Dengan semakin dekatnya tenggat waktu pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), akan menjadi sangat relevan untuk mempelajari sejarah Uni Eropa serta krisis ekonomi dan politik yang melandanya hari ini. Ini karena usaha pembentukan MEA secara fundamental adalah sama dengan pembentukan Uni Eropa, yakni untuk mengatasi kontradiksi negara-bangsa dari kapitalisme. Kapitalisme – yang menurut Marx harus “bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan hubungan di mana-mana”, atau dalam kata lain harus mengglobal – memberontak melawan batas-batas negara bangsa yang sempit dan usang ini. Dengan berbagai skema – perjanjian perdagangan bebas, pembentukan masyarakat ekonomi, dsb. – kapitalisme mencoba menanggulangi kontradiksi ini. Tetapi usahanya ini hanya menciptakan basis yang lebih luas dan dalam untuk krisis kapitalisme yang lebih merusak, seperti yang kita lihat hari ini.
Uni Eropa Hari Ini
Bayang-bayang kekhawatiran akan masa depan Uni Eropa nampaknya belum hilang dari kepala pakar ekonomi dunia hari ini. Baris-baris kekhawatiran itu terlihat pada angka-angka pengangguran yang masih belum juga turun. Negara-negara yang tergabung dalam Zona Eropa, terutama Yunani, berjuang mati-matian mengurangi tingkat utang mereka yang sudah sampai seleher, dan belakangan ini mencekik mereka. Jalan pengetatan anggaran, mulai dari menaikkan pajak, PHK pekerja, serta memangkas jaminan-jaminan sosial, telah ditempuh. Semua ini berakhir sia-sia dan hanya menciptakan kekacauan. Segala pemotongan anggaran ini nampaknya belum cukup. Upaya mendorong investasi produktif dengan memberi suntikan masif uang ke dalam perekonomian tetap tidak mampu meningkatkan jumlah pekerjaan. Bisnis-bisnis terpaksa harus tutup. Banyak dari orang Eropa terpaksa menganggur; dan sisanya terpaksa bekerja dengan upah yang sangat rendah. Para orang tua dengan raut muka sedih mengawasi anak-anak mereka terbang ke negara-negara lain mencari pekerjaan. Serta tidak sedikit dari mereka harus membawa koper-koper besar, meninggalkan masa kecil mereka yang bahagia karena rumah mereka disita. Inilah gambaran dari Uni Eropa hari ini, yang tersandung dari satu krisis ke krisis lainnya, jauh dari harapan megah yang dibayangkan oleh kaum kapitalis puluhan tahun yang lalu ketika mereka menggagaskan Masyarakat Ekonomi Eropa.
Krisis ini—yang pecah semenjak 2008—seperti yang juga dikatakan oleh sejumlah ekonom borjuasi yang lebih cerdas seperti John Ing, CEO Maison Placements Kanada, merupakan gladi resik bagi krisis selanjutnya yang bahkan cakupan bisa jadi jauh lebih besar dari sebelumnya. Ini sepenuhnya tak terbantahkan. Penyatuan mata uang bersama yang digagas lebih dari 15 tahun yang lalu telah menyeret satu per satu negara anggotanya seperti reruntuhan rumah kartu. Impian yang sebelumnya mereka bangun akan Pax Romana telah hancur dan tidak bisa dibangkitkan lagi darinya. Situasi ini seperti mengulangi apa yang mereka bangun sebelum Perang Dunia II, dimana perekonomian dunia saat itu terhuyung-huyung dan berakhir pada bencana besar kemanusiaan.
Pembentukan Uni Eropa
Sejarah pembentukan Uni Eropa bisa dikatakan dimulai setelah Perang Dunia II, dan merupakan konsekuensi daripadanya. Walaupun ada gelombang revolusi yang menyapu sejumlah negeri Eropa usai Perang Dunia II, ini tidaklah berakhir dengan kemenangan revolusioner kelas pekerja. Kapitalisme saat itu bisa bangkit dari krisisnya yang terdalam berkat pengkhianatan partai-partai Stalinis dan reformis. Ini memberikan basis politik bagi pemulihan kapitalisme dalam skala dunia. Jerman menderita kekalahan yang mengerikan serta kehilangan 13 persen wilayahnya setelah Nazi dikalahkan oleh pihak sekutu, tetapi seperti yang kita lihat hari ini negeri ini berhasil bangkit kembali dan hari ini de fakto adalah penguasa Eropa.
