Pengantar
“Pulihnya Asia secara mencengangkan” –kepala berita semacam ini
mulai bermunculan di koran dalam beberapa bulan terakhir. Rupanya,
setelah diguncang dampak crash pasar modal di tahun 1997, kini mereka
dengan penuh cemas mencari tanda-tanda kebangkitan kembali di Asia
dan Eropa sebagai bukti bahwa dunia telah terhindar dari resesi.
Sekali lagi para pendukung apa yang disebut Paradigma Ekonomi Baru
memproklamirkan kejayaan pasar bebas. Namun demikian, kejayaan
seperti itu tidak mempunyai dasar ilmiah. Para perwakilan modal yang
serius mencermati prospek ekonomi dunia dengan keprihatinan yang
terus meningkat.
Mari kita mulai dengan pemulihan di Asia. Klaim-klaim tentang
pemulihan ini jelas dibesar-besarkan dan tidak mampu menjelaskan
fakta bahwa dua (kekuataan) ekonomi di kawasan tersebut mengalami
krisis yang mendalam. Tentang harapan kaum borjuis yang
berlebih-lebihan mengenai pemulihan di Asia, Stratfor memberi ulasan
yang lebih tajam dari biasanya:
“Asia memang membaik. Namun demikian, keadaan itu bisa malah makin
memburuk. Bagaimanapun, dalam pandangan kami, kita tengah mengalami
dua fenomena. Pertama, kita menyaksikan kenaikan siklis dalam suatu
penurunan jangka panjang. Tidak ada yang bergerak dalam garis lurus
dan peningkatan dalam depresi umum Asia adalah hal yang tak
terhindarkan, seperti juga peningkatan pada depresi Amerika di tahun
1930-an. Netapapun, negara-negara kunci di Asia seperti Jepang dan
Cina setahun belakangan ini telah gagal memecahkan masalah-masalah
struktural mereka. Masalah-masalah struktural yang mendalam tersebut
dengan keras membatasi kemampuan pembentukan modal mereka, dalam hal
bahwa tiap kenaikan menciptakan uang yang digunakan untuk meringankan
masalah utang jangka pendek, tanpa menciptakan modal jangka panjang.”
(Stratfor Weekly Analysis, July 6, 1999)
Dengan kata lain, apa yang kita saksikan di Asia bukanlah awal
dari pemulihan abadi, namun hanya kenaikan sementara yang bisa
diamati dalam turunnya ekonomi. Krisis di Asia, sebagaimana akan kita
lihat, sama sekali belum selesai. Namun kelanjutan dari boom di
Amerika Serikat memiliki arti bahwa dampak darinya akan ini lebih
panjang dari yang pernah diharapkan. Hanya inilah satu-satunya
(kekuatan ekonomi) yang muncul di dunia saat ini. Namun justru inilah
yang membuat kuatir para ahli strategi Kapital.
Bagaimana menjelaskan pemulihan parsial sekurangnya beberapa
ekonomi negara Asia? Pernyataan bahwa ekonomi kapitalis bergerak
dalam fluktuasi tanpa henti tak perlu dikomentari secara khusus.
Bahkan kemerosotan yang paling dalam pun akan diikuti oleh kenaikan
di saat tertentu. Maka tidaklah mengherankan bahwa setelah krisis
musim panas 1997, ekonomi beberapa negara Asia menunjukkan
tanda-tanda pemulihan parsial. Sepanjang ekonomi Amerika tetap tumbuh
dan menyerap ekspor luar negeri, ekonomi Asia berpeluang untuk
mengekspor surplus komoditi tak terjual mereka, proses yang sangat
ditolong oleh devaluasi mata uang mereka yang membuat ekspor mereka
lebih murah daripada sebelumnya.
Elemen lain dalam persamaan ini adalah apa yang disebut kaum
Marxis sebagai hukum perkembangan gabungan dan tak seimbang. Dari
jauh-jauh hari lalu Marx dan Engels sudah menjelaskan bahwa
kapitalisme berkembang sebagai pasar dunia. Ramalan brilyan ini
sekarang ditunjukkan oleh fenomena globalisasi. Namun ini tidak
berarti bahwa ketimpangan kapitalisme dihapuskan, atau kenaikan atau
kemerosotan terjadi secara simultan di seluruh ekonomi dunia.
Kapitalisme tidak berkembang dalam waktu bersamaan dan dengan cara
yang sama di semua bagian dunia. Siklus ekonomi juga tidak terjadi
dengan mulus dan lancar di semua bagian ekonomi dunia. Malah
sebaliknya. Ciri kapitalisme yang paling menonjol adalah anarki
kekuatan produktif. Ini tetap benar walaupun ada dominasi
monopoli-monopoli besar, intervensi IMF dan Bank Sentral dan fenomena
globalisasi yang banyak disebut.
Bahkan di masa transaksi finansial dan ekonomi terjadi dengan
kompurisasi teknologi tinggi, proses-proses ini memerlukan waktu
untuk melapangkan jalannya lewat ekonomi dunia. Memakan waktu satu
tahun bagi devaluasi mata uang Thai untuk mencapai Rusia. Rusia gagal
membayar utangnya bulan Agustus 1998. Kemudian, devaluasi di Brazil
terjadi Januari 1999 -satu setengah tahun kemudian. Di Asia sendiri,
efeknya lebih langsung, mendorong terjadinya kolaps yang satu
menyusul yang lain, dan menimbulkan pergolakan kelas di Korea
Selatan, krisis politik serius di Malaysia, dan lebih dari semua itu
mulainya revolusi di Indonesia.
Proses mendalam yang mempengaruhi ekonomi dunia butuh waktu untuk
muncul. Efek kemerosotan di America di tahun 1929 butuh waktu untuk
mencapai Eropa. Ekonomi Prancis, yang relatif terbelakang, mulai
mengalami kemerosotan tiga atau empat tahun kemudian, ketika Amerika
sudah mulai bangun dari krisis. Ketidakseimbangan tersebut terlihat
dalam setiap krisis kapitalis, dan krisis yang sekarang ini terjadi
bukanlah pengecualian. Fenomena pembangunan tak seimbang, yang dulu
sudah dijelaskan Marx dan Lenin, juga dipahami oleh beberapa ahli
ekonomi borjuis. Dengan demikian, Stratfor dengan tepat menunjukkan
bahwa adalah keliru untuk berbicara tentang “Asia” seakan-akan
sebagai entitas ekonomi homogen yang tunggal:
“Fenomena kedua yang kita saksikan di Asia adalah diferensiasi
antar negara. Tidak lagi masuk akal untuk berpikir tentang Asia
sebagai entitas tunggal ketika membicarakan ekonomi. Sebelumnya
mungkin bisa dimengerti, paling tidak dalam pengertian bahwa hampir
semua bangsa Asia menuju arah naik yang sama. Kini, mereka bahkan
tidak mempunyai satu arah umum yang sama. Beberapa kelihatannya
benar-benar membaik, seperti Korea Selatan. Yang lain bergerak ke
pinggir. Beberapa yang lain masih terbenam. Namun, dalam pandangan
kami, yang paling penting adalah dua mesin Asia, yaitu Jepang dan
Cina, kendati adanya peningkatan pasar modal akhir-akhir ini dan
angka-angka ekonomi yang menjanjikan, tidak akan bergerak maju tanpa
restrukturisasi internal besar-besaran, yang belum terlaksana. Mereka
masih terjebak dalam masalah-masalah struktural yang pada mulanya
menyebabkan masalah (kemerosotan) tersebut dan, karena mereka adalah
pusat tenaga Asia, trend umum akan mengikuti kesuanya walaupun
terdapat perbedaan masing-masing negara. Dalam pandangan kami, trend
tersebut masih menurun. Dengan demikian, tuntutan Asia akan
meningkat, namun tidak jelas bahwa tuntutan ini akan meningkat secara
dramatis atau akan meningkat secara permanen.” (Stratfor Weekly
Analysis, July 6, 1999).
Kendati terjadi semua kegegeran tentang pulihnya Asia, posisi
sebenarnya tidaklah seoptimistik sebagaimana yang diinginkan para
propagandis pasar untuk kita percayai. Pemulihan parsial Korea
Selatan dan beberapa ekonomi Asia tidak berarti bahwa mereka telah
kembali pada jaman kejayaan “Macan Asia.” Pemulihan ini sangat lemah
bila dibandingkan dengan masa lalu. Mereka bahkan belum bisa menutup
merosotnya produksi dalam dua tahun terakhir. Ekonomi-ekonomi Asia
Timur masih beroperasi di bawah kapasitasnya. Pengangguran masih
tetap tinggi dan barang-barang yang tidak terjual masih bertumpuk.
Pemulihan ini bahkan jauh dari menjanjikan. Kemerosotan di Amerika
–atau bahkan devaluasi mata uang Cina– akan melempar seluruh
kawasan ke dalam kekacauan baru yang bahkan lebih dalam.
Walaupun terjadi pertumbuhan di Korea Selatan, Thailand dan
Malaysia (bahkan juga di Indonesia dalam derajad yang lebih rendah)
pada paruh pertama tahun ini, dua ekonomi kekuatan utama Asia
&endash;Jepang dan Cina–masih terjerat dalam berbagai kontradiksi
tak terpecahkan. Namun tanpa kenaikan serius dan langgeng dari dua
ekonomi ini, masa depan Asia masih tetap diselimuti oleh
ketidakpastian dan tergantung pada setiap gejolak ekonomi dunia,
terutama Amerika Serikat. Inilah satu-satunya yang menyebabkan
terjadinya pemulihan saat ini –lemah. Dan hal ini tidak akan
berlangsung lama.
Krisis Overproduksi
Krisis di Asia adalah krisis klasik overproduksi. Dalam
terbitannya 20 Februari 1999, The Economist menulis:
“Berkat over-investasi besar-besaran, khususnya di Asia, dunia
kita terbenam dalam chip-chip komputer, baja, mobil, tekstil, kapal,
dan bhan-bahan kimia. Sebagai contoh, setidaknya sudah terhitung 30
persen kapasitas Industri mobil yang tidak digunakan di seluruh
dunia, namun pabrik-pabrik baru di Asia masih bermunculan.”
Berbagai ketidakpastian prospek Asia ditangkap oleh para
komentator borjuis yang paling serius. The Economists
(21/8/99) berkomentar:
“Resiko yang jelas dari pemulihan ini datang dari luar Asia
Tenggara. Karena kekacauan ekonomi Jepang telah membantu memberikan
permintaan segala hal dari barang-barang elektronik, jasa turis,
hingga timber, pembalikan akan berarti berita buruk. Jika Cina, yang
tetap tumbuh dalam kemerosotan, mengalami krisisnya sendiri,
dibarengi dengan devaluasi tajam mata uangnya, Yuan, setidaknya
kepercayaan regional akan memukulnya. Jika ekonomi Amerika–khususnya
permintaan barang elektronik–berubah-ubah, hal ini juga akan
memberikan pukulan yang berat. Lalu akan timbul malapetaka keuangan
yang mungkin disebabkan oleh kolapsnya Wall Street.”
Pandangan pesimistik ini juga dimiliki oleh para ahli strategi
Kapital yang lain. Dalam ramalannya kuartal ke tiga (26/7/1999)
Stratfor menggarisbawahi hal ini:
“Dalam beberapa minggu terakhir, media-media besar telah
mengumumkan akhir dari melelehnya ekonomi Asia. Secara keseluruhan
masalahnya bukan ini. Pandangan ini benar hanya dalam dua pengertian.
Pertama, Asia sudah lumpuh. Karenanya kelumpuhan ini sudah berakhir.
Ini jauh dari mengatakan bahwa ada pemulihan nyata di Asia. Mari kita
lihat secara lain,krisis Asia sudah selesai, dalam pengertian bahwa
ini bukan lagi krisis, namun malaise jangka panjang. Kedua, memang
ada pemulihan di beberapa negara, namun bukan pemulihan Asia secara
keseluruhan. Pada kenyataannya, pandangan kami malah berlanjut bahwa
dua kekuatan ekonomi paling besar di Asia, Jepang dan Cina, sedang
menuju pada depresi dalam yang tak bisa diperbaiki.”
