debu tetapi juga dalam peristiwa-peristiwa yang sekarang sedang bergulir di depan mata kita. Bagi yang bisa melihat, pada periode 2012-2013 yang baru lewat ini kaum buruh dalam jumlah jutaan termobilisasi dan terorganisir dalam gelombang aksi yang tak pernah terlihat sejak diremukkannya PKI pada 1965. Kami yakin kaum liberal kita bisa melihat fakta-fakta ini dan tidak buta, tetapi facts do not choose themselves (fakta tidak memilih dirinya sendiri). Sebuah kesimpulan diraih dengan merakit fakta-fakta sesuai dengan cara pandang dunia tertentu. Dalam kerangka berpikir Marxisme liberal khususnya – yang hadir dalam berbagai bentuk dan turunan – dan dalam kerangka berpikir teori-teori politik umumnya di dunia akademis, tidak ada ruang bagi kelas buruh. Dengan berbagai pembenaran teoritik, kelas buruh telah dinyatakan mati. Kelas borjuasi dengan akademisi-akademisi bayaran mereka telah meluncurkan sebuah proyek yang masif untuk membersihkan kelas buruh secara ideologis, dari ruang-ruang kelas kampus, dari buku-buku politik, dari Marxisme itu sendiri, dan pada akhirnya dari kepala kaum buruh itu sendiri. Namun, seperti kata Mark Twain, “Reports of my death have been greatly exaggerated” (Laporan-laporan mengenai kematian saya telah sangat dilebih-lebihkan). Kelas buruh masih eksis dan hidup, dan semakin hari semakin relevan.
Kelas buruh tidak hanya ditindas lewat aparatus-aparatus kekerasan secara fisik. Mereka terutama ditindas lewat rantai-rantai yang mengekang pikiran mereka dan tembok-tembok di dalam benaknya yang menghalanginya untuk bergerak dari kelas dalam dirinya sendiri (class in itself) menjadi kelas untuk dirinya sendiri (class for itself). Inilah mengapa kerja-kerja agitasi dan propaganda politik mencakup bagian yang paling penting dalam tugas kaum revolusioner, yang diolok-olok oleh Martin sebagai “revolutionary showmanship” (sok-sokan revolusioner). Mengapa tidak? Bagi Martin dan kawan-kawan liberalnya kelas buruh ini tidak eksis, dan oleh karenanya agitasi dan propaganda politik untuk mengekspos kapitalisme di mata kaum buruh – dan yang terpenting, mendidik buruh akan tugas historis mereka dan bagaimana mencapainya – menjadi seperti usaha “sok-sokan revolusioner”. Kesimpulannya, lebih baik melakukan ekspose keburukan kapitalisme kepada para pengusaha dan ahli ekonomi mereka dengan “artikulasi politik” yang sopan, santun, dan bisa diterima oleh mereka.
Para “Pemimpin” Relawan yang Keblinger
Para “pimpinan” relawan – yakni kumpulan aktivis dan akademisi liberal, reformis, dan demokrat – punya ekspektasi yang besar akan signifikansi diri mereka sendiri. Mereka membayangkan bahwa sekarang mereka bisa masuk ke dalam “jantung negara itu sendiri” karena “Jokowi sendiri bermaksud mengintegrasikan [pimpinan-pimpinan] relawan ke dalam pemerintahan.” (Martin Suryajaya, Perjuangan Kelas dan Holopis Kuntul Baris) Ketika tim transisi Jokowi dibentuk tanpa keterlibatan para pentolan ini, belasan [!] dari mereka lalu “menggeruduk” rumah Tim Transisi. Tetapi tidak seperti kaum buruh yang menggeruduk pabrik dengan aksi massa dan mendobrak gerbang besi raksasa yang menghalangi jalan mereka, para “pimpinan” relawan ini terhentikan langkahnya oleh gerbang rumah yang kecil. Hanya bisa menggerutu di luar, sementara Jokowi yang ada di dalam menolak bertemu dengan mereka, para “pimpinan” relawan ini akhirnya bubar. Untuk menjaga peluang mereka agar tetap bisa masuk ke dalam pemerintahan, “88 Relawan” ini lalu membantah telah melakukan penggerudukan atau demo di depan rumah Tim Transisi. Dengan penuh minta maaf mereka mengatakan bahwa mereka hanya ingin “bersilaturahmi” dan “berkoordinasi dengan para staf Tim Transisi”, dan “dengan niat yang tulus ingin membangun dan mengawal pemerintahan Jokowi-JK”. Sungguh sebuah silaturahmi yang bertepuk-sebelah-tangan, dimana tuan rumah tidak membukakan gerbang pintu dan mempersilakan tamunya untuk masuk! Sungguh sebuah koordinasi yang hebat, yang dilakukan di luar gerbang rumah yang terkunci rapat dengan pengamanan sederetan polisi! Ini adalah tontonan yang memilukan hati dari para Tn. dan Ny. pimpinan relawan kita yang terhormat ini.
