Hampir tujuh tahun berlalu sejak George Bush, waktu itu presiden Amerika Serikat, mengucapkan pidatonya yang terkenal, “Tatanan Dunia Baru”. Itu terjadi tahun 1991. Saat melancarkan Perang Teluk, kekuatan Imperialis yang paling utama di muka bumi menjanjikan sebuah dunia tanpa peperangan, tanpa kediktatoran, dan tentu saja sebuah dunia yang sepenuhnya berada di bawah kontrol satu-satunya polisi dunia yang berkuasa penuh — Amerika Serikat. Setelah keruntuhan Stalinisme, Imperialisme AS benar-benar mengira bahwa dunia akan dengan lekatnya berada di bawah perintah mereka dan mereka akan bisa mendikte nasib tiap negara. Semua konflik di dunia diselesaikan melalui dialog dalam semacam “Pax Americana”. Nyatanya, sekarang semua impian ini telah tereduksi menjadi puing-puing semata.
Dominasi imperialisme yang sifatnya menghancurkan di dalam arena dunia, yang makin kuat saja setelah keruntuhan Stalinisme, berarti terjadinya eksploitasi yang makin parah terhadap Dunia Ketiga secara keseluruhan. Dominasi negara-negara metropolitan masih lebih besar daripada di masa lalu. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa birokrasi-militer lama yang langsung dikontrol oleh individu boss kolonial telah diganti tempatnya oleh dominasi kolektif atas dunia kolonial oleh negara-negara eksploiter yang kaya raya melalui mekanisme pasar. Di bawah panji “globalisasi” dan “pembukaan pasar” imperialisme melakukan pemaksaan melalui kebijaksanaan penurunan tarif dan swastanisasi berbagai prasarana di seluruh Dunia Ketiga. Kebijakan-kebijakan ini adalah satu akibat dari krisis kapitalisme di Dunia Barat yang memaksa negara-negara imperialis tadi untuk terus mencari pasar dan lapangan investasi baru. Tetapi mereka menetakkan kebangkrutan bagi industri-industri lokal di negara-negara yang mereka datangi, industri-industri yang tak dapat melawan berbagai perusahaan multinasional raksasa. Situasi ini telah memproduksi konsekuensi-konsekuensi yang paling membinasakan dan telah menghasilkan akibat-akibat yang sebelumnya tidak terlihat oleh Presiden Bush.
Secara tipikal, para pembuat strategi AS mempunyai pandangan pendek. Mereka gagal mengerti apa yang telah diterangkan oleh Trotsky bahkan sebelum Perang Dunia Kedua. Trotsky meramalkan bahwa Amerika Serikat akan muncul dengan jayanya dari hiruk pikuk perang yang akan tiba, tetapi sebagai akibatnya Amerika Serikat memasang dinamit di pondasinya sendiri. Saat ini kita melihat bahwa ramalan ini menjadi kenyataan. Kolapsnya Uni Soviet telah merubah bentuk relasi di antara pemilik kekuasaan, menjadikan USA sebagai satu-satunya negara adi daya di dunia. Dalam sejarah umat manusia, tidak pernah ada satu negara tunggal yang menikmati dominasi ekonomi dan militer sedemikian rupa. Malahan krisis yang datang terus-menerus adalah manifestasi bahwa imperialisme AS adalah si Colossus berkaki lempung. Meskipun mengalami kemenangan militer dalam Perang Teluk, AS tidak mampu menggeser Saddam Hussein. Usahanya dalam intervensi militer melawan milisi cakar ayam di Somalia berakhir dalam satu kekalahan memalukan. Sekarang krisis di Asia dan khususnya berbagai kejadian di Indonesia telah menempatkan revolusi secara ajeg dalam agenda. Di Selatan, Amerika Serikat menghadapi suatu krisis menyeluruh di Amerika Tengah dan Amerika Latin dengan berbagai gejolak sosial politik di Meksiko, sebuah perang gerilya yang ber kepala batu di Kolombia, dan sebuah situasi eksplosif di Argentina dan Brazil. Ke mana saja ia mengarahkan pandangan, imperialisme AS dapat melihat bahwa tidak ada satupun rezim borjuis bisa stabil. Seluruh dunia telah masuk ke dalam periode paling kejang dalam kurun waktu ratusan tahun.
BEBAN HUTANG
Eksploitasi berlebihan terhadap Dunia Ketiga, yang makin intensif setelah keruntuhan Stalinisme, mempunyai arti terjadinya perpindahan kekayaan dari negara-negara ini ke peti penyimpanan uang milik perusahan-perusahaan multinasional raksasa dan bank-bank. Hal ini dapat terlihat pada beban hutang yang telah mencapai proporsi yang bahkan sebelum pertemuan G-8 di Birmingham (Mei 1998) telah ada beberapa pembicaraan mengenai inisiatif keringanan pinjaman bagi beberapa negara termiskin. Di akhir pertemuan itu tidak ada satupun inisiatif disetujui. Bank Dunia &endash;tanpa membicarakan pengembalian hutang yang sebenarnya, juga telah memulai sebuah program HIPC (Highly Indebted Poor Countries) yang bertujuan untuk memotong beban hutang 41 negara yang membelanjakan lebih dari 20 persen pendapatan ekspor mereka untuk pembayaran bunga hutang.
Semua rencana ini tidaklah lahir dari niat baik dan kemurahan hati para eksekutif Bank Dunia dan IMF. Ada tiga alasan utama untuk hal ini. Yang paling pertama adalah sangat tidak mungkin bahwa negara-negara ini akan pernah mampu membayar hutang mereka. Oleh karena itu, mereka (IMF dan Bank Dunia) telah memutuskan untuk mengenali realita dan membuat pemerintahan-pemerintahan dunia Barat mengembalikan apa yang dipinjamnya dari bank-bank penyandang dana dengan uang para pembayar pajak. Dalam cara ini bank tidak pernah kalah. Tujuan utama dari inisiatif-inisiatif keringanan hutang ini adalah, di satu sisi, untuk memaastikan bahwa para bankir memperoleh kembali uang mereka, dan di sisi lain, untuk mengangkat negara-negara yang banyak hutang ini ke suatu posisi di mana mereka bisa meminta lebih banyak pinjaman! Kedua, jumlah hutang yang dipinjam oleh negara-negara penghutang terbesar ini, sebagai sebuah persentase dari total pinjaman negara-negara yang dulunya negara-negara jajahan, adalah sangat kecil. Dan yang ketiga, rencana-rencana keringanan tadi datang bersama-sama dengan banyak sekali syarat-syarat terkait. Negara-negara yang terlibat harus melaksanakan “rekomendasi-rekomendasi” (yaitu, perintah) dari IMF.
Rencana Penyesuaian Struktural (SAPs, Structural Adjustment Plans) IMF yang terkenal sekarang telah berjalan cukup lama hingga dapat mengetahui apa konsekuensi-konsekuensinya. Sebagai satu contoh, Zambia adalah sebuah negara yang relatif berkembang dengan sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakit, pelayanan pendidikan, serta sebuah infrastruktur modern yang dibangun terutama di atas basis pendapatan dari pertambangan tembaga. Sepuluh tahun pelaksanaan “penyesuaian struktural” menggiring angka harapan hidup jatuh dari 54,4 tahun di tahun 1991 menjadi 42,6 tahun di tahun 1997. Angka melek huruf berkurang, dan sebagai akibat langsung dari naiknya biaya rumah sakit sekarang tercatat 203 kematian bayi per 1.000 kelahiran dibandingkan 125 di tahun 1991. Akses mendapatkan air bersih juga berkurang, dan 98,1 persen jumlah penduduk hidup atas 2 USD per hari atau malah kurang. Hutang negara mewakili 225 persen GDP (Gross Domestic Product). Oleh karena itu, sama sekali tidak mengejutkan bahwa baru-baru ini terjadi kerusuhan pangan di Zambia &endash; juga di negara-negara yang lain, seperti Zimbabwe dan Tanzania.
Beban hutang negara-negara termiskin di dunia menghabiskan 94 persen pendapatan ekonomi per tahun mereka. Untuk negara-negara yang termasuk dalam program HIPC gambaran ini berkisar 125 persen. Dibandingkan pendapatan hasil ekspor, persentase hutang telah mencapai tingkat yang belum pernah terdengar: Somalia 3.671 persen, Guinea-Bissau 3.509 persen, Sudan 2.131 persen, Mozambik 1.411 persen, Ethiopia 1.377 persen, Rwanda 1.374 persen, Burundi 1.131 persen. Dan jauh dari membaik, situasi secara nyata malah makin memburuk. Tahun 1980 total jumlah hutang dari negara-negara belum berkembang adalah 600 miliar USD. Di tahun 1990 jumlah itu naik hingga 1,4 triliun USD dan tahun 1997 jumlah itu secara mengagetkan menjadi 2,17 triliun USD. Adalah penting untuk mencatat bahwa dalam periode 1990-97, ketika jumlah hutang total naik 770 miliar US dollar, negara-negara ini sebenarnya telah membayar 1,83 triliun US dollar hanya untuk bunga hutang. Sebuah gambaran yang lebih bersifat skandal licik akan muncul jika kita membandingkan pembayaran bunga hutang dengan bantuan yang diterima negara-negara ini, yaitu untuk satu dollar yang mereka terima dalam bantuan, mereka membayarkan kembali 11 dollar untuk bunga hutang.
Akibat-akibat situasi ini jelas. Situasi di seluruh Afrika Sub-Sahara adalah mimpi buruk. Menurut The Economis (6/6/98), “Hampir setengah dari 760 juta orang yang di benua ini ‘amat sangat miskin’, bertahan hidup, diungkapkan oleh ADB (Bank Pembangunan Afrika), atas kurang dari 1 dollar per hari. Walaupun terdapat tanda-tanda yang membesarkan hati dalam beberapa bagian benua, rata-rata pertumbuhan GDP nyata turun di tahun 1997 menjadi 3,7 persen dari 5 persen di tahun sebelumnya. Kesembuhan Afrika masih rapuh dan tatap sama rentan dengan sebelumnya terhadap harga-harga komoditas dan iklim ekonomi yang memburuk. Globalisasi perdagangan dunia… dapat menekan ekonomi benua ini jauh melampaui margin batasnya. Menurut Bank Dunia Afrika hanya menarik minat 1,5 persen investasi langsung milik penanam modal asing di tahun 1996. Penerima bantuan terbesar, memperoleh 32 persen dari jumlah total, adalah Nigeria yang, terpisah dari fakta mempunyai persediaan minyak bumi, tidak mereformasi ekonominya dalam cara di mana minyak bumi dikatakan oleh Bank Dunia sebagai essensial untuk menarik investasi asing.” Meningkatnya tingkat pemiskinan dari penduduk di sebagian besar dunia kolonial telah memberikan kenaikan tajam pada meningkatnya jumlah kriminalitas, pasar gelap, dan “ekonomi informal”. Dalam beberapa kasus, pasar gelap mewakilkan jumlah yang lebih besar dalam bidang ekonomi dibandingkan pasar resmi dan pasar gelap ini merembes ke semua bidang aparatus negara. Mereka mencoba melindungi kepentingan mereka dalam arena politik melalui kekuatan-kekuatan kaum fundamentalis dan “populis”. Semua ini adalah kekuatan-kekuatan ekonomi yang dahsyat yang dalam banyak kasus memiliki kepentingan-kepentingan yang lalu menimbulkan konflik dengan kepentingan-kepentigan imperialisme. Jadi, di semua tingkatan, pembusukan kapitalisme merusak apa yang menjadi hal paling dasar bagi eksistensi umat manusiia di dua per tiga planet. Sebagaimana Lenin ingatkan, perpanjangan eksistensi kapitalisme menandai “horor tanpa akhir”.
PERAN KELAS PEKERJA
Marx, Engels, dan Lenin senantiasa memberi penekanan pada peran terdepan dari kaum proletariat di dalam revolusi. Mereka menjelaskan bahwa hanya kelas pekerja yang bisa mengusung revolusi kaum sosialis. Tak ada kelas lain yang dapat memenuhi peran ini. Mengapa begini? Ini bukanlah sebuah cetusan pikiran yang tiba- tiba atau sebuah asumsi arbiter. Ia berbasis pada peran para pekerja dalam produksi, dan kenyataan bahwa partisipasi dalam produksi kolektif (“sosial”) berarti bahwa kelas pekerja sendirian membangun sebuah kesadaran sosialis (kolektifis). Ini bukan kasus dengan kelas lain. Kaum tani adalah sebuah kelas para pemilik kecil. Bahkan para petani yang tak bertanah, kaum proletariat pedesaan, sering sekali mendambakan pemilikan tanah; jadilah slogan “Tanah untuk penggarapnya” &endash;yang, meski ini merupakan signifikasi revolusioner yang luar biasa, semboyan ini memiliki kandungan borjuis, bukan sosialis. Para mahasiswa dan kaum cendekiawan mempunyai sebuah tendensi yang kuat terhadap individualisme borjuis kecil, yang seringkali memunculkan dirinya bahkan ketika mereka mencoba mengadopsi posisi revolusioner.
Melalui pengalamannya, kaum proletariat belajar untuk memahami organisasi kolektif dan disiplin. Inilah hasil dari sekolah keras produksi dan eksploitasi kapitalis, yang mempersiapkan para pekerja untuk menghadapi perjuangan kelas. Senjata-senjata wajar milik kaum proletar adalah metode-metode perjuangan massa &endash;pemogokan, pemogokan umum, demonstrasi massa, yang bertindak sebagai sebuah sekolah yang mempersiapkan kelas ini untuk tugas utamanya, yaitu mengambil alih jalannya masyarakat ke dalam tangannya. Gerakan kaum pekerja di semua tempat adalah sekolah demokrasi. Sebelum para pekerja itu memutuskan untuk melakukan pemogokan, terdapat diskusi demokratis di mana di dalamnya pendapat yang saling bertentangan dapat terdengar. Tetapi sekali telah diambil pilihan suara, kaum bekerja bertindak sebagai satu kesatuan. Mereka yang telah mencoba menghianati keputusan demokratis para pekerja dan mengacaukan pemogokan diperlakukan sebagai buruh penghianat yang memang harus dihukum. Unjuk rasa adalah ekspresi kongkrit dari kehendak mayoritas. Selama berlangsungnya pemogokan kaum pekerja berpartisipasi, bekerja, dan berdiskusi. Setiap pekerja mengetahui bahwa ia belajar lebih banyak selama satu hari pemogokan dibandingkan satu tahun kehidupan “normal”. Akibatnya, setiap pemogokan mengandung elemen-elemen revolusi dan sebuah revolusi adalah apa yang teradapat dalam sebuah pemogokan dalam skala besar dan luas. Banyak proses-proses yang muncul di dalam kelas bersifat analog, meskipun dua hal tadi berbeda secara kualitatif. Tetapi di masing-masing keduanya elemen kuncinya adalah partisipasi aktif dan sadar dari kelas pekerja, yang mulai mengambil alih nasibnya ke tangannya sendiri daripada menyerahkannya kepada orang lain &endash;para pemimpin serikat pekerja, anggota parlemen, anggota dewan, dan birokrat. Inilah esensi sosialisme atau, lebih tepatnya, esensi kekuatan pekerja.
Sosialisme adalah demokratis atau ia bukan apa-apa. Sejak awal mula revolusi sosialis, mestilah ada rezim yang paling demokratis, sebuah rezim yang akan berarti bahwa untuk pertama kalinya semua tugas-tugas mengenai menjalankan industri, masyarakat, dan negara akan berada di tangan mayoritas masyarakat, kelas pekerja. Melalui komite-komite mereka yang dipilih secara demokratis (soviets), yang dipilih secara langsung di tempat kerja serta tunduk atas recall sewaktu-waktu, para pekerja akan menjadi tuan dari masyarakat bukan hanya namanya saja, tetapi juga dalam kenyataan. Ini adalah posisi kaum pekerja di Rusia setelah Revolusi Oktober. Marilah kita ingat kembali bahwa Lenin meletakkan 4 syarat utama bagi sebuah negara kaum pekerja &endash;yaitu, untuk periode transisi antara kapitalisme dan sosialisme:
- 1)pemilihan umum yang bebas dan demokratis dengan hak recall terhadap semua pejabat
- 2)tidak ada pejabat yang pantas menerima gaji yang lebih tinggi daripada seorang pekerja yang ahli
- 3)tidak ada tentara yang berjaga kecuali rakyat yang dipersenjatai
- 4)secara bertahap, semua tugas-tugas menjalankan negara harus dilakukan oleh massa di atas basis yang bergilir.
Ketika setiap orang menjadi birokrat pada gilirannya, maka tidak ada orang yang menjadi birokrat. Atau, sebagaimana Lenin menyatakan, “Sembarang penggodok ide harus bisa menjadi perdana menteri.”
Hanya di atas basis demikianlah masyarakat dapat mulai bergerak dalam arahan sosialisme &endash;tahap tertinggi masyarakat manusia yang Engels gambarkan sebagai loncatan kemanusiaan dari wilayah keharusan menuju wilayah kebebasan. Secara jelas sebuah perkembangan yang demikian menuntut adanya sebuah perkembangan yang tinggi dalam kekuatan-kekuatan produktif. Itulah mengapa Marx dan Engels berpikir bahwa revolusi sosialis akan bermula di Perancis, dilanjutkan di Jerman, dan berakhir di Inggris. Pada waktu itu kelas pekerja hanya ada di negara-negara ini. Marx dan Engels, dan bahkan Lenin sampai pada tahun 1917, bahkan tak membayangkan kemungkinan kelas pekerja pertama kali muncul sebagai kekuatan justru di sebuah negara terbelakang. Sosialisme menuntut sebuah tingkat tertentu dari perkembangan industri, pertanian, ilmu pengetahuan, dan teknik, di dalam bingkai kerjanya. Hanya di atas basis inilah para pekerja bisa memiliki waktu bebas secukupnya &endash; di atas basis pengurangan hari kerja&endash; untuk berpartisipasi dalam menjalankan masyarakat dan negara.
Bagaimanapun, situasi telah berubah secara radikal setelah kematian Marx dan Engels, disebabkan oleh kedatangan imperialisme, tahap tertinggi dari kapitalisme sebagaimana dianalisa oleh Lenin dalam bukunya yang terkenal dengan judul sama. Lenin menjelaskan bahwa satu dari gambaran-gambaran utama dari imperialisme adalah ekspor kapital dari negara-negara maju ke negara-negara kolonial dan negara-negara semi-jajahan. Di atas basis hukum ‘perkembangan gabungan dan tak seimbang’, sebuah kelas pekerja yang perkasa tumbuh di negara-negara terbelakang seperti Rusia yang Tsarist, sebuah fakta yang tidak mengubah karakternya sebagai sebuah negara yang terbelakang, semi feodal, dan semi jajahan. Persoalan-persoalan utama dari polemik di antara tendensi-tendensi yang berbeda dari gerakan buruh Rusia sebelum 1917 adalah setepatnya merupakan karakter dari Revolusi Rusia dan relasi antar kelas dalam revolusi. Tak dapat disangkal, teori yang mengantisipasi dan menjelaskan apa yang sungguh-sungguh terjadi di tahun 1917 telah dikerjakan oleh Trotsky.
REVOLUSI PERMANEN
Teori revolusi permanen pertama dikembangkan oleh Trotsky di awal 1904. Revolusi permanen, sambil menerima bahwa tugas-tugas objektif yang menghadang pekerja Rusia adalah tugas-tugas revolusi demokratik kaum borjuis, juga secara bersamaan menjelaskan bagaimana di dalam sebuah negara terbelakang dan di dalam jaman imperialisme, “borjuasi nasional”, di satu sisi berkaitan secara tak dapat dipisahkan dengan feodalisme yang tersisa sekaligus juga di sisi lainnya berkaitan dengan kapital milik kaum imperialis, dan oleh karena itu borjuasi nasional sepenuhnya tidak mampu mengemban tugas historis apapun. Kebusukan kaum borjuis liberal dan peran kontra revolusioner mereka dalam revolusi borjuis demokratis telah diamati oleh Marx dan Engels. Dalam artikelnya Borjuasi dan Kaum Kontra-Revolusi (1848), Marx menulis :
“Borjuasi Jerman telah berkembang dengan begitu malas, secara berat dan lamban di saat di mana dengan terancam ia menghadapi feodalisme dan absolutisme, ia juga melihat dirinya begitu terancam berhadapan dengan kaum proletar serta segala faksi warga kota yang memiliki berbagai kepentingan dan ide-ide yang bersaudaraan dengan ide serta kepentingan yang dipunyai kaum proletar. Dan ia melihat kesatuan tempur yang amat bermusuhan dnegannya bukanlah satu kelas di belakangnya, melainkan seluruh Eropa di hadapannya. Borjuasi Prusia bukanlah, sebagaimana borjuasi Perancis di tahun 1789, kelas yang merepresentasikann seluruh masyarakat modern vis-a-vis wakil-wakil masyarakat lama, monarki dan kaum bangsawan. Ia telah terbenam ke level sejenis lapisan sosial pemilik tanah, menentang kerajaaan sama jelasnya dengan ia menentang rakyat, ingin sekali menjadi oposisi bagi keduanya. Ragu-ragu melawan tiap lawannya, sendirianlah ia, sebab ia senantiasa melihat keduanya tadi di belakang atau di depannya; ia merosot hingga mengkhianati rakyat dan berkompromi dengan wakil-wakil kerajaan yang berasal dari masyarakat lama sebab ia sendiri milik masyarakat lama.” (Karl Marx, Borjuasi dan Kaum Kontra Revolusi, MESW, volume 1, halaman 140-1).
Marx menjelaskan, borjuasi tidak mencapai kekuasaan sebagai hasil dari kerja keras revolusionernya sendiri, melainkan sebagai sebuah hasil dari gerakan massa di mana dalam gerakan ini ia tidak memainkan peranan apa-apa. Borjuasi Prusia terlempar ke ketinggian kekuasaan negara, bagaimanapun juga tidak dengan cara hal itu diinginkannya, yaitu dengan sebuah tawar menawar yang damai dengan kerajaan, melainkan dengan sebuah revolusi.” (Karl Marx, Borjuasi dan Kaum Kontra Revolusi, MESW, volume 1, halaman 138).
Bahkan dalam jaman revolusi borjuis demokratik di Eropa, Marx dan Engels tanpa ampun membuka kedok peran kontra revolusioner, pengecut, dari borjuasi dan menitikberatkan keharusan bagi para pekerja untuk memelihara suatu kebijakan mengenai independensi kelas sepenuhnya, tidak hanya independensi dari kaum borjuis liberal, tetapi juga dari kaum demokrat borjuis kecil:
“Kaum Proletar, atau partai yang benar-benar revolusioner,” tulis Engels, “berhasil hanya dengan amat bertahap dalam penolakan massa kelas pekerja terhadap pengaruh kaum demokrat yang memiliki ikatan yang dibangun saat permulaan revolusi. Dalam waktu yang pasti, kelemahan hati dan kepengecutan para pemimpin kaum demokratik melakukan langkah mundur, dan sekarang mungkin yang bisa dikatakan sebagai satu dari hasil-hasil utama ledakan tahun kemarin adalah bahwa di manapun kelas pekerja terkonsentrasi dalam apapun yang serupa massa yang sangat besar, mereka sepenuhnya terbebaskan dari bentuk pengaruh demokrasi yang menggiring mereka ke dalam serial blunder dan kesialan tak ada akhirnya sepanjang 1848 dan 1849.” (F. Engels, Revolusi dan Kontra Revolusi di Jerman, MESW, volume 1, halaman 332.)
Situasi itu lebih jelas lagi saat ini. Borjuasi nasional di negara-negara kolonial amatlah terlambat masuk ke dalam babakan sejarah, ketika dunia telah terbagi-bagi di antara kaum imperialis yang sedikit. Ia tidak maampu memaikan peranan progresif apapun dan telah sepenuhnya tersubordinasi kepada tuan-tuan yang dulu menjajahnya. Borjuasi yang lemah dan merosot akhlaknya di Asia, Amerika Latin, dan Afrika terlalu bergantung kepada modal asing dan imperialisme, untuk memajukan masyarakat. Borjuasi itu terikat dengan ribuan benang, tidak hanya kepada modal asing tetapi juga dengan kelas pemilik tanah yang dengannya ia membentuk suatu blok reaksioner yang menghadirkan sebuah benteng penghadang terjadinya kemajuan. Apapun perbedaan yang mungkin ada di antara elemen-elemen ini, semuanya tidak signifikan dibandingkan dengan ketakutan yang menyatukan mereka untuk melawan massa. Hanya kaum proletariat, bersekutu dengan kaum tani miskin dan kaum urrban miskin, yang mampu memecahkan masalah-masalah di masyarakat dengan mengambil kekuasaan ke tangannya sendiri, mengambil alih milik kaum imperialis dan borjuasi, serta memulai tugas mentrasformasikan masyarakat di atas garis sosialis.
Dengan menempatkan dirinya di kepala bangsa, memimpin lapisan-lapisan tertindas di masyarakat (kaum borjuis kecil di daerah rural urban), kaum proletar dapat mengambil kekuasaan dan kemudian mengemban tugas-tugas revolusi borjuis demokratik (terutama land reform dan penyatuan negara, serta pembebasan negara dari dominasi asing). Bagaimanapun, sekali telah memegang kekuasaan, kaum proletar tidak akan hanya berhenti di situ, melainkan akan mulai mengimplementasikan cara-cara sosialis mengenai pengambillalihan milik kaum kapitalis. Dan sebagaimana tugas-tugas ini tidak dapat dipecahkan di dalam satu negeri melulu, khususnya tidak di sebuah negara terbelakang, hal ini akan menjadi awal mula dari revolusi dunia. Jadi, revolusi itu “permanen” dalam dua pengertian: sebab ia mulai dengan tugas-tugas kaum borjuis dan berlanjut dengan tugas-tugas kaum sosialis, dan sebab ia mulai di satu negara dan berlanjut pada tingkat internasional.
Teori revolusi permanen adalah jawaban yang paling utuh bagi posisi kaum reformis serta kaum kolaborator kelas di sayap kanan gerakan kaum pekerja Rusia, yaitu kaum Menshevik. Teori dua tahap dikembangkan oleh kaum Menshevik sebagai perspektif mereka untuk revolusi Rusia. Secara mendasar teori ini menyatakan bahwa, karena tugas revolusi adalah tugas-tugas revolusi nasional borjuis demokratik, maka kepemimpinan dari revolusi harus ditangani oleh borjuasi demokratik nasional. Untuk pendapatnya sendiri, Lenin setuju dengan Trotsky bahwa kaum liberal Rusia tidak dapat mengadakan revolusi borjuis demokratis, dan bahwa tugas ini hanya dapat diadakan oleh kaum proletariat dalam persekutuannya dengan kaum tani miskin. Mengikuti jejak langkah Marx, yang telah menggambarkan “partai demokratik” kaum borjuis sebagai “jauh lebih berbahaya bagi para pekerja daripada kaum liberal yang terdahulu”, Lenin menjelaskan bahwa borjuasi Rusia, jauh dari menjadi sekutu kaum pekerja, akan tak dapat dielakkan lagi bersisian dengan kaum kontra revolusi.
Tahun 1905 ia menulis, “Di tengah massa, tak akan terhindarkan, kaum borjuis pastilah mendekati kontra revolusi dan melawan rakyat secepat kepentingan-kepentingannya yang picik dan mau menang sendiri itu bertemu, secepat itulah ia ‘mencelat’ dari demokrasi konsisten (dan ia memang telah berkecut hati karena ini!)”.; (Lenin, Selected Works, volume 9, halaman 98.)
Dalam pandangan Lenin, kelas mana yang mampu memimpin revolusi demokrasi-borjuis? “Tetaplah ‘rakyat’, yaitu, kaum proletar dan kaum tani. Kaum proletar sendiri dapat dipercaya untuk melakukan marching hingga ke akhir, jauh melampaui revolusi demokratik. Itulah mengapa kaum proletar bertempur di garis depan demi sebuah republik dan dengan menghina ia menolak saran bodoh dan tak berharga untuk mempertimbangkan kemungkinan borjuasi mencelat mundur.” (Ibid)
Dalam semua pidato dan tulisan Lenin, peranan kontra-revolusi kaum demokratik-borjuis Liberal selalu ditekankan, terus menerus. Bagaimanapun, hingga 1917, Lenin tidak yakin bahwa kaum pekerja Rusia akan bisa mencapai kekuasaan sebelum terjadi revolusi sosialis di Barat &endash;ini satu perspektif yang sebelum 1917 hanya dipertahankan oleh Trotsky. Tahun 1917 hal ini diadopsi sepenuhnya oleh Lenin dalam Tesis-tesis April-nya. Kebenaran teori revolusi permanen secara gilang-gemilang ditunjukkan oleh Revolusi Oktober sendiri. Kelas buruh Rusia &endash;sebagaimannna telah diramalkan oleh Trotsky di tahun 1904&endash; meraih kekuasaan sebelum kaum buruh dari Eropa Barat. Mereka menyelenggarakan semua tugas-tugas Revolusi demokratik-borjuis, dan langsung memulai nasionalisasi industri dan menempuh tugas-tugas revolusi sosialis. Kaum borjuis memainkan sebuah peranan kontra revolusioner secara terbuka, tetapi dikalahkan oleh kaum buruh dalam aliansinya dengan kaum tani miskin. Kemudian kaum Bolshevik membuat suatu himbauan revolusioner kepada kaum buruh di seluruh dunia untuk mengikuti contoh mereka. Lenin mengetahui dengan baik bahwa tanpa kemenangan revolusi di negara-negara kapitalis yang maju, terutama Jerman, revolusi tidak dapat bertahan dalam keadaan terisolasi, terutama di sebuah negara terbelakang seperti Rusia. Apa yang kemudian terjadi memperlihatkan bahwa hal ini sepenuhnya benar. Pendirian dari (Komunis) Internasional Ketiga, partai dunia dari kaum sosialis, adalah manifestasi kongkrit dari perspektif ini.
Jikalau Komunis Internasional tetap kukuh berada di atas posisi yang dibuat oleh Lenin dan Trotsk,y tentulah kemenangan revolusi di tingkat dunia telah dapat dipastikan. Malangnya, tahun-tahun pertumbuhan Komintern bertepatan dengan maraknya kontra revolusi kaum Staslinis di Rusia, yang memiliki akibat yang sangat menghancurkan bagi Partai Komunis di seluruh dunia. Birokrasi Stalinis, memiliki kontrol yang mendalam di Uni Soviet, mengembangkan sebuah pandangan yang amat konservatif. Teori bahwa sosialisme dapat dibangun dalam satu negara &endash;sebuah hal yang amat dibenci dalam sudut padang pendirian Marx dan Lenin&endash; sangat mencerminkan mentalitas birokrasi yang telah mengalami cukup berbagai tekanan dan stress dari revolusi dan berusaha untuk bisa berjalan terus dengan mengadakan tugas-tugas mengenai “membangun sosialisme di Rusia”. Bisa diikatakan, mereka ingin melindungi dan memperluas kewenangasn mereka dan tidak “mengotori” sumber daya negara dengan cara mengejar revolusi di tingkat dunia. Pada sisi lain, mereka takut bahwa revolusi di negara-negara lain dapat berkembang pada garis yang sehat dan hal itu merupakan ancaman terhadap dominasi mereka sendiri di Rusia, dan oleh karena itu pada satu tahap tertentu, secara aktif mereka berusaha menghalang-halangi terjadinya revolusi di tempat-tempat lain.