Ini adalah pemikiran-pemikiran tentang perpektif bagi Asia dari
para analis kapitalis yang punya pandangan paling jauh.
Cina dalam krisis
Fakta bahwa Cina terus tumbuh dengan kecepatan tinggi –sekitar
delapan persen– dianggap sebagai tanda positif. Sebenarnya, ini
adalah masalah serius. Banyak dari barang-barang yang diproduksi oleh
industri China tidak bisa dijual, baik di dalam negeri maupun ke
negara-negara Asia yang lain. Overproduksi yang masif sekarang
terjadi di Cina. Ini ditunjukkan oleh fakta bahwa Beijing telah
menghentikan produksi barang-barang konsumsi, setelah dasar harga dan
subsidi ekspor gagal menghentikan naiknya harga-harga.
Penghentian yang dimulai 1 September ini meliputi produk-produk
dari mulai VCD player, oven microwave, lemari es, dan AC, sampai
sepeda, pasta gigi, tas plastik, permen, garam, jus apel, hingga
minuman keras. Selain itu, embargo juga dilakukan atas konstruksi
apartemen mewah, hotel, department store, dan kantor-kantor. Stratfor
berkomentar: “Turunnya permintaan meluas hingga real estat, dan Cina
menghadapi kelebihan barang yang melimpah ruah di pasar. Menurut
Associated Press, kota tepi pantai Shangai yang pernah mengalami
booming mempunyai tingkat hunian kantor (office-vacancy rates) hingga
70 persen. Boom yang telah menghiasi cakrawala Shanghai dengan
mesin-mesin konstruksi dan bangunan-bangunan baru tersebut telah
bangkrut, dan jika Shanghai tidak mampu menarik para penyewa bisnis,
(keadaan) dalam negeri Cina hanya akan mengalami pembalikan penuh.”
Stratfor berkomentar: “Pasar domestik Cina stagnan, dengan warga
yang khawatir tentang ancaman pengangguran menyimpan uang mereka di
bawah kasur ketimbang membelanjakannya. Dengan pasar yang mandeg,
para produser Cina memangkas harga, dengan demikian memberikan
ancaman bahwa ketakutan akan pengangguran akan menjadi kenyataan
dengan memaksa mereka sendiri dalam kebangkrutan. Beijing telah
berusaha untuk memperlambat spiral deflasioner, dengan memaksakan
dasar harga untuk beberapa produk.
“Cina terjebak dalam krisis overproduksi dan konsumsi rendah.
Kepercayaan konsumen telah runtuh, dan demikian juga permintaan
domestik. Sementara itu, walaupun ada subsidi pajak yang melimpah
pada ekspor, Cina tidak mampu mengekspor jalan keluar dari
krisis.” (Stratfor, Agustus 1999, huruf miring dari kami)
Akibatnya tak bisa dihindari. Dihantam oleh depresi mendalam dan
runtuhnya permintaan domestik, Cina mungkin akan dipaksa untuk
melakukan devaluasi. Namun devaluasi terhadap Yuan akan memicu arus
baru devaluasi di Asia yang akan menggoncang pemulihan lemah saat ini
dan memberikan gelombang hantaman baru pada ekonomi dunia.
Kendatipun demikian, bahkan tidaklah jelas apakah devaluasi Yuan
akan memecahkan masalah Cina. Sejauh ini Beijing menolak devaluasi
sebab hal itu akan berdampak pada utang luar negeri Cina dan dollar
Hongkong. Ada peningkatan ekspor dalam dua bulan terakhir, dan ini
akan menunda saat-saat susah selama mungkin. Namun kelihatannya
hasilnya tak bisa dihindari. Perselisihan dagang antara Cina dan
Amerika semakin tajam. Mayoritas kaum Republikan sayap kanan di
Konggres, yang selamanya cenderung pada isolasionisme, berkeras untuk
menghalangi masuknya Cina dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Secara tak terelakkan, tendensi proteksionis pasti akan meningkatkan
penurunan, atau bahkan kemerosotan dalam ekonomi AS. Dalam iklim
seperti ini, devaluasi kompetitif akan menjadi keharusan.
Tanda tanya besar saat ini berada di atas masa depan kapitalisme
di Cina. Tidak seperti di Rusia, birokrasi Cina memegang kekuasaannya
dengan kuat ditangannya. Terancam oleh ledakan revolusioner pekerja
dan petani, akan sangat mungkin bagi birokrasi untuk kembali pada
kebijakan pemilikan negara dan perencanaan terpusat. Para kapitalis
asing telah kehilangan kepercayaannya pada keajaiban Cina. Pertama
kali dalam dua puluh tahun terjadi penurunan dalam investasi asing,
walaupun secara keseluruhan investasi asing ini masih tetap tinggi:
45 milyar dollar tahun 1998 dan sekitar 30 milyar di tahun 1999.
Tetapi dalam perbandingannya dengan ukuran ekonomi Cina, jumlah
tersebut belum memadai untuk memecahkan masalah-masalah fundamental.
Pemerintah sadar betul akan potensi kerusuhan sosial dan perkembangan
revolusioner. Mereka berada di bawah tekanan untuk menutup
industri-industri milik negara, namun takut akan konsekuensi
pengangguran besar-besaran. Sektor swasta tidak dalam posisi menyerap
jutaan buruh yang akan kehilangan pekerjaan.
Di masa terjadi kemerosotan serius dalam kapitalisme dunia, proses
ini akan mengalami percepatan yang dahsyat. Stratfor menarik
kesimpulan penting:
“Cina kehabisan pilihan. Jika devaluasi tidak berjalan, masih ada
potensi bagi pengendalian mata uang internal–pilihan yang membawa
bencana bagi mitra joint-venture asing dan perusahaan-perusahaan
asing yang terdaftar di Cina, yang menggunakan bank-bank Cina, dan
berdagang dalam Yuan. Bersamaan dengan kontrol negara yang lebih
besar, ada peluang untuk saling tuduh. Cina telah menyatakan perang
terhadap korupsi, memperkarakan sekitar 244.000 “kejahatan ekonomi”
pada paruh pertama 1999– 28,6 persen lebih tinggi dari paruh pertama
1998. Upaya kecil Beijing untuk reformasi ekonomi tanpa gangguan
sosial telah gagal. Kini tiba saatnya untuk mengambil tindakan keras
dan upaya untuk kembali pada kontrol terpusat.” (ibid.)
Jepang–resesi berlanjut
Runtuhnya model Jepang dengan sendirinya menghadirkan titik balik
yang fundamental. Pada prakteknya selama periode pasca perang, Jepang
berperan sebagai salah satu kekuatan pendorong utama ekonomi dunia.
Dan kini Jepang telah mengalami krisis selama satu dekade. Jepang
telah mendapati dirinya ada dalam krisis deflasioner &endash;inilah
negara kapitalis maju pertama yang mengalami gejala ini sejak tahun
1930-an. Ini adalah peringatan keras bagi (negara kapitalis) lainnya.
Selama tiga tahun terakhir, harga rata-rata tahunan konsumsi di
Jepang meningkat hanya sebesar 0,8 persen. Ini bukan refleksi dari
meningkatnya produktivitas dan turunnya biaya, namun cerminan dari
lemahnya permintaan dan kapasitas berlebihan (overproduksi). Dalam
kaitannya dengan harga produksi, situasi bahkan jauh lebih dramatis.
Harga ini telah jatuh tujuh kali dalam sembilan tahun terakhir.
Hingga Juli (1999) upah rata-rata dalam manufaktur di Jepang jatuh
3,2 persen.
Para ahli ekonomi kaum borjuis telah mengelaborasi suatu sistem
untuk mengukur kinerja ekonomi suatu negara dengan membandingkan
pertumbuhan ekonominya sekarang dengan angka yang dianggap mewakili
tingkat pertumbuhan berkesinambungan dalam sejarah negara itu.
Kendati wataknya yang agak arbitrer, metode ini bisa memberi gambaran
kasar tentang masalah yang dihadapi Jepang. Selisih output Jepang
saat ini adalah delapan persen–angka yang sangat besar, dan lebih
besar dari negara kapitalis maju lainnya sejak 1930an. Jadi, ekonomi
terbesar di Asia terjerat dalam resesi. Sembarang guncangan serius
akan mendorongnya ke tepi jurang. Kondisi seperti ini berarti
kemerosotan dalam yang ditandai, seperti di 1930-an, oleh turunnya
permintaan, turunnya harga dan turunnya pinjaman bank, yang mengarah
pada pemotongan investasi produktif dan stagnasi dan runtuhnya
ekonomi umum.
Apa yang menjadi keprihatinan bagian dunia yang lain
&endash;terutama Amerika Serikat– adalah ancaman runtuhnya sistem
finansial Jepang. Karena Jepang adalah pemberi pinjaman terbesar di
dunia, penarikan pinjaman bisa memicu keruntuhan umum sistem
finansial dunia, dengan dampaknya yang membawa bencana.
Ketergantungan yang tinggi dari ekonomi dunia pada AS menciptakan
posisi yang timpang yang mengancam stabilitas semuanya. Tepatnya
karena kelas penguasa AS menyadari bahwa mereka tidak bisa
mempertahankan situasi ini tanpa batas, Washington memberikan tekanan
berat pada Jepang untuk “mengambil sebagian beban ini” dengan
meningkatkan aktivitas ekonominya untuk menyerap lebih banyak ekspor
dari Asia. Suntikan modal berulang-ulang oleh negara &endash;yang
mencapai sekitar satu trilyun dollar selama enam tahun terakhir–
telah mendorong Jepang menjadi salah satu negara di muka bumi yang
banyak berhutang. Namun walaupun telah banyak uang yang dikucurkan
oleh pemerintah untuk ekonomi, Jepang masih berada dalam kubangan
resesi, sebagaimana diakui Stratfor:
“Jepang melaporkan angka-angka awal yang menunjukkan ekonominya
berkontraksi sekali lagi kuartal yang lalu, mengakhiri apa yang
nampak sebagai pemulihan. Sebagaimana kita telah berargumen, Jepang
tengah mengalami pantulan jangka-menengah dalam penurunan jangka
panjang. Masalah esensialnya adalah tingkat kembalinya modal yang
rendah. Dengan kata lain, keuntungannya terlalu rendah untuk
sepenuhnya memberi modal pada ekonominya; tidak bisa menarik
investasid dari luar, tidak pula memiliki sarana struktural untuk
mengintegrasikan investasi skala besar. Satu-satunya jalan keluar
dari dilema ini adalah restrukturisasi yang amat menyakitkan bagi
ekonomi Jepang, termasuk kebangkrutan besar-besaran, pengangguran dan
kesengsaraan. Ini akan berlangsung dalam satu generasi.” (huruf
miring dari penulis, AW)
Ini benar-benar merupakan perspektif yang paling luar biasa.
Negara yang tadinya merupakan tenaga penggerak kapitalisme dunia,
bangsa paling berhasil dan sejahtera di Asia, bangsa yang paling
kuat, saat ini berhadapan dengan “kebangkrutan, pengangguran dan
kesengsaraan” bagi satu generasi seluruhnya sebagai masa depannya!
Dengan adanya kekuatan kolosal proletariat Jepang, ini adalah resep
akhir perkembangan revolusioner di Jepang di masa mendatang.
Jepang mendapatkan tekanan yang berat untuk meningkatkan
ekonominya dengan apapun harganya. Alasan tekanan ini adalah bahwa
orang-orang Amerika menyadari bahwa seluruh ekonomi dunia sekarang
sangat tergantung pada mereka –suatu situasi yang tidak bisa
dipertahankan. Mereka ingin Jepang mengambil bagian beban ini, dengan
menyerap sebagian kelebihan produk yang membanjiri pasar-pasar Asia
saat ini. Namun saran macam ini lebih mudah diberikan ketimbang
dipraktekkan. Beberapa tahun terakhir Jepang telah mengeluarkan
nyaris satu trilyun dollar dengan sia-sia untuk merangsang ekonomi
mereka. Secara praktis dampak satu-satunya adalah mendorong Jepang
dalam utang. Ini tidak bisa begini terus. Hutang yang besar akan
menciptakan hambatan obyektif bagi ekspansi lebih lanjut terhadap
pengeluaran dan kredit publik, yang telah gagal untuk mencapai hasil
yang diharapkan. Nasib Jepang memberikan peringatan buram pada
reformis kiri yang berpikir bahwa adalah mungkin untuk mencari jalan
keluar dari krisis kapitalis dengan kembali pada teori-teori
Keynesianisme yang telah didiskreditkan.