Staf Tim Transisi Jokowi-JK yang tidak ingin menciptakan sirkus media lebih lanjut, lalu menerima masuk 88 relawan ini ke dalam Tim Transisi. “Biarlah mereka merasa seperti punya andil,” begitu mungkin pikir para staf Tim Transisi ini. Tetapi kita sudah tahu bagaimana tamu yang tak diundang akan diperlakukan: yakni seperti tidak ada. Segera kita lihat para pimpinan relawan ini – yang di dalam maupun yang di luar Tim Transisi – menggerutu kembali karena menurut mereka hasil kerja dan pemikiran mereka tidak diakomodasi seperti seharusnya. Pada kenyataannya keputusan-keputusan yang penting dan fundamental sudah diambil di belakang pintu ruang direksi korporasi-korporasi dan bank-bank, di bursa-bursa saham Jakarta dan New York, dalam kata lain oleh kepentingan kapital.
Para kaum liberal ini membayangkan mereka punya kekuatan riil dan daya tawar. “Bukankah di belakang kami ada puluhan ribu massa relawan akar-rumput dan lebih dari 50% rakyat pemilih Jokowi, basis massa kami, dari mana kami mendapatkan sumber kekuatan kami?” begitu mungkin pikir mereka. Tetapi ketika mereka menengok ke belakang, tidak ada lagi yang tersisa dari hiruk-pikuk pemilu kemarin. Festival demokrasi ini telah usai. Dukungan kritis mereka pun menjadi dukungan melempem. Tidak bisa memobilisasi massa, mereka terbatas pada menyelenggarakan konferensi pers, mengirim pers rilis ke media massa, mengeluarkan pernyataan “kekecewaan” dan “kritik” yang memohon-mohon dan malu-malu kucing.
Inilah perbedaan yang riil antara kelompok sosial yang disebut relawan ini dan kelas buruh, dalam hal bobot sosial dan politik. Dari 2000 kelompok relawan yang terbentuk, berapa yang masih tersisa hari ini? Berapa yang masih aktif dan memiliki partisipasi yang hidup serta kontinu dari massa? Bandingkan ini dengan serikat buruh, organ perjuangan historis dari kelas buruh. Menurut data tahun 2008 saja terdaftar 11.468 serikat buruh tingkat pabrik (PUK) yang mengorganisir 3,3 juta buruh. Jumlah ini tentu sudah bertambah hari ini, dan terutama juga kualitas organ perjuangan ini sudah tertempa keras selama gelombang aksi pada periode 2012-2013 kemarin. Ketika ada perjuangan riil untuk menolak kenaikan BBM kemarin, siapa yang mampu memobilisasi massa untuk melakukan demo penolakan (yang tentunya diejek oleh Martin sebagai “revolutionary showmanship” belaka)? Sementara kaum demokrat liberal kita, tanpa massa relawan mereka, hanya mampu melakukan“kritik” yang ompong, dengan beragam bentuk pemelasan, permohonan, pernyataan kekecewaan, dan artikel-artikel teknokratik guna meyakinkan yang berkuasa bahwa kenaikan BBM ini bukanlah langkah yang bijak.
Pada akhirnya The proof of the pudding is in the eating (Bukti dari kue adalah dengan memakannya). Tetapi kita tidak bisa terus menerus menggunakan metode trial-and-error seperti ini, seakan-akan kita punya waktu yang tak terbatas untuk menguji semua gagasan dan membuat semua kesalahan yang dimungkinkan, dengan alasan bahwa ini semua adalah proses pembelajaran. Hari ini, setelah kita memiliki lebih dari 150 tahun pengalaman perjuangan kelas, tidak ada alasan untuk membuat kesalahan fundamental seperti ini dalam hal-ihwal analisa kelas. Benar kalau manusia belajar dari kesalahan, tetapi kita harus berusaha membuat sedikit mungkin kesalahan, dan pada momen-momen tertentu ada kesalahan yang begitu fatal yang bisa membuat semua proses pembelajaran kita sia-sia.
Para Marxis liberal kita mungkin banyak yang sudah bertobat. Euforia “relawan” ini sudah lewat dan mereka menyesal telah terseret dalam euforia ini. “Never again,” kata mereka. Tetapi esok harinya kita tahu mereka akan mencoba mencari-cari lagi batu filsuf lainnya.
Bahaya Fasisme yang Mengendap-ngendap
Bahaya fasisme adalah satu alasan lagi mengapa katanya kita harus mendukung Jokowi sebagai representasi dari kubu “status-quo demokrasi”, sementara kemenangan Prabowo akan berarti kembalinya Orde Baru dan hadirnya fasisme ke muka bumi Indonesia – entah secara langsung setelah kemenangannya, atau ini akan membuka jalan menuju ke sana. Sekarang setelah alarm bahaya fasisme ini telah dimatikan, kita bisa dengan tenang mengkajinya. Benarkah ada bahaya fasisme? Analisa awal kami dalam “Apa ada bahaya fasisme?” telah memberikan jawaban yang secara tegas negatif, dan ini telah terkonfirmasikan juga oleh peristiwa.