Daripada mengejar sebuah kebijakan revolusioner berdasarkan pada independensi kelas, sebagaimana senantiasa diadvokasikan Lenin, mereka mengajukan sebuah aliansi Partai Komunis dengan “kaum borjuis progresif nasional” (dan jikalau tidak ada kum ini yang tersedia begitu saja, mereka telah mempersiapkan diri untk melakukan intervensi terrhadapnya) untuk mengadakan revolusi demokratik, dan setelahnya, menyusul, di kelak kemudian hari yang jauh, saat negara telah mengembangkan perekonomian yang menghilangkan kaum kapitalis sepenuhnya, barulah ada perjuangan demi sosialisme. Kebijakan ini menghadirkan sebuah jurang yang sama sekali berpisah dengan Leninisme dan sebuah titik balik kepada posisi kuno yang amat tercemar dari Menshevisme &endash;inilah teori “dua tahapan”.
PERAN PARTAI-PARTAI KOMUNIS
Teori ini memainkan peran kriminal dalam perkembangan revolusi di dunia jajahan. Di Cina, Partai Komunis yang masih muda terpaksa masuk ke dalam aturan main kaum borjuis nasional, Kuomintang, yang kemudian melakukan likuidasi secara fisikal terhadap Partai Komunis tersebut, serikat-serikat buruh, dan dewan-dewan tani selama berlangsungnya revolusi Cina tahun 1925-27. Alasan mengapa revolusi Cina yag kedua mengambil bentuk berupa perang kaum tani di mana kelas buruh tetap pasif, adalah perluasan dari kehancuran kaum proletar Cina sebagai akibat kebijakan-kebijakan Stalin yang dikarakterisasikan Trotsky sebagai “sebuah karikatur jahat dari Menshevisme”. Di manapun ia diterapkan dalam dunia jajahan, teori kaum Staliniss mengennai ‘dua tahapan’ telah menggiring terjadinya satu malapetaka menyusul malapetaka lainnya.
Di Sudan dan Irak pada tahun 1950-an dan 1960-an, Partai Komunis merupakan kekuatan massa yang mampu menghimbau adanya demostrasi sejuta orang di Baghdad dan dua juta orang di Khartoum. Daripada melanjutkan adanya kebijakan mengenai kelas independen dan memimpin para buruh dan kaum tani untuk merebut kekuasaa, mereka ini mencari aliansi dengan kaum borjuis “progresif” serta golongan-golongan “progresif” dalam jajaran militer. Yang disebut terakhir, setelah mengambil alih kekuasaan dengan dukungan penuh dari partai-partai Komunis, kemudian mulailah mengeliminasikan mereka dengan pembunuhan dan pemenjaraan anggota-anggota serta pimpinan-pimpinannya. Di Sudan, proses yang sama terjadi bukan hanya sekali tetapi dua kali. Masih saja, bahkan hingga saat ini, para pemimpin Partai Komunis Sudan mempunyai suatu kebijakan tentang “Aliansi Patriotik” dengan kaum gerilya di Selatan (sekarang disokong oleh imperialisme AS) dan kaum borjuis “progresif” di Utara, untuk melawan rezim fundamentalis. Yang disebut para pemimpin Komunis ini mirip kaum Bourbon kuno yang “tidak melupakan satupun dan tidak mempelajari apa-apa”. Kebijakan-kebijakan mereka adalah sebuah resep akhir bagi satu kekalahan berdarah setelah kekalahan berdarah lainnya.
Contoh paling tragis mengenai konsekuensi yang sifatnya menghancurkan dari teori dua tahapan adalah apa yang terjadi di Indonesia. Di tahun 1960-an Partai Komunis Indonesia adalah kekuatan massa yang utama di negara tersebut. Itu adalah Partai Komunis terbesar di dunia di luar Blok Soviet, dengan tiga juta orang anggota, serta sepuluh juta orang berafiliasi kepada serikat-serikat pekerjanya serta organisasi-organisasi buruh taninya, dan bahkan Partai Komunis Indonesia (PKI) mengklaim adanya dukungan 40 persen tentara (termasuk jajaran perwira). Kaum Bolshevik Rusia tidak memiliki dukungan terorganisir yang sebanyak itu pada saat revolusi Oktober! PKI dapat dengan mudah mengambil alih kekuasaan dan memulai transformasi sosialis terhadap masyarakat yang akan memiliki efek luar biasa besar di seluruh dunia jajahan, menjadi rantai revolusi-revolusi di Asia. Daripada melakukan itu, para pemimpin Partai Komunis (di bawah kontrol kaum Maois Cina) malah membentuk sebuah aliansi dengan Soekarno, seorang pemimpin nasionalis borjuis yang pada saat itu mengadopsi fraseologi “kiri”. Kebijakan-kebijakan tersebut menyebabkan PKI sepenuhnya tidak siap saat kaum borjuis (di bawah instruksi langsung dari CIA) mengorganisasikan sebuah pembantaian terhadap para anggota dan simpatisannya, di mana dalam pembantaian itu sedikitnya 1,5 juta orang dijagal.
Walaupun ada segala kekalahan dan tinjauan masa lalu, kaum buruh dan petani akan mengambil jalan perjuangan dari waktu ke waktu, secara tak terelakkan. Kejadian-kejadian yang terjadi di Indonesia baru-baru ini merupakan indikasi nyata dari fakta ini. Kejadian-kejadian itu adalah sebuah antisipasi terhadap apa yang akan terjadi di satu per satu negara Asia. Dan ini hanyalah awal dari sebuah proses revolusioner yang akan tidak terbendung selewat periode bertahun-tahun. Jika sebuah partai Leninis murni eksis, hal ini dapat berakhir dalam sebuah revolusi proletar dalam bentuk klasik. Masalah mengenai gerilyaisme atau Bonapartisme kaum proletar tidak akan muncul. Di sini, sebagaimana biasanya selalu, faktor subyektif mutlak diperlukan. Malangnya kepemimpinan partai-partai komunis di negara-negara ini mengulang-ulang segala kesalahan lama yang sama saja, di mana hal ini telah menggiring kepada terjadinya kekalahan dan pembantaian di masa lalu. Meskipun Jepang bukan sebuah negara jajahan, hal ini tidak berarti apapun dalam hal pertumbuhan yang spektakuler dari Partai Komunis Jepang (JCP) sebagai akibat dari krisis ekonomi negara tersebut. JCP menjadi partai yang memiliki wakil terbanyak dalam dewan-dewan lokal, merupakan partai kedua terbesar dalam Majelis Metropolitan Tokyo dan koran harian JCP memiliki sirkulasi sebesar 3,2 juta.
Gelombang radikalisasi yang menyapu seluruh Asia telah juga mempengaruhi kelas buruh di Jepang. Peringatan May Day tahun ini di Jepang adalah yang terbesar sejak bertahun-tahun. Tidak kurang dari satu juta buruh ikut beerpartisipasi ari seluruh negeri berkumpul. Ini adalah contoh jelas tentang bagaimana kesadaran dapat berubah dengan kecepatan kilat saat kondisi-kondisi berubah. Tetapi sialnya kebijakan-kebijakan kepemimpinan JCP sepenuhnya berharak dari tugas-tugas nyata yang dihadapi kaum kelas buruh Jepang. Menurut Kimitoshi Morihara vice head dari departemen internasional JCP, “kami bekerja menuju pendirian sebuah pemerintahan demokratis yang mencari penyelesaian masalah-masalah ini, dalam kerangka kerja kapitalisme, di awal abad mendatang”. (Wawancara dalam mingguan Greenleft Weekly No. 317). Mereka menyempurnakan teori dua tahapan Stalinis yang kuno dengan menambahkan satu tahapan ekstra! Ini adalah “perspektif untuk kemajuan sosial di Jepang : pemerintahan koalisi demokratik, revolusi demokratik, dan revolusi sosialis” (?). Hal ini makin makin membingungkan karena, sebagaimana Jepang telah menjadi kekuatan industri kedua di dunia, orang dapat membayangkan hal tersebut dapat dilakukan tanpa sebuah “revolusi demokratik”. Kelihatannya alasan apapun akan diambil supaya revolusi sosialis tidak dimasukkan ke dalam agenda.
Selama berpuluh-puluh, tahun kelas buruh di negara-negara kolonial dan bekas kolonial telah menunjukkan keberaniannya yang kolosal dan potensial revolusionernya. Dari waktu ke waktu kelas ini telah bergerak untuk mengadakan transformasi revolusioner di masyarakat. Di Irak, Sudan, Iran, Chili, Argentina, India, Pakistan, dan Indonesia, kaum buruh telah menunjukkan bahwa mereka berkehendak untuk menjadi tuan dari masyarakat mereka. Jikalau mereka gagal, hal ini bukan karena mereka tidak bisa meeraih keberhasilan, melainkan karena mereka kekurangan syarat yang sangat diperlukan untuk mengambil alih kekuasaan. Dalam setiap kasus, mereka membenturkan kepala mereka terhadap tembok tebal sebab partai-partai dan para pemimpin yang mereka percayai untuk memimpin mereka kepada transformasi sosialis dari masyarakat berubah menjadi rintangan-rintangan raksasa.
Guna meraih kekuasaan, tidaklah cukup bahwa kaum buruh disiapkan untuk bertempur. Bila itu masalahnya, kelas buruh telah dapat mengambil kekuasaan di seluruh negara-negara ini sejak dulu kala. Hal itu akan berlangsung mudah sebab mereka berada dalam posisi yang jauh leebih kuat daripada para buruh Rusia pada tahun 1917. Meskipun demikian mereka tidak mengambil kekuasaan. Mengapa tidak? Sebab kelas buruh membutuhkan sebuah partai dan sebuah kepemimpinan. Untuk menyangkal kenyataan hidup yang elementer ini adalah semata-mata anarkisme kekanakan. Dulu sekali Marx menjelaskan bahwa tanpa organisasi, kelas buruh adalah semata-mata bahan mentah bagi eksploitasi. Meskipun kekuatannya dalam jumlah dan peran kuncinya dalam produksi, kaum proletar tidak dapat merubah masyarakat kecuali ia menjadi sebuah kelas “ditengah-dan-untuk-dirinya sendiri” dengan kesadaran, perspektif-perspektif, dan pemahaman yang diperlukan. Untuk menunggu adanya kelas yang sepenuhnya memiliki pemahaman yang diperlukan mengenai hal (revolusi sosialis) tersebut hingga memadai untuk mengambil alih kekuasaan lalu mengubah masyarakat, ini adalah sebuah proporsi utopia yang sama saja dengan mengulur-ulur terjadinya revolusi secara tidak menentu. Adalah perlu untuk mengorganisasikan lapisan-lapisan yang paling maju dari kelas (buruh pekerja), mendidik kader, dan memasukkan kepada kader mereka perspektif-perspektif mengenai revolusi, tidak hanya dalam skala nasional, melainkan juga revolusi dalam skala internasional, mengintegrasikan mereka di tengah massa pada setiap level, dan secara sabar menyiapkan gerakan saat perjuangann-perjuangan parsial dari massa terkombinasi menjadi suatu serangan revolusioner yanng menyeluruh.
Tanpa satu partai yang revolusioner, kekuatan potensial milik kaum proletar akan tetap semata begitu &endash;sebuah potensial. Hubungan antara kelas (proletar) dengan partai adalah serupa dengan hubungan antara uap dan piston box dalam mesin uap. Tetapi bahkan keberadaan-keberadaan partai tidaklah cukup unntuk memastikan adanya keberhasilan. Partai tersebut harus dipimpin oleh para laki-laki dan perempuan yang dilengkapi dengan pemahaman yang diperlukan mengenai tugas-tugas revolusi, berbagai taktik, strategi, dan perspektif, tidak hanya perspektif-perspektif nasional tetapi juga internasional. Situasi obyektif di Indonesia tahun 1964-65 tak dapat berlangsung lebih baik lagi. Massa telah mengalahkan Imperialisme Belanda. Kaum komunis memiliki dukungan mayoritas luas dari kelas pekerja dan buruh tani. Tetapi sebuah kebijakan dan perspektif yang keliru sudah cukup untuk menghadirkan kekacauan total pada revolusi. Jika revolusi Oktober membuktikan kebenaran dari revolusi permanen dalam sebuah pengertian positif, malapetaka di Indonesia menghadiahkan kepada kita sebuah bukti negatif dalam bentuknya yang paling mengerikan.
Cara yang menyimpang dan kacau balau di mana dengan cara ini revolusi di daerah kolonial telah terbentang sejak tahun 1945 adalah bukan akibat dari keterbelakangan, atau karena tertundanya revolusi sosialis di negara-negara kapitalis yang maju. Hal itu bukanlah sesuatu yang tak dapat dielakkan dan bukan pula ditentukan lebih dahuulu oleh hukum-hukum sejarah. Di atas semuanya, hal itu adalah akibat ketiadaan faktor subyektif, ketiadaan suatu partai revolusioner yang murni dan kepemimpinannya yang bisa memberikan suatu karakter serta arahan yang sepenuhnya beda terhadap revolusi. Berbicara apa adanya, tidak ada satupun yang bisa menghalangi revolusi di Cina, ini untuk contoh, dari hal memainkan peran yang sama dengan revolusi Rusia di tahun 1917, jika saja kondisinya adalah para pemimpin Komunis Cina berbuat sebagaimana Lenin dan Trotsky. Tetapi para pemimpin ala Stalinis tersebut takut terhadap gerakan independen dari kelas buruh dan melakukan apapun yang berada dalam kekuasaan mereka untuk menghalanginya. Cara konyol di mane revolusi Cina muncul di tahun 1949, sebagai satu revolusi menyimpang dalam bayang-bayang Rusia di bawah kepemimpinan Stalin, menjadikan (revolusi tersebut) memiliki sedikit saja himbauan untuk bergerak di kalangan kaum buruh di negara-negara yang maju, meskipun revolusi tersebut memberikan suatu stimulus penting terhadap revolusi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Hal yang sama persis terjadi pada rezim-rezim Bonapartisme proletar yang lainnya yang hadir setelahnya. Walaupun tak dapat disangkal mereka ini menyajikan satu langkah ke depan, mereka benar-benar sebuah penyelewengan dan sebuah titik balik dari norma revolusi kaum proletar yang didirikan oleh Lenin yang lalu menjadi kenyataan di bulan Oktober 1917. Fakta ini harus terus kita jaga dalam pikiran jika kita mau memahami signifikasi sesungguhnya dari revolusi di daerah kolonial setelah tahun 1945.
REVOLUSI CINA
Dari waktu ke waktu adalah penting untuk menarik sebuah perhitungan mengenai ide-ide kita dan posisi-posisi teoritis kita. Bagaimana setelah berlalu 50 tahun hal-hal tersebut terwujud dalam praktek? Jika ada satu kontribusi utama dari tendensi kita terhadap Marxisme, ini adalah analisis kita mengenai revolusi kolonial dan perkembangan Bonapartisme kaum proletar, dimulai dengan analisis kita mengenai revolusi Cina setelah 1945. Hal ini benar-benar kebuntuan kapitalisme di negara-negara ini dan tekanan kebutuhan massa untuk adanya sebuah jalan maju yang telah memunculkan fenomena Bonapartisme kaum proletar. Hal ini berkaitan dengan sejumlah faktor-faktor yang berlainan. Di tempat pertama, kebuntuan komplit di masyarakat di negara-negara terbelakang dan ketidakmampuan kaum borjuis kolonial untuk menunjukkan jalan maju. Kedua, ketidakmampuan dari imperialisme untuk memelihara kontrolnya dengan cara-cara lama yaitu aturan milliter-birokratik secara langsung. Ketiga, tertundanya revolusi kaum proletar di negara-negara kapitalis yang maju dan lemahnya faktor subyektif . Terakhir, adanya rezim yang amat kuat dari Bonapartisme kaum proletar di Uni Soviet.
Kemenangan USSR dalam Perang Dunia Kedua, dan menguatnya Stalinisme setelah Perang itu dengan perluasan dari Stalinisme ini ke wilayah Eropa Timur, serta kemenangan revolusi Cina, adalah keseluruhan faktor yang terkombinnasi menjadi kondisi yang mendukung perkembangan Bonapartisme kaum proletar sebagai sebuah varian konyol dari revolusi permanen yang hanya dimengerti oleh tendensi kita. (Bonapartisme kaum proletar) ini adalah fenomena yang sebelumnya sungguh tidak pernah terjadi dan tidak pernah diharapkan adanya. Tidak ada tempat dalam Marxisme klasik yang bahkan pernah mempertimbangkan sebagai suatu kemungkinan teoritis, bahwa sebuah perang kaum tani dapat memimpin terjadinya pendirian sebuah negara pekerja, bahkan negara milik pekerja yang dideformasi. Meski demikian, inilah tepatnya yang muncul di Cina, lalu menyusul di Kuba dan Vietnnam.
Kami mengkarakterisasikan revolusi Cina sebagai kejadian terbesar kedua dalam sejarah, setelah revolusi Rusia di tahun 1917. Kejadian itu mempunyai efek yang luar biasa besar dalam perkembangan selanjutnya dari revolusi di daerah-daerah jajahan. Tetapi revolusi Cina ini tidak mengambil tempatnya di atas garis klasik revolusi Rusia tahun 1917 ataupun revolusi Cina tahun 1925-27. Kelas buruh tidak memainkan peran penting apapun. Mao meraih kekuasaan di atas basis perang kaum tani yang gagah berani, sesuai tradisi Cina. Satu-satuya cara Mao bisa memenangkan perang saudara di tahun 1944-49 adalah dengan menawarkan sebuah program mengenai pembebasan sosial kepada para bala tentara petani dari Chiang Kai-Shek, yang dipersenjatai dan disokong oleh imperialisme Amerika. Tetapi para pemimpin Stalinis dari Tentara Merah kaum tani tidak memiliki perspektif mengenai hal memimpin keum buruh menuju kekuasaan sebagaimana dilakukan Lenin dan Trotsky tahun 1917. Ketika bala tentara petani Mao sampai di kota-kota, dan secara spontan kaum buruh menduduki pabrik-pabrik dan memberi lambaian selamat kepada bala tentara Mao dengan lambaian bendera merah, Mao memberikan perintah bahwa demonstrasi-demonstrasi tersebut harus ditekan dan para buruh tersebut ditembaki.
Awalnya, Mao tidak bermaksud untuk melakukan penyitaan terhadap kapitalis-kapitalis Cina. Perspektifnya untuk revolusi Cina tertuang dalam sebuah pamflet berjudul On New Democracy yang di dalamnya ia menulis bahwa revolusi sosialis adalah bukan tugas mendesak di Cina, dan satu-satunya perkembangan yang dapat diberi tempat adalah sebuah perekonomian campuran, yaitu kapitalisme. Ini adalah teori Menshevik “dua tahapan” klasik yang telah diadopsi oleh birokrasi Stalinis dan telah menggiring kekalahan revolusi di Cina tahun 1925-27. Tetapi kita memahami bahwa di bawah kondisi-kondisi kongkrit yang telah berkembang waktu itu, harusnya Mao akan terdorong untuk melakukan penyitaan kapitalisme.
Tidak hanya itu, tetapi kita jauh-jauh hari telah memprediksikan kenyataan bahwa Mao akan terpaksa putus hubungan dengan Stalin. Di awal tahun 1949 kita telah menulis : “Fakta bahwa Mao memiliki massa murni yang basisnya independen dari Tentara Merah Rusia dalam semua kemungkinan akan menyediakan basis independen untuk pertama kalinya bagi Stalinisme Cina yang akan tidak lebih lama lagi bergantung pada Moskow. Sebagaimana Tito, begitu pulalah dengan Mao, meski bagaimanapun peran Tentara Merah di Manchuria, Stalinisme Cina kini mengembangkan dasar yang independen. Sebab aspiirasi-aspirasi nasional dari massa di Cina, perjuangan tradisional melawan dominasi asing, kebutuhan ekonomi negeri, dan di atas semua itu, dasar yang kokoh dalam aparatus negara yang independen, kebahayaan mengenai munculnya seorang Tito yang baru dan perkasa di Cina merupakan satu faktor yang menimbulkan kecemasan di Moskow (…)
“Bagaimanapun, subordinasi terhadap ekonomi Cina untuk keuntungan birokrasi Rusia, dengan berbagai upaya menempatkan boneka-boneka di dalam kontrol Moskow, yang boneka-boneka ini akan sepenuhnya berporos ke Moskow &endash;dengan kata lain, penindasan nasional terhadap Cina&endash; akan menciptakan dasar yang besar sekali signifikasinya bagi perpecahan dengan Kremlin. Dengan aparatus negara yang independen dan kuat, dengan kemungkinannya melakukan manuver terhadap kaum imperialis Barat (yang akan mencari negoisasi dengan Cina untuk hal perdagangan dan mendorong perpecahan antara Peking dan Moskow), dan dengan dukungan massa Cina yang menganggapnya sebagai pemimpin yang jaya dalam melawan Kuomintang, Mao akan memiliki point-point dukugan yang kuat dalam hal melawan Moskow.
“Usaha-usaha ngotot Stalin untuk mencobakan dan mencegah perkembangan ini akan memperunyam, mempercepat dan mengintensifkan kemarahan serta konflik.” (Reply to David James, dicetak kembali dalam E. Grant, The Unbroken Thread, hal. 304.)
Baris-baris ini ditulis lebih dari satu dekade sebelum pecahnya konflik Sino-Soviet, ketika birokrasi-birokrasi Cina dan Rusia terlihat sebagai konco nan tak terpisahkan.
Kemenangan laskar petani Mao di Cina terjadi akibat sejumlah faktor: kebuntuan total dan menyeluruh dari kapitalisme dan pertuantanahan di Cina, ketidakmampuan Cina melakukan intervensi sebab di pasukan tempur kaum imperialis setelah Perang Dunia kedua terdapat ketakutan akan perang, dan juga sebab daya tarik kekuatan kolosal dari nasionalisasi rencana ekonomi di Rusia Stalinis yang menunjukkan superioritasnya selama perang melawan Jerman di bawah kepamimpinan Hitler.
Fakta bahwa kaum tani digunakan untuk memikul sebuah revolusi sosial adalah sebuah perkembangan yang sepenuhnya baru dalam sejarah Cina. Cina adalah negeri yang peran kaum taninya sudah menjadi hal klasik, di mana perang ini terjadi pada interval-interval beraturan tetapi bahkan ketika perang-perang ini berjaya ini semata akibat dalam fusi elemen-elemen kepemimpinan dari laskar petani dengan kaum elit di perkotaan, akibat dari pembentukan suatu dinasti yang baru. Perang petani adalah sebuah lingkaran setan yang menjadi karakter sejarah orang Cina selama lebih dari 2.000 tahun. Tetapi di sini kita mempunyai sebuah titik balik yang fundamental. Tentara petani di bawah kepemimpinan Mao mampu menggebuk kapitalisme dan mampu menciptakan suatu masyarakat di atas imaji Moskow pimpinan Stalin. Tentu saja, tidak akan ada hal mengenai negara pekerja yang sehat sebagaimana di Rusia pada bulan November tahun 1917 telah didirikan dengan cara yang sedemikian rupa. Untuk terjadi seperti apa yang ada di Rusia itu, partisipasi aktif dan kepemimpinan kelas buruh amat diperlukan. Tetapi suatu tentara kaum tani, tanpa kepemimpinan dari kelas buruh, adalah instrumen klasik dari Bonapartisme, bukan kekuatan kaum buruh. Revolusi Cinna di tahun 1949 bermulai pada saat revolusi Rusia telah berakhir. Jadinya tidak ada masalah mengenai dewan-dewan buruh atau demokrasi milik kaum buruh. Sejak awalnya revolusi Cina adalah sebuah negara pekerja yang terdeformasi secara mengerikan. Tendensi kita menggarisbawahi bahwa pada skala dunia, satu-satunya kelas yang dapat mengadakan kemenangan bagi sosialisme adalah kaum proletariat.
Sekali Mao meraih kekuasaan dan menciptakan suatu aparatus negara di atas basis hierarki Tentara Merah dia tidak memiliki kebutuhan apapun untuk menggalang persahabatan antara dirinya sendiri dengan kaum borjuis. Dalam sebuah cara yang tipikal milik kaum Bonapartis, Mao menyamaratakan antara kelas-kelas yang berbeda. Mao bersandar kepada kaum tani dan pada bidang-bidang tertentu ia bersandar kepada kelas buruh untuk menyita hak kaum kapitalis. tetapi sekali kaum kapitalis ini telah dikalahkan, kemudian Mao mulai mengeliminir elemen apapun yang mungkin eksis dari demokrasi buruh. Fenomena ini dimungkinkan adanya adalah sepenuhnya karena kekosongan revolusi di tingkat dunia dan kebuntuan masyarakat. Mao memiliki contoh yang amat kuat dari Stalinisme di Rusia, di mana sebuah birokrasi yang kuat menggerogoti rencana perekonomian dan menarik keuntungan dari hal itu hingga iapun memutuskan untuk mengikuti model yang sama. Walau karakternya dideformasi habis-habisan, Revolusi Cina biar bagaimanapun juga tetap menyajikan satu langkah maju yang amat besar bagi ratusan juta orang yang telah diperbudak oleh imperialisme.
BONAPARTISME KAUM PROLETAR
Dalam menelaah proses-proses yang timbul dalam revolusi di daerah kolonial pada periode setelah perang dunia kedua, sebagai basis titik awal kita mengambil teori revolusi permanen dari Trotsky yang, sebagaimana sudah kita lihat, telah secara brilian terkonfirmasikan oleh sejarah. Tetapi dalam praktek, teori-teori tidak perlu dikerjakan dalam cara yang murni dan tersuling secara kimiawi. Bisa terdapat segala macam varian-varian pembelokan, distorsi-distorsi dan beberapa titik balik dari berbagai norma tadi. Hal ini dapat dilihat dalam segala cara.
Periode klasik revolusi demokratik-borjuis dimulai dua atau bahkan tiga ratus tahun yang lalu dengan terjadinya revolusi di Belanda, Inggris, dan Perancis. Marx mengambil revolusi Perancis tahun 1789-93 sebagai modelnya untuk revolusi demokratik borjuis dalam pengertian politis (sementara Inggris menyajikan model ekonomi). Tetapi senantiasa ada perkecualian terhadap norma-norma klasik. Sebagai contohnya Jerman, di mana tugas-tugas dasar dari revolusi demokratik-borjuis diadakan dengan cara ganjil, yaitu dari jajaran atas oleh kaum negarawan Junker lama di bawah pimpinan Bismarc. Tentu saja, terdapat banyak kontradiksi dan elemen yang tertinggal dari feodalisme yang baru kemudian berhasil dibersihkan dengan revolusi November 1918 &endash;sebuah revolusi kaum proletar yang kalah, di mana di dalamnya kaum buruh menyingkirkan bentuk negara yang lama dan kemudian para pemimpin Sosial Demokratik menyerahkan kekuasaan di tangannya kepada kaum borjuis. Serupa juga di Jepang yang merupakan negara feodal kuno yang memulai proses revolusi demokratik-borjuis pada 1860-an. Di bawah tekanan kekuatan-kekuatan eksternal, proses tersebut terselesaikan hanya oleh pendudukan kekuatan Amerika setelah 1945, yang dilakukan sebagai usaha untuk menghalang-halangi terjadinya revolusi di Jepang.
Fenomena bonapartisme kaum proletar memiliki hubungan terhadap teori revolusi permanen serupa dengan sebagaimana proses yang mengambil tempat di Jerman dan di Jepang berhubungan dengan norma klasik revolusi demokratik-borjuis, yaitu sebagai penyimpangan-penyimpangan yang muncul dari suatu jalan historis dari berbagai keadaan. Fenomena ini hanya dapat dimengerti terjadinya atas dasar kebuntuan komplit dari masyarakat-masyarakat tersebut (di mana terjadi bonapartisme proletar) dan kekosongan adanya revolusi di Dunia barat. Massa di negara-negara kolonial tidak dapat lebih lama lagi menunggu. Itu adalah penjelasan yang fundamental. Tetapi kita juga harus memasukkan ke dalam pertimbangan kita mengenai kepelikan-kepelikan yang spesifik dari negara-negara kolonial dan bekas jajahan, yang membuat negara-negara ini berbeda dari negara-negara yang maju akibat kapitalisme, dan oleh karena itu mengijinkan varian-varian rumit tertentu untuk terjadi, di mana varian-varian ini sebelumnya tidak dilihat oleh kaum klasik penganut Marxisme. Kami mengajukan tulisan ini secara khusus dalam hubungannnya dengan negara.
Marxisme akan menjadi urusan yang sangat sederhana jika ia semata-mata cuma suatu masalah mengenai belajar di luar kepala soal formula-formula elementer yang diambil dari teks-teks klasik dan mengaplikasikan semua ini dalam suatu cara yang mekanis dan tanpa dipikirkan, lalu menerapkannya pada setiap jenis situasi. Metode dialektik menuntut bahwa kita mulai dari sebuah pertimbangan obyektif dari fenomena yang terjadi, membawa setiap kasus ke dalam kebenarannya dan melakukan peninjauan terhadapnya dari segala sudut pandang. Sebuah analisis yang serius mengenai negara-negara kolonial dan bekas kolonial membukakan adanya perbedaan-perbedaan besar antara negara-nagara ini dengan jenis negara yang ada dalam bangsa-bangsa kapitalis yang maju, serta perbedaan-perbedaan dengan negara-negara yang menyajikan model dasar bagi karya-karya klasik Engels dan Lenin. Negara-negara (jajahan dan bekas jajahan) ini telah diciptakan dan disempurnakan oleh kaum borjuis sebagai perangkat bagi aturan-aturannya. Pada setiap level, negara-negara ini dikelola oleh wakil-wakil setia yang dibentuk dan dilatih oleh kaum borjuis untuk melayani kepentingan-kepentingannya. Di atas semua itulah negara-negara industri maju dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan produktif. Tetapi, negara-negara yang baru dibentuk di wilayah-wilayah tadi sepenuhnya beda dengan negara-negara yang telah diciptakan dan dikembangkan selama bergenerasi lamanya oleh kaum Borjuis di dunia Barat. Di tempat-tempat seperti Syria atau Burma masyarakat ini berada dalam sebuah kebuntuan, tidak dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan produktif dan sepenuhnya berada dalam kekisruhan.