Walaupun telah disuntik banyak uang publik, ekonomi Jepang masih
sangat rentan. Pada tujuh bulan pertama 1999, dengan fakta bahwa
tingkat bunga nominal Jepang mendekati nol, pinjaman bank jatuh
sebanyak 6,5 persen. Alasan bagi paradoks yang terang benderang ini
sangat sederhana. Bank dan perusahaan di Jepang sudah banyak hutang,
jadi untuk apa harus pinjam lebih banyak lagi? Lebih lanjut, jika
perusahaan Jepang melakukan investasi lebih banyak uang untuk
memperbesar kapasitas produksinya, kemana mereka akan menjual
barang-barang mereka? 40 persen ekspor Jepang ditujukan bagi Asia.
Pasar tersebut kini runtuh. Tanpa pemulihan serius yang nyata, tidak
masuk akal untuk meminta para kapitalis Jepang meningkatkan produksi.
Benar, beberapa ahli ekonomi berharap bawha besarnya investasi
publik akan menarik Jepang keluar dari resesi. Mereka menunjukkan
fakta bahwa ekonomi Jepang tahun ini telah menunjukkan pertumbuhan.
Namun kita berbicara tentang angka yang hanya 1,5 persen dalam
ekonomi yang sebelumnya sering mengalami tingkat pertumbuhan 10
persen atau lebih. Ini adalah angka yang menyedihkan. Untuk
menempatkan ini dalam konteksnya, tingkat pertumbuhan 1,5 persen
berarti bahwa GDP Jepang masih lebih rendah daripada GDP di tahun
1997! Kenaikan lemah saat ini tidak menunjukkan gerakan naik di
Jepang, namun hanyalah kenaikan sementara sebelum kemerosotan baru.
Walaupun kenaikan sekarang ini mungkin berlangsung beberapa bulan,
akhirnya harus berakhir dengan kemerosotan yang lebih tajam. Terlepas
dari fakta bahwa hal ini memiliki basis artifisial dalam pengeluaran
negara dan hutang publik, yang tidak bisa berlangsung terus menerus,
ada alasan-alasan obyektif bagi kesulitan ekonomi Jepang yang tidak
gampang dipecahkan. Tingkat kembalinya modal yang rendah dan
runtuhnya pasar utama di Asia berarti bahwa ekonomi Jepang tidak
mungkin mengalami pemulihan serius di masa mendatang yang dekat.
Sebaliknya, lebih mungkin untuk berkontraksi tidak hanya relatif pada
ekonomi global namun juga dalam hal-hal yang nyata. Gambaran umumnya
adalah gambaran spiral menurun. Namun ini bukan juga garis lurus.
Dalam gambaran umum yang menurun, bisa jadi ada kenaikan-kenaikan
sementara, seperti yang terjadi sekarang ini. Ini wajar dan melekat
dalam watak siklus kapitalis. Gerakan menurun itu sendiri bisa
melahirkan peluang bagi pembelian dan penjualan karena kontraksi
ekonomi menghasilkan jatuhnya harga. Ketika harga jatuh, peluang
pembelian bagi konsumen dan bisnis, menampakkan dirinya, sebagaimana
diterangkan Stratfor:
“Memang, permintaan (pasar) menunggu kemerosotan lebih lanjut,
kemudian berkelompok pada titik rendah, menciptakan lonjakan-lonjakan
dalam aktivitas ekonomi. Lonjakan-lonjakan ini tidak bisa
dipertahankan, karena mereka meningkatkan penggunaan
perusahaan-perusahaan yang sangat tidak efisien. Ini mengurangi
jumlah tingkat kembalinya modal, menutup permintaan efektif. Trend
utama mulai bekerja lagi.
“Begini sederhananya, ada permintaan nyata di Jepang tetapi
permintaan tersebut menunggu sampai harga-harga mencapai titik
rendahnya. Jepang berubah menjadi ekonomi di mana peningkatan dalam
aktivitas pemulung membentuk mesin pertumbuhan utama. Ketika kegiatan
memulung jenuh, ekonomi mulai kembali pada trend utamanya: kontraksi.
Itulah yang terjadi di Jepang sekarang. Lonjakan siklis nampaknya
berakhir, dan trend utama menuju kontraksi mulai lagi. Tidak ada
prospek segera bagi perubahan dalam situasi ini.”
Adakah jalan keluar dari kebuntuan ini? Stratfor mempertimbangkan
opsi-opsi di hadapan kapitalisme Jepang dan sampai pada kesimpulan
menarik berikut ini:
“Jika depresi tidak bisa diterima, maka Jepang tidak memiliki
kebijakan yang masuk akal. Jepang harus mempertahankan tingkat bunga
mendekati nol. Jika Jepang menaikkan tingkat bunga, yang diperlukan
untuk mendorong pembentukan modal dan investasi asing, ini akan
memicu gelombang kebangkrutan sambil mendongkrak nilai yen. Ini, pada
gilirannya, akan memotong ekspor, memangkas aliran tunai dan
menganggu stabilitas industri bank sekali lagi. Jika Jepang
mempertahankan bunga rendah, maka ini akan menghambat pembentukan
modal dan mendorong inefisiensi ekonomi.”
Cukup menggelikan mengikuti tikungan dan putaran para ahli ekonomi
borjuis dalam situasi seperti ini. Ancaman kemerosotan ekonomi
besar-besaran pada skala dunia memaksa mereka untuk terlibat dalam
berbagai macam akrobat dan jungkir balik di mana posisi yang
sebelumnya mereka pegang erat-erat mereka lepaskan dengan gembira
demi obat ajaib baru yang tidak berarti seperti obat yang lama. Maka
Paul Krugman, ahli ekonomi terkemuka dari MIT mendesak Jepang
memperluas ekonominya dengan cara mencetak uang. “Jepang butuh
kebijakan moneter yang tidak bertanggung jawab.” Seperti anak muda
“yang berani melayang di atas trapeze”, mereka yang ditasbihkan
sebagai pakar ini melayang di udara dengan nyamannya, dalam upaya
gila-gilaan untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan ini. Di masa
lampau Gereja Katolik Roma mengatakan bahwa “semua jalan menuju
Roma”. Kini para ahli ekonomi borjuis bisa menarik kesimpulan bahwa
semua jalan menuju ke kehancuran.
Tidak bisa diabaikan bahwa kehancuran ekonomi bisa mulai di
Jepang, bukan di AS. Ini akan terjadi bila sistem perbankan Jepang
kolaps, yang mana hal ini akan mengguncang dunia sampai pada
dasarnya.
Amerika–kunci ekonomi dunia
Kendatipun demikian, kunci ekonomi dunia masih saja Amerika
Serikat. Ketergantungan dunia pada raksasa transatlantik sudah
menjadi total. Boom di AS telah berlangsung selama sekitar delapan
tahun, dan, menyangkal semua prediksi yang berlawanan, nampaknya
terus berlanjut. Saat ini terjadi boom konsumen yang penting,
pekerjaan penuh dan pertukaran bursa yang meningkat. Ini adalah
fenomena yang diharapkan untuk dilihat pada puncak boom. Tidakkah ini
semua menggugurkan analisis Marxis?
Dalam setiap boom dalam sejarah, ada ilusi bahwa formula ajaib
telah ditemukan yang bisa selamanya mengakhiri siklus
boom-kemerosotan. Kini sekali lagi klaim tersebut dibuat oleh para
pendukung apa yang disebut dengan Paradigma Ekonomi Baru. Apa yang
dikatakan orang-orang ini? Dikatakan bahwa siklus ekonomi saat ini
mempunyai watak yang seluruhnya berbeda dengan siklus-siklus di masa
lalu. Fenomena seperti globalisasi dan teknologi informasi dikatakan
telah mentransformasi ekonomi sedemikian rupa sehingga resesi adalah
sesuatu dari masa lalu. Kombinasi tingginya pertumbuhan yang didorong
oleh produktivitas lebih tinggi, dibarengi rendahnya inflasi,
tingginya laba, ketenagakerjaan yang mendekati penuh dan boom pasar
modal, diklaim akan memberikan resep ajaib yang akan menciptakan
siklus pertumbuhan tanpa akhir.
Benar bahwa siklus yang berlangsung sekitar delapan tahun sekarang
ini termasuk panjang menurut standar pasca perang. Namun demikian,
secara historis siklus kapitalis memang selalu elastis. Pada masa
Marx siklusnya mendekati sepuluh tahun, sehingga siklus sekarang ini
tidak berarti belum pernah ada dalam perspektif sejarah. Kedua,
rujukan pada ekspansi delapan tahun agak salah arah, karena boom saat
ini mulainya agak lambat. Pada mulanya, sebagaimana telah kita
tunjukkan, ada sedikit investasi produktif. Hanya dalam empat atau
lima tahun terakhir (tepatnya sejak 1995) investasi produktif di AS
naik secara signifikan, dan kemudian, sebagaimana akan kita
tunjukkan, terbatas pada satu sektor proses produksi teknologi
informasi. Banyak klaim hebat sedang dibuat tentang teknologi
informasi. Memang, dalam jangka lebih panjang, ada implikasi penting
di sini, terutama bagi ekonomi sosialis terencana di masa mendatang
pada tingkat skala dunia. Namun saat ini tidak ada dasar untuk
melekatkan sifat ajaib atau apalagi revolusioner pada teknologi
informasi.
Dalam setiap siklus selalu ada penemuan baru yang membuka lapangan
baru bagi investasi. Di halaman-halaman Manifesto Komunis, Marx dan
Engels memaparkan bahwa sistem kapitalis hanya bisa hidup dengan
melakukan revolusi secara konstan pada alat-alat produksi. Siklus
sekarang ini tidaklah berbeda. Namun klaim besar tentang teknologi
informasi hampir tidak tahan pengujian ketat. Tidak bisa serius
dipertahankan bahwa dampak teknologi ini akan lebih revolusioner
daripada penggunaan mesin uap dalam Revolusi Industri, atau
penggunaan kereta api di akhir abad sembilan belas, atau
penemuan-penemuan lain seperti kapal uap, telegram, telepon, radio,
listrik, atau mesin pembakaran internal, produksi massa, bahan-bahan
kimia, plastik, pesawat terbang, televisi, dan banyak lainnya. Dampak
dari semua ini lebih besar dari teknologi informasi, atau yang jelas
tidak lebih kecil. Terlepas dari klaim-klaim besar tentang teknologi
informasi, tidak ada bukti nyata bahwa teknologi informasi berdampak
besar pada ekonomi AS secara keseluruhan.
Secara kuantitatif, jumlah uang yang ditanamkan pada teknologi
informasi tidak bisa dibandingkan dengan jumlah uang yang ditanamkan
pada kereta api di AS dalam dekade-dekade terakhir abad 19, misalnya.
Sebagai kekuatan pendorong ekonomi AS, teknologi baru tidak bisa
mulai dibandingkan dengannya. Mari kita lihat angka-angkanya.
Investasi bisnis di AS telah meningkat jauh lebih banyak selama enam
tahun terakhir, dari 13 persen GDP menjadi sekitar 18 persen, namun
ini terbatas pada sebagian kecil ekonomi AS, yaitu teknologi
informasi, atau tepatnya manufaktur komputer. Untuk menempatkannya
dalam konteks, sektor ini mencapai lebih dari satu persen output
manufaktur AS.