Setelah berhasil “menghadang” fasisme, kita membayangkan kalau para Marxis Indoprogress — dan juga Kiri-kiri yang terjebak pada argumen “bahaya fasisme” ini – akan begitu bergembira dan merayakan peristiwa historis ini. Ini bukan pencapaian yang kecil. Untuk pertama kalinya dalam sejarah fasisme berhasil dihadang dengan taktik front nasional (aliansi lintas kelas dengan borjuasi nasional “status-quo demokrasi) lewat jalur elektoral belaka. Rakyat pekerja bergandengan tangan dengan kaum borjuis demokrat “progresif” berhasil mengalahkan fasisme, sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh gerakan buruh Jerman yang begitu kuat pada 1933 terhadap Hitler dan rakyat pekerja revolusioner Spanyol selama perang sipil 1936-39 terhadap Franco. Kolaborasi kelas antara buruh dan kapitalis di bawah panji “Revolusi Mental” berhasil menghadang kembalinya Orde Baru, sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh PKI dengan 3 juta anggotanya dan jutaan massa dalam organisasi-organisasi afiliasinya (Pemuda Rakyat dengan 3 juta anggota, SOBSI dengan 3,5 juta anggota, Barisan Tani Indonesia dengan 8,5 juta anggota, dan Gerwani dengan 1,75 juta anggota). Yang dibutuhkan di sini hanyalah 2000 kelompok relawan di bawah kepemimpinan kaum liberal, berbekal “dukungan kritis” dan “artikulasi politik”, bukannya “revolutionary showmanship” ala PKI. Pencapaian ini patut ditorehkan di dalam buku besar sejarah umat manusia.
Akan tetapi, herannya, tidak ada parade kemenangan atau elan revolusioner dari massa luas yang telah berhasil menghantam fasisme dan menghalangi kembalinya Orde Baru. Yah, ada parade kemenangan Jokowi sebagai presiden, tetapi kalau kita tanya pesertanya “Apa kalian di sini untuk merayakan kemenangan terhadap fasisme?” kita akan dijawab dengan raut muka yang terheran-heran. Tampaknya kemenangan atas fasisme ini hanya diketahui oleh segelintir orang saja, dan mereka pun malu-malu dalam merayakan dan memberitakan kemenangan ini. Ini adalah sebuah kemenangan besar dan historis yang elusif, yang tidak diketahui bahkan oleh pemenangnya. Mungkin ini adalah bentuk fasisme yang mengendap-ngendap, maka kemenangan terhadapnya pun mengendap-ngendap.
Dari episode ini kita juga belajar bagaimana kaum fasis Indonesia adalah kaum fasis yang paling sopan. Dikalahkan di kotak suara (dan kalah tipis pula), mereka bukannya menggalang massa fasis mereka tetapi menggugat lewat jalur hukum. Mereka sungguh adalah fasis yang paling demokrat yang kita kenal. Kekuatan “fasis” yang begitu ditakuti ini ternyata begitu lemah dan menyedihkan. Kami menulis ini tidak lama setelah kekalahan Prabowo:
“Koalisi Merah Putih Prabowo-Hatta segera menguap setelah jelas kalau Prabowo tidak akan masuk istana. Hatta menghilang entah kemana ketika Prabowo mengumumkan penolakannya terhadap hasil Pilpres. Mahfud MD, ketua tim pemenangan Prabowo-Hatta, “diberhentikan”. PPP dan Golkar mengalami krisis internal setelah kekalahan Prabowo, dengan sebagian kadernya menuntut agar partai-partai ini keluar dari koalisi. Bapak dan anak pun menjadi berseberangan, ketika Hanafi Rais mengucapkan selamat kepada Jokowi sementara bapaknya Amien Rais bersikukuh menolak hasil pilpres. Demokrat dan SBY dengan cepat telah memberikan selamatnya kepada Jokowi.
“Usaha Prabowo untuk menggugat hasil pilpres di MK menjadi lelucon yang tidak lucu ketika semua orang telah meninggalkannya. Prabowo layaknya seorang raja yang mengira ia sedang mengenakan pakaian kebesaran yang mewah, tetapi sebenarnya tidak ada sehelai benang pun di tubuhnya dan tidak ada lagi seorang pun di sekitarnya yang dapat memberitahunya.”(Dokumen Perspektif Nasional 2014)
Sekarang KMP sudah tidak ada lagi setelah berdamai dengan Koalisi Indonesia Hebat pada pertengahan November kemarin. Sementara Golkar, partai yang paling mewakili bahaya kembalinya Orde Baru, telah pecah. Prabowo, setelah mempermalu dirinya dengan usaha menggugat hasil pemilu, telah mundur ke latar belakang. Alih-alih tampak sebagai seorang yang tegas dan berpendirian, ia terlihat seperti pecundang. Segala pertunjukan “naik kuda”, video Nazi Ahmad Dani, dsb., tidak bisa menggantikan relasi-relasi sosial tertentu yang dibutuhkan sebagai syarat berkembangnya fasisme.