Periode pasca perang dunia II bisa digambarkan oleh sebuah kehancuran ekonomi Eropa, dan Jerman khususnya, yang tidak hanya menghancurkan dominasinya, tapi juga menderita kerugian berat akibat pasar-pasar mereka dihancurkan. Melihat kelemahan itu, Prancis ingin mengikat negara-negara tetangganya itu di bawah dominasinya. Untuk memulihkan perekonomian yang telah hancur; jalan membuat perang baru adalah hal yang tidak mungkin, dan juga tidak terpikirkan bagi Jerman dan Prancis saat itu. Satu yang paling bisa diharapkan adalah mengintegrasikan perekonomian mereka terhadap dunia.
Kecenderungan ini mulai timbul ketika Jerman dan Prancis, bersama dengan Belgia, Belanda, Italia, Luksemburg mengadakan langkah resmi untuk mengumpulkan produksi batubara dan baja untuk memperluas perdagangan di antara negeri-negeri Eropa. Langkah ini diyakini sebagai jalan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi negara-negara anggotanya. Selanjutnya, langkah tersebut membawa pada apa yang dikenal sebagai EC (European Community) atau biasa disebut juga sebagai Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) yang tidak hanya memperluas perdagangan dan jasa, tapi juga memperluas peningkatan kebutuhan tenaga kerja dan modal. Semakin MEE tumbuh, semakin ia merangkul pula negara-negara untuk bergabung di dalamnya. Kerja sama itu berujung pada penyepakatan Uni Eropa akan penggunaan mata uang tunggal.
Kapitalisme telah menciptakan kekuatan produksi yang besar sehingga ia tidak bisa mempertahankan keberadaannya dengan cara-cara lama. Ia telah menjadi belenggu bagi perkembangan kekuatan produksi. Kekuatan produksi yang besar—yang ditimbulkan olehnya—sering kali memberontak, dan mengancam keberadaan dirinya. Ia menciptakan perang yang memiliki efek menghancurkan kekuatan produksi yang telah dicapai oleh masyarakat. Di samping itu juga pula, efek dari perang juga memberikan dasar bagi penciptaan pasar yang besar. Pasar yang tercipta pasca Perang Dunia II menuntut pasokan besar akan baja, elektronik, batubara, aluminium, nikel, dan lain sebagainya. Pertumbuhan ini terlihat dari tingginya tingkat ekspor barang yang mencapai 290 persen. Ini jauh melampaui produksi dunia. Dalam situasi seperti ini kerja sama pembangunan ekonomi kapitalisme pasca perang sangat dimungkinkan. Inilah dasar bagi pemulihan ekonomi pasca Perang Dunia II, selain juga Stalinisme dan reformisme yang memperkuat basis politik bagi pemulihan ini.
Kendati demikian, integrasi ekonomi tidak pernah mendamaikan kontradiksi kapitalis, malah yang terjadi justru sebaliknya yakni semakin mempertajam kontradiksi ini. Kapitalisme berjalan atas motif meraih keuntungan sebesar-besarnya. Keuntungan ini hanya bisa didapatkan dari kerja kaum buruh. Seperti Marx pernah menuliskan di dalam buku Kapital-nya, bahwa kaum kapitalis tidak bisa meraih keuntungan dengan menjual barang di atas nilainya. Bila ia menjual barang di atas nilainya, ia pasti akan kehilangan pasar karena persaingan. Maka, tidak ada jalan lain selain menjual barangnya sesuai ongkos produksinya. Lalu, dari mana keuntungan ini didapat? Tidak lain tidak bukan, keuntungan ini hanya bisa didapat dari kerja kaum buruh. Kaum buruh bekerja tidak hanya memproduksi untuk dirinya sendiri, tapi juga memproduksi nilai lebih bagi kapitalis. Katakanlah dalam 4 jam kaum buruh bisa memproduksi nilai yang setara untuk membiayai hidup mereka. Tapi, kapitalis membeli kemampuan kerja kaum buruh untuk sehari penuh. Ada kelebihan jam kerja dalam sehari. Lalu, jam kerja lebih itulah sumber dari segala sumber keuntungan kapitalis. Ini cukup menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi juga berarti pula semakin meningkatnya penderitaan bagi rakyat pekerja. Semakin intensif jam kerja semakin banyak nilai lebih yang dihasilkan dari kelas buruh untuk memenuhi pasar. Kendati kebutuhan pasar yang melimpah dan kemajuan yang diperoleh pada periode pasca perang, situasi ini tidak menjelaskan peningkatan taraf hidup rakyat pekerja.
Kita harus tahu bahwa kepentingan imperialis besar seperti Jerman dan Prancis untuk mengintegrasikan perekonomian dengan mengikat negara-negara anggota mereka pada satu mata uang tunggal seperti pedang bermata dua. Meskipun semua pembicaraan mereka mengenai liberalisasi dan perdagangan bebas, ada sebuah perjuangan sengit di dalamnya. Mereka masing-masing berusaha menjaga dan melindungi pasar mereka sendiri sembari menuntut lebih banyak akses ke pesaingnya. Oleh karenanya sekarang negara-negara pinggiran seperti halnya Yunani, Italia, Portugal dan Spanyol menjadi bulan-bulanan bagi para para imperialis ini. Mereka tidak dapat bersaing dengan kekuatan produksi dari negara-negara besar seperti Jerman dan Prancis. Karenanya mereka dikutuk untuk menanggung beban defisit perdagangan.