Potensi besar teknologi baru ini tidak diragukan lagi. Perencanaan
produksi menjadi lebih mudah; inventori bisa dikurangi; waktu
pengiriman bisa dipangkas; watak distribusi mengalami transformasi;
ini mengarah pada semua jenis inovasi produksi; dan yang terakhir
yang tidak kalah pentingnya, ada akses gampang pada informasi terbaru
bagi semua orang. Ini punya implikasi besar bagi masyarakat masa
depan, tidak hanya dalam bidang produksi. Namun disini kita membatasi
penggunaan teknologi informasi sekarang ini dalam kapitalisme dan
ekonomi pasar yang mengejar laba. Pada prinsipnya, teknologi baru
harus meningkatkan fleksibilitas barang-barang modal dan membuat
investasi modal menjadi lebih produktif, dengan demikian mendorong
lebih besar investasi dan substitusi modal bagi tenaga kerja (langka,
mahal). Namun demikian, di dunia nyata, semuanya tidak sesederhana
ini! Henry Ford pernah mengatakan: “Saya tidak berbisnis untuk
membuat mobil, namun untuk membuat uang.” Tujuan para kapten industri
tidaklah berbeda. Sebagaimana dijelaskan Marx, para kapitalis pertama
yang memasuki bidang baru investasi bisa mengeruk laba yang sangat
besar. Bill Gates, kini orang terkaya di muka bumi, adalah contoh
bagus untuk ini. Namun segera nanti para kapitalis yang lain akan
menumpuk di bidang yang sama dalam upaya mati-matian mengeruk laba.
Tingkat laba segera menjadi rata-rata. Tahap inilah yang saat ini
dicapai AS di mana laba dahsyat awal dalam teknologi informasi
menyebabkan kemandegan dan bahkan kemerosotan.
Marx menjelaskan hukum fundamental ekonomi kapitalis: bahwa laba
para kapitalis adalah tenaga kerja buruh yang tidak dibayarkan.
Karena itu, peralihan dari buruh ke mesin (walaupun ini progresif dan
perlu) pada akhirnya melahirkan kontradiksi seperti ini: kapitalis
tidak bisa memeras sedikitpun nilai lebih dari mesin. Hanya tenaga
kerja manusia yang mempunyai watak menghasilkan nilai baru. Karena
itu, pengenalan mesin penghemat tenaga kerja, yang secara logis
seharusnya membawa pada pengurangan hari kerja, kondisi awal bagi
pembebasan sejati umat manusia dari perbudakan upah, dalam prakteknya
selalu menuju pada peningkatan eksploitasi dan khususnya peningkatan
jam kerja (nilai lebih absolut) atau intensitas kerja (nilai lebih
relatif), atau keduanya.
Benar bahwa teknologi baru telah meningkatkan produktivitas pada
sektor yang dimaksudkan. Hampir tidak bisa lain! Tujuan utama semua
teknologi baru adalah untuk meningkatkan produktivitas lewat ekonomi
waktu kerja. Kalau tidak, tidak akan ada gunanya investasi ke sana.
Pada dekade yang lalu, nilai tambah tiap pekerja dalam sektor
teknologi informasi meningkat hingga rata-rata tahunan 10,4 persen:
peningkatan yang penting. Namun yang tidak jelas adalah bahwa ini
punya dampak dalam mendorong produktivitas ekonomi AS secara
keseluruhan. Statistik lebih memberikan kesan sebaliknlya: tidak
ada peningkatan produktivitas dalam ekonomi AS secara keseluruhan
dalam periode terakhir. Investasi pada komputer di AS meningkat 14
kali sepanjang 1990an. Namun investasi yang lain hampir tidak
meningkat sama sekali. Boom dalam teknologi informasi lebih merupakan
pengecualian ketimbang trend umum. Fakta ini menunjukkan tingkatan di
mana pertumbuhan di AS tergantung pada sektor tunggal, dan harus
berjaya atau rutnuh bersamanya.
Robert Gordon, profesor ilmu ekonomi dari Northwestern University,
menyatakan:
“Performa produktivitas sektor manufaktur ekonomi AS sejak 1995
lebih banyak memalukan ketimbang mengagumkan. Tidak hanya pertumbuhan
produktivitas dalam manufaktur tahan lama melambat dalam 1995-99
dibandingkan dengan 1972-92, namun pertumbuhan produktivitas dalam
manufaktur komputer yang tahan lama telah menurun lebih banyak.”
(The Economist, 24/9/99.)
Para pendukung Paradigma Ekonomi Baru mengklaim bahwa pencapaian
produktivitas mewakili “trend sekuler” dalam ekonomi AS. Pada
kenyataannya yang nampak adalh bahwa pertumbuhan produktivitas sedang
mencapai batas-batasnya. Ini ditunjukkan oleh angka-angka yang paling
baru. Setelah kenaikan besar pada kuartal pertama 1999 (3,6 persen)
kemudian merosot tajam menjadi hanya 0,6 persen pada kuartal ke dua.
Ini menunjukkan kekosongan pernyataan bahwa Paradigma Ekonomi Baru
berarti bahwa produktivitas diatur untuk meningkat terus menerus.
Pada kenyataannya pernyataan ini tidak didasarkan atas bukti empiris
apapun.
Dalam setiap boom kita melihat antusiasme irasional mereka yang
terlibat dalam pengejaran laba besar, yang bagi mayoritas berubah
menjadi ilusi. Pada titik tertentu, over-investasi membawa
over-produksi, sebagaimana dijelaskan Marx:
“Alasan pamungkas bagi krisis nyata selalu kemiskinan dan konsumsi
massa yang terbatas berhadapan dengan dorongan produksi kapitalis
untuk membangun kekuatan produktif seakan-akan kekuatan konsumsi
absolut masyarakat menentukan batas-batas mereka.” (Marx,
Capital, vol.3, hal. 472-3)
Tahap ini telah dicapai di Asia yang menderita over-produksi
barang-barang: komputer, chips, mobil, baja, tekstil, video,
televisi, dan lain-lain. Ini pada gilirannya menyebabkan jatuhnya
harga-harga, dan tidak hanya di Asia. Runtuhnya pasar Asia dan
membanjirnya barang-barang murah di pasar dunia (terutama AS)
memberikan dorongan lebih lanjut pada harga-harga di AS sendiri,
dimana pasar menjadi semakin padat. Pada tahap dalam siklus inilah
bahwa kontradiksi-kontradiksi sistem produksi kapitalis mulai
menampakkan dirinya. Teknologi baru tidak berarti menghapus
kontradiksi-kontradiksi ini.
Batas-batas Akumulasi Kapitalis
Kendati penampakannya berlawanan, di dalam fondasi sistem
tersebut, hukum-hukum lama yang tak terhindarkan dengan diam-diam
namun kuat mewujudkan diri. Sejalan dengan terakumulasinya modal,
proporsi modal konstan berbanding modal variabel meningkat,
menimbulkan perubahan dalam komposisis teknis modal. Dalam pengertian
absolut, modal variabel bisa meningkat (lebih banyak buruh
dipekerjakan). Namun proporsi tenaga kerja hidup dalam kaitannya
dengan modal konstan akan menurun. Walaupun demikian, meningkatnya
produktivitas tenaga kerja dibarengi oleh menurunnya bagian modal
variabel (upah). Dan walaupun upah nominal dan nyata mungkin naik,
tingkat eksploitasi meningkat.
Perlombaan mengejar laba secara gila-gilaan tak dapat dihindari
menyebabkan terjadinya overproduksi. Overproduksi selalu muncul di
puncak boom, mendahului keruntuhan. Perusahaan-perusahaan berusaha
membuang stock barang-barang yang tak terjual. Ada persaingan
gila-gilaan memotong harga, memberikan diskon, bahkan menjual dengan
harga di bawah biaya produksi (dumping). Pada saat yang sama,
produksi tetap berkembang, didorong oleh kompetisi, memperburuk
masalah overproduksi. Ini masalah khusus dengan teknologi baru, yang
sangat tergantung pada produksi cepat model baru, komputer yang lebih
hebat, dan sebagainya. Namun dalam situasi di mana sebagian besar
keluarga sudah memiliki paling tidak satu komputer, proses ini
akhirnya harus mencapai batasnya. Laba yang diperoleh dengan
mengupgrade komputer yang ada tidak membenarkan tingginya biaya
penelitian dan pengembangan, pabrik baru dan sebagainya.
Ada tanda-tanda bahwa kita mendekati tahap dalam siklus ini. Di AS
kita sudah melihat adanya utilisasi dengan kapasitas rendah. Tidak
mungkin menaikkan harga, mengingat adanya banyak stock produk-produk
murah di Asia dan kompetisi antar manufaktur di AS sendiri. Di sisi
lain, dengan mendekatinya ketenagakerjaan penuh dan bahkan kekurangan
tenaga kerja di beberapa wilayah, upah akan cenderung naik. Dalam
beberapa bulan terakhir, harga minyak dan beberapa bahan mentah
lainnya telah mulai membaik. Di sisi lain, kuatnya dollar yang
membantu menjaga harga tetap rendah mulai goyah. Margin laba mendapat
serangan dari semua sisi. Dalam konteks ini, ancaman naiknya tingkat
bunga mengancam untuk memberikan coup de grace yang akan
menggembosi boom dan menyebabkan runtuhnya investasi.
Teknologi baru dan teknik produksi baru bisa memperburuk masalah
overproduksi, namun keduanya tak bisa dihindari. Para produser besar
komputer sangat tergantung pada turnover yang cepat. Dan karena tiap
produser terlibat dalam pertarungan keras memperebutkan pasar, mereka
secara konstan mengembangkan supply potensial, proses yang pada
akhirnya memproduksi melimpahnya komputer di pasar dan turunnya
harga. Ini telah bisa diamati dalam praktek, dan harus mengungkapkan
dirinya pada saat tertentu dalam turunnya laba. Di sisi lainnya,
metode-metode produksi baru, seperti produksi tepat waktu, yang di
maksudkan untuk menggabungkan produksi dan penjualan melalui
pengendalian inventaris, telah gagal dalam mencapai sasarannya. Dalam
teorinya metode ini menghindari penimbunan stock yang menyebabkan
pemotongan produksi. Namun dalam prakteknya, metode ini tidak
berhasil. Tingkat stock yang disimpan oleh perusahaan lebih rendah,
namun pembangunan stock menjadi gampang berubah sebagaimana biasanya,
dan karenanya mampu menekan pertumbuhan sebagaimana sebelumnya.
Sebenarnya goyangan pembangunan stock merupakan faktor utama dalam
resesi tahun 1990-2 di Inggris dan Amerika, terhitung tiga per lima
dari turunnya GDP Amerika. Dalam ekonomi terencana sosialis, akan
mungkin untuk memastikan bahwa supply dan demand seimbang,
menghindari krisis overproduksi yang boros dan destruktif. Di bawah
anarki produksi kapitalis, krisis-krisis semacam ini adalah keadaan
yang perlu dan tak bisa dihindari–sekalipun Paradigma Ekonomi Baru.
Tingkat Laba
Berlawanan dengan klaim-klaim besar yang dibuat oleh para
teoretisi Paradigma Ekonomi Baru, tidak ada yang ajaib atau bahkan
istimewa tentang teknologi informasi. Memang, teknologi informasi
adalah perkembangan hebat dari teknik dan pengetahuan manusia,
mengandung peluang-peluang dahsyat bagi masa depan dunia ekonomi
terencana sosialis. Namun bagi sistem kapitalis ini hanyalah suatu
bidang investasi dan salah satu cara cepat kaya. Dan memang beberapa
orang telah menjadi kaya dengan cepat. Sebagaimana biasanya, para
kapitalis tersebut adalah orang-orang pertama yang memasuki bidang
investasi baru yang bisa meraih banyak laba di atas tingkat laba
rata-rata, paling tidak untuk sesaat. Namun sebentar kemudian
kapitalis-kapitalis yang lain mengikutinya. Mereka semua menumpuk,
menanamkan modal, membangun pabrik baru dan memproduksi dan menjual
hingga harga mulai menurun dan tingkat laba rata-rata jatuh pada
tingkat yang lebih wajar.
Laba para kapitalis hanya bisa berasal dari tenaga kerja buruh
yang tidak dibayarkan. Meningkatnya komposisi organik modal secara
tak terhindarkan menyebabkan kecenderungan jatuhnya tingkat laba.
Kecenderungan ini telah diamati oleh banyak ahli ekonomi borjuis,
walaupun mereka tak mampu menjelaskannya. Hanyalah Marx yang
memberikan penjelasan ilmiah gejala ini. Namun Marx juga menjelaskan
bahwa hukum ini tidaklah absolut, ini hanyalah kecenderungan yang
menampakkan dirinya dalam jangka panjang. Bisa jadi ada saat-saat di
mana kecenderungan ini mungkin tidak terlihat karena kecenderungan
sebaliknya dalam ekonomi kapitalis. Sebenarnya para kapitalis bisa
bertoleransi dengan turunnya tingkat laba, selama besarnya laba
dipertahankan. Namun pada tahap tertentu besarnya laba mulai turun.