Kita tentu harus berjuang keras mempertahankan setiap ruang demokrasi yang ada, bahkan yang sudah sempit dan penuh kemunafikan ini. Tetapi kalau setiap saat kita seperti si Ayam Kecil yang selalu berteriak “Langit akan runtuh”, maka ketika langit benar-benar runtuh kita sesungguhnya tidak akan siap. Pada periode saat ini tidak ada bahaya kembalinya Orde Baru atau bahkan bangkitnya fasisme. Kelas penguasa tidak bisa begitu saja memilih metode sistem kekuasaannya seperti ia memilih baju atau sarung. Ia berkuasa, tetapi ia tidak maha kuasa. Ada relasi-relasi sosial yang harus ia patuhi. Dalam “Apa ada bahaya fasisme di Indonesia?” yang kami tulis pada 9 Juni 2014, kami kutip di sini secara singkat apa yang kami tulis mengenai fasisme:
“Fasisme bukanlah sesuatu yang hadir ketika ada sekelompok orang-orang maniak dan fanatik yang berhasil merebut kekuasaan dengan satu cara atau cara yang lain. Fasisme adalah sebuah fenomena sosial, yang oleh karenanya lahir dan berkembang juga di dalam konteks masyarakat kelas dan pertentangan-pertentangan kelas yang ada di dalamnya. …
“Ketika pertentangan kelas antara buruh dan kapital telah mencapai titik puncaknya, tetapi tidak ada penyelesaiannya karena kedua kubu yang bertempur ini tidak mampu menang secara menentukan – kekuatan buruh terlalu lemah untuk merebut kekuasaan sementara kelas kapitalis tidak bisa lagi mengendalikan situasi dengan tuas-tuas parlementer demokrasi seperti biasanya – maka pada momen kritis inilah bahaya fasisme menjadi riil. Di sini pun kita harus memberikan kualifikasi yang lebih ketat, karena pada momen kebuntuan revolusi ini kita juga bisa melihat munculnya kediktatoran militer, yang tidak selalu berarti fasisme.
“Ketika kaum borjuasi tidak bisa lagi mengendalikan situasi dengan metode-metode normal, maka mereka akan – walaupun bukan tanpa sejumlah keberatan dan keraguan – melepaskan anjing-anjing gilanya. Fasisme adalah anjing gila dari kapitalisme, yang kadang-kadang menggigit tangan majikannya sendiri tetapi tetap tahu siapa yang harus dicabik-cabiknya, yakni gerakan buruh. Inilah bagaimana fasisme lahir dan berkembang.” (“Apa ada bahaya fasisme di Indonesia?” 9 Juni 2014)
Mungkin akan ada orang yang akan mencoba berkelit. Lebih baik jaga-jaga karena semua alternatif yang lain adalah lebih baik daripada fasisme, begitu pikir sejumlah orang. Pertama, apa yang telah kita paparkan di atas telah menunjukkan bahwa tidak ada bahaya fasisme yang riil pada periode sekarang, kecuali kalau memang tontonan yang menyedihkan dari apa yang disebut “fasisme Indonesia” ini benar-benar adalah fasisme. Kedua, mengutip apa yang telah kami katakan sebelumnya di dalam artikel yang sama:
“… perspektif ‘bahaya fasisme’ inilah yang justru akan menyiapkan jalan ke fasisme, karena ia akan melumpuhkan kekuatan revolusioner kelas buruh dengan mengikatnya pada ‘status quo demokrasi’, pada kelas kapitalis. Kebobrokan ‘status quo demokrasi [borjuis]’ yang ingin dipertahankan oleh Kiri-kiri kita inilah yang akan menghantarkan masyarakat Indonesia ke reaksi gelap fasisme atau kediktatoran militer. Ini bukan masalah pilihan mana yang ‘mendingan’, seperti ujar Iqra, tetapi bagaimana yang satu akan bergerak ke yang lain.”
Bagaimana “Menemukan Kembali Marxisme”
Bertepatan ketika karya ini baru saja akan dirampungkan, Martin menerbitkan artikel pamungkasnya “Penemuan Kembali Marxisme Kita” (31 Desember 2014). Tidak ada cara yang lebih baik untuk menutup karya ini daripada merespons artikel Martin tersebut. Kami harus meminta maaf kepada para pembaca karena panjangnya karya kritik ini. Tetapi kritik ini tidak bisa tidak komprehensif dan memang harus mencakup keseluruhan gagasan utama – bukan hanya satu dua artikel saja – dari kaum Marxis liberal kita, yang terutama direpresentasikan oleh Coen dan Martin.