Ini adalah satu dalil elementer mengenai Marxisme, bahwa negara bukanlah sebuah kekuatan independen. Ia harus merefleksikan kepentingan dari sebuah grup atau kelas di tengah masyarakat. Dalam masa-masa normal negara merefleksikan posisi kelas berkuasa. Tetapi dalam periode krisis dan ketidakstabilan sosial, pemerintah dan tentara terpecah dan bercerai-berai dalam sejumlah faksi. Negara-negara yang telah diciptakan di atas basis penolakan terhadap imperialisme, meskipen karakternya borjuis, amatlah lemah. Di negeri-negeri ini &endash;Burma Syria, Angola, Mozambik, Ethiopia, Somalia, Afghanistan, dan negara-negara lain yang mengacu pada Bonapartisme kaum proletar&emdash; negara tunduk kepada berbagai kudeta dan krisis terus-menerus. Dengan adanya kebuntuan rezim sepenuhnya dan kekosongan adanya revolusi di dunia Barat, serta contoh yang diperlihatkan Stalinisme, di mana pada tahap ini negeri-negeri tadi sedang membangun kekuatan-kekuatan produktif, menjadi sebuah kekuatan yang sangat menarik minat bagi lapisan-lapisan tertentu di tengah aparatus negara.
Mengambil Cina yang terdorong oleh daya tarik Stalinisme sebagai contoh mengenai satu langkah maju bukan hanya terjadi di tengah massa yang terdiri dari kaum tani miskin di negara-negara yang dulunya berupa negara jajahan, tetapi juga terjadi pada bagian-bagian di jajaran aparatus negara di negeri-negeri tadi. Sejumlah negara-negara yang berada dalam situasi kolaps dan ancaman disintegrasi, bergerak dalam arahan menuju bonapartisme kaum proletar. Jajaran para pejabat bersandar pada kelas buruh dan kaum tani untuk mengadakan sebuah revolusi, untuk menumbangkan kapitalisme dan pertuantanahan. Mereka melihat Stalinisme sebagai sebuah rezim yang membawa masyarakat ke arah maju tetapi pada saat yang bersamaan memperbolehkan golongan birokratik mempunyai hak-hak istimewa dan menjalankan masyarakat. Ini adalah proses yang terjadi terutama di negara-negara kolonial yang paling terbelakang seperti Ethiopia, Angola, Afghanistan, dll; di mana kaum proletar adalah (dan masih) merupakan kelas yang sangat lemah atau bahkan hampir tidak eksis.
Faktor penting lain dalam pergerakan menuju bonapartisme kaum proletar di seluruh negara-negara ini adalah terjadinya tendensi di seluruh dunia atas hal statisasi. Fenomena ini sudah diibahas oleh Engels, yang lebih merujuk “serbuan perekonomian kaum sosialis”, dan kemudian oleh Lenin yang menggambarkan hal itu sebagai monopoli kapitalisme negara. Fakta bahwa kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi telah mencapai limitasinya diekspresikan oleh kenyataan bahwa di semua negara-negara kapitalis sebagian besar perekonomian berada di tangan negara meskipun, tentu saja, elemen-elemen kunci, yaitu sektor-sektor yang paling menguntungkan, tetap berada di bawah penguasaan swasta. Sektor yang dikuasai negara tidak memainkan peran independen melainkan diadakan hanya sebagai perpanjangan tangan sektor swasta, bertugas menyediakan kepada kaum kapitalis: baja murah, listrik murah, batu bara murah, dll.
Proses yang sama berlangsung di dunia ketiga, tidak semata di dalam rezim-rezim bonapartisme kaum proletar tetapi bahkan terjadi di negara-negara borjuis yang relatif lebih berkembang seperti Argentina, Meksiko, India, dll. Banyak pemimpin borjuis dari negara ini menyatakan diri sebagai “sosialis” (seperti Nasser di Mesir, Nyrere di Tannzania, Nehru di India dan Nkrumah di Ghana) dan melakukan nasionalisasi pada sebagian besar perekonomian. Dalam kasus-kasus sebagaimana terjadi di Syria, Ethiopia, dan yang lainnya, sebagian dari lapisan pejabat sebenarnya mengadakan proses menuju sebuah konklusi, bersandar kepada kelas buruh untuk melakukan penyitaan sepenuhnya terhadap borjuasi. Mereka mendirikan rezim di bawah bayang-bayang Moskow dan Beijing di mana di dalamnya kapitalisme dienyahkan tetapi kaum buruh ditaklukkan kepada sebuah tirani baru dalam bentuk rezim totalitarian dengan partai tunggal yang birokratis. Tentu saja, rezim-rezim yang demikian tidak mempunyai satupun ciri sosialisme atau bahkan ciri sebuah negara buruh yang sehat. Dalam setiap kasus di mana tugas-tugas historis dari satu kelas telah diadakan dengan cara yang didistorsi oleh kelas yang lain, selalu saja ada harga yang harus dibayar. Kami menjelaskan bahwa untuk melakukan kemajuan dalam arah sosialisme, sebuah revolusi baru akan diperlukan. Bukan sebuah revolusi sosial untuk membangun relasi-relasi kepemilikan yang baru (sebab hal ini sudah dilakukan), melainkan sebuah revolusi politis melawan kasta birokratik yang berkuasa dengan tujuan untuk mendirikan sebuah rezim demokrasi kaum buruh yang murni. Bagaimanapun juga, penghapusan kapitalisme dan pertuantanahan di negara-negara ini mempresentasikan adanya satu langkah maju dan sebuah guncangan melawan imperialisme dan, yang demikian ini, disambut baik oleh kaum Marxis.
Dalam sebagian besar, jika tidak dalam semua kasus, Moskow dan Beijing tidak memainkan peran apapun. Lebih sering daripada tidak berperan apapun, mereka dilawan untuk menumbangkan kapitalisme dan mereka ini melakukan apa saja yang mereka bisa untuk menghalanginya. Partai Komunis Kuba mendukung Batista untuk melawan Castro. Belakangan birokrasi Rusia dan Kuba memberikan tekanan terhadap kaum sandinista untuk tidak melakukan pengambilalihan terhadap kapitalisme di Nikaragua. Tentu saja di manapun proses begitu terjadi, mereka (kaum birokrat itu) mengambil keuntungan darinya untuk memperkuat posisi mereka dalam berhadap-hadapan dengan imperialisme AS. Inilah juga kasus di Afghanistan, di mana para pejabat militer Stalinis mengadakan revolusi dari atas, tanpa referensi apapun ke Moskow. Birokrasi Rusia memiliki hubungan yang amat baik dengan rezim borjuis Doud di Kabul, dan bahkan siap mengorbankan Partai Komunis kepada rezim tersebut. Tetapi sekali revolusi merupakan sebuah kenyataan, mereka harus menerimanya.
Kaum Imperialis merespon revolusi di Afghanistan dengan mempersenjatai dan membiayai kelompok-kelompok bandit dan gelandangan yang diupah untuk mengadakan perang melawan rezim yang baru. Jikalau yang disebut terakhir ini mengikuti kebijakan-kebijakan yang sama sebagaimana yang dilakukan kaum Bolshevik, mendasari diri mereka pada massa dalam perjuangan melawan imperialisme dan reaksi, bisa jadi mereka menang walaupun harus diingat bahwa dalam kondisi yang amat luar biasa terbelakang begitu bahkan sebuah negara buruh yang sehat akan menghadapi begitu banyak kesukaran. Adalah sangat perlu untuk memulainya secara bertahap dan dengan kehati-hatian yang sungguh, terutama pada permasalahan agama. Tetapi usaha untuk menyelinapkan perubahan masyarakat dari atas, dalam sebuah karakter birokratis yang terkontrol habis-habisan, terdorong oleh invasi Rusia dan pembersihan yang luar biasa besar serta lain-lain cara yang dihasilkannya, telah dengan fatal memperlemah revolusi saat berhadapan dengan jagal-jagal kekuatan kontra-revolusioner yang disokong oleh Amerika dan Pakistan.
Sebuah proses serupa terjadi di Afrika, di mana kaum imperialis memperlengkapi pemerintah di Afrika selatan untuk menumbangkan rezim-rezim kaum Bonapartis proletar di Angola dan Mozambique. Sebagaimana di Afghanistan mereka mempersenjatai dan membiayai tentara bayaran yang kejam serta para bandit. Apa yang terjadi bukanlah perjuangan politis melainkan semata-mata mobilisasi “kekuatan-kekuatan hitam” untuk membunuh, membakar, memperkosa, dan melakukan penjarahan. Imperialisme tidak dapat mentoleransi keberadaan bahkan negara-negara buruh yang terdeformasi di jantung Afrika, sebab hal itu akan menjadi contoh bagi Afrika Selatan. Daripada melihat hal tersebut terjadi, kaum imperialis lebih suka membenamkan Angola, Mozambik, dan Afghanistan ke dalam abad kegelapan.
APAKAH REZIM-REZIM BONAPARTISME PROLETAR YANG BARU BISA MUNGKIN?
Mendasari diri kita pada analisis ini, apa yang menjadi kemungkinan bagi formasi rezim-rezim Bonapartisme proletar baru? Untuk menjawab masalah ini perlu memulainya dari perspektif-perspektif dunia secara menyeluruh. Tendensi seluruh dunia terhadap intervensi negara dalam bidang perekonomian telah berbalik setelah kemerosotan tahun 1974 dan berbelok menjadi lawannya, terutama sejak proses swastanisasi dimulai oleh Tacther di tahun 1980-an. Hal ini merefleksikan kebuntuan kapitalisme pada skala dunia serta kebangkrutan dari model kuno Keynesianisme. Negara-negara kolonial secara luas telah dipaksa, melalui diktean dari IMF dan Bank Dunia, untuk “membuka” pasar mereka dan melakukan swastanisasi terhadap industri-industri nasional. Ini sungguh sebuah penjarahan terhadap negara-negara itu. Hal ini akan memiliki konsekuensi-konsekuensi berjangka panjang di periode yang akan datang. Mereka menciptakan sebuah bahasa yang baru keseluruhnya (“perampingan”, “liberalisasi”,”pembukaan pasar”, “perekonomian bebas”, dll.) untuk menjadi bungkus yang menutupi apa yang sebenar-benarnya merupakan destruksi habis-haabisan terhadap kekuatan-kekuatan produktif dan pekerjaan. Ini mengingatkan orang pada “Bahasabaru dalam novel George Orwell, 1984, di mana Kementrian Kekayaan mengurusi pemiskinan, Kementrian Perdamaian adalah Kementrian Perang, dan Kementrian Cinta Kasih adalah polisi rahasia.
Para advokat “pasar bebas” telah dengan baik sekali melupakan bahwa kapitalisme sesungguhnya berkembang berdasarkan basis benteng tarif yang tinggi. Di fase awal kapitalsme Inggris, kapitalisme bernaung di belakang benteng perdagangan biaya tinggi untuk mempertahankan industri-industri nasionalnya sendiri yang masih kintis-kinyis. Hanya ketika industrinya telah menjadi kuat maka kaum borjuis Inggris menjadi semacam advokat yang amat bernafsu mengenai “prinsip” perdagangan bebas. Ini sama persis dengan Perancis, Jerman, Amerika, Jepang, dan semua lainnya yang sekarang memohon-mohon adanya nilai perdagangan bebas kepada bangsa-bangsa di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tetapi proses ini menciptakan kontradiksi-kontradiksi baru. Golongan-golongan aparatus negara dan kaum borjuis nasional (di wilayah-wilayah tadi) melihat bagaimana hal ini memotong bagian kue mereka dan juga merasa ketakutan terhadap adanya ledakan massa. Hal ini menggiring beberapa dari mereka untuk melawan imperialisme (sekurang-kurangnya dalam perkataan), akibat ketakutan akan kehilangan posisi mereka &endash;bahkan juga kehilangan kepala mereka sendiri.
Inilah kasusnya dengan junta Nigeria yang menentang beberapa rencana swastanisasi dari IMF. Golongan berkuasa dalam PRI di Meksiko juga mulai meributkan “neo-liberalisme” sebab mereka melihat bagaimana hal ini mengikis basis tradisional mereka atas kontrol birokratik di masyarakat. Bahkan diktator Zaire, Mobutu, menentang swastanisasi di hari-hari akhirnya berkuasa &endash;sebuah kebijakan yang secara jelas bukanlah didikte oleh keinginan apapun untuk mengurangi pergolakan di tengah penduduk, melainkan untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan pribadinya sendiri. Sebagai sebuah akibat dari krisis di Asia Tenggara kita sudah melihat perkembangan kaum proteksionis, sikap-sikap Anti-Barat di beberapa negara ini. Inilah kasusnya dengan Korea Selatan dan bahkan pada bagiannya, Soeharto yang di hari-hari terakhirnya, seperti Mobutu, berselisih dengan IMF. Hal yang sama juga berlaku pada semagogi “anti-imperialis” yang dilancarkan Mahathir di Malaysia. Semua ini bukanlah kebetulan. Sejak terjadinya kolaps di Asia, kaum imperialis bergerak gesit untuk membeli properti harga tawar yang anjlok dan memaksa ekonomi bangsa-bangsa Asia untuk menerima ketergantungan yang jauh lebih menghinakan mereka dari sebelum-sebelumnya. Semua tadi semata-mata adalah indikasi mengenai kenyataan bahwa eksploitasi yang keji terhadap negara-negara yang dulunya jajahan, melalui IMF dan Bank Dunia, sekarang tengah menyiapkan satu pukulan balik yang masif dalam melawan kebijakan-kebijakan swastanisasi, “globalisasi”, dan seterusnya. Bahkan di dunia Barat kita dapat melihat berbagai permulaan gerakan massa melawan swastanisasi dan pemotongan anggaran di negeri-negeri Welfare. Di periode berikutnya kita akan melihat sebuah gelombang masif bergerak di arahan yang bertentangan (dengan kapitalisme dan imperialisme) terutama dengan datangnya kemerosotan ekonomi dunia.
Adalah perlu untuk memiliki sebuah pemahaman dialektis mengenai proses, tidak semata menerima “fakta jadi” sebagai sesuatu yang ajeg buat selamanya. Sesunguhnya empirisme kaum borjuis dan para perancang strateginya lah yang membutakan mereka terhadap proses yang sebenarnya dan menahan mereka untuk terus-terusan menapaki sepanjang jalanan yang tak bisa ditawar-tawar menggiring mereka pada malapetaka. Dalam mengejar keuntungan jangka pendek, mereka memprovokasi massa di Asia &endash;dan seluruh negeri-negeri bekas jajahan&endash; hingga ke limit daya tahan mereka menanggung penderitaan. Pada satu titik yang pasti, seluruh proses yang telah kita saksikan selama dekade terakhir akan buyar dan arusnya berbalik arah. Oleh karena itu kita dapat menutup uraian soal tadi, bahwa di periode yang akan datang, sebab kebuntuan kaum imperialis di negeri-negeri jajahan, pukulan balik melawan swastanisasi dan kebutuhan-krbutuhan mendesak massa di negeri-negeri ini, kita akan menyaksikan berbagai gerakan baru dalam arahan bonapartisme kaum proletar. Hal itu terutama akan menjadi kejadiannya di negeri yang paling lemah di antara negeri-negeri tadi. Hasil dari proses restorasi kaum kapitalis di Rusia dan Cina dalam satu dan lain cara, tentu saja, akan memiliki akibat yang luar biasa besar dalam perkembangan ini. Tapi itu soal terpisah. Cukup buat mengatakan bahwa, dalam masa kemerosotan yang amat dalam pada skala dunia, rencana-rencana restorasi kapitalis di negeri-negeri ini akan dengan tak terelakkan lagi terhumbalang membalik ke dalam panci peleburan. Sepenuhnya mungkin bahwa kandidat pertama bagi reversi ke beberapa bentuk bonapartisme proletar adalah Rusia sendiri. Perspektif itu bergantung pada seluruh kejadian yang berkembang di Rusia dan juga di dalam skala dunia. Kita harus bersiap untuk segala macam kerja sama yang apik, sambil terus berjuang demi kekuatan pekerja, supaya kita tidak terkaget-kaget oleh adanya berbagai kejadian.
REVOLUSI KUBA
Perluasan bonapartisme kaum proletar di dunia kolonial menimbulkan juga masalah lain &endash;yaitu peran kelas buruh tani dalam revolusi. Selama seluruh periode hal ini berlangsung, kelihatannnya analisis klasik Marxisme yang menekankan peran kepemimpinan proletariat dalam revolusi telah dikhianati sejarah. Secara praktis setiap tendensi lain, dengan perkeculian milik kita, menerima teori-teori model baru mengenai perang gerilya. Kitalah satu-satunya yang menerangkan bahwa tidak ada kelas selain kelas proletar yang dapat memimpin pendirian sebuah negara kaum pekerja yang sehat.
Sebagaimana telah kita tekankan, dalam tulisan-tulisan Marx, Engels, Lenin, dan Trotsky, tak bisa ditemukan referensi ataupun bahkan tanda kemungkinannya bahwa kelas petani dapat memimpin jalannya revolusi. Alasan bagi hal itu adalah heterogenitas ekstrim kaum tani sebagai suatu kelas. Ia terbagi atas banyak lapisan, mulai dari buruh tak bertanah (yang benar-benar merupakan kaum proletar pedesaan) hingga petani-petani kaya yang mempekerjakan petani lain sebagai buruh upahan. Mereka tidak memiliki suatu kepentingan bersama dan oleh karena itu tidak dapat memainkan peran independen dalam masyarakat. Secara historis mereka telah mendukung kelas-kelas atau kelompok-kelompok lain di perkotaan. Satu-satunya kelas yang mampu memimpin sebuah revolusi sosialis yang berhasil adalah kelas buruh. Ini bukanlah karena alasan-alasan sentimental melainkan karena posisi yang didudukinya dalam masyarakat serta karakter kolektif dari perannya dalam produksi.
Kaum Marxis telah senantiasa memahami perang kaum tani sebagai sebuah alat bantu bagi kaum buruh dalam perjuangan meraih kekuasaan. Posisi tersebut pertama kali dikembangkan oleh Marx selama revolusi Jerman di tahun 1848, saat ia ngotot bahwa revolusi Jerman hanya dapat dimenangkan sebagai suatu edisi kedua dari Perang Buruh Tani. Dengan kata lain, gerakan kaum buruh di kota-kota akan harus menarik massa buruh tani di belakangnya. Penting untuk dicatat bahwa selama revolusi Rusia kaum buruh perindustrian mewakili tidak lebih dari 10 persen jumlah penduduk. Tetapi tetap saja kaum proletar memainkan peran pimpinan dalam revolusi Rusia, menarik berjuta-juta massa kaum tani miskin &endash;sobat alamiah dari kaum kaum proletar.
Kelihatannya perspektif ini telah dipalsukan setelah terjadinya Perang Dunia Kedua ketika sejumlah perang gerilya berakhir dengan kemenangan di Kuba, Vietnam, Angola, Mozambik, dsb. Revolusi Kuba adalah kasus khusus yang ganjil, meskipun pada dasarnya revolusi ini serupa dengan yang terjadi di Cina. Belum disadari sepenuhnya bahwa Castro mulai (bergerak) sebagai seorang demokrat-borjuis. Model yang dipakainya adalah revolusi Amerika di tahun 1776! Tetapi Mao kemudian secara orisinal mempunyai juga prespektif bagi sebuah periode panjang perkembangan kapitalis di Cina. Dalam kedua kasus ini logika situasi mendikte keluaran yang berbeda dengan yang ada di pikiran pemimpin tersebut.
Setelah menggebuk negara Batista kuno (ini bertentangan dengan nasehat Partai Komunis Kuba yang mengutuk Castro sebagai seorang borjuis kecil petualang), Castro mendapati dirinya berada di posisi yang sebelumnya sama sekali tidak dia lihat. Dia berusaha mengenalkan reformasi dan menarik pajak atas perusahan-perusahaan AS, yang membalas dengan kampanye sabotase meskipun pajak yang harus mereka bayar di Kuba lebih rendah jumlahnya daripada yang mereka bayar di Amerika Serikat. Washington mulai mengadakan blokade terhadap Kuba. Sebagai balasan, Castro merampas semua asset AS di Kuba. Karena sembilan dari sepuluh bagian ekonomi dimiliki oleh imperialisme AS, ini berarti secara praktis seluruh ekonomi dinasionalisasikan, mereka memutuskan untuk menyempurnakannya dan menasionalisasikan sepuluh persen yang tersisa. Dengan Moskow sebagai model di hadapannya, para pemimpin Kuba melakukan manuver untuk mendirikan sebuah rezim kaum bonapartis porletar.
Revolusi Kuba bertindak sebagai sebuah lampu suar bagi para buruh dan kaum tani tertindas di Amerika Tengah dan Latin. Di beberapa negara, mereka ini berusaha mengikuti perang gerilya cara Kuba, tapi meskipun daya tarik permukaannya dahsyat&endash;terutama bagi para mahasiswa muda, hal ini gagal di mana-mana, dengan hasil yang amat parah. Tendensi kita menjelaskan bahwa banyak dari kemenangan-kemenangan ini dicapai bukan oleh perang gerilya itu sendiri melainkan oleh kaum buruh yang menggelar pemogokan umum di kota-kota, inilah faktor menentukan itu. Itulah kasus di Kuba dan juga di Nigeria. Kita juga menjelaskan bahwa sebuah perang gerilya, bahkan meskipun ia berjaya, sama sekali hanya dapat membimbing ke arah sebuah negara kaum buruh yang cacat (negara kaum proletar bonapartis). Sifat paling dasar dari organisasi sebuah perang gerilya memang tidak membiarkan sebuah struktur demokratik dan kurangnya partisipasi kaum buruh di sebuah kerja terorganisasi dalam penumbanggan rezim berkuasa memiliki arti bahwa hirarki tentara gerilya akan membentuk birokrasi bagi negara yang baru.
Oleh karena itu, sambil memberi dukungan kritis pada gerakan-gerakan gerilya lainnya, yang terjadi sebagai wujud perjuangan rakyat melawan penindasan, tendensi kita menegaskan tuntutan bahwa faktor utama untuk merubah masyarakat adalah organisasi sadar kaum pekerja. Di hampir semua negeri-negeri di mana perang gerilya berkembang, kelas buruh sekecil-kecilnya pun jemlahnya sama besar dengan kelas buruh selama berlangsungnya revolusi Rusia di tahun 1917, dan jauh lebih besar sebagai suatu proporsii dari jumlah total populasi. Di bawah kepemimpinan sebuah partai Leninis yang sejati, kaum pekerja dapat mengadakan sebuah revolusi proletar klasik dengan cara seperti jalannya revolusi Oktober, di semua negara terbelakang asalkan bukan yang paling terbelakang. Lebih lanjut lagi, di banyak &endash;jikapun bukan di sebagian terbesar&endash; negara-negara ini, mayoritas jumlah penduduk saat ini hidup di daerah-daerah urban. Dalam jumlah, kelas buruh jauh lebih kuat daripada kasus Rusia di tahun 1917. Hanya kurangnya faktor subyektif &endash;sebuah partai revolusioner dan kepemimpinan&endash; yang menghalangi terjadinya revolusi proletariat seperti itu.
Semua kelompok yang dikenal sebagai “Trostkyist” pada saatnya mulai mempertahankan perang gerilya di Dunia Ketiga satu-satunya cara bagi revolusi sosialisme. Bahkan mereka bertindak terlampau jauh dengan menyatakan bahwa perang gerilya sebagai taktik utama meski di negeri-negeri di mana kaum tani bukan merupakan bagian yang berjumlah cukup besar dari populasi penduduk, mereka ini mengembangkan ide gila mengenai “gerilya kota” yang membawa kehancuran atas seluruh generasi kaum muda revolusioner di negeri-negeri seperti Argentina, Uruguay, dan lainnya.
Oportunisme organis dari para pemimpin Partai Komunis, penerimaan mereka atas borjuasi di bawah panji-panji teori “dua tahap”, mendorong sebagian besar mahasiswa muda ke arah adventurisme &endash;terorisme individual dan gerilyaisme&endash; dalam pencarian mereka menemukan jalan pintas. Hal ini menyebabkan malapetaka di Amerika Latin, di mana taktik ini menggiring terjadinya pembantaian terhadap seluruh keturunan kader-kader muda revolusioner dan, puncaknya, ini menggiring terjadinya mimpi buruk keditaktoran militer di Argentina dan Uruguay. Jahatnya, yang dikenal dengan sebutan kaum Trotskyist tidak memerangi tendensi-tendensi ini, melainkan malah membantu dan bahkan berpartisipasi di dalamnya. Fakta-fakta ini memperlihatkan betapa jauh orang-orang ini telah terdegenerasi. Ide-ide yang telah terdiskredit di masa prasejarah gerakan sekarang ini muncul lagi dari peti sejarah yang berdebu, dipertontonkan sebagai sesuatu yang baru dan orisinal. Tetapi Marxisme bangsa Rusia lahir dalam perjuangan melawan segala bentuk terorisme dan “gerilyaisme” individual. Metode-metode yang begitu (terorisme individual dan gerilyaisme) mestilah hanya menuntun kepada kekalahan, bahkan jikapun sukses itu tidak dapat menuntun kepada pendirian sebuah negara kaum pekerja yang sehat, melainkan hanya pendirian sebuah karikatur birokratis.
PERANG GERILYA
Kegagalan kaum gerilyawan di El Savador dan Guatemala memperlihatkan limitasi taktik ini. Sebagaimana revolusi Kuba telah mengejutkan kaum imperialis, jadilah mereka melakukan persiapan yang lebih baik untuk menghadapi problem serupa di tempat lain. Padahal, dengan kebijakan dan taktik-taktik yang tepat, revolusi mencapai keberhasilan di El Savador, di mana kondisi-kondisi yang tersedia tepat bagi sebuah gerakan massa di perkotaan. Kepemimpinan kaum boujuis kecil tergila-gila dengan ide perang gerilya dan menggiring gerakan pada kekalahan berdarah. Di Nikaragua, kaum Sandinista telah melakukan perang gerilya selama berpuluh tahun, tanpa hasil. Yang menyelesaikan masalah bukanlah kaum gerilyawan, melainkan fakta bahwa ada pemberontakan massa dan pemogokan umum di Managua.
Di sini, kembali kita melihat peran kontra-revolusioner dari Stalinisme. Kaum Sandinista dapat dengan mudah mennncapai tujuan akhir dan mengadakan revolusi sosialisme. Tentu, di negara kecil seperti Nikaragua, mereka tak dapat bertahan lama.Tetapi di sinilah terletak poin pokok dari revolusi permanen. Pada nyatanya, Amerika Tengah adalah satu keseluruhan. Setelah merebut kekuasaan di Nikaragua, kaum Sndinista harusnya kemudian melakukan himbauan pada kaum pekerja dan kaum tani di Guatemala, Honduras, El Savador, dan Costa Rica untuk mengikuti contoh mereka. Di atas semua itu, adalah penting untuk melebarkan revolusi ke Meksiko. Revolusi bangsa Nikaragua akan menang sebagai bagian dari revolusi di Amerika Tengah dan Selatan, atau tidak menang sama sekali. Barangkali pimpinan-pimpinan Sandinista telah bersiap mengadakan revolusi hingga tujuan akhir dengan mengakhiri kapitalisme di Nikaragua. Tetapi meraka dihalang-halangi tekanan dari Moskow dan Havana untuk melakukan hal ini. Birokrasi Rusia dan Kuba, termotivasi pertimbangan-pertimbangan nasional yang sempit bin picik, tak ingin memprovokasi Washington dan meyakinkan kaum Sandinista untuk menghentikan revolusi di tengah jalan. Ini adalah penghancur revolusi. Kaum imperialis AS mengorganisir dan mempersenjatai kaum Contras yang kontra-revolusioner dan pelan-pelan mencekik mati revolusi Nikaragua.
Kaum Imperialis telah menyimak pelajaran mengenai berbagai perang gerilya dan bertekad memusnahkan perang-perang gerilya berikutnya di tahap awalnya. Di periode terakhir sejumlah kelompok gerilya yang berbeda-beda telah mengabaikan taktik-taktik mereka dan sampai pada persetujuan untuk berpartisipasi dalam arena politik sipil. Tetapi hal ini lebih merupakan hasil demoralisasi para pemimpin mereka yang cenderung Stalinis, daripada solusi masalah sejati yang memang tumbuh dalam perang gerilya sendiri. Kita telah melihat bagaimana di negara-negara seperti El Savador atau Guatemala, pasukan militer khusus yang punya kewenangan tembak-mati masih beroperasi bebas dan penyelesaian problem-problem negeri itu masih saja jauh panggang dari apinya. Oleh karena itu, kemungkinan pecahnya perang gerilya baru masih ada. Contohnya di Nikaragua, kelompok-kelompok yang berbeda telah kembali mengangkat senjata ketika janji soal pertanahan dan kemudahan memperoleh pekerjaan bagi mereka tidak dipenuhi oleh pemerintah.
Fakta bahwa kaum gerilyawan telah menyerah di sejumlah negara tidaklah menghapuskan kemungkinan pecahnya perang gerilya yang baru. Malah sebaliknya. Tak terelakkan, perang ini bisa terjadi lagi di masa mendatang, bahkan mungkin berakhir dengan kemenangan di beberapa kasus. Saat ini masih ada faktor-faktor yang sama yang menyebabkan timbulnya perang gerilya di masa lalu. Situasi putus asa di kalangan kaum tani di di sebagian besar negara kolonial, kebutuhan untuk menghapuskan sistem pemilikan tanah feodal, yang masih eksis di banyak tempat &endash;semua faktor ini membuat berbagai perang gerilya akan tak terelakkan. Indikasi jelas dari hal ini diperlihatkan dengan kemunculan tentara zapatista (EZLN) di Chiapas, Meksiko, pada tahun 1994. Dalam ketiadaaan sebuah alternatif revolusioner yang sjati, ada suatu kebahayaan bahwa lapisan kaum muda akan cenderung mnegambil jalan dengan metode-metode gerilyaisme dan juga terorisme. Meski begitu, EZLN itu contoh yang bagus mengenai perlunya gerakan kaum tani bahu membahu dengan gerakan buruh di perkotaan. Setiap kali angkatan bersenjata Meksiko mencoba menembus dan memukul kaum zapatista, demonstrasi-demonstrasi massa di perkotaan menghentikannya. Program EZLN adalah program borjuis-demokratik pada tingkatnya yang terbaik, tetapi bahkan tuntutan-tuntutan minimum mereka tak berhasil dicapai dalam pagar batas kapitalisme. Ini adalah satu konfirmasi bagi teori revolusi permanen. Kurangnya alternatif disediakan para pemimpin EZLN telah memungkinkan pemerintah maju terus melakukan tindakan ofensif dan coba menghancurleburkan satu demi satu “para warga otonom” lainnya di bawah kontrol zapatista.
Para pemimpin EZLN tidak memiliki suatu program yang dapat menghimbau kaum pekerja dan kegigihan usaha mereka (zapatista) untuk melampui basis dukungan mereka di tengah-tengah kaum tani telah terutama sekali berorientasi pada kaum cendikiawan borjuis-kecil serta kelas menengah perkotaan. Kita harus ingat bahwa sekarang ini di Meksiko 70% jumlah penduduk tinggal di daerah urban. Kunci bagi terjadinya revolusi di Meksiko, dan seluruh Amerika Latin, tidak terletak di kaum tani, melainkan di dalam gerilya berjuta-juta buruh.