Pada titik ini investasi runtuh dan kemerosotan mulai.
Karena itu persoalannya bukan pada mengapa ada krisis dalam
kapitalisme, namun lebih pada mengapa sistem kapitalis tidak selalu
berada dalam krisis. Pada kenyataannya, ada banyak metode di mana
krisis bisa ditunda. Seluruh sejarah kapitalisme adalah sejarah
usaha-usaha untuk mengatasi kontradiksi-kontradiksi fundamentalnya.
Kapitalisme, sebagaimana dijelaskan Marx, memang mampu mengatasi
kontradiksi-kontradiksinya dalam jangka pendek–namun harga (hal
itu terjadi) adalah reproduksi kontradiksi-kontradiksi tersebut pada
skala yang jauh lebih besar dan lebih eksplosif. Kata-kata ini
sangat relevan dengan situasi kapitalisme dunia sekarang.
Dalam Capital volume ketiga, Marx memaparkan berbagai macam
cara di mana para kapitalis mampu bertindak untuk menahan
kecenderungan jatuhnya tingkat laba. Kecenderungan ini bisa dilawan
dengan berbagai cara: a) menurunkan harga komoditi, b) meningkatkan
eksploitasi buruh (lewat nilai lebih absolut dan relatif), c)
meningkatkan turnover, d) perdagangan dunia (terutama dengan
negara-negara kolonial). Faktor-faktor ini telah bermain dalam boom
sekarang ini. Aplikasi teknologi baru telah menyebabkan murahnya
elemen-elemen produksi (contohnya komputer). Telah terjadi
perpanjangan hari kerja dan tekanan tanpa belas kasihan pada buruh
lewat percepatan, dan lain-lain. Teknologi itu sendiri telah banyak
menyumbang eksploitasi ini. Barang-barang seperti mobile phone,
pager, komputer laptop memungkinkan boss untuk memperbudak buruh
(termasuk pekerja kerah putih) secara total dan menguasai mereka dua
puluh empat jam sehari. Hari kerja bisa meningkat hampir tanpa batas.
Turnover meningkat. Eksploitasi terhadap pasar dunia (“globalisasi”)
memungkinkan tingginya kenaikan dalam produksi dan penjualan.
Perdagangan dengan negara-negara terbelakang memungkinkan
negara-negara kapitalis maju untuk mendapatkan untung lebih banyak
dengan buruh murah.
Semakin murahnya elemen-elemen produksi
Pertama-tama mari kita lihat semakin murahnya elemen-elemen
produksi. Ini berkaitan dengan produktivitas buruh. Sedikit jumlah
pekerja memproduksi lebih banyak jumlah komoditi. Ini tetap benar
bahkan ketika jumlah buruh meningkat secara absolut. Mari kita lihat
contohnya. NAISTAR di Indiana adalah perusahaan penghasil mesin besar
dan salah satu dari 10 perusahaan besar bidang manufaktur di AS.
Sejak 1995 perusahaan tersebut mengeluarkan 285 juta dollar untuk
perbaikan di satu pabrik (peralatan baru menggunakan komputer).
Hasilnya adalah sebagai berikut: di tahun 1994 buruh memproduksi 175
mesin per hari. Di tahun 1999, 1.900 buruh menghasilkan 1.400 mesin
per hari. Dengan demikian, tenaga kerja meningkat dua kali lipat,
sedangkan produksi meningkat delapan kali lipat.
Meningkatnya produktivitas dicapai sebagian &endash;hanya
sebagian– dengan penggunaan teknologi baru. Mesin menjadi usang
karena digunakan (atau disalahgunakan), namun menurut Marx juga
karena mengalami depresiasi moral– yaitu menjadi ketinggalan jaman.
Dalam kondisi modern, mesin dan pabrik menjadi ketinggalan jaman
lebih cepat ketimbang di masa lalu. Mengingat banyaknya uang yang
dipakai, para kapitalis harus memastikan bahwa mesin-mesin mereka
benar-benar digunakan sepenuhnya. Inilah alasan obyektif untuk
perpanjangan hari kerja dan tekanan tanpa belas kasih pada buruh
untuk bekerja lebih keras. Karena telah mengeluarkan banyak uang,
perhatian kapitalis adalah untuk menutup pengeluaran mereka dan
mendapatkan laba. Cara-cara bagaimana hal ini dilakukan belum banyak
berubah secara substansial sejak jaman Karl Marx. Tekanan kejam
dilakukan pada buruh untuk bekerja lebih keras, menarik urat dan otot
dan bekerja lebih lama untuk menghasilkan nilai lebih. Dengan cara
ini, laba bisa dihasilkan, paling tidak pada awalnya.
Hakekat produktivitas adalah mencapai ekonomi waktu
kerja–memperpendek waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan
komoditi. Namun meningkatnya produktivitas menyebabkan
kontradiksi-kontradiksi lebih lanjut. Marx menjelaskan:
“Keproduktifan mesin, sebagaimana kita lihat, berbanding terbalik
dengan nilai yang ditransfernya pada produk. Semakin lama hidupnya
mesin, semakin besar produk yang dihasilkan. Dengan semakin banyaknya
produk maka semakin kecil nilai produk tersebut dibandingkan pada
tiap komoditi.” (Marx, Capital, vol.1, 15;3b)
Mesin (modal konstan) tidak bisa menghasilkan nilai baru, hanya
kerja kelas buruh (modal variabel) yang menghasilkan nilai. Dengan
mengurangi elemen kerja manusia, aplikasi mesin baru membawa akibat
semakin murahnya harga komoditi. Jika produktivitas meningkat, lebih
sedikit tenaga kerja manusia yang dibutuhkan untuk menghasilakan satu
komoditi, yang membungkus lebih sedikit nilai. Dengan demikian
harganya akan turun. Gejala ini bisa dilihat dalam setiap siklus
kapitalis, dan tidak terkecuali siklus sekarang ini. Secara
kebetulan, semakin murahnya harga komoditi juga akan menjaga upah
tetap rendah, karena lebih sedikit tenaga kerja yang dibutuhkan untuk
mereproduksikan dirinya sendiri.
Sebagai contoh, turunnya harga sirkuit yang digabungkan (pada
mesin elektronik) berarti bahwa harga telepon mobile yang paling
bagus turun dari $1.000 menjadi $350 dalam empat tahun terakhir ini.
Hal yang sama bisa dikutip untuk semua jenis teknologi baru. The
Financial Times menunjukkan bahwa “dalam tahun 1996 dan 1997, dua
tahun terakhir data detil tersedia, jatuhnya harga dalam industri
penghasil teknologi informasi di AS rata-rata sebesar 0,7 persen,
menyumbang kemampuan hebat ekonomi AS untuk mengendalikan inflasi
dalam periode historis pengangguran rendah.” (The Financial
times, 1/9/99)
Ini menimbulkan implikasi penting bagi ekonomi secara keseluruhan.
Bagi buruh pekerja sebagai konsumen ini berarti bahwa semua barang
yang sebelumnya tidak bisa dimiliki karena mahal sekarang menjadi
barang rumah tangga yang wajar. Hal ini menguntungkan para kapitalis
dalam dua hal. Pertama, pasar bagi produk mereka semakin melebar.
Kedua, semakin murahnya komoditi juga menyumbang semakin murahnya
komoditi yang paling berharga, tenaga kerja, yang menjaga upah tetap
rendah. Kenaikan upah nyata pada tingkat turunnya harga, dan ilusi
yang diciptakannya (dikembangkan para penjaga sistem) bahwa para
buruh lebih makmur menimbulkan masalah. Semua ini, pada gilirannya,
cenderung melawan kecenderungan turunnya tingkat laba.
Pada saat yang sama, para kapitalis mendorong margin laba mereka
dengan meningkatkan nilai lebih absolut dan relatif. Salah satu
kontradiksi yang paling memilukan pada periode sekarang ini adalah
bahwa aplikasi teknologi baru yang seharusnya menandai pengurangan
beban kerja malahan berarti sebaliknya. Seorang ilmuwan baru-baru ini
mengungkapkan gejala ini dengan jelas: “Ada lebih banyak perangkat
untuk menghemat waktu sekarang ini daripada sepanjang sejarah. Namun
tidak ada waktu.” Para buruh bekerja mati-matian, tidak hanya di
pabrik-pabrik, namun juga di kantor-kantor, rumah sakit rumah sakit
dan ruang-ruang kelas. Daya pikat kerja sudah direnggut dan
ditranformasikan ke dalam kerja tanpa otak. Di bawah kapitalisme,
dalam kata-kata Marx, pengenalan teknologi menjadi resep untuk
“memperpanjang hari kerja di luar batas-batas yang diatur oleh sifat
manusia.”
Di semua negeri kapitalis, khususnya di AS, hari kerja telah
diperpanjang dalam periode terakhir, dengan lembur wajib, kerja akhir
pekan dan penghapusan waktu istirahat dan pengurangan liburan.
Hasilnya adalah meningkatnya kerja keras, ketegangan dan kesengsaraan
kerja. Kerja yang dulunya adalah tempat di mana manusia
merealisasikan potensi mereka sebagai manusia –walaupun ini pada
tingkat tertentu– telah berubah menjadi mimpi buruk. Obsesi pada apa
yang disebut produktivitas (yaitu laba) telah menguasai tidak hanya
ban produksi, namun juga rumah sakit, ruang dokter dan ruang kelas.
Dari kaca mata kapitalis, ini semua adalah kabar baik, karena
semakin murahnya elemen-elemen produksi adalah salah satu perangkat
di mana tingkat laba dipertahankan atau ditingkatkan. Namun ini juga
memiliki kerugian. Karena laba kelas kapitalis terdiri dari kerja
kelas pekerja yang tak dibayarkan, penggantian kerja manusia oleh
mesin pasti menyebabkan hilangnya nilai lebih, sebagaimana dijelaskan
Marx:
“Betapapun banyaknya penggunaan mesin bisa meningkatkan kerja
lebih atas biaya kerja yang perlu dengan meningkatkan produktivitas
pekerja, jelas ini mencapai hasilnya hanya dengan mengurangi jumlah
buruh yang dipekerjakan dengan sejumlah modal tertentu. Ini
mengkonversi apa yang sebelumnya disebut modal variabel, yang
ditanamkan dalam kerja buruh, menjadi mesin yang merupakan modal
konstan, dan yang tidak menghasilkan nilai lebih. Sebagai contoh,
tidak mungkin memeras nilai lebih dari dua orang buruh sebanyak dari
dua puluh empat buruh. Jika tiap buruh dari dua puluh buruh ini
memberikan satu jam nilai lebih, dua puluh empat orang secara
bersama-sama memberikan dua puluh empat jam nilai lebih, sementara
dua puluh empat jam adalah kerja total dari dua orang. Dengan
demikian penggunaan mesin pada produksi nilai lebih mengimplikasikan
kontradiksi di dalamnya, karena, dari dua faktor nilai lebih yang
diciptakan oleh modal, salah satunya, tingkat nilai leibh tidak bisa
ditingkatkan kecuali dengan menurunkan yang lain, yaitu jumlah
pekerja. Dengan penggunaan mesin dalam industri, kontradiksi ini
muncul begitu nilai komoditi yang dihasilkan mesin mengatur nilai
semua komoditi jenis yang sama, dan kontradiksi inilah yang pada
gilirannya mendorong kapitalis, tanpa disadarinya, memperpanjang hari
kerja, sehingga dia bisa mengkompensasi penurunan jumlah relatif
tenaga kerja yang dieksploitasi, dengan peningkatan tidak hanya nilai
lebih relatif namun nilai lebih absolut.” (Marx, Capital,
vol.1. 15;3b)
Betapa bagusnya kata-kata ini menjelaskan apa yang diketahui oleh
setiap buruh! Boom sekarang ini terjadi atas biaya sistem syaraf dan
tekanan serta tarikan otot kelas pekerja. Semua omongan cerdas
tentang “ledakan produktivitas” pada akhirnya bermuara di sini. Namun
demikian, kenaikan produktivitas ini (yang terbatas hanya pada satu
sektor ekonomi) telah mencapai batas-batasnya. Ini adalah persoalan
mengambil nilai lebih tambahan dari keringat dan otot pekerja, dan
ini mempunyai batas-batas fisik. The Economist
(25/9/99) membeberkan posisi ini dengan blak-blakan:
“Jika perusahaan terjebak oleh kekuatan ekonomi Amerika yang tak
diharapkan dan tak terlihat sebelumnya, satu cara untuk tetap
mengikuti permintaan (terutama dalam pasar tenaga kerja yang ketat)
adalah mempekerjakan lebih keras karyawan yang ada.” (Penekanan
dari kami.)