Apa yang dipaparkan Martin dalam artikel terakhirnya – yang tampaknya mendapatkan anggukan setuju dari banyak rekan-rekannya – sungguh meringkas permasalahan utama yang sebenarnya menjadi batu hambatan bagi para intelektual liberal kita untuk benar-benar memahami Marxisme. Bagi Martin, Marxisme itu sekedar gagasan saja, yang dirumus oleh dua individu bernama Marx dan Engels pada tahun sekian-sekian. Begitu juga filsafat-filsafat lainnya: materialisme, idealisme, empirisme, dsb. Perkembangan filsafat itu sendiri dipisahkan dari kondisi-kondisi material yang berlaku (yang pada analisa terakhir ditentukan oleh perkembangan kekuatan produksi), seakan-akan ia hanyalah buah pikiran dari seorang genius yang bisa saja lahir kapan pun dan di mana pun. Gagasan, oleh karenanya, adalah sebuah entitas yang berdiri di atas realitas, yang cukup direnungkan untuk bisa ditemukan. Sehingga, kendati semua ujar Martin bahwa seorang harus faktual dan aktual dalam analisanya, Martin yang begitu alergi pada “dogmatisme”, “sertifikasi halal-haram”, dan “tradisi tafsir Taurat” yang bernuansa keagamaan, ia tidak berbeda dengan para pemuka agama yang berpijak pada idealisme. Yah, idealisme, inilah Achilles heel dari Martin.
Sehingga ketika dihadapkan dengan kesulitan untuk mengembangkan Marxisme di Indonesia – tentunya Martin punya kriteria-kriterianya sendiri– kesimpulan yang diambilnya bersifat idealis: saya hanya perlu merenungkan Marxisme, “merumuskan syarat-syarat yang membuat Marxisme benar adanya”, dan setelah saya berhasil membuktikan kebenaran Marxisme, mencetaknya dalam empat buku, maka orang-orang akan menerimanya, karena bukankah kebenaran adalah sesuatu yang harus diterima? Marxisme akan berkembang setelah berhasil dibuktikan kebenarannya.
Metode “penemuan”nya pun bersifat idealis:
“Kita mesti membuang itu semua dan mulai dari nol, dari refleksi filsafat paling elementer dan jauh dari hiruk-pikuk semesta wacana Marxisme tradisional. Kita mesti turun ke medan perdebatan yang steril dari Marxisme dan merumuskan simpulan-simpulan yang kita temukan—bersenjatakan nalar semata—sebagai benar adanya. Inilah satu-satunya jalan yang masuk akal untuk merumuskan ulang Marxisme sebagai sistem filsafat kontemporer. Marxisme baru terbukti benar jika seluruh simpulan yang didapat berdasarkan nalar semata [!] itu membawa kita kepadanya.” [Italik dari saya]
Sang idealis kita membayangkan kalau ia akan menemukan kebenaran dengan berdiri di luar dunia yang fana ini. Dengan berdiri dari luar, ia bisa secara objektif, dengan “bersenjatakan nalar semata”, mengkaji semua filsafat yang ada. Ia dapat membersihkan dirinya dari segala pengaruh, prasangka dan tekanan yang berlaku di dalam masyarakat, yakni “mulai dari nol”, dan dengan demikian melahirkan sebuah gagasan murni (Ide Absolut) yang berdiri agung di atas segalanya. Untuk melakukan ini ia akan bersenjatakan “refleksi filsafat paling elementer”, yakni pangkal dari pangkal semua filsafat, yang sudah diasumsikan benar karena ia adalah yang “paling elementer”. “Refleksi filsafat yang paling elementer” atau “Nalar semata” ini adalah sang Pencipta semua filsafat;“Pada mulanya Nalar menciptakan langit dan bumi”. Yohanes abad ke-21 kita ini menuturkan ayat pertamanya: “Pada mulanya adalah Nalar; Nalar itu bersama-sama dengan Allah dan Nalar itu adalah Allah.” [Yohanes 1:1 “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” Kata “Firman” adalah terjemahan dari bahasa Yunani “Logos”, yang berarti juga “Nalar”.]
Setelah berputar-putar, pencarian Martin akan kebenaran ini hanya akan mengantarkannya pada berbagai macam bentuk mistisisme. Tidak bisa tidak karena Martin telah dirasuki oleh Holy Ghost (Roh Kudus) idealisme dan formalisme, dan oleh karenanya dalam perenungannya ia hanya akan menemukan Sang Pencipta. Kali ini mungkin ia akan berhasil menemukan Tuhan dalam Marxisme, seperti yang sudah coba dimulainya dalam artikel terdahulunya (“Marxisme dan Ketuhanan yang Maha Esa”).
Apakah kita dapat menemukan pangkal dari pangkal semua filsafat, seperti halnya hari ini para ahli fisika kita yang diliputi oleh mistisisme mencoba mencari awal dari Penciptaan Alam Semesta, mencari bangunan “yang paling elementer” dari semua materi, yakni the Thing-in-itself (benda dalam dirinya sendiri)? Semua pencarian ini telah mengalami jalan buntu dan menciptakan kekacauan yang begitu besar dalam komunitas ilmiah. Stephen Hawkings dan rekan-rekan sejawatnya mengumumkan bahwa mereka telah menemukan titik awal dari Alam Semesta, yakni Big Bang. Ketika ditanya apa yang terjadi sebelum Big Bang, Hawkings mengatakan bahwa kita tidak akan pernah bisa mengetahuinya karena sebelum Big Bang semua teori fisika runtuh. Teori Big Bang ini akhirnya mengarahkan kita kembali ke Teori Penciptaan, di mana sebelum Big Bang maka ada seorang Pencipta, yang tidak bisa dipahami oleh manusia sama sekali. Inilah mengapa Gereja begitu bersemangat merangkul teori Big Bang ini. Begitu juga dengan pencarian akan the Thing-in-itself. Setiap kali para ilmuwan kita mengira mereka telah menemukan bangunan “yang paling elementer” dari materi, atau “Partikel Tuhan”, perkembangan sains lalu menunjukkan bahwa ternyata ada partikel yang lebih kecil lagi yang menyusun materi.