Ini mengingatkan kita akan baris-baris yang ditulis oleh Marx dalam Manifesto Komunis bahwa, “Harga murah komoditas adalah artileri berat yang digunakan oleh borjuasi untuk menghancurkan semua tembok China, yang digunakannya untuk menaklukkan kebencian berkepala batu dari kaum biadab terhadap orang-orang asing. Ia memaksa semua bangsa, dengan ancaman akan musnah, untuk mengadopsi cara produksi borjuis; ia memaksa mereka untuk memperkenalkan apa yang mereka sebut peradaban ke tengah-tengah lingkungan mereka, yaitu, supaya mereka sendiri menjadi borjuis. Pendek kata, ia menciptakan dunia menurut rupanya sendiri.”
Pada periode boom kapitalis beban defisit ini masihlah belum menjadi halangan yang berarti. Sang kreditor masih punya cukup banyak cadangan uang untuk mengatasi hal itu. Tapi ketika periode boom ini berakhir, beban defisit kemudian menjadi beban yang tak tertanggungkan yang bahkan mengancam keberadaan sang pemberi pinjaman. Paham akan hal ini, Christine Lagarde, Direktur IMF, mengungkapkan: “Melihat kondisi yang ada, mungkin sebaiknya kita memberi tambahan waktu”. Inilah mengapa pihak pemberi pinjaman saat ini rela memberi kelonggaran bagi utang Yunani.
Penutup
Krisis Eropa masih di depan mata kita. Krisis ini jauh daripada terselesaikan. Liberalisasi dan perdagangan bebas yang diagung-agungkan bisa menyelesaikan sekat-sekat sempit nasionalisme ternyata bahkan mempertajam kontradiksi ini. Sejauh integrasi ekonomi berdiri di atas basis kapitalis, ia hanya akan mempersiapkan kekacauan yang bahkan jauh lebih besar di hari depan. Kapitalisme telah lama menghabiskan potensi progresifnya. Pada era sekarang ia hanya menghindar dari satu krisis ke krisis yang lain. Ia telah membangkitkan kebencian yang sangat mendalam di antara kaum muda dan rakyat pekerja terhadap tatanan yang ada. Mereka memahami kaum kaya hanya menjadi parasit bagi masyarakat. Ketika kaum kaya dilanda kebangkrutan, negara dipaksa oleh bank untuk melakukan bailout kepada kelas ini sembari menginjak kakinya ke punggung kelas pekerja. Ini membuktikan bahwa negara tidak lebih daripada alat dari kediktatoran bank-bank, dan sindikat-sindikat bisnis besar. Seperti halnya pemerintahan Yunani yang sekarang tunduk terhadap kebijakan-kebijakan Troika.
Krisis Yunani telah membawa partai kiri Syriza ke tampuk kekuasaan. Ini bukan sebuah kebetulan. Masyarakat yang sedang dilanda krisis selalu mencari saluran yang paling revolusioner. Kendati partai Syriza sekarang telah mengkhianati program awal mereka, suksesi kepemimpinan revolusioner ini akan selalu hadir di dalam setiap situasi revolusioner. Tidak ada jalan lain, lewat trial and error rakyat pekerja akan menyeleksi kepemimpinan mereka. Sayangnya, tidak ada kepemimpinan Bolshevik di Yunani untuk memenangkan pertarungan sejarah ini. Pemerintahan Syriza tunduk terhadap batas-batas borjuasi dan tidak berani melangkah. Kaum muda dan rakyat pekerja akan belajar dari ini. Cepat atau lambat, kaum muda dan rakyat pekerja revolusioner ini akan meraih kesimpulan bahwa hanya dengan mempelajari Bolshevisme mereka akan bersama-sama memimpin jalan ke dunia sosialis.
Pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak akan bisa menyelesaikan kontradiksi kapitalisme, tetapi justru akan semakin mempertajamnya. Terlebih karena MEA dibentuk justru ketika kapitalisme sedang memasuki krisisnya yang paling dalam, berbeda dengan Uni Eropa yang dibentuk pada masa kebangkitan ekonomi kapitalisme. Mimpi basah kaum kapitalis Asia Tenggara akan sebuah pasar bebas yang sebebas-bebasnya akan terbentur pada realita kapitalisme yang pahit, dan justru akan menciptakan situasi politik yang meledak-ledak seperti di Yunani, cepat atau lambat.