Dengan demikian, seluruh persoalan produktivitas selalu bermuara
pada tekanan tanpa belas kasihan terhadap pekerja untuk menghasilkan
lebih banyak dalam waktu yang lebih pendek. Fenomena ini bisa dilihat
di mana mana. Kerja telah menjadi mimpi buruk, penderitaan kerja
menghancurkan semua kenikmatan atau kepuasan manusiawi. Keserakahan
modal demi nilai lebih tidak pernah terpuaskan. Pengenalan teknologi
baru bukanlah sarana untuk mengurangi beban mereka yang bekerja,
namun sebaliknya, dalih untuk memeras tenaga kerja yang tak dibayar
dari mereka. Munculnya kondisi ketenagakerjaan yang hampir penuh, dan
dalam beberapa kasus bahkan kekurangan tenaga kerja berarti tidak
lagi mudah untuk memberikan beban yang tak dapat ditolerir di atas
pundak para pekerja. Dengan telah melewati proses pengurangan tenaga
kerja, mengurangi perumahan, fleksibilitas, produksi tepat waktu dan
sejenisnya, para kapitalis akan mendapatkan bahwa mereka tidak bisa
lagi memeras tenaga kerja tanpla menimbulkan kerusuhan besar.
Harga komoditi dan revolusi kolonial
Cara lain untuk meningkatkan tingkat laba adalah lewat eksploitasi
negeri-negeri bekas jajahan. Penjarahan sistematik negeri-negeri
jajahan telah menjadi ciri kapitalisme sejak abad enam belas. Namun
sekarang super eksploitasi ini telah mencapai tingkatan yang baru dan
tak pernah terjadi sebelumnya. Fakta bahwa bangsa-bangsa Asia,
Afrika, dan Amerika Latin telah memperoleh kemerdekaan formal lewat
perjuangan heroik tidak menandai berakhirnya ekploitasi dan
penindasan. Justru sebaliknya. Di atas basis kapitalis negeri-negeri
ini sekarang ini lebih diperbudak, lebih tergantung pada
imperialisme, ketimbang lima puluh tahun yang lalu. Satu-satunya
perbedaan adalah bahwa penguasaan birokratik militer langsung telah
digantikan oleh dominasi tak langsung lewat mekanisme pasar dunia dan
utang.
Dominasi perdagangan dunia oelh sejumlah kecil perusahaan
multinasional raksasa yang dilengkapi sumberdaya besar dan pada
analisis terakhir ditopang oleh kekuatan bersenjata AS dan
kekuatan-kekuatan imperialis yang lain, berarti bahwa mereka bisa
mendesakkan tekanan untuk menurunkan harga bahan mentah dan ekspor
negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Bahkan tanpa ini, pertukaran
barang-barang antara negeri-negeri terbelakang dengan negeri-negeri
kapitalis maju selalu timpang. Meminjam ungkapan Marx, lebih banyak
tenaga kerja ditukarkan untuk mendapatkan yang lebih sedikit. Ini
adalah permainan di mana negara-negara miskin tidak bisa menang.
Mereka pasti akan jatuh ke dalam utang yang lebih dalam. Dan mereka
kemudian dipaksa meminjam dari tuan-tuan mereka, dengan membayar
bunga yang tinggi, yang akan menjamin mereka untuk lebih tenggelam
lagi dalam kesengsaraan. Bagi para kapitalis barat ini adalah
keuntungan yang luar biasa. Rendahnya harga bahan mentah adalah cara
lain untuk membuat elemen-elemen produksi lebih murah, dan tingkat
laba naik: Jika ini berarti kelaparan dan kemiskinan bagi jutaan
manusia, biarkanlah. Karena ini bukan urusan kita. Mereka harus
belajar mengatur diri mereka sendiri dengan lebih baik dan mengikuti
saran-saran IMF!
Pada tingkat tertentu, gerakan naik ekonomi paska perang di
negeri-negeri kapitalis maju dibiaya oleh bekas negeri-negeri jajahan
mereka. Para imperialis mengambil keuntungan besar dari eksploitasi
negeri-negeri paling miskin di atas planet ini. Jatuhnya harga minyak
dan komoditi yang lain di awal 1980-an adalah salah satu alasan di
balik boom tahun 1980-an dan kenaikan jangka panjang dalam harga
bursa AS. Jauh hari Marx sudah menerangkan bahwa perkembangan
perdagangan dunia &endash;terutama perdagangan dengan negeri-negeri
jajahan– melayani murahnya elemen-elemen produksi dan menaikkan
tingkat laba. Jatuhnya biaya komoditi menurunkan biaya produksi dan
biaya hidup di negeri-negeri industrial, memperlancar pembentukan
modal sembari memperlunak tekanan yang disebabkan oleh permintaan
konsumen.
Jatuhnya harga-harga komoditi dicapai atas biaya orang-orang
paling miskin di bumi. Melalui pasar dunia dan syarat-syarat
perdagangan (terms of trade) yang timpang, negeri-negeri kapitalis
maju memperoleh lebih banyak tenaga kerja dengan biaya yang murah.
Ini secara langsung menyebabkan krisis utang dunia ketiga, yang pada
gilirannya menundukkan bangsa-bangsa terjajah pada bentuk baru
penjarahan dalam bentuk tingginya tingkat bunga. Darah, keringat, dan
air mata ratusan juta pria, wanita, dan anak-anak dijadikan emas bagi
benalu-benalu kaya, sementara substansi dan kemakmuran bangsa-bangsa
disedot dalam perjuangan tanpa akhir yang sia-sia untuk melayani
utang. Ini adalah resep akhir untuk tahap baru dan eksplosif dalam
revolusi kolonial dalam periode berikutnya. Namun ini disampaikan
sebagai berkah oleh pendukung Modal.
Imperialisme AS adalah kekuatan militer dan ekonomi paling kuat
yang pernah disaksikan dunia. Namun imperialisme ini tidak
menggunakan kekuasaannya dengan bijaksana. Malahan sebaliknya.
Dibimbing oleh motif paling dasar kepentingan diri dan keuntungan
jangka pendek, dia menggunakan ototnya untuk memaksa seluruh dunia
menari mengikuti iramanya. Perlomba gila mengejar deregulasi di bawah
panji yang disebut “liberalisasi” telah memperkenalkan elemen
instabilitas baru dan eksplosif dalam ekonomi dunia.
Monopoli-monopoli besar, dengan dukungan antusias
pemerintah-pemerintah barat, menuntut pemerintah-pemerintah dunia
ketiga untuk membongkar semua tarifnya, membuka pasar mereka,
menswastakan industri dan perangkat mereka. Dengan cara ini,
negeri-negeri jajahan telah ditempatkan dalam belas kasihan
imperialisme. Ekonomi-ekonomi mereka telah dijarah; industri
nasionalnya dibongkar. Wajah asli “liberalisasi” ini adalah
perampokan telanjang dan perbudakan bangsa-bangsa secara total. Ini
adalah obat pahit dan keras yang akan membawa konsekuensi serius
nanti. Dan AS akan membayar biayanya nanti. Namun mereka tidak
melihat jangka panjangnya. Mengapa tidak menikmati karnaval pembuatan
uang selama hal itu mungkin?
“Rendahnya harga-harga komoditi, di mana harga minyak salah
satunya yang paling penting,” tulis Stratfor, “mendorong
ekonomi Amerika ke atas sembari menahan kemerosotan di Asia.
Harga-harga rendah ini juga menimbulkan reaksi tak terhindarkan dari
negara-negara pengekspor komoditi. Dari Venezuela ke Saudi Arabia ke
Indonesia, dampak rendahnya harga minyak pada ekonomi-ekonomi
nasional telah membawa bencana menjelang awal 1999.
Ancaman maut yang ditunjukkan oleh jatuhnya harga komoditi
mendorong negeri-negeri penghasil minyak utama untuk bertindak.
Bahkan saingan lama seperti Saudi Arabia dan Venezuela berhasil
(paling tidak untuk sementara) sepakat untuk membatasi produksi
minyak dalam upaya untuk mendongkrak harga minyak. Ini nampaknya
telah berhasil. Dalam beberapa bulan pertama 1999, harga minyak telah
hampir mencapai dua kali lipat. Ini bisa dijelaskan sebagian karena
tindakan negara-negara penghasil minyak untuk memotong produksi.
Usaha-usaha seperti ini selalu gagal pada akhirnya karena tiap negara
mengutamakan kepentingannya sendiri. Negeri-negeri ini sangat
tergantung pada ekspor minyak untuk membayar utang mereka dan menjaga
layanan dasar tetap berjalan. Karena itu mereka selalu berakhir
dengan menjual minyak secara diam-diam ke pasar dunia. Tidak ada
alasan untuk berpikir bahwa saat ini hal tersebut akan banyak
berbeda.
Alasan sebenarnya bagi kenaikan (sementara) harga minyak adalah
harapan bahwa pemulihan di Asia akan berlanjut dan meningkatkan
permintaan akan minyak. Selain itu, instabilitas di Asia Tengah telah
menimbulkan keraguan berkaitan dengan ramalan optimistik sebelumnya
mengenai produksi minyak di kawasan ini. Pertimbangan semacam itu
masuk dalam perhitungan mereka yang mengendalikan gerak spekulatif
dalam pasar-pasar komoditi dunia. Namun modal seperti itu bisa keluar
dari komoditi tertentu secepat masuknya. Karena itu sangatlah mungkin
bahwa harga minyak yang bergerak keatas sekarang ini akan diikuti
oleh gerak kebawah. Hal ini akan punya dampak jangka panjang di
negara-negara seperti Iran, Venezuela, Mexico, Indonesia, Saudi
Arabia dan juga Rusia–yang semuanya ini sedang mengalami
instabilitas sosial politik berkenaan dengan goyangan tajam pada
harga minyak.
Paling tidak sementara ini, kecenderungan harga-harga komoditi
dunia telah berbalik. Harga minyak telah naik dengan tajam dan
beberapa harga komoditi yang lain juga telah naik (walaupun sebagian
besar harga-harga komoditi mineral belum bisa mengimbangi harga
minyak). Dari titik rendah di bulan Februari di bawah $10 satu
barrel, harga North Sea Brent telah meningkat mencapai lebih dari $18
satu barrel pada penutupan perdagangan di London. Ini adalah harga
minyak paling tinggi sejak Desember 1997. Artinya harga minyak telah
naik sekitar 80 persen dalam kurang lebih empat bulan. Dampak
gabungan dari pengurangan produksi dan harapan pemulihan ekonomi Asia
adalah kekuatan pendorong harga-harga untuk naik yang utama. Namun
karena pemulihan Asia tidak akan sekuat dan selama yang diharapkan,
boom harga minyak akan diikuti oleh kemerosotan baru. Minyak dan
komoditi-komoditi lainya akan dihantam oleh menurunnya permintaan. Di
sisi lain, negara-negara penghasil minyak tidak akan mungkin sepakat
untuk menjaga produksinya rendah sedangkan mereka semua tergantung
pada ekspor minyak sebagai sumber pemasukan utama atau satu-satunya.