Manusia akan terus memahami lebih dalam dirinya dan Alam Semesta dalam sebuah proses yang tak ada ujung pangkalnya. Ini adalah sebuah proses infinit yang terus memperkaya dirinya, karena pemahaman ini sendiri tidak lain adalah konstruksi manusia untuk bisa berfungsi dalam realitas yang ia tinggali. Realitas adalah tak berhingga, seperti lingkaran setan. Masalahnya adalah bagaimana kita – sebagai materi yang sadar – bisa menggenggam mata rantai yang paling kuat dalam keseluruhan rantai realitas yang tak berhingga ini, dan dengan demikian menemukan tempat kita di dalam realitas yang terus bergerak ini dan meraih kebebasan yang sesungguh-sungguhnya, yakni pemahaman akan rantai-rantai yang mengikat kita dan batas-batas dari apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah realitas yang kita hadapi. Inilah tugas manusia dalam berfilsafat.
Kita harus memahami filsafat sebagai sesuatu yang berkembang dalam keterkaitannya dengan kondisi-kondisi material yang meliputinya, bahwa Marxisme – sebagai filsafat yang pertama kalinya dapat menjelaskan gerak proses perkembangan filsafat itu sendiri – adalah produk zaman. Marxisme sebagai sebuah filsafat hanya bisa lahir – dan memang lahir – pada periode kapitalisme, tepatnya pada tahapan perkembangan kapitalisme di mana kelas proletariat telah mulai terkristalisasi. Dengan demikian nasib Marxisme (gerakan Marxis) terikat erat dalam hubungan yang dialektis – bukan satu arah dan kaku – pada nasib proletariat, pada perjuangan kelas serta perimbangan kekuatan-kekuatan kelas yang ada di dalam masyarakat kapitalis.
Oleh karena itulah Marxisme Rusia tidak berkembang pada 1850 ketika kelas buruh di Rusia belum ada, tetapi pada sekitar 1880-1900 ketika proses industrialisasi yang masif memasuki Rusia. Bukan kebetulan pula pada periode itulah kita temui kelahiran generasi Bolshevik (Lenin, Trotsky, dll.). Begitu juga di Indonesia, dimana Marxisme hanya bisa tumbuh setelah kelas buruh di Indonesia mulai berkembang pada 1910an. Naik bersama kelas buruh, maka keadaan pemikiran dan kekuatan Marxisme juga menurun bersamaan dengan kelas buruh selama periode reaksi ketika kekuatan kontra-revolusi memukul telak kelas buruh. Periode reaksi ini kita saksikan terutama pada periode bangkitnya Stalinisme pada sekitar 1925, dan lagi ketika Uni Soviet runtuh pada 1991. Khususnya di Indonesia, kita tambahkan periode 1965. Setiap periode reaksi membawa serta bersamanya kebingungan dan kekacauan filsafat. Ini diperparah oleh kapitalisme yang semakin membusuk, yang lalu menghasilkan berbagai filsafat “sampah”. Masyarakat yang sedang sakit-sakitan niscaya menghasilkan pemikiran yang sakit-sakitan. Kita masih hidup di bawah pengaruh reaksi-reaksi ini, yang sisa-sisanya masih membebani pikiran kita seperti gunung Alpen, sehingga menyebabkan “berbicara soal Marxisme di Indonesia [saya tambahkan, di seluruh dunia] itu susah.” Kesulitan-kesulitan yang dipaparkan oleh Martin – yang sebagian benar, dan yang sebagian lagi tidak pada tempatnya – disebabkan oleh faktor-faktor historis ini, bukan karena belum ada orang yang menemukan Kebenaran Marxisme. Kebenaran Marxisme tidak akan ditemukan lewat perenungan seorang filsuf, tetapi lewat derap langkah proletariat.
Sekarang kita sedang menyaksikan sebuah perubahan dalam relasi kekuatan di dalam kapitalisme. Kita sedang memasuki periode yang paling bergejolak, dimana semua prasangka-prasangka lama mulai dipertanyakan oleh massa pekerja luas. Ada perubahan yang fundamental yang sedang berlangsung (untuk detilnya baca dokumen-dokumen perspektif nasional dan internasional). Dari pemahaman akan perubahan inilah kita bisa menjangkarkan diri kita, sehingga kita dapat mencari mata rantai yang paling bisa kita genggam erat-erat, mata rantai yang paling memungkinkan kita untuk mengendalikan seluruh rantai. Kelas buruh di seluruh dunia sedang menemukan kekuatan mereka kembali. Krisis kapitalisme hari ini telah mengguncang kepercayaan diri kelas penguasa, dan mulai membangunkan kelas buruh dari tidurnya, terutama lapisan-lapisan muda yang maju. Masalahnya adalah bagaimana mengorientasikan diri kita di tengah situasi ini, mengorientasikan kekuatan kita yang begitu kecilnya.