Di Kolombia, gerakan gerilya tidak hanya masih aktiv tetapi juga mengontrol sekitar 60 persen teritori negara dan terus berlanjut lebih maju lagi. Ini tidak berarti mereka bisa mengambil kekuasaan. Imperialisme AS begitu khawatir akan prospek ini hingga mengirimkan penasehat-penasehat militer ke sana. Mari kita ingat inilah bagaimana keterlibatan AS dalam perang Vietnam di awal 1960-an dulu. Analogi ini dibuat oleh para pengamat borjuis. Sejak perang Vietnam, imperialisme AS coba menghindari turunya pasukan tempur di darat pada daerah-daerah konflik asing, mereka lebih memilih serngan udara sebagai andalannya. Namun perang tak dapat dimenangkan hanya dgg serangan udara melulu. Adalah mungkn lho, jika kelihatan bahwa gerilyawan Kolombia mencapai kekuasaan, keterlibatan AS akan ditarik mundur sebagaimana terjadi di Vietnam. Perkembangan yang semacam itu akan memiliki akibat yang tak terhitung di seluruh Amerika Latin dan Tengah, dan juga di Amerika sendiri. Inilah tepatnya apa yang dimaksud oleh Trotsky saat ia ungkapkan bahwa dinamit telah tergabung dalam pondasi imperialisme AS sebagai akibat daari perannya sebagai polisi dunia dalam masa membusuknya kaum imperialis.
KONTRADIKSI-KONTRADIKSI INTERIMPERIALIS
Satu efek penting dari kejatuhan Stalinisme adalah hal itu mengintensifikasi kontradiksi-kontradiksi di kalangan kaum imperialis sendiri. Di masa lalu, untuk beberapa kepentingan, mereka bersatu dalam melawan Stalinisme sebagai musuh bersama, tapi kini musuh ini telah hilang &endash;setidaknya keberadaannya. Kepentingan-kepentingan yang mengandung potensi konflik di berbagai kekuatan imperialis yang berbeda telah muncul ke permukaan. Pembagian seluruh dunia menjadi tiga blok raksasa terus berlanjut. Uni Eropa, didominasi Jerman bersama Perancis sebagai “mitra” juniornya, sedang sibuk menetakkan pengaruhnya di daerah-daerah di Eropa Tengah dan Timur, serta memiliki juga serangkaian derah semi-kolonial Afrika Utara, Afrika, dan kepulauan Karibia. Amerika Serikat sedang berusaha memperkuat cekikannya di Amerika Tengah dan Selatan, dan pada saat yang sama sedang memperkokoh dominasi pengaruhnya dalam skala dunia. Kita telah melihat, kadang-kadang hal ini membawa AS ke dalam konflik dengan “sahabat-sahabatnya” di Eropa dan Jepang. Atas alasan-alasan yang telah kami jelaskan di dokumen tersendiri, di bawah kondisi-kondisi modern, terjadiya perang dunia di antara kekuatan-kekuatan utama dunia adalah hal yang dapat dikesampingkan. Tetapi perang-perang “kecil” di Dunia Ketiga yang melibatkan bala tentara mereka, sebagai perwakilan bagi negara-negara yang menjadi klien mereka, akan berlangsung terus-menerus.
Tanpa banyak ragam pers borjuis mencoba menghadirkan berbagai perang dan konflik di negara-negara ini sebagai perang yang “rasial” atau “bermotivasi etnis”. Nyatanya, kemiskinan, sebagai akibat over eksploitasi keji yang dilakukan imperialisme terhadap negara-negara ini, adalah satu dari faktor-faktor utama yang meletikkan kobaran perang dan konflik-konflik tersebut. Faktor lainnya adalah perpecahan dan kebijakan hukum dari para majikan imperialis yang lebih dulu, serta garis perbatasan negeri-negeri ini yang ditarik secara artifisial saja. Delapan dari sepuluh negara penghutang terbesar telah menderita perang saudara dan konflik-konflik kekerasan sejak 1990. Dari 25 negara penghutang terbesar, 15 mengalami konflik sejenis. Di beberapa negara, khususnya, tapi secara eksklusif, di daerah sub-Sahara di Afrika, kita tengah menyaksikan penghancuran struktur tepenting dari masyarakat dan negara dan juga pemunculan kembali elemen-elemen barbarisme. Negeri-negeri itu koyak moyak oleh pengerukan dan penjarahan yang selama berpuluh tahun dilakukan oleh kaum imperialis yang mempersenjatai gerombolan-gerombolan yang memerintah di negara yang dalam kondisi perang permanen serta negara yang borjuasinya kolaps. Kasus-kasus begini terutama terjadi di negara-negara di mana kelas pekerja senantiasa selalu lemah secara ekstrim. Sebagai contoh fenomena ini, cukuplah kita mengingat Somalia, Sierra Leone, dan Afghanistan.
Kaum Imperialis sedang berperang secara sengit demi tiap pasar dan tiap posisi strategis di arena dunia. Hal ini menimbulkan ketidakstabilan luar biasa banyaknya, serta memproduksi suatu situasi yang jauh lebih mirip dengan saat pergantian abad kemarin daripada serupa dengan periode panjang yang relatif stabil di perhubungan internasional selama setengah abad setelah berakhirnyya Perang Dunia Kedua. Secara jelas hal ini dapat terllihat di Afrika di mana kita tengah menyaksikan pertarungan antara satu kekuatan imperialis yang sedang membusuk (Perancis) dan sebuah kekuatan sedang bangkit, kekuatan yang sedikitnya memiliki kepentingan-kepentingan terdahulu di benua itu (yaitu, kekuatan AS). Konflik inter-imperialis ini telah menjadi faktor yang mendasari terjadinya perang di wilayah Central Lakes di Afrika, di Azire, di Congo-Brazzaville, di Sudan, dst. Jadi, Uganda telah menjadi pion penting milik Washingto dalam hal membantu Washington memenangkan posisi di Rwanda, Burundi, dan Zaire, yang &endash;akibatnya&endash; menempatkan pengaruh AS menggantikan pengaruh Perancis sebagai pecundang dalam konflik ini.
Di Sudan kita dapat melihat sebuah kampanye gabungan negara-negara yang disokong AS (Uganda, Rwanda, Ethiopia) untuk mengusir keluar pemerintahan Islam di (wilayah) Utara, sokongan ini adalah dengan cara mendukung kaum gerilyawan di Selatan. Sekali lagi, Perancis mendapati dirinya di sisi kutub yang salah. Tetapi contoh yang paling pertama dari pertarungan antar kekuatan imperialis besar dalam memperebutkan sumber daya alam dengan mengorbankan nyawa ribuan rakyat sipil, tanpa keraguan sedikitpun, adalah perang di Congo-Brazzaville selama musim panas 1997. Perang ini merupakan pertarungan terbuka antara perusahaan minyak AS dan Perancis (dengan sokongan pemerintahan Washington dan Paris serta konco-konconya di daerah itu) memperebutkan hak pengontrolan atas sumber minyak bumi. Setelah beberapa bulan negeri itu nyaris sepenuhnya hancur, 10.000 orang menemui kematian, dan perusahan minyak Elf dari Perancis kembali memenangkan kontrak atas sumber daya alam Congo. Konflik-konflik kepentingan yang sama berulang-ulang di seluruh dunia. Perancis, AS, dan Rusia sedang bertarung untuk minyak bumi di Timur Tengah (terutama di Irak) dan di Asia Tengah. Afghanistan masih terkoyak-koyak oleh faksi-faksi yang bersaing, yang masing-masingnya didukung oleh kekuatn asing &endash;Pakistan, Iran, Saudi Arabia, Rusia, AS. Keseluruhan Asia adalah arena pertempuran sengit kekuatan-kekuatan utama kaum imperialis dalam memperoleh pasar.
IMPERIALISME TERPAKSA MUNDUR
Bagi kekuatan-kekuatan imperialis, dominasi militer secara langsung di negara-negara kolonial telah menjadi terlalu mahal sejak 1945. Bahkan sebelum Perang Dunia Kedua, Trotsky menjelaskan bahwa biaya dominasi langsung imperialis terhadap dunia kolonial adalah lebih besar daripada keuntungan yang mereka peroleh dalam eksploitasi. Bagaimanapun, banyak negara imperialis enggan menjauhi negara-negara ini dan oleh karena itulah terjadi berbagai gerakan massa di Asia Tenggara melawan imperialisme AS dan Perancis; di Afrika (Kenya, Ghana, dan Nigeria) melawn imperialisme Inggris, serta melawan imperialisme Perancis di Algeria. Tetapi bahkan di negeri di mana kemerdekaan diakui, itu tidak memecahkan problem-problem massa di sana. Kemerdakaan tersebut hanya formal saja, sementara dominasi kaum imperialis terus berlangsung, lebih subtil, melalui perangkat ekonomi.
Dominasi-dominasi tersebut terutama diterapkan melalui mekanisme pasar dunia dan pertukaran dagang yang tak imbang di mana komoditi yang menggunakan tenaga lebih banyak buruh (dalam memproduksinya) ditukar dengan komoditi yang mempekerjakan buruh sedikit saja. Imperialis mendorong banyak dari negara-negara ini ke dalam perekonomian yang monocrop, baik negara itu mengandung produk agrikultur seperti kakao, kopi, nanas, kapas, dll., ataupun ia mineral seperti tembaga, berlian, timah, dll. Secara ketat harga produk-produk ini dikontrol oleh sejumlah kecil perusahaan multinasional dan tendensi umum terhadapnya telah menurun dalam puluhan tahun belakangan ini. Pada saat bersamaan, harga produk-produk manufaktur yang dibeli sebagai tukarannya telah membumbung, menciptakan sebuah lingkaran setan yang mustahil untuk keluar darinya. Adalah bukan kebetulan bahwa krisis bangsa Rwanda diramalkan dengan jatuhnya harga kopi. Hal ini mengacaukan hidup suku Hutu yang kemudian pindah ke kota-kota di mana mereka menjadi mangsa gerombolan-gerombolan yang diorganisasikan untuk mengadakan pembasmian ras (genocid). Harga bahan baku dan hasil agrikultur dalam kondisi riil sekarang adalah lebih rendah daripada harganya selama Depresi Besar Dunia 70 tahun lalu.
Seluruh sejarah dunia sejak 1945 semata-mata tersaji untuk membuktikan teori revolusi permanen, yang telah didemonstrasikan oleh revolusi Rusia. Jangan kita lupa bahwa sebelum 1917, tsaris Rusia adalah negeri yang terbelakang, semi-feodal, dan semi-kolonial (ketergantungan Rusia yang sepenuhnya terhadap imperialisme asing tidak dapat diganti oleh fakta bahwa Rusia sendiri adalah satu kekuatan imperialis yang lemah). Di awal 1904, Trotsky menjelaskan ketidakmampuan dasar dari borjuasi untuk memecahkan masalah apapun yang dihadapi masyarakat Rusia. Ini adalah kebenaran bagi borjuasi nasional di seluruh negeri yang dulunya kolonial di dalam era dominasi imperialisme. Untuk alasan ini, dalam Kongres Kedua Komunis Internasional, Lenin menuntut tegas penolakan frase “revolusi borjuis-demokratik”, menggantinya dengan slogan revolusi nasional-demokratik. Hal ini adalah untuk menggarisbawahi kebusukan borjuasi kolonial, ketidakmampuannya untuk memainkan peran progresif apapun di jaman modern. Hal ini ditunjukkan paling jelas oleh kasus India.
INDIA
Selama setengah abad, borjuasi India telah sering kali menunjukkan dirinya mampu berbuat apa. Dan sekarang ia masih dikutuk sejarah. Lima puluh tahun setelah kemerdekaan, meski kapasitas produksi yang dimiliki India itu kolosal, borjuasi India belum bisa memecahkan satu pun masalah mendesak di negeri itu. Walaupun telah ada perkembangan jelas di bidang industri (India saat ini memiliki industri lebih banyak daripada Inggris), saat ini India masih sama bergantungnya pada imperialisme seperti saat India mencapai kemerdekaan formal, dan segala masalah negeri itu, persoalan-persoalan nasional dan bahkan sistem kasta tetap tinggal tak terpecahkan.
Borjuasi India hanya mampu memerintah setelah kemerdekaan karena kebijakan-kebijakan Partai Komunis yang menyatakan gencatan senjata selama perjuangan kemerdekaan. Kebijakan anti-Leninis yang sama mengenai “dua tahapan” diikuti oleh semua Partai Komunis di dunia jajahan: mendukung “kaum borjuasi nasional progresif” melawan imperialisme, menurunkan perjuangan demi sosialisme ke masa depan dan cahaya yang jauh. Pada kenyataannya, India meraih kemerdekaan formal sebagai bagian dari proses pergerakan-pergerakan massa rakyat daerah kolonial yang terjadi di periode setelah berlangsungnya Perang Dunia Kedua. Barangkali pergerakan di India adalah pergerakan rakyta yang terbesar dalam sejarah. Berjuta massa di negeri-negeri kolonial berperang melawan imperialisme dan mengalahkannya dalam kebanyakan kasus pemerdekaan diri.
Partai Kongres di bawah Nehru menyatakan diri sebagai sekular sekaligus “sosialis”. Bahkan setelah setengah abad dari itu, kita lihat kemenangan fundamentalisme Hindu dalam bentuk BJP yang reaksioner. Inilah harga yang dibayar India atas borjuasi. Tanggung jawab utama terletak di pundak para pemimpin Partai Komunis India pro-Moskow dan Partai Komunis India pro-Beijing (M) yang mengadakan perjanjian persetujuan dengan Partai Kongres (lagi-lagi “dua tahapan”). Padahal bukan Kongres yang membebaskna India dari pemerintahan Inggris, melainkan jutaan kaum pekerja dan kaum tani India. Selama 300 tahun Inggris telah memerintah India dengan menggunakan pasukan India sendiri. Sekali rakyat India bangkit dan bilang tidak, Inggris menyadari bahwa permainannya telah selesai. Jenderal Auckinlech mengirimkan telegram ke London untuk menyampaikan ia tidak mampu menangani India lebih dari empat hari. Lebih jauh lagi, Kongres menghianati India dengan penerimaan atas pembagian daerah yang berdarah serta reaksioner, yang di dalamnya sekitar 10 hingga 20 juta orang terbantai. Ini adalah kejahatan imperialisme Inggris yang, di bawah kata pendahuluan “mencegah pertumpahan darah”, secara sinis membelah tubuh India, dengannya menebar benih berbagai perang dan konflik baru.
Kejatuhan Stalinisme berarti perubahan penting bagi dunia kolonial. Di masa lalu negara-negara kolonial mempunyai kesempatan menjadi penyeimbang antara kekuatan AS dan Uni Sovyet serta memperoleh beberapa keuntungan dari hal itu. Sekarang sudah tidak lagi. Hal ini amat mempengaruuhi negara seperti India , yang di masa lalu menyandarkan perluasan tertentu dari jalur politik dan perdagangannya ke birokrasi Moskow, relatif independen dari Washington. Sekarang halnya tidak demikian. Di bawah tekanan imperialisme saat ini secara keji India dipaksa membuka pasarnya, ini mempunyai konsekuensi katastropik bagi industri lokalnya. Potret yang sama dapat dilihat di semua daerah eks-kolonial. Mimpi-mimpi tentang kemajuan melalui kemerdekaan telah terekspos sebagai suatu tipuan kejam. Di bawah sistem kapitalis, menangnya kemerdekaan formal &endash;meski hal ini sendiri adalah suatu perkembangan progresif&endash; tak dapat memecahkan satupun masalah paling fundamental dalam masyarakat di negeri-negeri terbelakang.
Saat ini, 70 persen anggaran India ditujukan bagi pembayaran hutang, dan sekarang pemerintahan BJP telah menambah jumlah besar sekali anggaran untuk belanja persenjataan. Ini akan menempatkan beban baru dan berat di pundak kaum pekerja dan kaum tani, yang akan segera melihat pemerintahan BJP itu seperti apa. Sebagaimana koran The Economist menyatakan secara sarkasme bahwa arti sebenarnya dari slogan BJP “kepercayaan diri” adalah “Anda lebih baik terbiasa miskin”. Sebagai akibatnya, pemerintahan BJP sudah mulai ambruk ke pinggiran. Satu Juni anggaran diumumkan hanya sesaat setelah dilakukan uji coba nuklir, pemerintah mengumumkan pemotongan besar-besaran atas subsidi pupuk dan menaikkan harga BBM. Namun koalisi yang ada begitu lemah hingga saat partai-partai oposisi memprotes, segeralah Menteri Keuangan Yashwant Sinha mundur, mereduksi potongan subsidi hingga setengahnya dan menurunkan lagi harga bahan bakar, mengatakan bahwa kebijakan sebelumnya adalah “kekeliruan”.
Sejak itu, bursa turun 30 persen, nilai rupee turun 7 persen terhadap dollar, dan hanya di minggu pertama Juni saja senilai 130 juta dollar investasi asing meninggalkan India. Dan ini belum lagi saatnya sanksi-sanksi itu membuahkan akibat. Menurut beberapat estimasi, hal itu dapat menggunting pertumbuhan India hingga 4 persen, amat sangat lemah untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang diperlukan untuk menanggulangi pengangguran. Dan inflasi, yang hanya 4,5 persen sebelumnya, dapat membumbung hingga 10 persen. Jadi, BJP akan mengalami masalah dengan tingginya pengangguran, harga-harga membumbung, dan lebih jauh lagi jatuh terpuruknya standar hidup. Sekali kabut chauvinisme yang melingkupi uji coba nuklir tertiup pergi &endash;dan ini sudah mulai&endash; panggung siap untuk terjadinya berbagai pergerakan besar. Kalau saja Partai Komunis India dan Partai Komunis India (M) memiliki program komunis yang sejati, masa depan revolusi India dapat dipastikan. Sialnya, kedua partai itu menyetujui garis reformis, berbasis pada pakta dan aliansi-aliansi dengan lapisan-lapisan berbeda di jajaran borjuasi nasional. Di atas garis ini hanya terletak perspektif kekalahan dan reaksi. Dalam hal perjuangan, mulai dengan lapisan-lapisan yang paling berkesadaran di PK India dan PK India (M) , kaum pekerja India akan harus menemukan jalan menuju kebijakan yang benar-benar Leninis, kebijakan yang sendirianpun akan menjamin tercapainya kesuksesan.
PAKISTAN
Dua puluh enam tahun dari 51 tahun terakhir, Pakistan berada di bawah pemerintahan militer. Pakistan telah menapak dari rezim-rezim demokratik yang tidak stabil menuju pada keditaktoran, lalu kembali lagi ke semula, tanpa menyelesaikan satu masalah pun. Sebaliknya, problem-problem tersebut mantap terus memburuk. Bagian terbesar anggaran negara dibelanjakan untuk pertahanan negara serta pengembalian hutang. IMF menuntut pengurangan belanja militer &endash;tapi bukan pengembalian hutang! Kaum imperialis tidak menginginkan terjadi kudeta dan amat pasti mereka tidak menginginkan pecahnya perang antara India dan Pakistan. Namun uji coba nuklir yang dipamerkan India dengan cepat memprovokasi rezim Pakistan untuk mengekor. Hal ini menunjukkan batas kecakapan imperialisme mengontrol situasi. Kelas yang berkuasa baik di India ataupun Pakistan tanpa perlu kita sangsikan telah menggunakan masalah nuklir sebagai pengalih perhatian (massa), membangkitkan sentimen-sentimen chauvinis dengan tujuan mencegah perkembangan terjadinya revolusi. Tapi hal ini hanya bisa bertahan sebagai fenomena temporer. Sekali efek chauvinis tadi tertelanjangi, perhatian massa akan kembali bahkan lebih fokus pada kebutuhan yang paling menekan hidup mereka, yaitu pekerjaan, makanan, dan tempat tinggal.
Kapitalisme Pakistan tetap secara ekstrim lemah serta tidak stabil. Semua kontradiksi telah terbangun selama puluhan tahun, menghasilkan situasi yang eksplosif. Di bawah tekanan imperialisme yang tak mengenal belas kasihan, Pakistan mereduksi tarifnya. Sebagai akibat dari hal itu, 3.462 perusahaan menengah dan besar ditutup. Efektifnya, negara ini bangkrut. Di perempat terakhir tahun 1996 saja, 550 juta dollar dikeluarkan untuk membayar bunga hutang. Jika tidak disokong pasar gelap raksasa (obat bius, peredaran senjata gelap, dsb.) seluruh perekonomian tentu kolaps. Tapi biar bagaimana pun, situasi saat ini tak dapat ditangani lebih lama lagi. Ada tekanan konstan dari IMF untuk menaikkan pajak tak langsung atas bensin, gas, dan listrik, dan dengan itu mengoyak standar hidup massa yang sudah menyedihkan. Namun mereka bermain api. Sebagaimana di India, klik yang berkuasa di Pakistan coba mengalihkan perhatian kemarahan massa ke pada musuh eksternal dan membangkitkan sentimen patriotik atas masalah peledaka uji coba nuklir. Mungkin Nawar Sharif tidak punya alternatif kecuali mengikuti contoh dari India. Kasta ksatria tidak akan menerima yang kurang dari itu. Tapi konsekuensinya akan jauh lebih serius di Pakistan daripada India. Pemutusan bantuan AS akan akan berefek jauh lebih buruk di bidang keuangan bagi negara yang telah tertatih-tatuh di bibir jurang kebangkrutan. New Delhi memiliki cadangan 2,6 milyar dollar, sementara Pakistan hanya 1,2 milyar dollar, hanya cukup buat pertukaran impor selama lima minggu. Tekanan tanpa ampun yang dirasakan massa sekarng adalah persiapan bagi terjadinya ledakan di kedua negara ini. Revolusi tahun 1968 diletikkan oleh kenaikan harga gula sebesar 10 persen. Hal yang sama terjadi lagi.
Terdapat banyak kesamaan paralel antara Pakistan dan tsarisme Rusia. Seperti Rusia, Pakistan adalah sebuah masyarakat semi-feodal di mana kapitalisme bercokol di sejumlah daerah, terutama di Karachi dan sebagian dari Punjab. Masalah nasional yang dihadapi juga serupa, dengan orang Punjab yang mendominasi orang-orang Sandhi, Baluchi, Pushtoon, dsb. Jika kelas pekerja tidak merebut kekuasaan, amat mungkin Pakistan akan terpecah di masa nanti. Kemungkinan ini telah terlihat dengan pemiisahan diri yang dilakukan oleh Bangladesh (dulu merupakan Bengali Timur). Mengingat percampuran penduduk dewasa ini (contohnya, orang Sindhi adalah minoritas di Karachi, dan orang Baluchi minoritas di kota-kota Baluchistan), pecahnya Pakistan jadi bagian-bagian menurut suku jelas merupakan mimpi buruk absolut. Hanya perjuangan revolusioner kelas pekerja Pakistan yang bersatu yang dapat mencegah terjadinya hal ini dan memecahkan masalah nasional di atas basis federasi sosialis yang demokratis, yang dapat menjadi titik mula bagi terbentuknya Federasi Sosialis bangsa India Sub-benua. Cuma hal ini yang dapat mencegah horor berupa perang dan kekerasan komunal yang merupakan akibat tak terelakkan dari kapitalisme.
Pemerintahan PPP pimpinan Benazir Bhutto bersifat korup, tetapi pemerintahan Nawar Sharif saat ini bahkan lebih buruk lagi. Yang disebut belakangan ini merupakan sebab pemerintahan yang terdiri atas bagian-bagian terbusuk dari para komprador borjuasi, berhubungan erat dengan bandar-bandar perdagangan obat bius, bersandar pada kaum fundamentalis reaksioner. Situasi yang tidak stabil yang ada saat ini tidak akan berlangsung terlalu lama. Di paruh akhir tahun 1997, 500.000 pekerjaan hancur sebagai akibat diterapkannya kebijakan-kebijakan IMF. Hal ini mengacaukan kelas pekerja dengan banyaknya pabrik yang ditutup. Rata-rata pertunbuhan penduduk Pakistan per tahun adalah 3,3 persen. Pertumbuhan ekonomi tidak dapat menjajari pertumbuhan penduduk ini. Dengan angka kelahiran tertinggi di dunia, negeri ini termasuk yang paling rendah angka melek hurufnya serta terburuk pelayanan kesehatannya. Untuk obat, per tahun negara membelanjakan lima penny per orang. Infrastruktur negeri ini sedang kolaps. Dalam beberapa tahun terakhir, 7.500 kilometer jalur kereta api ditutup. Semua aset negara dalam persiapan diswastanisasikan. Tapi bahkan jika mereka jual semua aset ini (harganya sekitar £ 5 milyar), tetap tidak dapat menutupi bunga hutang £ 7 milyar. Justru di tengah krisis sosial dan ekonomi ini kelas berkuasa Pakistan maju terus dengan program persenjataan nuklirnya. Ini memperlihatkan usaha mati-matian kelas penguasa ini mengalihkan perhatian massa dari masalah-masalah rill, dengan menghadirkan musuh dari luar, yaitu India. Hal ini tidak akan menyelamatkan kelas pengusa di Pakistan dari kegusaran massa sekali saja massa telah mulai bergerak.
Semua tanda ini mengindikasikan bahwa situasi objektif mulai berubah. Suasana hati massa saat ini telah berbalik melawan pemerintahan Nawar Sharif. Baru-baru ini PPP mengadakan demonstrasi di Karachi di mana Benazir Bhutto berpidato. Dia mengharapkan kumpulnya 5.000 orang, tetapi ia mendapati dirinya telah mengumpulkan 500.000 orang. Betul-betul ini bukan jenis dukungan yang ia inginkan. Kepemimpinan di PPP lebih menyukai situasi di mana pemogokan gagal dan demonstrasi hanya menarik minat sedikit orang saja, jadi mereka bisa mengecilkan hati massa dengan mengatakan bahwa situasinya sungguh sukar. Menghadirkan setengah juta orang dalam satu demonstrasi hanya dapat dimaknakan sebagai adanya dukungan dari para pekerja dan mahasiswa Pakistan. Terpisah dari demonstrasi itu ada banyak indikasi lain yang meunjukkan bahwa mood yang berubah sedang mengambil tempatnya, bahkan di Karachi.
DEMOKRASI ATAU KEDITAKTORAN?
Karakteristik penting lain dari situasi yang terjadi saat ini di dunia kolonial adalah berpindahnya kecenderungan imperialisme dari mendukung kekuasaan militer ke mendukung pemerintahan “demokratis” di mana saja hal ini mungkin dilakukan. Kita melihatnya di Haiti, di Filipina, dan di negeri-negeri lainnya, di mana Washington menarik dukunngannya terhadap boneka-boneka yang dulunya jadi tumpuan perpanjangan tangannya. Dua alasan utama dari perubahan ini di satu sisi adalah kenyataan bahwa Stalinisme tak lagi merupakan ancaman dan oleh karena itu, di bawah tekanan massa, mereka bisa mengakui demokrasi formal, sejauh itu tidak mengancam kepentingan-kepentingan ekonomis dan kepentingan-kepentingan strategisnya. Di sisi lain pemerintahan diktatorial cenderung mendapatkan peledaknya sendiri. Kediktatoran menciptakan aparatus birokratis yang mahal dan masif, dan para ditaktor sendiri punya tendensi akan kronisme dan kemewahan yang mana hal ini memakan bagian kue yang harusnya bisa diperas oleh perusahaan-perusahaan multinasional dari negara-negara ini. Beberapa diktator tersebut bahkan berani menantang tuan mereka dan menyebabkan berbagai kesulitan bagi Amerika. Inilah kasusnya Noriega di Panama dan Saddam Hussein di Irak, sekadar contoh.
Selama tekanan gerakan massa tidak mengancam eksistensi sesungguhnya dari sistem kapitalis, demokrasi adalah cara pemerintahan yang paling ekonomis menurut pandangan kaum kapitalis. Di sembarang pemerintahan tadi, keputusan-keputusan yang paling penting masih diambil di Washington, Paris, dan London. Kenyataan bahwa, pada awalnya, imperialisme lebih memilih pemerintahan yang “demokratis” tidaklah lantas berarti ia mampu mencapainya. Jangan kita lupakan kalau dua negara yang dianggap memiliki transisi yang lancar menuju demokrasi borjuis adalah Zaire pimpinan Mobutu dan Nigeria. Di masing-masing negara ini penguasa militer mempunyai ide-ide berbeda dan membatalkan proses proses demokrasi tadi, membuat kaum imperialis terhina.
Hal ini berkaitan juga dengan sikap imperialisme AS yang enggan terlibat dalam intervensi militer yang bersifat langsung di luar negeri. Tendensi kita telah menjelaskan bahwa kekalahan Amerika dalam perang Vietnam terutama sekali disebabkan oleh perlawanan massa di negerinya sendiri serta prajurit-prajuritnya yang tak kenal lelah. Satu jenderal Amerika Serikat betul-betul membandingkan situasi di tengah prajurit di Vietnam dengan garnisun Petrograd pada tahun 1917. Jika saja Partai Buruh Sosialis Amerika memiliki suatu program revolusioner yang murni, maka Amerika Serikat akan telah di ambang situasi revolusioner bahkan pada saat itu. Itu adalah kali pertama Amerika Serikat kalah dalam perang. Hal itu akan membuat mereka menghindari intervensi dengan menggunakan pasukan tempur darat di luar neger. Satu-satunya perkeculaian yang kita massukkan dalam penjelasan tendensi kita adalah di Timur Tengah, di mana kita menjelaskan bahwa kepentingan pokok imperialisme terhadap minyak dapat memaksa mereka melakukan intervensi jika terjadi kasus situasi revolusioner di Saudi Arabia.
Sejak perang Vietnam itu kemudian kita melihat bahwa AS, imperialis terkuat dalam sejarah, menarik pasukan daratnya dari Libanon dan Somalia. Intervensi yang sesungguhnya dengan menurunkan pasukan darat hanya terjadi di negeri-negeri kecil seperti Grenada, Panama, dan Haiti sebab suatu operasi militer yang cepat melawan negeri yang kecil dan lemah mengandung sedikit sekali resiko.
Sebaliknya, perang Gurun melawan Irak bersandar pada kekuatan pemboman udara. Bahkan ketika mereka mendobrak perbatasan Irak dan berjalan menuju Baghdad, mereka gagal mencapainya. Mereka takut berhenti dan masuk dalam perang gerilya yang membuat mereka harus menghadapi massa di rumahnya sendiri, para serdadu akan pulang dalam kantung mayat. Begitulah, kita lihat situasi yang kontradiktif, kekuatan imperialis paling unggul dalam sejarah ternyata impoten untuk melakukan intervensi darat bahkan di negara kecil dan lemah seperti Somalia. Bagaimana pun, “perselingkuhan” antara imperialisme dan demokrasi hanya akan berlangsung selama demokrasi formal bisa menjamin dominasi ekonomi kaum imperialis. Dalam kasus manapun, “demokrasi” macam apa yang begini ini? Paling banter, kita dapat mempertimbangkannya sebagai semi-demokrasi, sebuah penipuan dan penggelapan keaslian untuk menutupi dominasi berbagai bank, monopoli, dan tentu saja untuk menutupi imperialisme. Begitu kelas pekerja dan kaum tani menghadirkan tantangan serius kepada aturan kaum kapitalis, mereka akan kembali mengulangi, tanpa ragu dan malu, metode yang sama yaitu kediktatoran yang keji.