Adalah watak ekonomi kapitalis untuk bergerak dalam goyangan
siklis yang sepenuhnya bersifat anarkis. Komoditi bisa dijual di atas
atau di bawah nilainya. Ini adalah cara yang wajar di mana pasar
bekerja dalam permainan supply dan demand. Dalam masa modern,
goyangan-goyangan ini dibuat lebih kejang oleh intervensi
monopoli-monopoli besar yang terlibat dalam kegiatan spekulatif
berskala besar. Awal globalisasi dan penghapusan kontrol gerak modal
yang telah dijalankan dengan antusiasme oleh kaum borjuis dengan nama
“liberalisasi” selama lebih dari sepuluh atau dua puluh tahun
terakhir, hanyalah menciptakan meluasnya lingkup kekacauan dan
goncangan pada skala global. Rantai devaluasi di Asia dua tahun yang
lalu adalah satu manifestasi dari kegilaan ini. Goyangan keras pada
harga minyak dan komoditi lain adalah manifestasi yang lainnya.
Dengan demikian, kenaikan harga minyak sekarang ini bisa segera
diikuti oleh kemerosotan tajam dalam periode berikutnya, sebagaimana
diperingatkan oleh Stratfor:
“Sebagian dari penjelasan (naiknya harga minyak) adalah siklis.
Tidak ada keraguan bahwa di bawah $10 per barrel, minyak dijual
berlebihan. Dalam terms yang nyata, untuk menyesuaikan inflasi, harga
ini adalah tingkat terendah sejak 1930-an. Hal ini tidaklah masuk
akal. Bagi OPEC, Asia dan Asia Tengah, harga tersebut jelas terlalu
rendah. Namun persoalan pentingnya adalah apakah kenaikan harga
tersebut mewakili pergeseran fundamental dalam geometri ekonomi
dunia. Yang menarik bagi kita adalah bahwa kenaikan harga-harga
tersebut terbatas pada minyak. Ini memberi indikasi pada kita bahwa
keruntuhan jangka panjang pada harga-harga komoditi yang merupakan
faktor dominan bagi ekonomi global bagi satu generasi belumlah usai.”
(Stratfor Weekly Analysis, July 6, 1999)
Para wakil representatif utama Kapital AS, Alan Greenspan dan
Federal Reserve, masih kuatir tentang kembalinya inflasi. Ini
terlihat aneh akrena inflasi dalam siklus ini telah berada pada
tingkat yang rendah–salah satu argumen utama yang dipakai oleh
orang-orang Paradigma Ekonomi Baru untuk mempertahankan pandangan
bahwa masa-masa boom dan kemerosotan telah berakhir. Namun ada
alasan-alasan khusus mengapa Amerika sejauh ini berhasil menjaga
rendahnya inflasi, dan alasan-alasan tersebut mungkin tidak bisa lagi
dipertahankan. Secara umum gejala jatuhnya harga (deflasi) pada skala
dunia berkaitan dengan overproduksi dan rendahnya permintaan. Krisis
di Asia telah memperburuk tendensi ini dan menghasilkan dampak tidak
langsung. Impor murah dari Asia menimbulkan dampak jenuhnya
harga-harga di AS, yang tidak memungkinkan bagi manufaktur Amerika
untuk menaikkan harga. Jatuhnya harga-harga komoditi juga menimbulkan
dampak yang sama. Tingginya nilai tukar dollar juga menimbulkan
dampak pemotongan harga impor. Namun semua gejala ini berbalik ke
arah yang berlawanan. Harga minyak meningkat tajam dan harga komoditi
yang lain menguat, sementara dollar mulai melemah, terutama terhadap
yen, yang pada 18 Agustus melewati Y122–tingkat paling rendah sejak
Januari. Secara bersamaan, faktor-faktor ini berarti bawha biaya
input perusahaan AS sekarang ini naik. Ini berarti bahwa Federal
Reserve akan tergoda untuk menaikkan suku bunga, yang akan membawa
implikasi serius bagi pasar modal AS dan ekonomi Amerika pada
umumnya.
‘Kecil itu indah’
Mitos yang secara tekun dipelihara adalah bahwa sistem kapitalis
didasarkan atas semangat wira usaha sekelompok bisnis kecil.
Berkaitan dengan ini perkembangan teknologi informasi dikutip secara
khusus. Benar bahwa sebagian besar elemen inovatif dalam teknologi
berasal dari bisnis kecil atau bahkan individu dengan gagasan-gagasan
cemerlang. Namun ini bukanlah barang baru. Di masa lalu juga, gejala
yang sama bisa dicatat. Individu-individu genius seperti Edison,
Marconi, atau Stevenson mengembangkan teknik-teknik baru. Namun
ketika teknologi baru memasuki dunia pasar, modal yang jauh lebih
besar dibutuhkan untuk mengembangkan dan memasarkannya. Teknologi
baru diambil alih oleh perhatian kapitalis besar yang mempunyai akses
pada banyaknya uang yang dibutuhkan. Dengan demikian, abad heroik
bisnis kecil dan jenius inovatif memberikan jalan bagi dominasi
monopoli, yang merupakan hasil dari kompetisi tak terhindarkan antara
produser kecil.
Seperti semua teknologi baru, teknologi informasi itu mahal,
melibatkan landasan modal d jumlah yang luar biasa besar, terutama
pada tahap-tahap awal. Dengan demikian, pabrik baru utnuk
mengembangkan teknologi di AS ini melibatkan pengeluaran satu atau
dua milyar, dan pabrik ini menjadi ketinggalan jaman dalam tiga
sampai lima tahun. Jelas bahwa modal yang sangat besar ini hanya
dimiliki oleh monopoli-monopoli dan orang-orang seperti Bill Gates.
Karena itu, semua omongan tentang kecil itu indah tak lebih dari
demagogi kosong. Berbeda dengan periode sejarah yang lain, abad ini
adalah abad monopoli.
Walaupun di tahap-tahap awal para kapitalis kecil bisa
menghasilkan uang ( contoh klisenya adalah seorang penemu dengan
bisnisnya di garasi), dengan cepat ini tidak bisa lagi berjalan.
Bisnis kecil digantikan oleh perusahaan-perusahaan besar yang
mengeluarkan sejumlah modal yang perlu untuk mendorong proses
akumulasi lebih lanjut. Para kapitalis dengan akumulasi modal yang
besar mendapatkan akumulasi laba yang lebih besar dibandingkan para
kapitalis kecil, walaupun yang belakangan ini mungkin mendapatkan
tingkat laba yang lebih tinggi. Modal besar selalu menggantikan modal
yang lebih kecil. Sebagaimana diterangkan Marx:
“Di bawah kompetisi, kenaikan modal minimum yang dibutuhkan bagi
operasi pengembangan industrial mandiri dalam upya mengikuti kenaikan
produktivitas mengasumsikan aspek berikut ini. Begitu peralatan yang
baru dan lebih mahal telah dibangun secara universal, modal-modal
kecil disingkirkan dari perusahaan-perusahaan ini. Modal kecil bisa
menjalankan kegiatannya hanya selama tahap awal penemuan mekanis.”
(Marx, Capital, vol.3, 25,4.)
Periode saat kini menyaksikan kenaikan konsentrasi modal secara
besar-besaran, yaitu kenaikan kekayaan dan kekuasaan minoritas secara
besar-besaran di satu ujung dan meningkatnya kemiskinan,
kesengsaraan, degradasi dan penyakit yang juga besar-besaran di ujung
yang lain. Kecenderungan ini, yang telah diramalkan Marx dan ditolak
oleh para ahli sosiologi borjuis selama beberapa dekade, sekarang
menjadi fakta mengerikan yang tak bisa disangkal. Dalam paruh pertama
tahun 1998 sendiri, pengambilalihan perusahaan di AS melibatkan
sejumlah 949.000 juta dollar. Angka ini tak kurang dari 20 persen
dari seluruh kegiatan ekonomi. Dalam paruh pertama tahun 1999 lebih
jauh lagi 570.000 juta dollar dipakai untuk merger. Kegiatan-kegiatan
ini tidak terbatas pada Amerika saja. Dalam periode yang sama merger
di Uni Eropa seharga 346000 juta dollar didaftarkan. Kecenderungan
ini tidak menunjukkan tanda-tanda berkurang. Kegiatan merger di dunia
dalam tiga kuartal pertama tahun 1999 melonjak sebanyak 16 persen
dalam periode yang sama tahun sebelumnya, mencapai tingkatan
mengerikan $2,2 trilyun menurut Thompson Financial Securities. Dalam
kuartal terakhir, sebagian besar pengambilalihan perusahaan terjadi
di Eropa.
Proses konsentrasi modal ini juga merepresentasikan konsentrasi
kekayaan kolosal di tangan sedikit orang, dan meningkatnya
ketimpangan sosial yang berkaitan dengannya. Di tahun 1992 hanya ada
12 milyarder di AS. Menjelang 1998 jumlah tersebut meningkat menjadi
170. Sekarang lebih dari 200. Bill Gates mempunyai penghasilan
pribadi yang melebihi penghasilan pribadi 120 juta orang Amerika.
Kekayaan hebat didapatkan dari eksploitasi terhadap orang-orang yang
bekerja. Saham dari seluruh pendapatan yang diperoleh oleh
orang-orang kaya 20 persen dari orang Amerika naik dari 48,9 persen
di tahun 1993 menjadi 49,2 persen di tahun 1998. Namun selama 25
tahun standar hidup buruh Amerika tidak meningkat sama sekali, dan
lapisan termiskin menyaksikan bahwa standar hidup mereka sebenarnya
menurun. Walaupun upah real mulai naik, saham kelas buruh dalam
kekayaan keseluruhan yang diproduksi terus menurun.
Banyaknya jumlah uang yang terlibat dalam pengambilalihan
perusahaan tidak mewakili investasi produktif. Kegiatan ini tidak
membangun kekuatan produktif. Sebaliknya, hasil akhir merger ini sama
saja: penutupan, pemecatan, pengurangan tenaga kerja–yang berarti
penghancuran kekuatan produktif. Ini seperti tempat tidur Procrustes
(tokoh mitologi Yunani), di mana tamu yang malang harus dipotong
tangan atau kakinya untuk bisa masuk ke tempat tidur. Dengan cara
yang sama, kekuatan produktif yang telah tumbuh melebihi batas negara
bangsa dan pemilikan pribadi dipotong dengan kejam. Pengurangan
tenaga kerja dalam dua dekade terakhir hanyalah refleksi
pemberontakan kekuatan produktif terhadap kungkungan sistem laba.
Meningkatnya watak benalu kapitalisme modern diungkapkan dengan jelas
dalam dominasi modal keuangan.
Dominasi modal keuangan
Dalam dekade terakhir kekuasaan bank dan monopoli telah mencapai
tingkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kekuasaan ini
mendapatkan ungkapannya yang paling sempurna dalam kekuasaan bank
sentral yang telah meningkat dengan dahsyat selama 20 tahun terakhir.
Gagasan lama kaum reformis dan kaum Keynesian tentang kapitalisme
yang dikendalikan memperoleh ekspresinya dalam apa yang disebut
fine tuning di mana pemerintah memanipulasi ekonomi dengan
menggunakan instrumen-instrumen seperti suku bunga. Kini semuanya
telah berubah. Bank sentral menuntut kemandirian total untuk
mengendalikan suku bunga. Karena itu di Inggris, pemerintahan Blair
segera menyerahkan kendali suku bunga pada Bank of England. Demikian
juga pemerintah-pemerintah di Uni Eropa telah menyerahkan sebagian
besar kebijakan ekonomi pada para pejabat European Central Bank (ECB)
yang tidak melalui pemilihan. Hal ini tidak pernah dipikirkan 15
tahun yang lalu. Tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah bahwa
bank mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Ini menunjukkan bahwa
kebijakan Keynesian lama benar-benar telah ditinggalkan. Ini akan
menambah dimensi baru dan kejutan dalam krisis kapitalisme.
Di masa lalu, ketika semua mata uang terkait dengan emas, ukuran
disiplin finansial dipaksakan standar emas, tidaklah mungkin
memainkan nilai tukar. Semua mata uang harus ditopang oleh ekuivalen
universal–emas. Ini memberikan standar obyektif dan menghindari
bahaya kenaikan inflasi dalam supply uang. Setelah Perang Dunia
Kedua, kaitan dengan emas masih dipertahankan, walaupun secara tidak
langsung lewat standar tukar emas. Dollar diterima sebagai alat
pertukaran universal (dengan pound sterling pada posisi subsider).