Martin benar kalau kekuatan Marxisme di Indonesia masihlah sangat lemah, tetapi ini tidak dapat diperbaiki dengan cara yang diajukan oleh Martin. Hanya masuknya kelas buruh ke dalam panggung sejarah yang bisa mengembalikan kekuatan Marxisme, dan sebelum itu terjadi maka Marxisme tetap akan menjadi gagasan minoritas di antara minoritas. Masalahnya adalah bagaimana menggunakan kekuatan kita yang masih kecil ini untuk membentuk simpul-simpul yang kuat di tengah situasi yang sulit, agar siap untuk menyambut masuknya kelas buruh. Di sinilah kerja Partai menjadi krusial, yang tanpanya kerja Marxis akan sia-sia.
Masuknya kelas buruh ke panggung sejarah akan memberikan landasan yang kokoh untuk tumbuh dan menguatnya Marxisme, karena seperti yang telah kita ungkapkan di atas, nasib Marxisme – sejak kelahirannya – terikat dengan nasib proletariat. Runtuhnya Uni Soviet, kendati Uni Soviet pada saat itu telah menjadi monster birokratik yang buruk rupa, merupakan pukulan telak bagi kekuatan proletariat, dan sebagai konsekuensinya Marxisme. Sementara di kebanyakan negeri-negeri kapitalis maju, terutama sejak 1980an, ada tren “deindustrialisasi” di mana pabrik-pabrik besar direlokasi ke negeri-negeri seperti China. Ini bukan berarti tidak ada lagi proletariat di negeri-negeri kapitalis maju ini, tetapi ini berarti pukulan besar bagi lapisan proletariat yang paling terorganisir ini (buruh-buruh pabrik, atau kerah biru), yang digantikan dengan lapisan baru buruh yang relatif tidak terorganisir (buruh-buruh sektor jasa dan kerah putih). Tetapi sekarang buruh-buruh sektor jasa dan kerah putih inilah yang menjadi batalion proletariat yang semakin terorganisir dan militan. Di lain pihak, relokasi pabrik ke negeri-negeri seperti China telah menciptakan batalion proletariat yang paling besar di dunia. Panggung dunia sedang dipersiapkan untuk masuknya kembali kelas proletariat dan bentrokan-bentrokan kelas yang semakin tajam. Tentunya landasan yang kokoh ini tidak serta-merta berarti Marxisme akan berkembang secara otomatis. Lahan yang subur kalau hanya dibiarkan saja tidak akan memberikan hasil. Ia masih harus dicangkul dan diolah. Di sinilah kita temui peran faktor subjektif, yakni peran Partai.
Gerakan Kiri kita tidak pernah kekurangan aktivis dan aktivitas, tidak pernah kekurangan “Marxis-Marxis” yang menggeluti berbagai medan. Tetapi seorang Marxis yang aktif di serikat buruh, yang aktif dalam gerakan advokasi tani, dsb., masih belum bisa dianggap melakukan politik Marxis kalau ia tidak melakukannya dalam lingkup kerja Partai. Tanpa sebuah Partai, maka Marxisme hanya seperti bilah pisau tanpa gagang, yang tajam tapi tidak berguna justru ketika ia dibutuhkan.
Apa yang dimaksud kerja Partai ini? Tidak ada “revolutionary showmanship” di dalam kerja Partai, sesuatu yang mungkin akan menyenangkan hati Martin. Kerja Partai, di tengah hingar bingar super-aktivisme, akan tampak membosankan. Ia terdiri dari:mengorganisir pertemuan sel/ranting yang berkala; mencari satu-dua kontak dan rekrut secara telaten; pendidikan kader yang kontinu; kerja penerbitan koran dan penjualannya; kerja penerbitan materi-materi teori (booklet dan buku); kerja penerjemahan karya-karya klasik Marxis sebagai bagian dari pendidikan; pembangunan finans yang mandiri (tradisi iuran yang ketat); mencetak kaum revolusioner profesional (membangun tradisi fulltimer); merajut jaring-jaring sel Partai yang tersebar luas di seluruh Indonesia yang bekerja secara harmonis dan rapat; dan semua ini dilakukan sebagai bagian dari sebuah organisasi internasional. Saya sengaja tidak mencantumkan “terjun ke massa” atau turba di sini sebagai bagian dari kerja Partai, karena Kiri kita sudah terlalu sering terjun ke massa yang biasanya berarti terjun ke rawa super aktivisme dan mengabaikan kerja membangun Partai. Kalau pembaca cermat, saya tidak pernah mengecam kaum intelektual radikal kita kurang turba, atau kurang bersentuhan dengan massa, dan semacamnya, karena masalahnya bukan kadar turba.
