Masalah kebangsaan di Indonesia hari ini menempati posisi yang signifikan. Mungkin kita bertanya: mengapa ini menjadi signifikan untuk kita ulas? Indonesia adalah negara eks kolonial yang telah berhasil mencapai kemerdekaannya dengan serangkaian perjuangan panjangnya. Meskipun, Indonesia telah mencapai kemerdekaannya tidak lantas semua tugas demokratis nasionalnya telah diselesaikan. Secara historis, tugas-tugas demokratik nasional adalah reforma agraria, penyatuan pasar nasional yang independen, pembentukan parlemen yang demokratis, dan pembentukan negara-bangsa. Yang belakangan inilah yang menjadi salah satu masalah pelik di Indonesia. Masalah-masalah kebangsaan yang akhir-akhir ini mencuat ke permukaan, yaitu adanya gerakan dari setiap minoritas kecil bangsa kecil yang menuntut kemerdekaannya, misalnya Timor Leste yang telah mencapai kemerdekaan pada dekade lalu serta sekarang Aceh dan Papua, telah menambah sederetan persoalan nasional yang tak kunjung selesai.
Karakteristik munculnya kesadaran nasional dari berbagai minoritas di dalam satu bangsa telah ada bahkan semenjak awal kelahiran kapitalisme. Kapitalisme telah menghancurkan partikularisme feodal dan menghancurkan batasan lokal menjadi suatu pasar yang luas. Sebelum kapitalisme berkembang, masyarakat belum mengidentifikasi dirinya sebagai sebuah entitas bangsa. Mereka mengidentifikasikan dirinya sebagai sebuah kota, desa, dsb. Namun, ketika hubungan produksi lama sudah tidak bisa memenuhi cara produksi baru, entitas masyarakat pun berubah memenuhi corak produksi baru. Feodalisme adalah corak produksi yang bersifat lokal, sementara kapitalisme membutuhkan pasar yang luas. Oleh karenanya kapitalisme mendobrak berbagai lokalitas dan kedaerahan – yang merupakan corak feodalisme – dan menyatukan mereka ke dalam sebuah negara bangsa.
Terbentuknya entitas bangsa adalah tugas sejarah progresif kaum borjuis di masa kelahirannya. Mereka menuntut sebuah pasar dan penyatuan wilayah nasional dan inipun bertentangan dengan feodalisme yang berbasis produksi komoditas untuk kepentingan lokal.
Atas kepentingan pasar inilah, kapitalisme berupaya untuk memenangkan dominasi di dunia dan menjadi sebuah mesin penindas bagi bangsa-bangsa yang lemah. Dan inilah apa yang disebut sebuah era imperialisme, dimana telah memicu gerakan nasional dari setiap bangsa yang telah dikolonisasi.
Jadi, perjuangan nasional dari setiap bangsa mengalami berbagai fitur. Pertama dalam era kelahiran kapitalisme dan yang kedua ialah di dalam era Imperialisme. Perjuangan nasional di era Imperialisme telah mengambil bentuknya ketika Imperialisme ingin memenangkan dominasinya atas negara-negara terbelakang dengan pergolakan invasi dan perang. Kondisi inilah yang telah memicu ledakan perjuangan nasional dari bangsa tertindas untuk mencapai kemerdekaannya. Dalam hal ini, Revolusi kolonial telah berdiri di garis depan.
Di Indonesia, perjuangan nasional tidak terlepas dari kondisi ini. Yakni ketika Imperialisme ingin meraih dominasinya. Dengan revolusi kolonial ini, Indonesia telah mempersatukan ribuan pulau, suku, ras menjadi sebuah entitas sebuah bangsa yakni Indonesia. Di negara-negara kapitalis maju seperti Prancis dan Inggris, persatuan negara bangsa lahir dari revolusi borjuis yang menentang feodalisme sebagai musuh utamanya. Di negara eks-kolonial seperti Indonesia dan India, persatuan negara bangsa lahir dari revolusi kolonial – yang juga bercorak revolusi demokratik borjuis, tetapi dengan imperialisme sebagai musuh utamanya.