Di Amerika Latin, sebagian terbesar rezim-rezim diktatorial runtuh dan kita sekarang memiliki demokrasi borjuis yang “normal” di hampir seluruh benua itu. Tetapi bahkan di situ, sebuah konflik kelas telah menjadi makin akut, jajaran aparatus negara telah gagal memainkan peran sabar dan kembali pada represi terbuka untuk menindas gerakan buruh dan organisasi-organisasinya. Di Peru kita liaht sebuah rezim bonapartisme parlementer yang di dalamnya Angkatan Bersenjata diberi peran yang terus bertambah besar dalam menjalankan pemerintahan negara, sisten peradilan, dll. Di banyak negeri-negeri di Amerika Latin, kelas penguasa melakukan usaha terakhir yaitu menyewa para pembunuh untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dengan para aktivis serikat buruh. Di Honduras, Kolombia, Brazil, Argentina, ini sekadar menyebut sejumlah kecil negeri yang hanya formalnya saja demokratis, para aktivis buruh dan kaum tani telah dibunuh siang-siang bolong. Dari tindakan ini, untuk membuka kediktatoran masih ada satu langkah lagi jauhnya, tetapi yang satu inipun akan tanpa ragu diambil juga oleh kelas penguasa di negeri-negeri tersebut, dengan dukungan penuh dari imperialisme AS, jika kondisi menuntut demikian.
Bagaimanapun, mereka hanya mengambil langkah terakhir ini jika gerakan kaum pekerja secara fundamental mengancam aturan modal. Saat ini, di Amerika Latin, pendulum sudah bergeser ke kiri. Kita telah melihat gerakan yang masif dari kelas pekerja selama periode kemarin. Pemogokan, pemogokan umum, dan berbagai aksi regional yang mengandung unsur pemberontakan telah terjadi di sebagian terbesar negeri-negeri ini. Pemogokan umum di Ekuador, yang mempunayi karakter pemberontakan, menumbangkan pemerintah Buccaram yang dibenci, tetapi disebabkan kurangnya alternative politis, penumbangan ini digantikan tempatnya oleh sebuah pemerintah borjuis yang lebih “normal”. Di Bolivia kita telah menyaksikan heroisme para pekerja mengorganisir pemogokan umum habis-habisan yang berkansung hampir sepanjang satu tahun. Tetapi tanpa sebuah partai revolusioner, tidak ada jalan keluar yang mungkin. Di bawah kondisi kaum kapitalis yang berada dalam krisis, bahkan pemogokan yang paling heboh tidak dapat memecahkan masalah-masalah fundamental kelas pekerja.
MEKSIKO
Jika dilihat kulitnya saja, kelihatannya ekonomi Meksiko telah pulih sepenuhnya dari kolaps keuangan di tahun 1994/95, dan bahkan beberapa analis internasional berkata bahwa Meksiko adalah contoh yang harus digunakan perekonomian Asia untuk secepatnya keluar dari resesi mereka. Bagaimana pun, realitasnya sungguh berbeda. Setelah kontraksi ekononomi yang mengerikan sebesar 6,2 persen di tahun 1995, perekonomian kembali tumbuh di tahun 1996 dan bahkan mencapai pertumbuhan yang (secara ofisial) impresif, yaitu 7 persen di tahun 1997. Jika gambaran 3 tahun tersebut dirata-ratakan, ternyata kita mendapatkan angka pertumbuhan rata-rata hanya 1,8 persen per tahun. Ini lebih rendah daripada pertambahan penduduk 1,9 persen per tahunnya. Jauh dari bertambah, menurut sebuah riset universitas ,upah nyata para buruh terus jatuh hungga 34,5 persen di 3 tahun belakangan. Kemerosotan dalam upah adalah bagian dari trend yang berlangsung jauh lebih lama, daya beli dari upah legal minimum saat ini hanya 25 persen dari di tahun 1980.
Satu dari alasan-alasan utama bagi pertumbuhan ekonomi ini sesungguhnya adalah meningkatnya kekompetitifan eksportir-eksportir Meksiko sebagai akibat devaluasi peso. Hal ini terutama menguntungkan bagi sektor “maquiladora”, dengan cara merakit berbagai mesin pabrik-pabrik AS yang berpusat di perbatasan AS-Meksiko dengan berbagai praktek kerja yang mengerikan. Sektor ini sekarang menghadapi persaingan dari ekspor Asia Tenggara yang sekarang jauh lebih murah akibat kolapsnya keuangan Asia Tenggara. (Sementara buruh-buruh maquiladora sekarang mulai terorganisir dalam proses yang serupa dengan yang terjadi di perekonomian Asia Tenggara yang berupah rendah). Hal ini memberi tekanan pada keuangan Meksiko dan kolapsnya lagi mata uang peso bukannya bisa diabaikan begitu saja, khususnya bila seorang mempertimbangkan beban hutang sebesar 42 persen dari jumlah total hutangnya. Pemerintah Meksiko sedang mencoba menghalangi kemungkinan kolaps peso kembali dengan suatu kebijakan devaluasi terkontrol.
Jatuhnya harga minyak juga telah keras memukul jatuh perekonomian Meksiko sebab, meskipun ekspor minyak hanya mengisi 9 persen GNP, itu seharga 40 persen penghasilan pajak negara. Sampai sejauh tahun ini berjalan, pemerintah telah memperkenalkan dua paket pemotongan anggaran sebagai akibat langsung jatuhnya harga minyak. Mempertimbangkan semua faktor ini, dan lagi dalam perspektif ekonomi dunia yang gelap dan suram, ramalan resmi bagi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen di tahun 1998 adalah benar-benar hal yang terlalu dibesar-besarkan (dan nyatanya pemerintah telah merevisinya hingga turun dua kali lipat).
Mengingat situasi ekonomi yang lemah, adalah bukan kejutan sama sekali kalau proses dekomposisi rezim (yang dimulai sejak akhir tahun 1980-an dan dipercepat setelah pemberontakan kaum zapatista tahun 1994) terus berlanjut. Dengan cepat, lapisan-lapisan birokrasi PRI meninggalkan partai itu bagaikan tikus wirog bersicepat kabur dari kapal yang sedang tenggelam, membentuk partai-partai mereka sendiri atau bergabung dengan sayap kiri, yaitu PRD dan sayap kanan, yaitu PAN. Bahkan di tahun 1997, satu bagian penting dari persatuan birokrasi resmi telah membelot dari federasi serikat buruh resmi (CTM) dan membentuk Uni Pekerja Nasional (UNT) milik mereka sendiri, yang meskipun masih mempertahankan praktek-praktek internal mereka yang lama, yaitu anti demokrasi, tetapi menentang kebijakan ekonomi pemerintah yang merusak kesejahteraan dan hak-hak istimewa mereka sebagai pimpinan-pimpinan serikat buruh.
Perkembangan krisis ditunjukkan oleh perpecahan di dalam elit yang berkuasa. Ada golongan-golongan pejabat negara dan para boss yang doyan pada kebijaksanaan “ketat” untuk melawan semua gerakan oposisi. Sasaran utama mereka adalah gerakan kaum zapatista dan mereka telah menempuh berbagai cara untuk memaksa kaum zapatista menyerah atau musnah. Mereka meloloskan sebuah undang-undang kaum pribumi dalam parlemen (ini ditentang oleh PRD) dan UU tadi menghancurkan semua kesepakatan terdahulu antara pemerintah dan EZLN. Mereka melancarkan kampanye untuk memaksa para pekerja berkebangsaan asing di berbagai LSM berbeda di Chiapas agar keluar dari Meksiko (sejauh ini 200 orang dari telah terdesak keluar), dengan tujuan mengenyahkan semua saksi yang tidak diinginkan. Puncaknya mereka mengajukan kehadiran tentara di Chiapas, medirikan pos-pos militer dengan helikopter dan pesawat militer yang terbang rendah di atas komunitas-komunitas kaum zapatista, dan lain-lain tindakan represi. Pemerintah juga membiayai, mempersenjatai, serta melatih organ-organ para-militer. Tidak hanya di Chiapas tetapi juga di berbagai daerah rawan konflik lainnya di negeri tersebut.
Tentu saja, represi begini tidak hanya ditujukan untuk kaum zapatista. Para aktivis serikat buruh, orgnisasi-organisai penghutang, para pimpinan kaum tani, dll., semuannya telah dilukai dengan adanya berbagai penangkapan ilegal (seperti dalam kasus pimpinan serikat buruh Aquiles Magaña), usaha-usaha pembunuhan (sebagaimana kasusnya pimpinan organisasi penghutang di Chiapas, yaitu Federico Valdez yang juga sekaligus seorang Marxis), dan lain-lain pembantaian dalam artian sebenarnya (lebih dari 600 anggota PRD telah dibunuh selama 10 tahun terakhir ini). Biar bagaimanapun, meningkatnya represi ini bukanlah signal kekuatan rezim PRI, melainkan tanda kelemahannya. Secara mengagumkan, rakyat kehilangan rasa takut mereka atas represi pemerintah. Meskipun tingkat-tingkat pemogokan masih rendah, kebanyakan disebabkan tingginya pengangguran dan kondisi keamanan kerja, proses pembentukan arus demokrasi di tengah perserikatan-perserikatan (buruh) yang resmi telah makin cepat jalannya. Para pekerja dan kaum tani bergabung dengan PRD sebagai satu-satunya saluran di mana mereka dapat mengungkapkan aspirasi bagi perubahan, meskipun banyak pimpinan PRD memiliki sifat korup dan pengera karir. Kelas pekerja adalah faktor utama dalam situasi di Meksiko (dan kebanyakan negeri-negeri lain di Amreika Latin) kali ini telah dibuktikan sekali lagi. Partisipasi para pekerja di skenario politik, khususnya saat demonstrasi May Day tahun 1994 dan 1995 yang dihadiri jutaan orang, telah menancapkan batu peringatan penting dalam proses dekomposisi rezim PRI.
Kebangkitan PRD tergambarkan oleh kemenangan mereka dalam pemilhan di tingkat Distrik Federal (DF) musim panas lalu, yang mana untuk pemilihan itu semua orang berpikir PAN yang akan menang. Kebangkitaan itu juga tergambarkan oleh fakta bahwa PRI kehilangan kedudukan mayoritas di Kongres untuk pertama kalinya. Saat ini birokrasi PRI dan pemerintahan nasional tengah berusaha untuk menghancurkan dan mensabotase Cardenas sebagai walikota Meksiko City dengan tujuan untuk melemahkannya dalam usaha mendapatkan kursi kepresidenan tahun 2000 nanti. Bagaimana pun massa masih memiliki ilusi-ilusi yang patut dipertimbangkan terhadap PRD (khususnya Cardenas yang, bersama dengan Manuel López Obrador, merupaakan representasi sayap “kiri” PRD). Di dalam tubuh PRD perbedaan antara kiri dan kanaan (diwakili Muños Ledo) sekarang sedang berkembang. Kongres PRD baru-baru ini mendeklarasikan bahwa partai itu adalah sebuah “partai sayap kiri”, ini satu gerakan yang jelas-jelas merupakan refleksi tekanan dari bawah. Organisasi DF dari prtai tersebut dikontrol oleh apa yang dinamakan Organ Demokrasi Kiri.
Adalah sangat mungkin bahwa PRD akan memenangkan pemilu tahun 2000. Namun jika PRD meraih kekuasaan dan tidak membawakan sebuah program yang revolusioner, tak diragukan lagi itu akan mempersiaapkan jalan bagi adanya reaksi dan situasi yang lebih buruk daripada sebelumnya. Dalam konteks kemorosotan dunia dan kolapsnya ekonomi Meksiko, mereka akan berada di bawah tekanan dahsyat dari kekuatan-kekuatan kontradiksioner. Di satu sisi imperialisme akan mencoba menggunakan otoritas yang dimiliki PRD di tengah massa untuk mengadakan kebijakan yang lebih menyiksa dan berbagai swastanisasi. Di sisi lain para pekerja dan kaum tani mengharapkan sebuah pemerintahan PRD untuk memecahkan problem-problem mereka yang paling mendesak: upah, demokrasi serikat buruh, korupsi, pertanahan, dll. Perayaan euphoria akan kencang berhamburan di dalam krisi kapitalis dan massa akan maju terus dengan ofensif, bahkan tidak menunggu pemerintah untuk bertindak. Tekanan gerakan massa akan tercermin dalam PRD dengan kemunculan sebuah sayap baru yang lebih jelas terdefinisi kirinya, tumpah ruah, berhadapan dengan perang pimpinan partai yang hingga saat ini lebih menjalin hubungan dengan borjuasi.
NIGERIA SETELAH ABACHA
Setelah Afrika Selatan, negara kunci di Afrika adalah Nigeria. Ini adalah negara terbesar di Afrika sub-Sahara dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta jiwa. Satu dari lima orang Afrika tinggal di Nigeria. Sejak kemerdekaan formalnya di tahun 1960-an, Nigeria terus-terusan mengalami krisis politik, perang saudara, dan periode-periode panjang pemerintahan militer. Pemerintahan sipil Shageri, yang mengepalai terjadinya korupsi di mana-mana, pelipatgandaan hutang luar negeri, dan penghancuran basis manufaktur negeri tersebut, telah membuka jalan bagi terjadinya kup militer yang dipimpin oleh Jenderal Babangida di tahun 1985, yang pada gilirannya digantikan oleh Abacha. Diperintah oleh militer, negeri itu malah jatuh lebih jauh lagi ke dalam krisis ekonomi. Sekrang ini Nigeria menanggung hutang sebesar £ 19 milyar. Meskipun kekayaan sumber daya alamnya luar biasa &endash;Nigeria adalah produsen minyak ke lima terbesar di dunia&endash; negeri ini menderita krisis energi yang akut. Kejatuhan dalam infrastruktur menggiring Nigeria pada posisi di mana hanya satu dari kilang-kilang minyaknya berfungsi dan stasiun pembangkit tenaganya hanya beroperasi pada 32 persen dari kapasitas normal. Kebuntuan masyarakat Nigeria terungkap dengan fakta kurangnya akses air bersih dan sanitasi, setengah jumlah penduduk buta huruf, dan harapan hidup di sana hanya 51 tahun.
Sebagaimana dengan seluruh negeri-negeri bekas jajahan, bantuan senantiasa berjalinan dengan perjanjian dalam persenjataan. Antara 1988-1992 persenjataan dicurahkan ke Nigeria: Italia menyediakannya seharga 143 juta dollar, Czechoslovakia 134 juta dollar, Perancis 74 juta dollar, dan Innggris 75 juta dollar. Bahkan setelah pembatalan pemilu 1993 dan pencekalan Ken Sara-Wiwa, dana dan senjata terus saja berdatangan dari luar negeri.
Di bulan Agustus 1994 pemerintahan militer membubarkan dewan eksekutif nasional dari Nigerian Labour Congress dan perserikatan buruh pekerja sektor minyak dan gas. Rezim memberikan pengawasan yang luar biasa keras terhadap lawan-lawannya, menyerang anggota-anggota serikat buruh, menutup berbagai universitas, dan menangkapi para oposan. Tetapi, kelas pekerja Nigeria adalah satu dari yang paling kuat di Afrika serta memiliki tradisi yang militan. Kematian Abaacha membukakan situasi yang sepenuhnya baru dan penuh gejolak di Nigeria. Pada tanggal 12 Maret 1998 kami menulis pada kaum Marxis Nigeria: “Borjuasi akan bergerak dengan mengabaikan pemerintahan militer manakala mereka rasai bumi berguncang di bawah kaki mereka. Bisa jadi mereka mengarah pada front populer &endash;di mana wakil-wakil kelas pekerja dibawa masuk ke dalam susunan pemerintahan, guna melakukan berbagai pekerjaan kotor.”
Jauh lebih cepat dari yang kita antisipasi, perspektif ini dibuktikan oleh kejadian sesungguhnya. Kematian Abacha yang tiba-tiba sepertinya tidaklah dikarenakan sebab-sebab alamiah. Lebih mungkin karena kaum imperialis yang memiliki kepentingan- kepentingan besar di Nigeria, ketakutan atas kemungkinan terjadinya ledakan yang jelas-jelas telah tersiapkan adanya, memutuskan untuk menyingkirkan si Abacha itu, sebab segala tekanan mereka tidak menunjukkan efek apapun. Tetapi dengan cara yang sama seperti pengunduran diri Soeharto menandai dimulainya revolusi di Indonesia, demikianlah kematian Abacha merupakan episode pertama dalam revolusi di negeri yang paling padat penduduknya di Afrika. Secara spontan massa turun ke jalanan untuk mengekspresikan kesenangan hati mereka atas lenyapnya penindas yang mereka benci. Namun kini, kaum borjuasi dan kaum imperialis akan buru-buru bergerak guna mengupayakan padamnya gerakan massa, dengan cara menukar posisi dari kanan ke kiri.
Apapun yang didirikan oleh rezim borjuis, tak akan kita memberinya secabikpun dukungan politis. Biar bagaimana, kita harus mengggunakan hak-hak demokrasi yang amat terbatas yang mungkin menjamin naiknya propaganda kitaa bagi penumbangan rezim borjuis dan teraihnya kekuasaan oleh kelas pekerja. Kembali, kita akan menekankan pada kelas pekerja untuk hanya bersandar pada kekuatannya sendiri, daya tahannya sendiri, organisasinya sendiri, serta taktik dan strategi independen miliknya sendiri. Tidak dalam cara apapun kaum Marxis dapat mendukung Abiola yang disebut “demokrat”. Posisi independen harusnya terus dipelihara. Bahkan saat Lenin menunjukkan keberpihakan pada demokrasi borjuis di Rusia, ia senantiasa menentang kaum borjuasi liberal di bawah tsarisme dan di negeri-negeri lain. Secara konstan Lenin mengupas habis tema pokok: tak ada kesetiaan di kaum borjuis liberal! Percayalah hanya pada kekuatan-kekuatan milik kau sendiri untuk menemukan solusi bagi premasalahan kelas pekerja! Kaum stalinis-lah yang meracuni gerakan dengan ide-ide kolaborasi kelas mereka serta dukungan mereka bagi kaum liberal. Hal yang sama berlaku juga bagi Nigeria. Jika saja ia hidup sekarang ini, Lenin tentu akan berkata pada massa di Nigeria: bersandarlah pada daya dan kekuatanmu sendiri, organisasimu. Jangan kamu memiliki ilusi-ilusi terhadap apapun yang ada dalam borjuasi liberal. Ya tentu saja, setelah periode panjang kediktatoran militer akan terdapat ilusi-ilusi pada kaum borjuasi liberal. Kita harus mempertimbangkan hal ini dan berjuang untuk semua tuntutan demokratis serius, terutama tuntutan adanya sebuah Majelis Permusyaawaratan Rakyat. Namun kita harus mengkaitkan tuntutan-tuntutan demokratik kepada tuntutan-tuntutan sosialis dalam suatu cara transisional.
Kita tidak medukung satu pemerintahan borjuis untuk melawan pemerintahan borjuis lainnyaa. Bagaimana pun, penumbangan Junta, bahkan meski itu menggiring terjadinya sebuah pemeintahan borjuis yang baru, merupakan satu langkah ke depan. Akan tercipta kondisi-kondisi baru yang mengizinkan kaum proletar berorganisasi secara lebih bebas dan memberi kita performa ide-ide baru. Tiap satu hak demokratik yang dicapai oleh kelas pekerja adalah satu langkah ke depan yang akan digunakan untuk leangkah yang lebih jauh lagi. Pada saat yang sama, kita tidak mempercayai apapun bentuknya pemerintahan “demokratis” borjuis yang baru. Itullah posisi Lenin dan Trotsky di tahun 1917, sebagai lawan konsiliasionisme Stalin dan Kamenev yang berkehendak mendukung Pemerintahan Sementara “sejauh mungkin” pemerintahan itu mendukung revolusi.
Seluruh sejarah Nigeria, yang telah terombang-ambing antara “demokrasi” dan kediktatoran, adalah indikasi ketidakstabilan masyarakatnya. Hanya kekuatan aksi massa dan revolusi yang dapat memaksa Junta menyerah, dan kemudian meletakan landasan bagi terebutnya seluruh tuntutan demokratik. Itulah alasan TIDAK memberikan pilihan suara pada Abiola di pemilu Juni 1993. Kita harus tidak memperkuat ilusi-ilusi yang berkembang atasnya. Adalah sama sekali keliru untuk mendorong kaum pekerja agar memilih Abiola sebab ia “tidak terlalu jahat”. Kedua partai (kontestan pemilu itu) pada nyatanya adalah partai-partainya pemerintah. Militer hanya memperkenankan terjadinya pemilu atas dasar pesertanya hanyalah dua partai ya direstui pemerintah. Itu kan lelucon. Kita tidak boleh endukung yang macam begitu. Dengan cara apapun klik berkuasa yang akan menang! Di Amerika Serikat kita tidak akan mendukung satupun kandidat kaum borjuis untuk pemilihan presiden. Kita kampaye bagi Partai Buruh AS untuk menaruh calonnya melawan borjuasi. Ketika di Nigeria Junta membatalkan hasil pemilu, satu-satunya jalan maju adalah aksi massa. Jelas-jelas kita dalam semangat menumbangkan Junta, tetapi jangan sampai kita punya ilusi apapun dalam gaya-gaya demokrat borjuis yang sekarang ini tampil ke muka.
Borjuasi Nigeria takut kepada demokrasi borjuis sebab ia takut pada massa. Hanya ketika ada ancaman nyata terjadinya revolusi kaum imperialis melakukan intervensi untuk mendukung kaum demokrat borjuis, sebagaimana terjadi di Amerika Latin. Akibatnya, bahkan Abiola pun telah mendukung Junta, si Abiola itu membiarkan dirinya terseleksi sebagai orang “yang dapat dipercaya” untuk dipilih dalam pemilu. Untuk alasan itulah tepatnya sekarang inni ia didorong lagi sebagi seorang yang bisa jadi merupakan “altenatif yang demokratis”. Ia tidak menimbulakn ancaman apa-apa bagi elite berkuasa dan juga bagi imperialisme. Kepemimpinan dalam Nigerian Labour Congress, yang sekarang ini dijabat olleh antek-antek pemerintah, tidak disiapkan untuk berjuang, sebab berjuang artinya menghantar terjadinya sebuah perjuangan revolusioner. Kita haruslah membasiskan diri di kelas pekerja, terutama di lapisan-lapisannya yang paling militan seperti para pekerja tmabang minyak. Kaum Marxis Nigeria telah melakukan dengan betul apa yang harus mereka lakukan dengan mengghimbau berdirinya komite-komite aksi untuk mengkoordinasi aksi massad memajukan tuntutan-tuntutan transisional seperti penyitaan harta milik kaum imperialis, nasionalisasi, Majelis Permusyawarahan &endash;inilah stu-satunya kebijakan yang benar-benar revolusioner: kebijakan yang mengkaitkan tuntutan-tuntutan demokratik dengan sebuah program anti-kapitalis.
Bagi massa, satu solusi bagi problem-problem mereka adalah “pemilihan umum” atau sebuah “Perwakilan” dalam bentuk apapun. Sebuah kediktatoran polisi militer senantiasa menimbulkan terjadi berbagai ilusi demokrasi borjuis di tengah-tengah massa. Semua mata tertuju pada kegagalan yang dipikul kediktatoran itu dan kembalinya “demokrasi”. Massa melihat “demokrasi” sebagai satu cara untuk menuntaskan permasalahan mereka. Bagi kaum borjuis “demokratik” itu adalah satu cara, peluang, untuk mematahkan potensi revolusioner massa. Kaum Marxis harus betul-betul mempertimbangkan situasi begini. Trotsky membuat point yang sama atas revolusi Cina dan kebutuhan kaum Trotskyist untuk mengukur hasrat atas hak demokratis setelah sekian lama di bawah cengkraman keddiktatoran kaum Bonapartis. Itu adalah perasaan alamiah setelah pengalaman berada di bawah junta militer. “Kami inginkan hak-hak demokratis kami yang paling dasar” akan menjadi satu perasan yang tersebar luas. Kita haruslah menggunakan perasaan macam ini untuk kemaajuan kita. Tugas kita adalah mengaitkan hasrat terhadap hak-hak demokratik &endash;hak untuk mengorganisir serikat-serikat buruh dan partai-partai politik, hak untuk melakukan pemogokan, kebebasan pers, kebebasan majelis, dll.&endash; pada masalah mengenai, dan program untuk, sebuah revolusi sosialis. Kita harus memberikan suatu isian kelas terhadap ungkapan-ungkapan yang menginginkan demokrasi ini. Kita harus mengekspos klaim-klaim borjuasi yang ingin jadi pahlawan “demokrasi”. Pendekatan ini akan memberikan pada kita telinga massa dan sebuah peluang untuk menerangkan ikhwalnya kaum Marxis.
Posisi “demokrasi” lebih dulu, lalu kemudian sosialisme, adalah satu variasi Stalinisme. Tentulah, Majelis Permusyawarahan tetap merupakan point tempat berkumpulnya kelas pekerja, tetapi di dalam dan dari majelis begitu sendiri tidak ada solusi. Hanya oleh sebuah pemerintah kaum pekerja yang mengurusi ekonomi maka permasalahan demi permasalahan dapat mulai diselesaikan. Tentu saja hanya dengan meluaskan revolusi ke seluruh Afrika dan ke dunia Barat solusi yang sebenarnya bisa ada.
Mengingat radikalisasi massa dan takut akan pemberontakan, para reformis borjuis dan para reformis kiri sungguh-sungguh ketakutan pada perkembangan ini dan berharap bisa menghindarkannya. Kita tidak dapat memberi dukungan pada kebijakan kolaborasi kelas. Daripada mengadaptasikan tekanan kaum borjuis kecil begitu, kaum Marxis perlu mengedepankan ide-ide kelas yang jelas. Tentulah, di bawah kodisi semilegal dan ilegal, susah untuk memelihara sebuah posisi kelas yang jelas. Kebenaran dari pernyataan barusan telah diperlihatkan oleh pengalaman kaum Bolsheviks di tahun 1917 ketika Stalin, Kamenev, dan Zinoviev terombang-ambing dan menyerah pada tekanan kaum borjuis dan opini publik kaum borjuis kecil dan lalu mengambil garis perlawanan yang terlemah. Tetapi amatlah perlu untuk berjuang melawan arus. Tanpa sebuah posisi kelas yang jelas dan independen, tidak mungkin ada jalan keluar.
AFRIKA SELATAN
Afrika Selatan tetaplah negara kunci di seluruh Afrika. Selama berpuluh tahun kaum proletariat berkulit hitam yang hebat telah memberikan cukup banyak bukti kegagahberanian dan insting revolusionernya yang mengagumkan. Hanya kurangnya faktor subyektif yang menghalangi jalan terjadinya revolusi proletar klasik di Afrika Selatan. Meskipun berbagai kejadian telah berkembang secara berbeda dengan apa yang sesunguhnya telah kita bayangkan dalam pikiran, perspektif-perspektif fundamentalnya tetap sama. Di atas sebuah basis kapitalis tidak ada masa depan bagi Afrika Selatan, bahkan lebih tidak ada daripada di negara-negara lain manapun. Alasan utamanya adalah, setelah keruntuhan Stalisnisme, kepemimpinan ANC, terutama Mandela, benar-benar bersiap untuk membuat kesepakatan dengan kelas berkulit putih yang berkuasa hingga dengan itu mereka menjadi bagian (kelas berkuasa tersebut). Sebagai tukarannya para pemimpin itu memberikan kepastian bahwa tidak akan ada satu pun perubahan yang fundamental. Para pemimpin ANC melekatkan diri mereka dengan kebijakan-kebijakan kapitalis untuk penerimaaan berlanjutnya kekuasaan komunitas bisnis raksasa kulit putih, tidak ada tindakan yang akan diambil pada mereka yang bertanggungjawab atas kejahatan terhadap rakyat di masa lalu, dan seterusnya. Dengan kata lain, mereka setuju untuk sepenuhnya menyerah.
Imperialisme AS dalam beberapa kejap telah mengenali bahwa situasi tidak bisa dipertahankan seperti sebelumnya. Tekanan dan militansi kelas pekerja kulit hitam telah menjadi terlalu kuat untuk diredam begitu saja dengan melancarkan represi. Sebagaimana biasa, reformasi adalah hasil sampingan revolusi. Ngeri akan terjadinya revolusi di Afrika Selatan, Washington memberikan tekanan berat pada De Klerk dan wakil-wakil lain dari kelas penguasa kulit putih untuk mendorong orang-orang ini menerima sejenis “kekuasaan mayoritas”, dengan sejumlah persyaratan. Buat pertama kalinya, melagnkahi pengikut-pengikutnya yang orang-orang Afrika kaum borjuis kecil, De Klerk mencapai persetujuan dengan ANC &endash;suatu yang tidak kita harapkan. Di masa lalu, kapan saja kelihatan perjanjian dilakukan untuk menentang kepentingan mereka, mereka akan berkelit dan berhasil memutar balik situasi kembali. Partai Nasional sendiri merupakan hasil perpecahan macam begitu yang terjadi sebelum Perang. Sepertinya sesuatu yang sejenis akan kembali muncul. Namun di jajaran luas yang spesifik dari para Afrikaner (kebanyakan petani) setelah beberapa dekade berlalu, telah merosot ke posisi di mana mereka tidak dapat menerimakan akibat-akibat hal tersebut seperti di masa lalu. Tetapi justru pada saatnya, para Afrikaner telah tereduksi pada gestur-gestur impoten dan juga pada terorisme. Ini urusan serius dan imperialisme lah yang memutuskannya.
Sementara, adalah sama sekali tidak disebabkan konklusi terdahulu maka persetujuan akan kembali dilanggar. Segala elemen, yang di atasnya kita letakkan basis perspektif kita, kini hadir di dalam proses. Terdapat banyak sekali hal-hal di mana di dalamnya terlihat proses itu akan pecah. Satu darinya adalah setelah pembunuhan Chris Hani, terjadi kerusuhan dan aksi tuntutan atas sebagian para pemimpin ANC. Jawaban yang mereka terima hanya “peliharalah ketenangan”. Para Afrikaner kulit putih juga mengusahakan kekerasan, dan aksi-aksi yang dilancarkan ABW serta elemen sayap kanan ekstrim di dalam jajaran aparatus negara diarahkan untuk mengacaukan situsai. Mereka juga berusaha mengkampanyekan teror, menggunakan jasa gerakan kaum Inkatha “Zulu” yang reaksioner yang hampir berhasil menggagalkan pemilu di beberapa region. Tetapi akhirnya elemen-elemen yang bekerja sesuai perjanjian ternyata lebih kuat dari yang kita pikirkan dan pemilu berlangsung terus.