Marxisme tidak akan bisa dibangun hanya dengan menulis rubrik, atau secara individual menerbitkan buku, atau dengan “merakit suatu budaya hipster komunis”, atau dengan direnungkan. Kita harus kembali lagi ke ABC pembangunan kekuatan Marxis yang riil, dan pelajaran yang paling baik dapat ditarik dari pengalaman kaum Marxis Rusia dalam pembangunan Partai. Tentunya bahkan jauh-jauh hari sejak Marx dan Engels, kita telah melihat bagaimana kerja membangun Marxisme selalu disandingkan dengan kerja pembangunan partai. Marx dan Engels – dan para Marxis generasi mereka – tidak menghabiskan waktu mereka hanya menulis teori, tetapi juga membangun partai. Dengan semakin matangnya kelas buruh, maka semakin signifikan pula masalah organisasi di dalam kehidupan Marxisme. Ruang kita di sini terlalu sempit untuk menjabarkan secara detil konsep pembangunan partai ini. Kami hanya bisa mengajak para pembaca untuk kembali menekuni“Taurat” Marxis, yang meringkas pengalaman konkret dari kelas buruh dalam masalah pembangunan Partai. [Sekali lagi saya keceplosan menggunakan kata “Taurat”, yang tentunya akan menyinggung integritas akademik dari para kaum Marxis liberal kita yang bersenjatakan “Nalar semata” sebagai pedoman mereka, dan akan memberikan amunisi lebih lanjut bagi mereka untuk mengolok-olok dogmatisme keagamaan yang sempit dari para Trotskis.]
Akhir kata, keseluruhan dari kerja kaum Marxis adalah kerja persiapan, layaknya pasukan tentara yang kerja sehari-harinya adalah latihan baris-berbaris, meminyaki senapan, menyemir sepatu, dan hal-hal remeh temeh lainnya guna mempersiapkan diri untuk pertempuran yang sesungguhnya. Kita harus membangun sebuah organisasi yang beroperasi layaknya seperti sebuah unit militer, yang rapat dan disiplin, yang direkatkan bukan dengan ancaman mahkamah militer atau semangat “patriotisme” yang romantik tetapi oleh pemahaman bersama akan tugas-tugas kita dalam gerak sejarah. Semua pembicaraan mengenai pasukan militer ini mungkin akan menyinggung prinsip-prinsip “demokratisme” dari sejumlah orang, tetapi kami menolak untuk bersaing dengan mereka dalam ranah “demokratisme” yang abstrak dan memilih untuk menjabarkan masalah-masalah yang kita hadapi secara konkret.
Kesimpulan
Setelah membawa para pembaca menelusuri jalan yang cukup berliku-liku dan terjal, kami harap kami telah membawa sejumlah pembaca sampai pada tujuannya, yakni mengenali garis demarkasi antara Marxisme kami dan Marxisme mereka, antara Marxisme dan Liberalisme. Semua yang berfaedah membutuhkan kerja yang keras dan telaten; dan jalan menuju Marxisme tidak berada dalam garis lurus dan mudah.
Kami merasa cocok untuk menutup karya ini dengan kutipan dari Lenin, yang dapat memberikan gambaran apa yang saat itu dihadapi oleh kaum Bolshevik Rusia pada periode awal mereka lebih dari seabad yang lalu dan apa yang sedang dan akan kita hadapi hari ini:
“Kita sedang berjalan dalam rombongan yang kompak di atas jalan yang curam dan sukar, dengan kuat-kuat berpegangan satu sama lain. Kita terkepung oleh musuh dari segenap penjuru dan kita harus maju di bawah tembakan mereka yang hampir terus-menerus. Kita telah menggabungkan diri dengan sukarela, untuk berjuang melawan musuh dan bukan untuk mundur ke rawa yang terletak di sebelah, yang penghuninya dari sejak semula telah mencerca kita karena telah memisahkan diri dan membentuk grup tersendiri dan telah memilih jalan berjuang, dan bukan jalan perdamaian. Dan sekarang beberapa di antara kita mulai berteriak: mari kita masuk ke rawa ini! Dan ketika kita mulai mengecam mereka, mereka menjawab: alangkah terbelakangnya kalian ini! Tidakkah kalian malu tidak memberikan kebebasan bagi kami untuk mengajak kalian untuk menempuh jalan yang lebih baik! Oh, ya, Tuan-Tuan! Tuan-Tuan tidak hanya bebas untuk pergi ke mana saja tuan-tuan kehendaki, ke rawa sekalipun. Kami bahkan berpendapat bahwa rawa itulah tempat kalian yang sebenarnya, dan kami bersedia memberikan segala bantuan untuk kepindahan kalian ke situ. Hanya saja lepaskan tangan kami, jangan berpegang kuat-kuat pada kami, jangan mengotori perkataan kebebasan yang agung itu, karena kami pun ‘bebas” untuk pergi ke mana saja sesuka hati kami, bebas untuk berjuang tidak hanya melawan rawa itu, tapi juga melawan mereka yang membelok ke rawa itu!” (Lenin, Apa Yang Harus Dikerjakan? 1901)