Setelah dipersatukan lewat revolusi kemerdekaan, mengapa di Indonesia sekarang muncul berbagai perjuangan kemerdekaan dari minoritas-minoritas seperti di Aceh dan Papua? Apa yang menyebabkan munculnya perjuangan ini ?
Semenjak kelahirannya kapitalisme memberikan kemajuan bagi setiap pertumbuhan tenaga-tenaga produktif. Kompetisi dari pasar telah membuka pasar dan meluasnya perdagangan, dan semakin bertambah besar kapital yang dihasilkan dari dibukanya pasar-pasar baru. Oleh karena itu kita tahu bagaimana kapitalisme merevolusionerkan hubungan produksi dan pertukaran. Namun sekarang kita temui kapitalisme tidak mampu lagi merealisasikan potensi kekuatan produksi manusia. Ia telah menjadi sebuah rem sejarah bagi perkembangan umat manusia. Krisis yang telah diramalkan sebelumnya oleh Marx telah menjadi momok bagi kehidupan manusia. Seluruh kehidupan manusia telah telah dipertaruhkan dalam spekulan pasar, seperti yang baru-baru ini terjadi dengan krisis finansial 2008 yang mash berlanjut sampai sekarang. Munculnya kembali masalah kebangsaan di Indonesia mencerminkan kebuntuan kapitalisme dalam skala dunia, serta tidak adanya alternatif revolusioner yang sanggup untuk memberikan jalan keluar. Kemiskinan dan keterbelakangan yang diakibatkannya memberikan kesimpulan pada kita bahwa permasalahan nasional adalah permasalahan tentang nasi. Di Papua, ini berakar dari eksploitasi Freeport yang mengangkut kekayaan Papua untuk kapitalis-kapitalis di Jakarta dan dunia. Di Aceh, ini juga berakar dari eksploitasi migas oleh kapitalis-kapitalis Indonesia dan dunia.
Tentu saja solusi dari masalah nasional tidak bisa diselesaikan dalam batasan sempit kapitalisme. Borjuis di negara-negara eks kolonial sudah tidak mampu lagi menyelesaikan masalah kebangsaan, atau masalah apapun di dalam masyarakat. Tugas menyelesaikan masalah kebangsaan terletak pada satu-satunya klas yang revolusioner, yakni klas pekerja. Klas pekerja Indonesia menghadapi tugas sejarah yang harus dipikulnya: menyelesaikan masalah kebangsaan di satu sisi, dan penggulingan kapitalisme di sisi lain. Dua tugas ini tidak terpisahkan karena pembebasan yang sejati dari minoritas-minoritas yang tertindas tidak akan tercapai tanpa penggulingan kapitalisme.
Perjuangan kemerdekaan Aceh dan Papua telah mengekspresikan keinginannya untuk membentuk tanah air mereka sendiri. Timor Leste telah menjadi contoh bahwa kemerdekaan formal adalah sebuah kemerdekaan semu yang tidak menyelesaikan masalah fundamental rakyat pekerja Timor Leste. Mereka jadi bulan-bulanan kapitalisme dunia, dan kondisi hidup mereka tidak mengalami perubahan fundamental. Hanya sebuah metode dan program sosialis yang mampu menyatukan klas pekerja Aceh, Papua, dan seluruh Indonesia. Kemerdekaan politik tidak akan ada artinya bila tidak ada kemerdekaan ekonomi bagi kaum buruh, yang secara konkrit mensyaratkan nasionalisasi pabrik dan perbankan di bawah kendali buruh dan dijalankan dengan sistem perekonomian terencana. Program ini juga harus disertai dengan seruan pembentukan Federasi Sosialis Asia Tenggara, yang akan menjadi alternatif riil dari dominasi imperialisme. Dengan Federasi ini, buruh dari berbagai negara dapat bahu membahu membangun dunia sosialisme yang berdasarkan persaudaraan dan bukan penindasan manusia atas manusia.