Fakta bahwa segalanya telah berbalik secara melenceng dari apa yang kita harapkan tidaklah lantas membuat perspektif umum kita bagi Afrika Selatan sama sekali tidak valid. Bahkan, dalam pengertian apapun yang cukup berarti, kini tidak ada kekuasan mayoritas di Afrika Selatan. Persetujuan yang disepakati oleh De Klerk dan ANC adalah untuk pembentukan Pemerintahan Nasional dengan perwakilan-perwakilan semua partai. Hingga setelah berlangsungnya pemilu 1999 hal itu tidak akan terjadi.
Kita tidak akan menilai rendah efek dari penyerahan beberapa hak demokratis kepada penduduk kulit hitam. Tentulah di permulaan akan tak terelakkan munculnya berbagai ilusi (tentang demokrasi). Konsensi atas beberapa hal seperti listrik dan air bersih di perkotaan, istimewanya, akan dilihat oleh warga kulit hitam sebagai kemajuan utama. Namun harapan massa yang diletakkan di pundak para pemimpin ANC jauh melebihi konsensi-kensensi begitu. Kemarahan pekerja kulit hitam terutama kaum pemuda telah tumbuh dengan cepat akibat tingkah laku para pemimpin ANC. Setelah bergenerasi lamanya mengalami perbudakan yang begitu rupa, massa kulit hitam di Afrika Selatan mempunyai aspirasi terhadap eksistensi yang seimbang dan beradap dalam arti sesungguhnya. Bagi massa, masalah demokrasi selalu merupakan masalah kongkrit, berkait dengan pekerjaan, upah, dan perumahan. Pemerintahan pimpinan ANC mengajukan berbagai serangan terhadap serikat pekerja, hak-hak, melakukan swastanisasi alat produksi, dll., melalui rencana yang secara salah kaprah dinamai GEAR (Growth, Employment, and Restribution). Hal itu mendorong para pemimpin COSATU (yang mendeskripsikan GEAR sebagai sebuah “program keuangan kapital”) untuk mengadakan sejumlah pemogokan dan gerakan penting. Mereka melakukan ini terutama untuk meredam uap panas dan memelihara prestise mereka di dalam gerakan, tetapi perpecahan antara COSATU dan pemerintahan koalisi ANC mencerminkan urusan yang lebih mendalam lagi.
Sebagaimana kami sebutkan di tahun 1992; “reformasi tidak akan menghalangi terjadinya gejolak sosial, khususnya di masa merosotnya perekonomian dunia, yang akan menjadi suatu malapetaka bagi peduduk berkulit hitam. Hal itu juga mencancam pekerjaan dan hak-hak istimewa pwnduduk kulit putih yang akan mulai mengabaikan De Klerk dan bergerak menuju reaksi. Dalam cara yang sama, masa kulit hitam menyadari bahwa mereka telah diperdaya, basis ANC akan mulai menyusut. Krisis dan perpecahan akan terkuak di dalam ANC sendiri. Biar bagaimanapun, sama sekali tidak ada kepastian bahwa persetujuan akan tercapai. Namun meski perjanjian ditandatangani, itu tidak akan memecahkan satu pun kontradiksi-kontradiksi fundamental di masyarakat Afrika Selatan. Itu malah akan menjadi pengantar dalam sebuah periode baru pergolakan dan kekacauan sosial.” (World Perspective, Agustus 1992)
Kita dapat melihat hal itu telah dan tengah terjadi. Terdapat ketidakpuasan di dalam jajaran ANC dan serikat-serikta buruh mengenai pemerintahan yang sekarang ada dan mengenai cara bagaimana elit kulit hitam bekerjasama dengan borjuasi kulit putih, meninggalkan mayoritas penduduk kulit hitam yang masih hidup dalam kondisi kemiskinan.
Kelanjutannya para pemimpin ANC terpaksa melangkah mundur, dan hal ini dapat terlihat dalam Konferensi ANC ke-50. Dalam reportase pada majalah Australia GreenLeft Weekly, Oupa Lendlere menulis bahwa: “Mandela hanya memilih Inkatha Freedom Party-nya Mangosuthu Gatsha Buthelezi sebagai penghormatan dan secara personal membawa wakil IFT itu mendapat tepuktangan panjang dan riuh. …Publik ANC disiapkan untuk adanya kemungkinan merger dua organisasi itu, dan penempatan Mangosuthu Buthelezi pada posisi penjabat presiden Afrika Selatan. Penjabat presiden ANC yang baru, Jacob Zuma dari KwaZulu-Natal, dipercaya untuk melakukan merger tersebut.”
Kami telah memperingatkan di tahun 1992 bahwa “begitu massa kulit hitam menyadari bahwa mereka telah ditipu, basis ANC akan mulai menyusut.” (WP, 1992). Reportase yang sama (GreenLeft tadi) mengomentari: “Kelemahan-kelemahan organisasional, jumlah keanggotaan yang anjlok, dan ketidakberfungsian cabang-cabang juga mengkonspirasikan lancarnya kemenangan ANC kanan di Mafikeng. Delegasi Cape Timur, yang pernah jadi wilayah terkuat ANC, hanya berjumlah setengah dari kekuatannya di tahun 1994 disebabkan anjoknya keanggotaan itu.” (GreenLeft Weekly)
Pada akhirnya, massa akan menilai kesuksesan “demokrasi” atas kemampuan demokrasi itu menyediakan perumahan, pekerjaan, dan kondisi-kondisi kehidupan yang layak. Para pemimpin ANC menjanjikan hal-hal itu. Namun kini menjadi jelas bahwa kemajuan standard hidup hanya terbatas pada sebuah minoritas kecil kelas menengah kulit hitam. Mayoritas terbesar cuma memperoleh cuilan saja. Beberapa orang kulit hitam sukses masuk papan daftar para direktur perusahaan-perusahaan monopoli besar di mana kulit putih telah membuat ruang bagi mereka. Orang-orang ini termasuk sejumlah pemimpin penting ANC yang telah bekerjasama dengan kelas penguasa. Jadi, keseluruhan penyelewengan “reformasi” adalah berupa reduksinya yang memperkaya segelintir warga kulit hitam yang memiliki hak istimewa penuh, serta pengawetan kekuasaan milik oligarki kulit putih lama yang sama di bawah proteksi ANC. Thabo Mbeki adalah wakil paling sempurna dari lapisan borjuis kulit hitam ini.
Sebuah laporan statistik yang dipublikasikan baru-baru ini menggambarkan bahwa Afrika Selatan adalah negara yang memiliki gap antara si kaya dan si miskin kedua terlebar setelah Brazil. 40 persen penduduk termiskin Afrika Selatan hanya menerima 11 persen pendapatan negara, sementara 7 persen yang terkaya menerima bagian melangit sebesar 40 persen. Jika di masa lalu gap ini berasosiasi dengan perbedaan ras, sekarang ini bukan demikian kasusnya, sebab gap yang luar biasa lebarnya juga terjadi di tengah orang kulit hitam sendiri. Mereka yang berada di puncak sekarang ini hidup dalam kondisi yang sama dengan para pengusaha kulit putih dan berdampingan sebagai tetangga, pergi ke klub-klub yang sama, dll., sementara mereka yang berada di bawah menyaksikan standar hidup mereka sendiri terbenam. Secara nyata lebih banyak orang kulit hitam yang berada dalam kelompok yang memiliki penghasilan teratas, daripada orang kulit putih.
Laporan tersebut secara grafikal menjelaskan bagaimana “pembagian pendapatan negara yang diterima 40 persen penduduk termiskin Afrika Selatan telah menyusut 48 persen, sementara bagian yang diterima 10 persen penduduk terkaya tumbuh 43 persen.” Inilah alasan di belakang begitu banyaknya kenaikan dalam jumlah kriminalitas dan pelanggaran hukum, bukannya “warisan metode-metode yang digunakan dalam perjuangan melawan apartheid” seperti yang berulang kali diklaim oleh pers borjuis. Kaum yang makmur hidup dalam rumah-rumah yang menyerupai benteng, dalam ketakutan atas kemarahan kaum miskin. Situasi berjalan jadi mimpi buruk bagi semua bagian masyarakat &endash;kulit hitam, campuran, ataupun putih, sama saja. Dan di atas basis krisis kapitalisme, segala hal dapat menjadi lebih buruk lagi. Para pemimpin ANC ingin menarik minat investor-investor asing, tetapi pada saat yang sama harus menjaga ketenangan massa dengan sekurang-kurangnya suatu yang mirip dengan reformasi. Kebijakan ini akan berujung pada akhir yang tidak memberikan kepuasan bagi siapa pun.
Para pekerja kulit hitam berjuang selama berpuluh-puluh tahun bukan untuk hal begini. Ketidakpuasan dan kemarahan kaum pekerja akan muncul dalam sebuah gelombang perjuangan baru seperti perjuangan-perjuangan di masa lalu, tetapi pada level yang lebih tinggi. Setelah menyingkirkan apartheid (setidaknya dalam pengertian formalnya), dan mempercayai para pemimpin ANC ke puncak kekuasaan, kaum pekerja akan sampai pada pemahaman perlunya politik-politik kelas. Akan terbuka jalan bagi formulasi sebuah tendensi Marxis yang murni. Dalam hal ini, SACP menempati posisi penting yang istimewa. Terdapat kemungkinan bahwa SACP (Partai Komunis Afrika Selatan) pecah dari ANC dan membuat aliansi dengan konfederasi serikat COSATU yang kuat. Tak diragukan lagi inilah tekanan pada peringkat dan keanggotaan (yang dialami ANC tadi).
Harian Cape Town “Die Burger” menarik kesimpulan yang sama dengan kaum Marxis: “kebijaknan pemerinntah telah begitu efektifnya memperkaya yang kaya, khususnya si kaya berkulit hitam, dan secara luas membiarkan kaum miskin dari semua ras tetap tak berubah nasibnya. Jadi sebuah bom waktu sedang dicipta, memungkinkan kita melihat cita-cita Marx yang revolusioner direalisasikan di Afrika Selatan.” (Edisi Bahasa Inggris Die Burger, versi internet, 16 Juni 98).
GDP Afrika Selatan hanya tumbuh 0,2 persen di perempat awal tahun 1998 dan kemerosotan ekonomi dunia yang segera tiba pastilah memiliki berbagai konsekuensi serius bagi perekonomian negeri ini. Frustrasi yang terus tumbuh di dalam kelas pekerja kulit hitam akan menemukan ekspresi melalui organisasi-organisasi yang mendorong perpecahan dan pergolakan di antara ANC, SACP, dan COSATU. Dengan tradisi kaum proletar dan para pemuda kulit hitam yang revolusioner, dapatlah kita harapkan terjadinya perjuangan kelas besar-besaran di Afrika Selatan pada periode yang akan tiba.
TIMUR TENGAH
Tidak ada satu pun rezim tunggal bisa stabil di Timur Tengah. Bahkan Arab Saudi pun berada dalam keadaaan krisis sejak jatuhnya harga minyak menghancurkan pendapatannya. Sudah tidak ada lagi kemungkinan buat membeli kesetiaan penduduk dengan menghamburkan berbagai subsidi. Perpecahan dan krisis di jajaran atas adalah indikasi kebuntuan rezim. Krisis di Bahrain telah mulai terarah pada kekacauan dan gerakan “pro-demokrasi”. Pada gilirannya ini memecah belah elit penguasa di Saudi. Satu bagian (Raja Fahd) menawarkan berbagai konsensi, sementara pemerintahan resmi Saudi, dipimpin oleh peredana menteri yang lemah, Pangeran Abdullah, menentang konsensi-konsensi tersebut. Fermentasi pemberontakan diperlihatkan oleh peristiwa bom mobil yang menewaskan lima warga Amerika Serikat dan dua orang India di sebuah kantor yang dikontrol oleh Amerika Serikat di Saudi. Adanya revolusi di periode mendatang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Innilah mengapa Arab Saudi cemas menghindarkan serangan Amerika Serikat terhadap Irak, yang dapat membangkitkan propovaki pada massa di wilayahnya sendiri dan bahkan menggiring kejatuhan rezim. Putaran begitu dalam situasi sekarang ini akan mempunyai berbagai konsekuensi paling serius sebagai akibat kepentingan ekonomis dan strategis Arab Saudi terhadap imperialisme Amerika Serikat. Amerika Serikat akan terdorong untuk ikut campur, dan hal ini akan memprovokasi suatu ledakan revolusioner di seluruh Timur Tengah dan akan berlanjut melampaui wilayah ini.
Di Timur Tengah kebijakan dua tahap telah menunjukkan akibatnya yang paling jahat, menyebabkan kekalahan revolusi di satu demi satu negara di sana, serta kebangkitan reaksi fundamentalis. Kaum borjuis dan imperialis, yang pertamanya menyokong kaum fundamentalis sebagai imbangan atas bahaya revolusi, sekarang ngeri pada konsekuensi-konsekuensi tindakan mereka sendiri. Di Aljazair, massa menunjukkan keberanian dan determinasinya yang luar biasa dalam perang kemerdekaan melawan imperialisme Perancis. Itu harusnya bisa menimbulkan revolusi sosialis di Aljazair dan sekaligus di Perancis, jika saja perang itu tidak dibelokkan oleh kebijakan kaum Stalinis Perancis dan keterbatasan (pandangan) nasional para pemimpin FLN. Yang disebut terakhir ini tidak melihat perlunya mengadakan himbauan kepada kelas pekerja Perancis, tetapi mengadopsikan sebuah kebijakan yang murni nasionalis. Konsekuensinya, satu setengah juta orang perancis, kebanyakan mereka adalah tenaga ahli yang jasanya diperlukan oleh rakyat Aljazair, kabur dari negeri itu dan ini menyebabkan kesulitan besar di bidang perekonomian. Para pemimpin FLN yang borjuis kecil nasionalis menamai diri mereka sosialis dan melakukan nasionalisasi, tetapi tidak menuntaskan pekerjaan mengenai penyitaan modal dan pemutusan hubungan dengan imperialisme. (Kaum Stalinis Cina, dengan tokohnya Chou En Lai, begitu aktif menakut-nakuti mereka untuk tidak melakukan ini). Sebagai akibatnya, jadilah mereka mneyediakan jalan terhadap adanya reaksi, pertama adalah kudeta Boumidienne, dan belakangan, dengan akibat yang parah, adalah kebangkitan fundamentalisme.
Setelah hampir empat dekade sebuah kemerdekaan di atas basis borjuis, Aljazair masih berada dalam kekisruhan meskipun kaya benar akan potensi minyak bumi. Jutaan kaum muda tak punya pekerjaan dan masa depan. Krisis kapitalisme berarti bahwa pintu emigrasi ke Perancis terutup. Kesuksesan gilang gemilang dalam perang kemerdekaan telah berganti jadi abu di mulut mereka. Dalam keputuasaan, mereka menjelma jadi kaum fundamentalis. Ini satu ironi yang mengerikan, sebab tradisi revolusi-revolusi bangsa Aljazair itu sekuler dan progresif. Reaksi bernafas Islam &endash;sama halnya dengan fundamentalisme Yahudi, Katolik, Protestan, dan Hindu&endash; mengkombinasi fanatisme agama dan reaksi yang hitam dalam porsi yang seimbang. Demagogi anti-imperialis yang mereka gunakan tidak merubah fakta ini.wajah aasli fundamentalisme diperlihatkan oleh adanyaa pembaataaiaan terhadap laki-laki, perempuan, dan anak-anak, meskipun banyak pembantaian itu jelas-jelas merupakan pekerjaan kekuatan-kekuatan negara. Di antara keduanya (fundamentalisme dan negara) tidak ada yang dapat dipilih. Kekisruhan berdarah di Aljazair adalah kegagalan FLN mengadakan revolusi hingga ke akhirnya. Hal ini dengan amat tajam mengigatkan kita pada pernyataan Marx yang terkenal mengenai pilihan yang dihadapi umat manusia &endash;sosialisme atau barbarisme. Barbarisme yang sama seperti yang tengah kita lihat di Aljazair akan dihadapi oleh negara-negara lain, dan tidak hanya di Dunia Ketiga, kalau kelas pekerja tidak merebut kekuasaan.
Jantung dari semua krisis di Timur Tengah adalah konflik Israel-Palestina. Konflik ini telah menggiring terjadi empat perang dan konfliknya masih saja belum terselesaikan. Appa yang disebut perjanjian damai yang dimakelari imperialis Amerika Serikat tidak menyelesikaan apa-apa. Washington menyukai perundingan damai sebab ia tidak inginkan konflik-konflik yang membahayakan investasinya yang luar biasa besar di area tersebut, dan meski ia adalah klik karib elit penguasa di Arab Saudi, ia selalu saja memberikan akhiran yang menguntungkan Israel karena yang disebut terakhir tetaplah satu-satunya sobat terkarib di dunia. Meski Amerika Serikat terganggu dengan kebijakan yang di lakukan Tel Aviv, ia tidak punya pilihan selain menerimanya.
Tendensi kita secara konsisten melawan kebijakan-kebijakan edan dari terorisme dan gerilyaisme (ini benar-benar hal sejenis) yang dilakukan oleh kepemimpinan PLO di masa lalu. Kebijakan itu menggiring terjadinya kerusakan demi kerusakan dan tidak membawa apapun yang mendekatkan pada penyelesaian masalah rakyat Palestina. Sebaliknya, ia dipermainkan oleh kelas penguasa Israel dan ddiasingkan pula oleh massa Yahudi. Kita harus mengingatkan diri kita bahwa kita adalah satu-satunya yang menekankan bahwa satu-satunya jalan untuk mengalahkan imperialis Israel adalah dengan melalui perjuangan massa di berbagai teritorial yang diduduki (oleh Israel), terutama di West Bank.
Perspektif ini telah ditunjukkan sebagai suatu yang benar oleh Intifada yang hebat &endash;suatu yang tidak diharapkan dan tidak secuilpun disiapkan oleh para pemimpin PLO. Intifada adalah keberhasilan parsial. Ia tidak dapat menjadi lebih daripada sekedar parsial dalam ketiadaan sebuah kepemimpinan sadar yang mampu melakukan himbauan kelas pada para pekerja dan serdadu Yahudi. Itulah kunci untuk mencapai keberhasilan. Adalah perlu untuk membangun aliansi perjuangan antara massa Palestina dengan kelas pekerja di Israel. Yang disebut belakangan tadi adalah sasaran serangan ke penguasa di Israel, dan kini tengah melakukan perlawanan. Para pionir awal Israel bennar-benar kaum sosialis utopia yang mengidamkan nasionalisasi ekonomi. Sebenarnya, serikat pekerja, Histadruth, memiliki bagian besar dari perekonomian. Namun sebagaimana umumnya negara kapitalis, kelas penguasa Israel mengadakan kebijakan yang amat buruk yaitu swastanisasi dan pemotongan (subsidi). Inilah yang menimbulkan terjadinya ledakan perjuangan kelas di Israel.
Di awal Desember 1997 Israel diguncang pemogokan umum yang dimotori Federasi Umum para buruh, Histadruth. Pemogokan itu mulai di tanggal 3 Desember, berlangsung selama lima hari, dan berujung pada kemenangan. Sekitar 700.000 pekerja berpartisipasi dalam pemogokan terbuka itu meski serangan gencang media massa dan ancaman pemerintahan Netanyahu yang akan menggunakan jalur hukum untuk melawan para pemogok, menetak serikat dan memenjarakan pra pemimpinnya, dan pengadilan menyatakan pemogokan itu “tidak legal”. Setahun sebelumnya Sholo Shani, orang ke dua di Histadruth, ditahan karena alasaan “penghinaan terhadap pengadilan” karena adanya gelombagn pemogokan dan juga inilah usaha pertama Histadruth untuk mengadakan pemogokan umum di bulan September yang dihentikan oleh pengadilan setelah pemogokan tersebut berlangsung beberapa jam. Pemogokan umum bukanlah isu tersendiri, melainkan bagian dari krisis ekonomi yang terus membesar yang menghantam Israel. Telah ada sejumlah aksi yang pahit, seperti pendudukan pabrik tekstil Kitan di Nazareth Elite oleh para pekerjanya yang melakukan protes sebab pabrik itu akan ditutup, perjuangan Tel Aviv menolak para kolektor guna melawan swastanisasi, perjuangan di pabrik kimia Haifa Chemicals, dll. Dalam beberapa di antaranya, seperti protes atas “pengembangan kota” Ofakim, yaitu menentang pemberthintian kerja, para pekerja Yahudi dan Arab melakukan demonstrasi bersama. Sebenarnya itu anggota-anggota Histadruth di dewan-dewan berbeda yang mendorong para pemimpin dewan tersebut untuk melakukan aksi umum.
Pemisahan baru di masyarakat Israel ini, yang terjadi atas isu-isu kelas, juga memiliki efek di dalam politik. Telah ada pembicaraan mengenai perlunya menciptakan suatu partai yang berbasis serikat-serikat dan dewan-dewan pekerja, dan bahkan Partai Buruh MP dan sekretaris jenderal Histadruth, Amir Peretz, sudah mengeluarkan komentar simpatik mengenai ide tersebut. Partai Buruh, yang secara tradisional berbasis lebih pada kelas menengah Yahudi Ashkenazi (aslinya berasal dari Eropa), selama pemogokan umum berlangsung sama sekali tidak menunjukkka dukungan apa-apa, dan sesungguhnya beberapa pemimpinnya mengatakan bahwa jikapun mereka yang memegang kekuasaan mereka akan menerapkan kebijakan yang sama dengan Netanyahu. Pemisahan ini berimbas pula pada Likud, yang secara tradisional berbasis pada kelas pekerja yang lebih miskin, yaitu Yahudi Sephardis (berasal dari Timur Tengah), yang telah terlihat bahwa kelompok ini mengabaikan pendukung tradisionalnya dengan menghimbau program “revolusi thatcherite”. Inilah alasan di balik pengunduran diri satu menteri dalam jajaran pemerintahan koalisi Netanyahu, David Levy, sebab penentangannya atas pemotongan anggaran belanja sosial. Jelas-jelas dia khawatir kehilangan dukungan bagi paratainya yang kecil di tengh pekerja Yaahudi. Perkembangan-perkembangan ini menunjukkan bahwa suatu program yang bebasis kelas akan bisa menyatukan para pekerja Arab dan Yahudi, Yahudi Ashkenazi dan Yahudi Shepardis, menyebrangi kebencian nasional dan agama. Tetapi taktik-taktik dari grup-grup seperti Hamas sungguh-sungguh memiliki efek sebaliknya, mendesak massa Israel di belakang Likud, dan memberi bantuan serta keberanian pada elemet-elemen yang paling reaksioner dalam masyarakat Israel, sambil terus mengorbankan elemen-elemen kaum muda Palestina yang paling gagah berani yang menyerahkan hidup mereka tanpaa pamrih apapun.
Keedanan fundamentalisme tidak pernah merupakan bagian tradisi orang Palestina. Sebagaimana di Aljazair, itulah harga yang harus dibayar akibat penolakan kepemimpinan massa untuk mengadakan kebijakan sosialis. Hanya sebuah program yang berbasis kebijakan kelas dan internasionalis yang dapat berhasil menyatukan massa Arab dan Israel melawan musuh bersama. Revolusi sosialis di Israel dalam menjadi titik awal bagi revolusi di seluruh wilayah Timur Tegah. Supaya berhasil, revolusi itu tidak dapat dibatasi pada Israel dan daerah-daerah yang didudukinya, tapi harus bertempur bagi seluruh wilayah Timur Tengah sebagai langkah pertama untuk berhasil sepenuhnya.
“KEAJAIBAN” ASIA TENGGARA
Satu tempat yang dulunya berada di bawah kekuasaan kolonial di mana telah terjadi pertumbuhan ekonomi yang signifikan adalah Asia Tenggara, di mana apa yang disebut “macan-macan ekonomi” diambil sebagai model bagaimana kapitalisme dapat menyediakan formula bagi penyelesaian keterbelakangan. Nyatanya, ada alasan-alasan historis yang spesifik mengapa Jepang, Korea Selatan, dan bahkan Taiwan berkembang dalam cara ini. Hal itu terutama sebagai hasil korelasi ganjil dari kekuatan-kekuatan yang berkembang setelah Perang Dunia Kedua. Trotsky memnaruh poinnya bahwa reformasi dan segala jenis perubahan penting adalah produk sampingan revolusi. Hukum ini dapat diterapkan, bahwa bukan cuma di negara-negara tertentu, melainkan secara internasional. Reformasi agraria yang merupakan tugas fundamentalis revolusi demokratik borjuis di Jepang dan Korea Selatan diperkenalkan sebagai akibat adanya ketakutan imperialisme AS akan perluasan revolusi China (dalam kasus Jepang hal itu secara langsung diperkenalkan oleh kekuatan pendudukan AS segera setelah Perang Dunia Kedua). Mereka mengadakan suatu reformasi mendalam yang berasal dari jajaran atas guuna menghalangi terjadinya revolusi dari bawah. Apa ini berkontradiksi dengan teori revolusi permanen? Tidak. Negara-negara ini sungguh merupakan perkecualian, bukan aturannya begini. Dan jika Korea Selatan, Jepang, Taiwan adalah perkecualian, Hong Kong dan Singapura adalah perkeculian yang bahkan lebih ganjil. Dua yang disebut terakhir sama sekali bukan negara, melainkan negara-kota yang memiliki keuntungan dari perkembangan-perkembangan tertentu dalam perekonomian dunia.
Cukup berharga juga untuk mencatat bahwa ekonomi-ekomomi ini tidak berkembang di atas basis pasar bebas dan pembukaan pasar, tetapi sebaliknya di atas basis intervensi negara dalam ekonomi dan berbagai rintangan trif tinggi yang dipasang untuk melindungi industri-industri nasional mereka. Di Korea Selatan ada rencana 5 tahun dan bank-bank diberitahu perusahan-perusahaan mana yang boleh dipinjami uang, dan perusahaan-perusahaan diberitahu di manna tempat untuk melakuka ninvestasi serta produk apa yang harus dikembangkan.
Hanya satu tahun yang lalu, Asia dinobatkan sebagai satu contoh brilyan kesuksesan kapitalisme dan pasar. Borjuasi mabuk kepayang dengan ilusi bahwa Asia dapat menjamin sebuah masa depan yang menakjubkan mengenai pertumbuhan yang terus-menerus serta kejayaan. Ilusi-ilusi ini bahkan bergema juga di jajaran kaum Marxis. Masalah yang diperdebatkan adalah bagaimana pun perkembangan di Asia, bersama-sama dengan berbagai lapangan investasi baru seperti informasi dan globalisasi, tidak mensignifikasikan sebuah periode baru dari kemajuan kapitalisme, seperti satu kemajuan yang membuntuti tahun 1945. Kami menandaskan bahwa tidak ada susuatu yang baru dalam perkembangan-perkembangan ini. Seorang dapat menemukan proses-proses analogis di setiap periode kapitalisme, dari abad ke-16 hingga kini. Sejatinya profit yang diperoleh investor asing benar-benar amat luar biasa banyak &endash;20, 30, atau bahkan 50 persen. Inilah magnet bagi investasi dan pertumbuhan yang terjadi. Namun Marx menjelaskan bahwa ini manya mungkin di tahap-tahap awal. Di masa yang lebiih panjang rata-rata profit itu akan jatuh hingga pas-pasan saja.
Itulah tepatnya apa yang terjadi di Asia Tenggara. Perkembangan kelas pekerja berarti perkembangan gerakan pemogokan, perjuangan melawan eksploitasi, yang pada satu tahap tertentu akan membawa (pekerja) kepada upah yang lebih tinggi dan pembatalan keuntungan-keuntungan awal. Sementara itu kontrakdiksi-konntradiksi yang ada makin menajam. Dengan kata lain, anda memiliki syarat-syarat objektif bagi terjadinya revolusi sosialis. Hukum-hukum klasik kapitalisme diterapkan dalam kasus ini sebagaimana ia diterapkan pada kasus-kasus lainnya. Dua atau tiga tahun lalu kaum borjuis kegirangan soal Asia Tenggara dan Cina. Namun kini mereka berhadapan dengan kapasitas berlebihan yang masif, atau dengan kata lain, over produksi. Apa yang telah terjadi di negara-negara Asia Tenggara &endash;dan itu dengan mudah dapat diprediksi melalui sudut pandang Marxis&endash; adalah mereka sedang memasuki satu situasi kapitalis normal. Mereka menghadappi kelebihan kapasitas masif di segala sektor produksi: mobil, semikonduktor, perlengkapan elektronik, mikrochip, dan bahan kimia. Ini adalah suatu model kapitalis klasik sebagaimana digambarkan oleh Marx.
Kita menyambut investasi dan industrialisasi Asia Tenggara. Dari cara pandang seorang Marxis itu adalah sebuah hal yang bagus, karena hal itu menciptakan sebuah kelas pekerja yang kuat dan dengan itu menciptakan syarat-syarat objektif bagi revolusi sosialis. Sebagaimana dengan tsaris Rusia seratus tahun lalu, investasi-investasi asing ini tidak lah menggeser berbagai antagonisme sosial tapi malah memperparahnya. Proses-prosenya serupa dengan apa yang terjadi di Rusia di pergantian abad lalu. Di tahun 1890-an terdapat perkembangan kolosal dari kekuatan-kekuatab produktif, meski terbatas pada wilayah tertentu. Secara eksklusif ini berbasis pada kapital asing di area sekitar Moskow, St. Petersburg, daerah Ural, dan bagian Timur Rusia. Tetapi tetap saja Rusia itu negara ekstrim terbelakang. Hanya ada 3 juta pekerja dari jumlah total pennduduk 150 juta jiwa. Itu jauh lebih terbelakang daripada India kini. Jenis perindustrian yang didirikan di sana kemudian, sebab hukum perkembangan tak merata dan tak imbang (uneven and unequal), adalah perindustrian yang paling modern di dunia, dengan rata-rata pertumbuhan yang amat tinggi serta konsentrasi tinggi pada kekuatan buruh. Dan di atas basis pembayaran upah yang amat rendah, mereka mendapat keuntungan yang amat tinggi. Posisi yang benar-benar sama ini yang kita lihat pada “macan ekonomi” hingga baru-baru ini. Periode ledakan pertumbuhan ekonomi dalam tsaris Rusia berakhir saat revolusi tahun 1905 dan 1917.
Borjuasi senantiasa mencari jumlah profit yang lebih tinggi dan ketika ia menemukanya mereka mengisinya, dan mereka menginvestasi bagai gila. Mereka yang sampai di sana memperoleh bagian paling masif, tetapi sebab anarki prodiksi kapitalis mereka akhirnya menimbulkan adanya over produksi yang masif pula. Itulah akar penyebab bagi krisis yang di Asia Tenggara (yang diharap dapat lepas dari hukum-hukum kapitalisme dan menjadi model Asia yang unik berbasis pada pertumbuhan berkesinambungan &endash;seperti impian usang tentang sebuah mesin yang “bergerak tanpa henti”) sekarang ini muncul dalam bentuk klasik. Problemnya adalah borjuasi hanya melihat negara-negara ini sebagai pasar dan lahan investasi. Mereka tidak menyadari bahwa sekali dari yang disebut belakangan ini membangun industri, maka mereka mulai mengekspor. Saat ini Cina telah mengejar Jepang sebagai negara dengan surplus perdagangan terbesar, bersama Amerika Serikat, dengan konsekuensinya sebagian dari Kongres Amerika Serikat telah tiba-tiba mengembangkan perhatian serius bagi “hak azazi” di China. Tiap periode perkembangan kapitalis disertai dengan pembukaan daerah-daerah baru di muka bumi, dimulai dari penemuan Dunia Baru saat fajar kapitalisme, lalu perkembangan kolonialisme di abad ke-18 dan ke-19, Cina, Kalifornia, dan Australia di abad yang lalu, dan seterusnnya.
Sejak di halaman-halaman Manifesto Komunis, Marx dan Engels telah menjelaskan bahwa sistem kapitalis, tak seperti seluruh cara produksi yang terdahulu, secara konstan mengembangkan cara-cara produksi dengan mencari daerah-daerah investasi baru. Inilah tepatnya sisi progresif kapitalisme. Apa yang menyentak dari masa sekarng ini bukanlah eksistensi area-area baru bagi investasi produktif &endash;tanpanya sistem tidak dapat eksis&endash; melainkan kurangnya ubvestasi yang produktif dan besarnya jumlah kapital yang melekat pada aktivitas-aktivitas non-produktif dan parasitis pula sifatnya, spekulasi keuangan, derivatif-derivatiif, pertaruhan atas suplai barang, properti, pengusaan, dan juga penjarahan sistematis terhadap negara di semua negeri atas nama swastanisasi. Semuanya ini menyiapkan jalan bagi kemerosotan mendalam pada skala dunia di periode mendatang.
Sejauh-jauhnya “globalisasi” diberi perhatian, ini juga telah dibahas di Manifesto Komunis. Bahkan di saat sekarang, ini adalah soal yang dapat diperbincangkan meski derajat integrasi ekonomi dunia, nyatanya, lebih besar di periode antara tahun 1870 dan 1914. Adalah benar bahwa divisi buruh internasional dan perdagangan dunia telah berkembang luar biasa di periode lalu. Ini adalah motor kekuatan utama bagi perkembangan kapitalis selama seluruh periode seth 1945, bertindak sebagai stimulus kolosal atas investasi dan produksi. Namun, sebagaimana telah kami jelaskan di dokumen terdahulu (lihat A New Stage in the World Revolution) hal ini kini telah mencapai limit, dan ekspansi perdagangan dunia tidak lebih lama lagi memili efek yang sama. Benar, dalam pencarian keuntungan ekstra, borjuasi telah menginvestasi sejumlah besar uang di Asia dan, untuk efek yang agak kurang menguntungkan, di lain-lain “pasar yang sedang muncul” (Amerika Latin dan Eropa Timur). Marx menjelaskan bahwa satu dari perangkat yang dengannya kaum kapitalis dapat bertempur bagi melawan tendensi turunnya perolehan keuntungan adalah benar-benar melalui perdagangan dunia dan khususnya perdagangan dengan negeri-negeri kolonial yang melibatkan lebih banyak buruh dengan nilai tukar yang lebih rendah.
Di sini sebuah proses serupa muncul sebagaimana saat kapitalisme melakukan investasi dalam suatu cabang teknologi baru yang mempermurah produksi dan membuat mereka mampu menangkap bagian pasar yang lua. Mereka yang tiba di tempat itu lebih duluan akan mmeperoleh keuntungan luar biasa banyak untuk sementara waktu, namun ini tidak akan berlangsung lama atau seterusnya. Termotivasi oleh keserakahan pada profit super itu, kapitalis yang lain ikut masuk, menyebabkan produksi yang amat berlebih-lebihan. Perolehan keuntungan kembali jatuh ke angka rata-rata. Akhirnya over-investasi melebihi tuntutan yang terbatas, memberi kenaikan jumlah over-produksi. Harga-harga stagnan dan lalu jatuh. Daripada sekadar cuma keuntungan yang jatuh, kita melihat jatuhnya profit massa, menghasilkan suatu kemerosotan yang akan berlangsung hingga semua produk surplus habis, sejalan dngan penutupan pabrik-pabrik, pengangguran massa, dan perusakan paksa alat-alat produksi yang akhirnya menciptakan kemungkinan bagi pasar-pasar baru serta lahan-lahan investasi baru, serta tumpah ruah produksi yang baru.
Investasi-investasi di Asia Tenggara dan Cina secara luar biasa telah mengembangkan ekonomi. Permasalahannya adalah, sudahkah hal itu memecahkan kontradiksi-kontradiksi kapitalisme? Sebaliknya. Partisipasi pasar dunia yang tumbuh cepat, penyingkiran segala macam rintangan perkembangan kapital, semata-mata hanya pemproduksi ulang berbagai kontradiksi lama pada skala dunia, di levelnya yang lebih tinggi dan dalam tampilan yang lebih intens. Apa yang kini tengah dipersiapkan adalah benar-benar krisis global kapitalisme, yang akan menghantam ekonomi Asia, Afrika, dan Amerika Latin, dengan kekerasan yang palign besar, secara luarbiasa memperparah tekanan-tekanan yang terakumulasi selama puluhan tahun. Ksisis ekonomi yang kini terjadi di Asia adalah sebuah peringatan tentang apa yang akan segera tiba di skala dunia di periode mendatang. Teori revolusi permanen tidak mengatakan bahwa anda tidak dapat memiliki perkembangan ekonomi yang penting di sebuah negeri jajahan. Teori itu mengatakan persis sebaliknya. Apa yang diucapkannya adalah bahwa borjuasi (daerah) kolonial itu tidak mampu menanggulangi problem masyarakatnya. Dan di sini kita lihat bahwa hal itu sepenuhnya benar.
Alasan mengapa Amerika mulai menyerang Cina atas rekornya soal hak-hak pekerja, serta konsidi buruh dan upah di Korea Selatan adalah karena negeri-negeri ini telah membangun industrinya hingga ke tingkat mampu bersaing dengan produk-produk Barat di pasar dunia. Tetapi menurut pandangan kaum kapitalis upah di Korea Selatan sudah terlalu tinggi, dibandingkan dengan kompetitor-kompetitor regional lainnya. Sesungguhnya, perusahaan-perusahaan Korea Selatan, bahkan sebelum krisis, telah turun pada upah yang lebih rendah seperti di Indonesia, Filipina, dan Malaysia. Hal ini menciptakan situasi yang eksplosif di Korea Selatan, di mana para boss dipaksa melakuakn hantaman terhadap upah, kondisi, dan pekerjaan para pekerja. Ini menimbulkan ledakan perjuangan kelas dalam bentuk pemogokan umum di bulan Desember 1996/Januari 1997. Perkembangan-perkembangan ini menandai kebangkitan kaum proletar Asia, secara amat sangat, diperkuat oleh perkembangan industri di periode terakhir. Pada kenyataannya, tidak lah benar mengatakan Korea Selatan sebagai negara kolonial sekarang ini. Negara ini kini kekuatan ekonomi ke delapan terkuat di dunia dan perusahaan-perusahaannya melakukan investasi di luar negeri bahkan di South Wales di mana biaya tenaga kerja sekarang secara aktual lebih rendah daripada di Korea Selatan sendiri.
Sebagaimana diperlihatkan di Korea Selatan, di semua negara-negara (di Asia Tenggara) ini kelas pekerja berada dalam posisi memainkan peran pemimpin, membuktikan ia memiliki kepemimpinan revolusioner. Para pekerja di Korea Selatan telah berkali-kali menunjukkan determinasi mmereka untuk berjuang melawan kapitalisme namun berkali-kali pula para pemimpin mereka mengecewakan mereka. Bahkan para pemimpin konfederasi serikat pekerja yang ilegal dan militan, KCTU, menerima kebijakan kolaborasi kelas dan menandatangani perjanjian tiga pihak IMF dengan pemerintah dan para boss, memperkenankan massa terabaikan, di awal krisis. Tetapi jajaran serikat segera mengadakan pertemuan nasional wakil-wakil wilayah kerja di mana di dalam pertemuan itu di ambil keputusan bersama menolak persetujuan tersebut tadi dan kepemimpinan diganti dengan mereka yang lebih militan, yaitu wakil-wakil dari serikat pekerja pabrik baja. Ini adalah satu perkembangan yang signifikan yang memperlihatkan bagaimana organisasi-organisasi massa akan tergugah pada pondasinya di satu demi satu negara sebagaimana krisis berkembang.
Tetapi bahkan kepemimpinan yang lebih radikal ini tidak dapat mengemban tugas, sebagaimana diperlihatkan dalam gerakan di awal Juni baru-baru ini, saat setelah pemogokan peringatan yang dahsyat dihadiri 200.000 orang, mereka membatalkan pemogokan umum habis-habisan yang telah direncanakan sebelumnya. Hal ini menimbulkan fermentasi lebih jauh dari kritisisme di kalangan rakyat banyak. Contoh ini mengilustrasikan fakta bahwa, semilitan apapun satu serikat, dalam keadaan-keadaan seperti ini, jika ia tidak dipersenjatai dengan suatu program politik mengenai perubahan sosialis di masyarakat, maka ia terkekang hingga lebih dalam berada di bawah tekanan kapitalisme. Situasi di Korea Selatan hanya mengizinkan dua solusi: apakah itu para pekerja mengambil alih para chaebol atau kebijakan Kim Dae Jung harus ditelan seluruhnya &endash; “seluruh bangsa berkorban untuk keluar dari krisis” (yaitu, kaum pekerja mananggung beban krisis melalui berbagai redudansi massa, pemotongan upah, dll.) tidak ada jalan tengah.
PANDANGAN MARX ATAS KOLONIALISME
Marx menulis sedikit sekali mengenai revolusi kolonial, sebab pada tahap tersebut masalah revolusi sosialis dalam sebuah negara terbelakang belum berlaku. Namun dalam volume ketiga Kapital terdapat satu bagian yang amat menarik mengenai kolonialisme dan aturan main bagi investasi di negeri-negeri kolonial yang sepenuhnya masih dapat diterapkan dalam situasi sekarang ini. Dalam bagian mengenai tendensi di mana perolehan keuntungan jatuh, Marx menjelaskan bahwa satu dari cara-cara yang dengannya kapitalisme memerangi tendensi ini adalah a) dengan berpartisipasi dalam pasar dunia, ini setepat-tepatnya apa yang kini tengah mereka lakukan; dan b) khususnya melalui perdagangan kolonial dan investasi kolonial. Bagaimana cara kerjanya? Kaum kapitalis yang menanam investasi di negeri-negeri kolonial, terutama mereka yang datang pertama, dapat meraih keuntungan dari suatu komposisi kapital organis yang amat rendah: upah rendah, industri-industri bermasa kerja tinggi, dan cara bahwa eksploitasi ini bekerja melalui serikat buruh adalah bahwa mereka menukar sedikit buruh dengan lebih banyak buruh lainnya.
Dalam cara yang sama seperti kaum kapitalis yang pertama menaruh investasi dalam mesin baru dapat memperoleh keuntungan, maka kaum kapitalis yang menaruh investasi di Asia menadah laba yang mencengangkan, sebagaimana telah kami sebutkan tadi. Negeri-negeri terbelakang serta berpenduduk padat ini, lapar akan investasi, industri dan teknik Barat, terlihat membuka sebuah pandangan tanpa batas bagi ekspansi dan pengerukan profit. Ilusi yang sama telah berkali-kali diulangi di masa lalu. Di abad lalu, Engels mengomentari dengan ironis mengenai ilusi para pemilik manufaktur katun di Manchester yang percaya bahwa pasar Cina (ya, Cina!) akan menjamin pasar bagi produk mereka, pasar yang tak akan pernah berakhir. Mimpi itu berakhir pada kemerosotan ekonomi, seperti biasanya. Namun untuk sementara waktu, di atas basis upah rendah dan teknologi baru, profit berlimpah &endash;profit super&endash; menjadi mungkin adanya. Tapi kini semua ekonomi ini sudah kolaps dan berada dalam resesi mendalam. Ini telah menyulut revolusi Indonesia dan berbagai gerakan penting di negara-negara lainnya. Limit Asia telah dicapai (tentu saja, dalam cara pandang kaum kapitalis, dalam prakteknya, perkembangan Asia secara menyakitkan telah mulai).
Jumlah investasi yang luar biasa besar telah memproduksi limpahan timbunan produksi yang tak dapat dijual. Ekspansi yang produksi kapitalis begitu deras di Asia (satu-satunya area di mana berbagai hasil yang demikian spektakuler itu bisa dicapai) telah sampai pada benturan dengan daya beli massa yang terbatas. Secara kebetulan, upah rendah, bukanlah sumber bagi datangnya profit lebih banyak lagi. Mestilah ada faktor-faktor lain yang menutupi upah rendah, contohnya produktivitas yang rendah. Banyak dari negara-negara ini tidak mempunyai kelas pekerja ahli yang berjumlah besar, sebagaimana kasusnya di Malaysia, Indonesia, Thailand, dll. Tambahan lagi terhadap hal ini adalah adanya pajak, korupsi, infrastruktur yang buruk, biaya pengangkutan ke pasar-pasar Eropa dan Amerika Serikat, dll. Jika mereka berkeinginan untuk lengkap, meski di antara mereka, mereka harus menurunkan upah. Tetapi kaum borjuis Korea menghadapi kelas pekerja yang amat kuat yang tidak mau menyerahkan bagiannya tanpa melalui pertempuran.
Berbagai profit mencengangkan telah diambil dari investasi di Asia Tenggara sepanjang sepuluh tahun terakhir. Demikian juga di Cina, yang merupakan kasus yang amat pelik, sebab meski Cina tetap sebuah negara-negara kelas pekerja yang terdeformasi, ia telah berani sekali mengizinkan perkembangan kapitalisme di area-area tertnetu. Sepintas, Lenin bermaksud melakukan sesuatu yang serupa dengan yang ada di tahun 1920-1negara saat ia menawarkan pada para investor segama macam daftar konsensi, namun senantiasa berada di bawah kontrol ketat sebuah negara kaum pekerja. Ide itu adalah untuk memperoleh keuntungan dari teknologi modern yang bisa jadi hanya bisa dikembangkan dalam Uni Soviet dengan harga yang lebih tinggi lagi. Tetapi hal itu mustahil sebab secara fundamental Rusia waktu itu adalah negara pekerja yang sehat dan daripada menarus investasi di sana, kaum kapitalis bercita-cita menggempur negara Soviet. Bagaimanapun, jika kaum Bolsheviks memang dapat memperoleh investasi tersebut mereka akan memperolehnya.
Di Cina, situasinya berbeda sejak birokrasi, dan bukannya kelas pekerja, berada di dalam kontrol dan mereka ini tidak merepresentasikan suatu ancaman fundamental terhadap kapitalisme di seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu, kaum kapitalis merasa bahwa rezim ini adalah satu rezim yang dapat diajak berbisnis! Nyatanya, Cina telah memainkan peran yang pada awalnya mereka kira dimainkan oleh Rusia di periode lalu. Adanya sedemikian banyak investasi dan pertumbuhan ekonomi sangatlah mengesankan. (Selewatan saja ya, pertumbuhan ekonomi ini, dimungkinan oleh partisipasi dalam pasar dunia, mengilustrasikan keedanan kebijakan autarki dari Stalin dan Mao). Sejumlah besar investasi asing di Cina telah membangkitkan ilusi di sebagian kaum kapitalis Barat, dan bahkan di kalangan beberapa kaum Marxis. Dapatkah Cina dan Asia membukakan sebuah periode ekspansi kapitalis yang baru seperti hal yang sama pernah terjadi mengikuti Perang Dunia Kedua?
Sesungguhnya, kebanyakan investasi di Cina terlimitasi pada sejumlah kecil area pesisir di sekitar Zona Ekonomi spesial dan telah menciptakan begitu banyak kontradiksi yang tak seimbang. Jutaan kaum tani telah pindah dari daerah rural yang lebih terbelakang ke pusat-pusat urban yang betumbuh cepat, menciptakan berjuta-juta surplus buruh. Ini bisa dipelihara pada perluasan (industri) tertentu sementara ekonomi tumbuhnya pada angkat rata-rata dua digit. Tetapi kini roda ekonomi mulai melambat, segala kontradiksi akan tampil ke permukaan. Telah ada sejumlah laporan mengenai kerusuhan yang melibatkan puluhan dari ribuan orang baik di daerah rural maupun urban, dan ini cuma satu permulaan.
Memperburuk keadaan, kolapnya ekonomi Asia Tenggara dan kejatuhan terus menerus dar i mata uang Yen Jepang telah memotong sebagian terbesar keuntungan kompetitid eksport Cina dan akhirnya akan mendesaknya melakukan devaluasi keuangan &endash;satu-satunya keuangan yang kelihantannya stabil selama berlangsungnya kolaps Asia Tenggara. Tingkat debit yang buruk pada bank-bank di Cina bahkan lebih besar daripada di seluruh wilayah (Asia) dan sebuah krisis ekonomi yang serius hanya sekadar masalah waktu. Ini akan menenggelankan negara itu ke dalam kesukaran yang jauh lebih dalam. Para pemegang otoritas Cina mencoba menekan segala berita mengenai revolusi Indonesia atau menghadirkannya sebagai melulu kerusuhan anti-etnis Cina. Tahun 1989, sebelum pembantaian di Lapangan Tian An Men, terutama hanya para mahasiswa yang berpartisipasi dan pergerakan. Kaum pekerja dan tani tetap tinggal pasif selama perekonomian mereka masih dapat diterimakan. Kali ini halnya akan sama sekali berbeda, dan bahkan sebagaimana kita telah lihat di Indonesia, sebuah pergerakan yang dimulai oleh para mahasiswa dapat menimbulkan kebangkitan massa. Pada kesempatan terakhir, hal ini yang akan memutuskan nasib reformasi Cina yang pro-kapitalis. Menghadapi sebuah pergerakan yang memiliki karakter begini serta bermuka-bukaan dengan krisis ekonomi, jajaran birokrasi terikat untuk mengabaikan jalan bagi kapitalisme bahkan jikapun jalur itu melulu cuma kepentingan pribadi.
CINA PUN BERHADAPAN DENGAN REVOLUSI
Kaum kapitalis mencoba menenanf-nenangkan diri mereka dengan pikiran bahwa setidaknya Cina belum lagi tercebur ke dalam krisis. Tetapi Cina tidak dapat bertahan sendirian mengahdapi krisis umum di Asia. Malah sebaliknya, segala hal kelihatannya mengindikasikan bahwa Cina ada di tengah-tengah berbagai perkembangan revolusioner. Usaha-usaha meningkatkan kecepatan proses “reformasi” (yaitu, kontra revolusio kaum kapitalis) di Cina di bawah kondisi-kondisi krisis kapitalis memprovokasi terjadinya dislokasi sosial dan ekonomi secara kolosal. Deng (Xiao Ping) selalu berhati-hati, bergerak perlahan-lahan menuju denasionalisasi, sambil memastikan berlanjutnya monopoli kekuatan politik di tangan birokrasi. Tetapi kini klik penguasa, didominasi sayap pro-kapitalis, ingin mempercepat segalanya. Hasilnya adalah malapetaka bagi rakyat Cina dan sebuah ledakan perjuangan kelas. Reformasi pro-pasar di pedesaan telah memunculkan ketidakseimbangan ekstrim dan polarisasi antara sejumlah kecil minoritas yang menjadi makmur dengan sebagian besar mayoritas yang telah dimiskinkan. Jutaan orang telah kabur ke perkotaan dan daerah pesisir di mana industri, meskipun perkembangannya begitu kencang, tidak mampu menyerap mereka. Sekurangnya 150 juta orang jadi pengangguran. Usaha untuk melakukan deregulasi dan swastanisasi atas industri yang dimiliki oleh negara akan melipatgandakan jumlah pengangguran ini. Kemunduran di Asia telah mulai menghantam ekspor Cina yang secara luas inilah yang dihitung sebagai rata-rata angka pertumbuhan yang tinggi di tahun-tahun terakhir, ini jelas menyebabkan kemunduran (bagi Cina). Hal ini akan memiliki berbagai efek yang paling pedih di Cina, tidak cuma secara ekonomis, tetapi juga sosial dan politik.
Jatuhnya nilai yen telah membunyikan tanda bahaya di Beijing. Kekhawatiran tejadinya devaluasi tiba saat angka pengangguran bertambah dengan amat cepat. Pertumbuhan ekonomi bisa jatuh di bawah 6,5 persen di akhir tahun, sama sekali jauh dari trget resmi sebesar 8 persen. Cina memerlukan pertumbuhan (ekonomi) yang tinggi untuk menyerap lebih dari 5 juta pekerja yang diperkirakan akan kehilangan pekerjaan mereka tahun ini akibat restrukturisasi berbagai perusahaan. Ancaman terbesar bagi perusahaan-perusahaan Cina berteknologi rendah dan sedang adalah bukan cuma Jepang, yang mengekspor barang-barang jadi. Apa yang dikhawatirkan Cina adalah bagaimana devaluasi Jepang bisa mempengaruhi Korea. Jika yen melemah hingga nilai 150 terhadap dollar, sepertinya won Korea juga terdevaluasi dalam upaya menjadikan industri-industri Korea kompetitif. Hal itu akan berarti menambahkan kompetisi bagi perusahaan-perusahaan Cina yang sudah berusaha menangkis (perusahaan) Korea di rumah mereka sendiri serta di pasar-pasar yang lain. Di dalam industri baja Cina, ini untuk contoh, profit berkurang, sebagian karena kompetisi baru dari Korea. Hal itu juga berlaku pada industri petrokimia, sebuah sektor yang di dalamnya harga telah turun 20 persen sejak Oktober. “Akan ada tekanan lebih jauh pada korporasi-korporasi domestik,” prediksi Andy Xie, seorang ekonom dari Morgan Stanley Asia Ltd. di Hong Kong.
Meskipun mereka yang percaya diri mengklaim bahwa Cina tidak akan mendevaluasi renminbi, amat susah untuk melihat bagaimana hal itu dapat dihindarkan di periode mendatang. Dan devaluasi terhadap renminbi (yang juga disebut yuan) akan memprovokasi sebuah rantai kehancuran dari berbagai devaluasi kompetitif fi Asia dan di luarnya dan mungkin sekali membanting seluruh dunia ke dalam resesi. Usaha-usaha kalap dari Amerika dan Eropa untuk menekan Jepang adalah berkaitan secara langsung dengan ketakuan mereka atas Cina. Sebagaimana di soroti oleh Bussiness Week: “dengan para pemuka bisnis AS disergap ketidaknyamanan mengenai menjulangnya dollar dan para pemimpin Cina melakukan tekanan untuk adanya keringanan &endash;demi menghalangi terjadinya devaluasi atas renminbi&endash; pejabat-pejabat Keuangan mulai menyodokkan intervensi di akhir minggu, 13-14 Juni. Setelah konsultasi yang intens dengan rekanan Jepang mereka untuk 72 jam berikutnya, Rubin and Co. menaruh 2 milyar dollar belanja pemerintah buat yen.
“Pendorong terbesar adalah kecemasan yang menggunung di Asia sebab yen terperosok dalam dua minggu pertama bulan Juni. Yang mendapat signal bahaya adalah khususnya para pejabat Cina yang khawatir rencana utama ekonomi mereka akan tak dapat terlaksanan karena runtuhnya yen. Orang-orang Cina mulai melobi AS secara diam-diam guna intervensi sebelum kedatangan Clinton di Beijing tanggal 22 Juni. ‘Orang-orang Cina telah mengajukan komplain bahwa kami belum cukup bertindak untuk menghentikan depresiasi yen’, yang membuat ekspor Cina kurang kompetitif, demikian diucapkan seorang pejabat tinggi Administrasi (AS). Sementara itu, pernyataan-pernyataan publik menunjukkan bahwa Beijing sedang menyiapkan jalan untuk melakukan devaluasi mereka sendiri. Sumber-sumber Cina mengindikasikan bahwa pejabat-pejabat keuangan Beijing suatu yen yang lebih lemah daripada 150 berarti menetakkan kehancuran dan akan mendorong aksi ofensif.” (BussinessWeek, 29/6/98)
Perspektif mengenai krisis ekonomi yang makin dalam telah menempatkan perjuangan kelas tak tergoyahkan dalam agenda di Cina. Telah ada pergerakan-pergerakan besar. Menurut agen berita Perancis, Agence France-Presse (Hong Kong):
“Pergolakan sporadis para pekerja telah bangkit di segenap penjuru Cina, sebagaimana reformasi pemerintah mendorong prusahan milik negara kehilangan profit atau binasa. Ratusan firma yang masuk dan tenggelam dalam daftar tinta merah akan bankrut, dan meninggalkan jutaan surplus pekerja, ini demi menggapai apa yang disebut dengan efisiensi. Diestimasikan, sektor negara akan menanggalkan 11 juta pekerjaan urban tahun ini.”
Sumber yang sama menegaskan bahwa: “Ratusan pekerja yang terkena PHK di pabrik yang dikontrol pemerintah di tengah kota Wuhan pada hari Selasa melakukan marching di tempat mereka, sebelum diPHK, bekerja, untuk memprotes uang pensiun yang tak dibayarkan. General Manager kantor China Number-One Metallurgical Company menyangkal adanya demonstrasi apapun, tetapi seorang satpam memberitahu AFP bahwa sekitar 100-200 orang berkumpul di depan pabrik. Satpam itu mengatakan bahwa para mantan pekerja, kebanyakan pensiunan, diperkenankan bertemu dengan pejabat-pejabat perusahaan sebelum protes yang lebih riuh dapat berkembang dan mereka ini meninggalkann pabrik tiga jam kemudian. Seorang mantan pekerja yang memilih tidak ikut demonstrasi, Li Cingrong, saatdihubungi melalui telepon mengatakan bahwa demonstrasi melibatkan sekitar 200 pekerja. Lelaki berusia 71 tahun itu menyatakan bahwa dalam tiga bulan terakhir, perusahaan hanya mengiriminya bayaran satu bulan dari tiga bulan yang harusnya ia terima, bernilai 400 yuan (48 dollar) perbulan.”
Derajat pergolakan pekerja di Cina meluas &endash;meski di pers Barat terdapat konspirasi untuk tutup mulut mengenai hal ini. Dalam sebuah artikel berjudul ‘Labour Turmoil Involving 100,000 Workers in Four Cities. A True Account of Workers Unrest an Riot in Heilogjiang’, sebuah koran Hong Kong melaporkan: “Dari 25 November hingga 3 Desember, pemogokan para pekerja dan pegawai toko daiadakan bergantian di kota Qiqihar, Jiamusi, Mudanjiang, dan Yichun di provinsi Heilongjiang. Para pemogok mengepung gedung-gedung partai dan kantor pemerintah, mengunci kantor-kanotr komite partai serta kantor-kantor manajer perkebunan, membakari mobil-mobil milik para pejabat partai dan pejabat pemerintah serta mesin-mesin sekuritas umum, menyerang biro keamanan umum, menduduki rumah-rumah, dan bandar udara, lalu mengambil alih menara kontrol bandar udara, dan seterusnya. Mereka bahkan terlibat bentrokan dengan dinas keamanan umum dan personel polisi bersenjata yang dikirim dengan maksud menghalau pemogokan itu. Dilaporkan jatuhnya korban cedera di di Jiamusi dan Yichun.”
Menurut sebuah laporan internal yang dikeluarkan oleh dinas keamanan umum provinsi Heilongjiang tanggal 10 Desember 1997, nyaris 105.000 anggota staf, para pekerja, kader, dan penduduk urban berpartisipasi atau terlibat dalam huru-hara yang meledak di empat kota yaitu Qiqihar, Jiamusi, Mudanjiang, dan Yichun, sepanjang minggu antara tanggal 25 November hingga 3 Desember. Sebagaimana huru-hara itu berganti jadi kerusuhan, lebih dari 70 orang terluka; 25 orang penjaga keamanan umum dan personel polisi yang diturunkan untuk menahan laju pemogokan itu juga terluka saat diserang dengan batu, benda-benda terbuat dari besi, senapan berburu, dan senapan biasa. Empat orang polisi meninggal karena luka-luka yang mereka derita. Laporan resmi ini tidak memberikan perhatiann sama sekali padakorban cedera di pihak para pekerja dan rakyat umum, tapi menyingkapkan bahwa lebih dari 150 jumlah total orang yang ditangkap selama minggu pergolakan dan kerusuhan itu berlangsung.
Komite Partai Komunis Cina Provinsi Heilongjiang dan pemerintah daerahnya mencatat bahwa terdapat faktor-faktor politis yang rumit di balik terjadinya pergolakan dan kerusuhan tersebut, beberapa insiden diorganisir dan ditukangi dengan baik oleh elemen-elemen culas yang telah menyusup ke dalam organisasi partai dan pemerintahan, dan beberapa insiden lainnya dikacaukan oleh kekuatan-kekuatan jahat dari luar.”
Komite partai tingkat provinsi dan pemda juga menekankan bahwa huru-hara itu juga bangkit dalam penghentian jumlah personel sebagai hasil reformasi perusahaa, korupsi di antara kader perusahaan, cara kerja yang tidak dehat di antara kader, dan beberapa insiden kebetulan seperti kecelakaan lalu lintas. Komite partai tingkat provinsi dan pemda juga memberi atribut huru-hara serta kerusuhan itu sebagai “para pemimpin partai dan pemerintah lokal terlampau berlebihan melihat berbagai kondisi rumit di komunitas lokal itu dan mereka keholangan kewaspadaan melawan kekuatan-kekuatan jahat yang laten.” Dengan kata lain, para pemogok itu bekerja sama atau bahkan dipimpin oleh anggota Partai Komunis. Ini mengkonfirmasikan apa yang senantiasa kami peliharakan &endash;yaitu, bahwa sekali kelas pekerja mulai bergerak, jajaran birokrasi yang lebih rendah akan datang menyambut.
Laporan lain menyatakan bahwa: “Pada tanggal 29 November, para staf dan pekerja pabrik lokomotif dan pabrik prosesing timber melakukan mogok dan mengadakan pertemuan akbar. Mereka didukung oleh para pekerja dari 7 perusahaan milik negara yang berbeda di Qiqihar (di manna dua pabrik mesin berat, dua pabrik perangkat elektronik, dan sebuah kompleks penanganan hasil susu dimiliki oleh sektor perdagangan asing). Lebih dari 30.000 anggota staf dan para pekerja disertai anggota keluarga mereka bergabung dalam pemogokan dan mengikuti pertemuan. Pekerja-pekerja dari beberapa mengajukan slogan seperti: “Semua kekuatan dan properti dimiliki oleh rakyat!”, “turunkan eksploitasi dan represi atas kekuasaan, ekonomi, dan politik!”. para staf dan dari Serikat Pekerja Pabrik Prosesing Timber menutup kantor manajer dan bepartemen keuangannya dengan kertas pembatas. Mereka bentrok dengan sekretaris kantor komite partai Komunis memaksa para manejer pabrik dan sekretaris komite partai untuk mngeluarkan pernyataann yang mendaftar pengeluaran keuangan prabrik. Mereka juga melawan pihak keamanan umum yang datang untuk menangkapi mereka. Konfrontrasi berlangsung antara pukul 13.00 hingga pukul 20.00. Pihak keamanan umum memanggil polisi bersenjata untuk mengendalikan suasana, dan mengontrol area pemogokan, dan untuk menangkapi para peserta pemogokan. Sekitar 300 keamanan umum dan polisi bersenjata bentrok dengan sekitar 2.000 pekerja dan anggota staf pabrik. Lebih dari 20 orang terluka dan lebih dari 30 orang pekerja dan anggota staf ditahan. Sejak 1 Desember, United Timber Processing Plant Qiqihar tidak meresume produksi.” (Hong Kong Cheng Ming, dalam bahasa Cina, 1/1/98)
Ini luar biasa signifikan. Perjuangan para pekerja Cina, dinilai dari laporan-laporan ini, tidak cuma bertumbuh cepat, tapi juga menyulut karakter pemberontakan. Para pekerja dan kaum tani telah melampaui sekolah kapitalisme dan telah menarik berbagai konklusi yang diperlukan. Kaum pekerja menentang baik itu kapitalisme atau pun birokras: “Segenap kekuasaan dan properti milik rakyat!”. ini adalah slogan revolusioner politik di Cina. Kita harus bersiap untuk adanya putaran yang tiba-tiba dan perkembangan yang eksplosif di seluruh Asia, terutama di Cina. Perkembangan kekuatan-kekuatan produktif telah luar biasa memperkuat kelas proletar Cina. Sebuah gerakan revolusiover di Cina di bawah kondisi-kondisi yang ada sekarang ini tidak adakn mengulangi posisi tahun 1949, saat kelas pekerja jauh lebih lemah dan belum sepenuhnya sembuh dari kekalahan di masa lalu. Kekuatan kelas yang imbang telah sepenuhnya tertransformasi. Bila sebuah partai Marxis eksis di Cina, akan ada kemungkinan terjadinya sebuah revolusi kaum proletak klasik di atas garis Oktober 1917, di mana di sana kaum proletar menempatkan diri sebagai pimpinan berjuta-juta massa kaum tani. Potensi revolusioner di Cina diperlihatkan dengan tegas atas terjadinya kejadian di Lapangan Tian An Men satu dekadee lalu. Gerakan heroik para pemuda itu mengalami kekalahan sebab gerakan waktu itu tidak menerima dukungan aktif kaum pekerja. Ekonomi masih berjalan maju, dan birokrasi yang berkuasa masih memiliki dukungan. Kini semuanya sudah berubah. Sebuah gerakan revolusioner yang baru dari kaum muda tak akan terelakkan adanya, dan kali ini gerakan itu tidak akan terisolasi. Sekali gerakan itu dipersenjatai program ilmiah Marxisme, ia akan tidak terbayangkan. Suatu revolusi politik di Cina akan mengguncang dunia. Ia akan menempatkan revolusi sebagai perintah mendesak bukan hanya di Asia, tetapi di Rusia dan juga di negara-negara kapitalis maju. Oleh karena itu kehancuran revolusi berkait amat sangat erat dengan nasib Cina.
INDONESIA DAN REVOLUSI PERMANEN
Diskusi sekarang ini sama sekali bukan diskusi yang berwatak akademis, melainkan sebuah masalah panas bagi perkembangan-perkembangan revolusioner di Dunia Ketiga sekarang ini. Revolusi telah dimulai di Indonesia. Revolusi itu telah mulai di Indonesia dan ini merupakan fakta penting yang menentukan, bukan hanya bagi Asia, melainkan secara potensial penting bagi seluruh dunia. Di periode yang bergiolak sebelum Perang Dunia Kedua, dalam berbagai kesempatan berbeda, Trotsky mengatakan bahwa kunci bagi situasi dunia ditemukan di negara-negara berbeda &endash;Jerman, Perancis, Spanyol, dll. Trotsky menegaskan bahwa seluruh Internasional harus memberikan perhatian khusus pada perkembangan-perkembangan ini, mengikutinya di atas basis reguler, menarik konklusi-konklusi yang diperlukan, pollitis, taktis, dan organisasional, terutama untuk keperluan pendidikan kader, tetapi juga, untuk mengintervensi sesuai derajat hal ini bisa mungkin dilakukan. Pada saat itu kekuatan kecil Trotskyisme masih lemah dan terisolasi. Kekuatan Stalinisme yang kolosal di skala duniasecara efektif memblok jalan bagi kaum Leninis-Bolshevik murni mencapai para pekerja dan pemuda yang paling maju di jajaran Partai Komunis. Sekarang ini bukan lagi masalah. Kolapsnya Stalinisme telah sepenuhnya mentransformasi sutuasi. Para pekerja dan pemuda Komunis yang terbaik sedang mencari ide-ide. Mereka berjuang menemukan jalan revolusi, dan kita harus membantu mereka untuk menemukannya.
Berpuluh tahun tendensi kita adalah berjuang mempertahankan panji-panji, program, metode-metode, dan tradisi-tradisi dari Revolusi Oktober dan Bolshevisme. Kita terpaksa berenang melawan arus. Sekarang, untuk pertama kalinya, kita mulai bereang sesuai aliran air. Bahkan sekarang, di awal revolusi, kenyataan bahwa ide-ide kita mendapatkan gaung hangat di antara kaum Komunis di Indonesia adalah satu indikasi tentag apa yang akan mungkin terbuka bagi kita di periode mendatang. Fakta penting yang harus dimengerti adalah bahwa hal ini mustahil terjadi sepuluh tahun lalu. Ini adalah satu simptom bahwa seluruh situasi sedang mulai berubah di skala dunia.
Adalah sangat penting untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh teori revolusi permanen dalam prakteknya dan slogan-slogan kongkrit apa yang harus diajukan oleh kaum revolusi dalam kondisi-konsisi begini. Di satu sisi, penting untuk mempertahankan slogan-slogan dan tuntutan-tuntutan demokratik (sebagaimana dilakukan dengan benar oleh PRD). Tetapi pada saat yang sama tugas utama haruslah menjelaskan (pada massa) bahwa borjuasi nasional itu sepenuhnya tidak mampu membawa tuntutan dan slogan itu jadi kenyataan. Perang pekerja dan pemuda harus dididik dalam semangat yang tak tergantikan mengenai penentangan atas kolaborasi kelas, untuk tidak mempercayai politikus-politikus borjuis yang bahkan merupakan “oposisi” yang bersuara paling lantang dan radikal, dan untuk berjuang demi garis kaum proletar revolusioner yang independen. Tentu saja, perlu juga untuk melakukan aliansi temporer dengan kekuatan-kekuatan non-proletar guna tujuuan-tujuan praktis. Namun kekuatan itu terutamanya adalah kaum tani dan borjuis kecil, bukan kaum borjuis Liberal. Kedua, syarat-syarat utama untuk berbagai perjanjian sepanjang waktu dipelihara kesesuaiannya dengan program dan kebijakan revolusioner yang jelas. Sllogan kaum Bolshevik selalu “Berbaris terpisah, lakuka serangan bersama-sama!”. harus tida ada blok progamatis, tidak ada percampuran program serta panji-panji. Satu-satunya persatuan yang kita mau adalah persatuaaan dalam perjuangan. Siapaun yang ingin berjuang melaawan Soehartoisme dan imperialisme dalam perbuatan dan bukan dalam perkataan semata, disambut untuk itu. Tetapi kita tidak menaruh satu pon pun dalam program kita untuk menyenangkan sembarang oraang, dan, sementara mendukung bahkan aksi progresif terkecil dari kaum demokrat borjuis kecil, gunakan kesempatan untuk mengkritisi kekeliruan mereka, keragu-raguan dan kemunduran mereka , bukakan hal itu pada massa. Hanya dengan cara-cara begitu kita dapat membantu mereka mengatasi keraguan mereka dan lalu mengadopsi sebuah posisi demokratik yang konsisten.
YANG MANA JALAN BAGI INDONESIA MELANGKAH MAJU?
Dengan sendirinya sebuah partai revolusioner di Indonesia akan melakukan agitasi bagi tuntutan-tuntutan demokratik (legalisasi partai-partai politik, serikat-serikat pekerja, dan organisasi-organisasi mahasiswa, hak untuk mogok, penolakan terhadap semua undang-undang yang represif, dll.) akan sebagai nbagian dari hal ini partai tersebut akan menuntut Majelis Permusyawaratan yang dipilih secara demokratis. Sementara mengagitasi tuntutan-tuntutan tersebut, sebuah partai revolusioner akan mulai membangun komite-komite aksi (yaitu soviets bernama lain) yang berbasis di tiap pabrik, persaudaraan kelas pekerja, desa kaum tani, dan kampus universitas. Komite-komite aksi yang dipilih secara demokratis inimesti berkaitan di level lokal melalui wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan dapat direcall. Pada gilirannya komite begini akan mencapai level nasional, hingga menjadi kekuatan tandingan bagi kekuatan resmi yang ada sekarang, baik itu pemerintahan Habibie ataupun pemerintahan oposisi borjuis demokratik. Pendirian komite-komite ini (soviets) adalah kunci utama sebab tanpanya massa tidak memiliki jalur mengungkapkan cara-cara yang bersifat langsung dan mendesak untuk melakukan perubahan dalam kesadaran politik mereka, frustrasi mereka yang terus tumbuh akibat ketidakmampuan paraa politikus borjuis demokratik memecahkan kebutuhan-kebutuhan mereka yang paling mendesak: pangan, tanah, dan pekerjaan.
Pada saat yang sama kita menuntut penyitaan segera atas kekayaan Soeharto, keluarganya, dan kroni-kroni serta para kolaboratornya, termasuk mereka-mereka yang sekarang iniberusaha mengganti bajunya sebagai “demokrat”. Tuntutan yang demikian akan mendapatkan gemanya di kalangan massa, tidak hanya di tengah kaum pekerja, namun juga di kalangan massa tani, kelas menengaaah, dan bahkan pengusaha-pengusaha kecil yang telah dikacaukan oleh kelas penguasa. Lebih lanjut, itu akan menjadi signifikasi bagi nasionalisasi sebagian besar perekonomian Indonesia. Harus tidak ada kompensasi. Parasit-parasit kaya ini telah cukup lama menjarah dan merampok rakyat! Dan mengapa berhenti cuma di sini? Jika slogan revolusi demokratik-borjuis berarti apapun, maka ia harus mensignifikasikan pemutusan yang radikal dengan imperialisme. Hapus semua hutang luar negeri dan persetujuan-persetujuan dengan IMF! Nasionalisasikan properti kaum imperialis! Hanya program begitulah yang dapat membuat sebuah revolusi demokratik-borjuis menjadi kenyataan. Segala suatu yang kurang drps itu akan berarti mengobral rakyat Indonesia pada imperialisme. Namun, program yang begitu harus mensignifikasikan, dalam praktek, hal melampaui revolusi demokratik-borjuis menuju revolusi sosialis.
Di bawah kondisi-kondisi yang berlangsung saat ini, adalah mustahil untuk memisahkan keduanya. Sebuah perjuangan yang konsisten bagi tuntutan-tuntuta nasional-demokratik tidak terelakkan akan membawa kita pada penyitaan milik kaum imperialis dan jongos-jomgos lokal mereka, dan jadinya, penyitaan poin-poin dasar dukungan kapitalisme di Indonesia. Di bawah kontrol dan administrasi demokratis rakyat pekerja, nasionalisasi alat-alat produksi akan menjadi syarat pertama untuk mengakhiri krisis eknonomi dan jadinya menghalangi malapetaka yang membahayakan Indonesia. Ini soal hidup mati, sebab semua komentator borjuis sepakat bahwa jika dalam beberpa bulan tidak diambil langkah-langkah drastis, maka pemerintahan Jakarta akan kehabisan uang dan import makanan akan terhenti.
Reformasi yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie nyaris semuanya mempunyai karaktek kosmetika semata, dan tidak menyentuh akar penyebab dari problem-problem yang dihadapi negara. Kekayaan keluarga Soeharto tetap tak tersentuh. Tidak satupun dari kriminal yang bertangungjawab atas segala kejahatan di masa lalu telah diadili. Koran tetap harus punya perizinan. Tahanan-tahanan politik masih saja merana di balik terali, meski beberapa telah dibebaskan. Masalah nasional tetap tak terpecahkan. Tawaran Habibie mengenai “status khusus” &endash;seperti Jakarta&endash;pada rakyat tertindas di Timor Timur adalah sebuah penghinaan terhadap apsirasi nasional mereka. Pemimpin mereka, Xanana Gusmao, tetap dipenjara. Di atas semua itu, kemiskinan dan eksploitasi terhadap jutaan pekerja dan kaum tani tetap berlangsung tanpa terlihat adanya perspektif kecuali lebih banyak pengangguran dan kelaparan. Dan Habibi cuma senyum di depan kamera serta meminta “waktu yang lebih lama lagi”.
Amien Rais, sang “oposan” muslim, telah menunjukkan warna aslinya dan, sebetulnya, menyokong Habibie. Pada bagiannya, Megawati Soekarno Putri sedang menunggu kekuasaan, bagaikan apel busuk, jatuh ke tangannya. Pemimpin-pemimpin ini tidak melakukan apapun untuk memobilisasi massa dalam perjuangan, sebab mereka ngeri pada gerakan massa. Mereka ini dapat dengan mudah mengambil kekuasaan, tetapi ingin selama mungkin bertahan di luar pemerintahan karena mereka tahu mereka tidak mempunyai program untuk menanggulangi berbagai problem mendesak yang dihadapi massa. Para politikus borjuis dapat kuat menunggu, tapi tidak demikian halnya dengan massa. Rakyat akan berhadapan dengan pengangguran besar-besaran, kemiskinan, dan kelaparan. Dengan menarik uang mereka, kaum imperialis berharap itu memberikan satu pelajaran kepada rakyat Indonesia dan menunjukkan pada mereka siapa yang sebenarnya jadi Boss. Satu tantangan serius yang menuntut jawabab serius pula! Tapi tidak satupun dari para borjuis yang disebut oposan tadi dipersiapkan untuk menerima tantangan itu. Krisis ekonomi terus memburuk. Di perempat tahun yang pertama, perekonomian menyusut tak kurang dari 8,5 persen. Rupiah, yang telahkehilangan 80 persen nilainya terhadap dollar, masih tak terlindung, dan sepertinya masih bisa jatuh lebih dalam lagi, mendorong membumbungnya harga-harga. Tahun ini inflasi diramalkan sebesai 80 persen. The Economist (6/6/98) mengomentari kolapnya keuangan “telah memaksa pula perusahan-perusahaan orang Indonesia untuk menjadwal ulang segunung utang swasta pada pihak asing yang berkisar sekitar 80 juta dollar,” tapi menambahkan bahwa, “Bahkan setelah mereka mencapai kesepakatan dengan kreditor-kreditor mereka pada tanggal 4 Juni, IMF, sebagaimana diharapkan, mencurahkan bantuan pinjamannya, tidak percaya adanya pengembalian yang ajaib. Sistem perbankan masih ketat.
“Wajah Indonesia, dalam bentuk yang amat rusak, turunan spiral di Thailan, dan Malaysia. Rata-rata interes yang ada tinggi, sebagian untuk menghentikan anjloknya keuangan lebih jauh, sebagian lagi disebabkan pemerintah melakukan pinjaman besar untuk menyuntik bank. Ini berarti makin banyak perusahaan yang aa tidak mampu membayar hutang. Jadi pinjaman bank-bank yang tidak terlihat itu makin parah saja kabarnya dan pemerintah mengambilalih lebih banyak lagi institusi keuangan, akan menggunakan bahkan lebih banyak likuidasi untuk mempertahankan hidup institusi-institusi tersebut.
“Persoalan-persoalan diperburuk dengan melemahnya yen Jepang. Hal itu memberikan tekanan yang lebih kompetitif pada keuangan Asia Tenggara, yang, dengan perkecualian bagi rupiah, sekarang ini hanya punya selapis saja pembatas terhadap yen dibandingkan pertahanan mereka tiga tahun lalu. Juga muncul ketakutan bahwa Cina akan melakukan devaluasi. Di dalam iklim yang nervous, baht, ringgit Malaysia, dan peso Filipina mulai tergelincir lagi setelah beberapa bulan relatif stabil.”
Keseluruhan krisis di Asia, meskipun terdapat segala prediksi optimistik, tidak menunjukkan satu tandapun ia bisa terpecahkan. Malah sebaliknya. Sebagaimana petikan di atas menunjukkan, krisis itu akan menjadi lebih buruk di bulan-bulan ke depan, malah mungkin dalam hitungan tahun, menimbulkan kemungkinan riil terjadinya kemerosotan di Jepang, yang akan menjadi signal kemerosotan pada skala dunia. Perkembangan yang demikian akan memiliki efek sosial dan politik yang mendalam di mana-mana. Bahkan tanpa terjadinya kemerosotan, krisi ekonomi punya efek serius di seluruh negara di Asia, terutama di Indonesia. Persediaan pangan menipis di bagian timur negeri itu dan bisa jadi ini akan menjalar ke seluruh negeri.
Maka apa kebijakan yang dikedepankan oleh PRD (yang sebenarya adalah Partai Komunis Indonesia saat ini)? Dalam sebuah pers-rilis tanggal 25 Mei 1998, yaitu setelah Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh Habibie, PRD, setelah menegaskan hal itu semata cuma manuver dan harus tidak menghentikan protes, mengajukan sejumlah tuntutan:
- 1.cabut Lima Undang-Undang Politik tahun 1985
- 2.akhiri Dwi-Fungsi ABRI
- 3.pertanggungjawaban dan Pengadilan Soeharto
- 4.penyitaan semua aset bisnis kroni-kroninya
- 5.penyitaan kekayaan pejabat korup
- 6.pemilu multi partai yang bebas dan demokratik
- 7.bebaskan semua tahanan politik
Kita akan menyetujui semua poin kecuali nomor 6) kita mengedepankan ide mengenai sebuah Majelis Konstituante yang demokratik. Ide mengenai Majelis Konstituante ini telah dimunculkan dalam bentuk yang membingungkan oleh PRD di bawah nama “dewan rakyat independen”. Persoalan utama dari hal ini adalah bahwa cara membingungkan yang di dalamnya mereka mengedepankan slogan ini
“Kepada Megawati Soekarnoputri, pemimpin Partai Demokrasi Indonesia yang diturunkan secara paksa, Amien Rais ketua Muhammadiyah, Budiman Sujatmiko ketua PRD yang dipenjarakan, Sri-Bintang Pamungkas ketua PUDI yang dipenjarakan, dan lain-lainnya; sekaranglah waktunya bagi kalian untuk menegaskan kesiapan kalian menggantikan Soeharto. Hal ini harus dilakukan secepatnya karena Soeharto sudah tidak diinginkan lagi oleh rakyat untuk berkuasa lebih lama lagi dan iapun telah siap diturunkan.” Dalam praktek, apa arti dari hal ini? Para pemimpin PRD memohon pada para oposisi borjuis untuk mengambil kekuasaan. Namun kejadian demi kejadian menunjukkan bahwa baik Amien Rais maupun Megawati tidak segera mengambil alih kekuasaan, dan lebih suka membiarkannya berada di tangan Habibie. Para “oposan” itu menyangga Habibie, kroni reaksioner dari Soeharto, yang pada gilirannya melakukan apapun dalam kekuasaannya untuk melindungi boss lamanya beserta seluruh keluarganya, dan mengusahakan sebanyak mungkin rezim lama tak tersentuh. Tetapi massa yang terdiri dari para pekerja, kaum tani, dan mahasiswa, tidak akan pernah menerima hal ini. Mereka tidak berjuang melawan Soeharto cuma demi melihat rezim lama terus berlanjut dengan perubahan yang kosmetikal semata. Para pemimpin oposisi borjuis hanya bertindak sebagai left cover bagi Habibie yang mewakili perpanjangan rezim lama. PRD harus tidak bertindak sebagai left cover bagi oposan borjuis! Mereka itu harus diekspos kepada massa untuk peran tidak dapat dipercaya yang tengah mereka mainkan. PRD harus berjuang untuk memenangkan massa dari pengaruh-pengaruh jahat pseudo-oposisi kaum borjuis.
Situasi ini serupa dan paralel dengan revolusi Februari di Rusia. Massa turun ke jalan dan mengalahkan rezim tsaris yang dibenci dan kaum borjuis demokratik loncat ke dalam kereta dan membentuk pemerintahan sementara. Dalam setiap revolusi, ini merupakan perkembangan yang normal. Kaum borjuis berusaha merampok buah kemenangan dari perjuangan massa, mengambil dengan licik dan penuh tipu daya apa yang oleh rezim lama tidak dapat dipertahankan dengan menggunakan kekuatan. Pada awal tiap revolusi, ter apat fase ilusi-ilusi demokratik, semacam karnaval di mana di dalamnya kegembiraan alamiah massa atas tumbangnya rezim lama berpadu dengan intoksinasi frasa-frasa serta berbagai pidato demokratis yang coba menyembunyikan realitas bahwa, pada fundamentalnya, tidak ada suatu pun yang telah berubah. Para eksploitor dan penindas rakyat yang lama tetap memegang kekuasaan dan menggerakkan benang pengontrol di balik layar, merencanakan segala macam plot dan konspirasi dengan petinggi angkatan bersenjata, menunggu massa menjadi kecapekan dan kembali jatuh tak beraktivitas keras, sebelum akhirnya mereka ini melancarkan coup d’état.
Semua ini adalah sifat yang amat dikenali dengan baik adanya dalam berbagai revolusi. Tapi penting bagi partai revolusioner dan kepemimpinannya untuk tetap terpisah dan berjarak dengan lelucon demokratik ini dan menerangkan pada massa bahwa masalah belumlah terpecahkan &endash;masih ada pekerjaan serius yang harus dituntaskan. Secepat ia mendengar tumbangnya Tsar, secepat itu pula Lenin, yang masih dalam pengasingan di Swiss, buru-buru mengirim telegram berisi pesan berikut kepada kaum Bolsheviks di Petrograd:
“Taktik kita: absolut kurangnya kepercayaan; jangan dukung pemerintahan baru; curigai khususnya Kerensky; persenjatai kaum proletar dengan semata jaminan saja; pemilihan secepatnya bagi Duma Petrograd; jangan lakukan pendekatan dengan partai-partai lain.”
Malangnya, para pemimpin Bolshevik di Petrograd (pada masa itu, Stalin dan Kamenev di tengah lainnya) tdak memberikan perhatian pada anjuran Lenin. Mereka mabuk ilusi-ilusi demokratik, terimbas mood umum dan himbauan konstan bagi “persatuan seluruh kekuatan demokratik”. Menentang saran Lenin, mereka mendukung Pemerintahan Sementara kaum borjuis. Dalam cara yang serupa, PRD menghimbau para pemimpin oposisi borjuis di Indonesia untuk meraih kekuasaan, tidak memahami sifat asli dan peran yang sesungguhnya dari para pemimpin ini.
Untungnya, ini bukanlah akhir dari kisah di Rusia. Lenin mengatur perubahan jalannya partai setelah kedatangannya dari pengasingan pada bulan April 1917, meski itu bisa dilakukan hanya setelah perjuangan internal yang tajam. Kebijakan partai Bolsheviks sejak saat itu adalah “menjelaskan dengan sabar” kepada massa kaum pekerja dan kaum tani bahwa satu-satunya cara meraih tuntutan mereka yang paling mendesak adalah memberikan kepercayaan dan dukungan pasar soviet-soviet dan tidak menaruh kepercayaan apapun pada kaum borjuis Liberal. Isu ini jelas telah didiskusikan di dalam PRD sendiri, dan hal ini terbukti dengan adanya pernyataan yang diiluncurkan beberapa hari setelahnya oleh PRD dalam menjawab kaum cendekiawan sayap kiri yang mengusulkan sebuah pemerintahan transisional yang terdiri atas kekuatan-kekuatan oposisi dan para jenderal angkatan bersenjata yang “demokratis”. Pertama sekali, pernyataan tersebut dengan benar menanyakan siapa yang memobilisasi rakyat:
“Siapa saja yang menjadi pimpinan kumpulan orang itu? Siapa yang memobilisasikan mereka? Amien Rais, Megawati, atau Gus Dur? Atau para aktivis yang telah berjuang memulai berbagai aksi lusinan orang, kemudian menjelma jadi aksi ratusan orang, kemudian ribuan, kemudian puluhan ribu orang, dan seterusnya? Ada banyak aktivis itu, dan mereka tidak disorot oleh media massa.”
“Orang-orang itu, terutama di Jakarta, bergerak tanpa pemimpin. Itulah mengapa mereka kehilangan arah dan dengan mudah terpropokasi melakukan kerusuhan. Apakah Amien Rais mengarahkan mereka untuk mengadakan aksi damai, berjalan menuju gedung Parlemen, atau Istana Merdeka, atau stasiun radio negara? Atau apakah Megawati, Gus Dur, atau tokoh-tokoh lain melakukan tugas-tugas ini?”
Berbagai pengamatan ini seratus persen benar dan langsung menuju jantung masalah. Jika bukan para pemimpin oposisi borjuis yang memimpin rakyat di jalanan, mengapa mereka harus tidak mempercayai kepemimpinan massa sendiri?
“Lantas, siapa yang harus mewakili orang-orang ini dalam pemerintahan transisional sekarang? Bagiku, rakyat harus memilih para pemimpin mereka sendiri. Satu-satunya cara untuk melakukan hal itu adalah dengan pendirian dewan-dewan rakyat dari tingat terendah (mungkin di kampung, kampus, pabrik, kantor-kantor, dsb.) setelah memilih pemimpin di tingkat yang paling rendah ini, mereka dapat bergerak ke tingkat yang lebih tinggi, dst., hingga ke tingkat nasional. Dengan cara inilah seorang pemimpin sejati akan muncul, yaitu, seorang pemimpin yang benar-benar merupakan wakil arus bawah.”
Inilah program yang akan kita dukung sepenuh hati, dan ini membuktikan bahwa di dalam PRD mestilah terdapat banyak aktivis yang jujur mencari sebuah program revolusioner yang sesungguhnya. Jika PRD mengadopsi sebuah program yang tidak menaruh kepercayaan pada kaum borjuis liberal dan mulai menciptakan komite-komite di tiap pabrik, kampus dan yang segolongannya, sejalan dengan waktu, ini akan menaikkan otoritasnya secara luar biasa di tengah-tengah massa, mempersiapkan basis bagi transfer kekuasaan kepada kaum pekerja dan kaum tani sebagaimana yang dikerjakan partai Bolsheviks di periode Februari hingga Oktober. Esensial bagi kita untuk secepatnya mengadakan kontak dengan lapisan ini untuk membantu perkembangan arus revolusioner sejati yang, dalam kondisi umum, akan dengan amat cepat menangkap karakter massa.
Program mengenai tuntutan-tuntutan demokratis dan nasionalisasi perekonomian harus digabung dengan sebuah himbauan internasionalis pada rakyat di Asia Tengara dan kaum proletar di Barat agar mereka ini mempertahankan Revolusi Indonesia. Inilah bagian kedua dari teori Revolusi Permanen. Trotsky menegaskan bahwa kaum proletar akan berjaya di negara terbelakang dan, dimulai dengan tugas-tugas borjuis demokratis dari revolusi, melanjutkannya ke tugas-tugas sosialis. Tetapi pada akhirnya, syarat yang diperlukan bagi pengambilan kekuasaan dan pemegangan kekuasaan itu adalah perluasan revolusi ke negeri-negeri yang industrinya maju. Krisis kapitalisme menciptakan kondisi-kondisi menguntungkan bagi perluasan revolusi ke seluruh wilayah Asia. Dalam proses ini, revolusi Indonesia adalah kuncinya. Pengunduran diri Soeharto menimbulkan efek luar biasa besar di seluruh wilayah Asia dan juga secara internasional. Proses itu akan berlarut-larut, tapi sebuah revolusi yang berjaya di Indonesia akan menyebar bagai percikan api ke seluruh Asia, di mana kondisi-kondisi yang di hadapi massa di Thailand, Malaysia, Korea Selatan, dll, kurang lebihnya sama, dan hal ini juga akan menyetrumkan efeknya di Barat, terutama jika kaum pekerja Indonesia meraih kekuasaan di adtas basis sebuah revolusi kaum proletar klasik yang dipimpin oleh sebuah partai Marxis sejati dengan kebijakan dan perspektif internasional.
Sekarang ini PRD menempati posisi yang menentukan. Ia memiliki para aktivis yang pada nyatanya memimpin penumbangan Soeharto. Ini adalah pencapaian yang luar biasa besar, tapi cuma merupakan separuh tugas. Separuh yang lebih bbesar lagi masih tertinggal. Supaya memenuhi tugas ini diperlukan satu hal. Nasib revolusi Indonesia bergantung pada pembangunan sebuah kepemimpinan Leninis yang sejati, dipersenjatai dengan berbagai perspektif yang diperlukan bagi revolusi. Kita berdiri pada basis independensi kelas sepenuhnya! Segala macam jalan lain tak terelakkan akan menggiring pada jalur kompromi dan akhirnya pada kandasnya revolusi. Seluruh sejarah revolusi (daerah) jajahan, dan khususnya sejarah Indonesia, membuktikan hal ini. Di atas segalanya, adalah perlu untuk memahami keterbatasan sebuah revolusi di negara terbelakang, meski yang sebesar Indonesia. Nasib Rusia dan Cina adalah peringatan keras mengenai apa yang terjadi bagi usaha-usaha membangun “sosialisme di dalam satu negeri”. Perlu kita menyiapkan kelas pekerja untuk perebutan kekuasaan, namun perlu juga untuk menjelaskan bahwa nasib revolusi Indonesia itu secara tak dapat terpisahkan berkait dengan revolusi di seluruh Asia dan di atas skala dunia. Tahun 1848, menarik kesimpulan dari kekalahan revolusi di Jerman sebagai akibat pengkhianatan kaum borjuis liberal, para pendiri sosialisme ilmiah, Kart Marx dan Frederick Engels, menyatakan himbauan pada para pekerja yang menjaga segenap kekuatannya. Ini tetaplah jadi woro-woro yang kita adakan buat mengumpulkan massa dan juga slogan kita saat ini:
“Tetapi mereka sendiri harus sepenuhnya melakukannya demi kemenangan akhir mereka dengan menjernihkan pikiran mereka sebagai kelas apa mereka sesungguhnya, dengan secepat mungkin mengambil posisi mereka sebagai partai independen dan tidak membiarkan diri mereka sekejap pun tergoda oleh frase-frase hipokrit mengenai demokrasi borjuasi kecil yang bertujuan menghalagi mereka dari organisasi independen partai kaum proletar. Pertempuran mereka haruslah: Revolusi Dalam Cara Permanen.” (K. Marx dan F. Engels, Address to the CC of the Communist League, Maret 1850, MESW, Volume 1, halaman 185.)
London, 25 Juni 1998
Catatan penerjemah: Dalam terjemahan ini, beberapa pernyataan PRD diterjemahkan dari teks bahasa Inggris. Bisa jadi terdapat perbedaan dengan apa yang tertulis di teks aslinya yang berbahasa Indonesia, namun kami harap secara esensi tidak ada penyimpangan yang dapat merugikan pihak manapun.