Ini merefleksikan kaitan nyata antara kekuatan-kekuatan yang muncul
di antara kekuasaan-kekuasaan kapitalis setelah perang. Imperialisme
AS lahir dari perang dengan basis produktifnya yang kuat, dan dua per
tiga supply emas dunia tersimpan dalam gudang emas Fort Knox. Dengan
demikian, secara harafiah dollar sebagus emas, dan dianggap demikian
oleh negara-negara lain. Banyaknkya aliran dollar dalam Marshall Aid
dan lewat saluran-saluran lain pada awalnya adalah pelumas baik bagi
perdagangan dunia dan memainkan peranan dalam mendorong gerakan naik
tahun 1948-74.
Kendatipun demikian, kebijakan-kebijakan Keynesianisme
(“kapitalisme terkendali”), pendanaan defisit, perang Korea dan
perang Vietnam, dan kebijakan-kebijakan lain yang tidak populer,
menyebabkan inflasi–sebagaimana diramalkan kaum Marxis saat itu
(Lihat “Will There be a
Slump?” oleh Ted Grant). Sebelum perang ada sedikit atau
tidak ada inflasi, seperti juga di jaman Marx. Harga-harga di Inggris
tahun 1932 kurang lebih sama dengan harga-harga di tahun 1666! Sejak
saat itu, harga-harga di Inggris melonjak 4.000 kali lipat, dan di AS
lebih dari 1.000 kali lipat. Menjelang awal 1970-an semua negara
kapitalis maju menghadapi prospek hiperinflasi gaya Amerika Latin.
Kebijakan-kebijakan ekonomi Keynesian –seperti kredit umum– membawa
sistem kapitalis melampaui batas-batas normalnya, namun atas biaya
inflasi. Pada akhirnya kelas penguasa tidak mempunyai alternatif
kecuali menolak kebijakan-kebijakan ini dan kembali pada serangan
total terhadap negara kesejahteraan, dengan melaksanakan kebijakan
swastanisasi dan pemangkasan kejam atas pengeluaran negara dalam
upaya untuk kembali pada kebijakan anggaran berimbang dan uang kuat
sebagaimana di masa lalu. Ini adalah basis sebenarnya dari
moneterisme dan refleksi politik Thatcherisme yang telah dominan
selama dua puluh tahun terakhir.
Ditinggalkannya model “kapitalisme terkendali” yang bangkrut
bukanlah semata-mata akibat dari berubah-ubahnya atau kejahatan kelas
penguasa. Kini kaum reformis utopia kiri memimpikan kembalinya jaman
kejayaan Keynesianisme. Yang mereka tuntut bukan sosialisme, namun
“kapitalisme dengan wajah manusiawi.” Mereka membayangkan bahwa
adalah mungkin untuk mengendalikan modal dan menghilangkan
ciri-cirinya yang tidak menyenangkan. Pada kenyataannya, borjuasi
dipaksa untuk meninggalkan Keynesianisme karena ia mengancam akan
menelan seluruh ekonomi dunia Barat dalam inflasi gaya Amerika Latin.
Lewat jalur ini, tidak mungkin ada jalan keluar.
Walaupun demikian, usaha untuk kembali pada kebijakan lama
ortodoks anggaran berimbang dan “uang kuat” telah menghasilkan
kontradiksi-kontradiksi baru yang tak bisa dipecahkan. Berpaling
menuju moneterisme di tahun 1980-an menyebabkan resesi paling dalam
sejak Perang Dunia Kedua di AS dan Inggris. Memang benar bahwa dengan
cara ini mereka berhasil menekan inflasi, paling tidak untuk
sementara. Tingkat inflasi rata-rata kini dalam ekonomi OECD sedikit
di atas satu persen (paling tidak ini angka resminya, walaupun dalam
prakteknya tingkat inflasi jauh lebih besar). Namun ini diraih lewat
penghancuran sebagian besar dari aparatus produktif, pemangkasan
tajam pengeluaran negara dan serangan terhadap standar hidup, dengan
memotong pasar, yang hanya memperparah krisis. Menjelang akhir
1980-an, kapitalisme dunia sudah menuju ke arah resesi dalam. Alasan
utama mengapa resesi 1990 hingga 1992 tidak berubah menjadi
kemerosotan tajam adalah boom di Asia. Ini untuk sementara
menyelamatkan sistem. Namun demikian, proses ini sekarang sudah
mencapai batas-batasnya.
Tak berbeda dari Keynesianisme, dogma baru moneterisme tidak bisa
memecahkan masalah-masalah kapitalisme. Benar bahwa secara parsial
(dan sementara) ia telah berhasil menekan inflasi. Namun lihatlah
harga hal itu! Dengan memotong pengeluaran negara, mereka juga
menghancurkan sebagian besar pasar, yang menyebabkan resesi dalam di
Inggris dan negara-negara lain. Walaupun adanya boom sekarang ini,
mereka belum berhasil kembali pada jaman keemasan goyangan naik pasca
perang. Tingginya tingkat pengangguran di seluruh ekonomi kaplitalis
utama bahkan pada saat boom adalah gejala sakitnya sistem ini. Boom
sekarang ini dibarengi oleh pembantaian kejam atas standar hidup, jam
dan kondisi kerja. Ini adalah boom atas biaya kelas buruh. Semua
pemerintahan &endash;apakah itu kanan, “kiri” atau tengah– terus
menjalankan kebijakan pemangkasan pengeluaran negara yang sama. Apa
yang akan terjadi pada kemerosotan yang akan datang?
Harga di negara-negara kapitalis maju sekarang ini naik sebanyak
kurang lebih dua persen setahun. Namun demikian, pada awalnya, ini
tidak berarti bahwa inflasi telah ditaklukkan, sebagaimana sering
dikemukakan. Harga terus naik, namun dengan laju yang lebih lambat.
Bahkan jika mereka berhasil menekan inflasi menjadi nol, harus
diingat bahwa tidak adanya inflasi tidak berarti bahwa siklus
boom-kemerosotan telah dihilangkan. Pada jaman Marx ada siklus boom
dan kemerosotan tiap sepuluh tahun, walaupun secara praktis inflasi
tidak ada. Kemerosotan terbesar dalam sejarah, crash 1929, terjadi
pada saat ketika harga-harga stabil. Kedua, para ahli ekonomi borjuis
tidak yakin bahwa inflasi telah dihapuskan seluruhnya. Naiknya harga
saham dan asset juga suatu jenis inflasi, dan sangat berbahaya. Di
AS, para ahli ekonomi takut bahwa melemahnya dolar dan pulihnya harga
minyak dan komoditi lain bulan-bulan belakangan ini akan menyebabkan
kembalinya tekanan inflasi, yang pada gilirannya bisa menimbulkan
kenaikan suku bunga yang akan menggembosi boom dan menyebabkan
kemerosotan. Sebagaimana diamati oleh The Economist:
“Jauh dari kematiannya, inflasi mungkin telah memakai wajah baru yang
lebih berbahaya.” (The Economist, 25/9/99.)
Argumen bahwa tidak adanya inflasi menandai hapusnya siklus
boom-kemerosotan sepenuhnya tidak benar dan menunjukkan pengabaian
sejarah. Inflasi juga rendah pada tahun 1920-an, sebelum kemerosotan
1929, dan di Jepang tahun 1980-an, sebelum kemerosotan di mana
ekonomi tidak pernah pulih. Secara pribadi, para ahli strategi
Kapital sangat kuatir. Masalahnya adalah bahwa faktor-faktor tersebut
di atas melahirkan “kegembiraan irasional” yang diperingatkan Alan
Greenspan tiga tahun yang lalu. Kini Greenspan diam saja. Jelas bahwa
dia takut bahwa mengungkapkan pikirannya lagi bisa menyebabkan
runtuhnya kepercayaan mendadak. Dengan gagal bertindak, the Fed telah
menjadi sekutu diam dari apa yang sebenarnya tindakan ceroboh dan
berbahaya. Amerika dikuasai ilusi bahwa segalanya adalah untuk yang
terbaik dari dunia kapitalis. Paradigma Ekonomi Baru hanyalah
refleksi pseudo akademik dari kepercayaan irasional ini. Karnaval
pembuatan uang melenggang, tampaknya tak bisa dihentikan. Pesta bagi
semua orang! And di tengah-tengah kegembiraan ini, tidak ada tempat
bagi wajah masam dan kata-kata peringatan. Makan, minum, dan
bergembira, karena besok harga saham akan naik lagi! Sudah naik dan
akan naik terus.
Kemerosotan sistem kapitalis menunjukkan dirinya dalam banyak
cara, tidak hanya dalam watak dan tindakan para wakilnya, baik secara
politik maupun finansial. Pada jaman keemasannya dulu, para bankir
adalah orang-orang yang dihormati, mengabdi pada tujuan uang kuat dan
anggaran berimbang. Namun di jaman kapitalisme yang lemah karena
uzur, ketika bank sentral telah menumpuk kekuasaan yang sangat besar
di tangan mereka, para bankir bisa melakukan apa saja kecuali
bertanggung jawab. Tidak pernah ada cukup peringatan: “Dengan
menggunakan setiap standar penilaian,” tulis The
Economist, “Wall Street sekarang ini lebih dinilai secara
berlebihan ketimbang menjelang crash 1929 dan 1987.” Di masa
lalu dikatakan bahwa peranan the Fed adalah untuk mengambil mangkok
minuman ketika pestanya mulai bergoyang. Namun kini tidak lagi.
Sembari berbibir manis di hadapan publik tentang kejujuran dan
kedisiplinan finansial, Alan Greenspan telah disiapkan untuk
mentolerir penciptaan pesta gila-gilaan spekulasi finansial dalam
sejarah, walaupun tentunya dia menyadari bahayanya. Dia seperti
kaisar Nero yang menggesek biola sementara Roma terbakar. Dengan
menaikkan suku bunga sebanyak seperempat persen, dia telah menuangkan
minyak ke dalam api. Ungkapan lama menunjukkan kebenarannya: “Mereka
yang akan dihancurkan dewa-dewa, dibuatnya gila lebih dahulu.”
Marx tentang Kredit
Hambatan fundamental bagi pengembangan kekuatan produtif dalam
jaman modern adalah pemilikan pribadi alat-alat produksi dan negara
bangsa. Namun untuk sementara waktu, kapitalisme secara parsial mampu
mengatasi hambatan-hambatan ini dengan beberapa cara, seperti
membangun perdagangan dunia dan ekspansi kredit. Dulu Marx
menjelaskan peranan ekspansi kredit dalam sistem kapitalis. Ini
adalah cara di mana pasar bisa diambil melampau batas-batas
normalnya. Dengan cara yang sama, ekspansi perdagangan dunia bisa
memberikan jalan keluar untuk sementara, namun hanya dengan biaya
menyiapkan krisis-krisis yang lebih membawa bencana di masa depan:
“Produksi kapitalis terus menerus terlibat dalam upaya untuk
mengatasi hambatan-hambatan ini, namun produksi kapitalis ini
mengatasinya dengan cara yang menempatkan hambatan-hambatan yang sama
dalam ukuran yang lebih besar.
‘Hambatan nyata produksi kapitalis adalah modal itu sendiri.”
(Marx, Capital, vol. 3, 15; 2-3)
Sirkuit produksi kapitalis tergantung pada kredit, salah satunya.
Kemampuan memecahkan masalah di salah satu mata rantai tergantung
pada kemampuan di mana rantai yang lain. Rantai tersebut bisa putus
di berbagai tempat yang berbeda. Cepat atau lambat, kredit harus
dibayarkan tunai. Fakta inilah yang seringkali dilupakan oleh mereka
yang berhutang selama proses goyangan naik kapitalis. Pada tahap
pertama ekspansi kapitalis, kredit bertindak sebagai pendorong
produksi: “perkembangan kekuatan produktif memperluas kredit, dan
kredit menyebabkan perluasan operasi komersial dan industrial.”
(Marx, Capital, vol. 3, p. 470)
Namun demikian, ini hanyalah satu dari dua sisi mata uang.
Ekspansi kredit dan utang yang cepat mendorong pasar melampau
batas-batas normalnya, tetapi pada titik tertentu ini pasti akan
berbalik ke arah yang berlawanan. Selama boom, kredit kelihatan tak
terbatas, seperti the Horn of the Plenty dalam mitologi
Yunani. Namun begitu krisis muncul, ilusi tersebut tergoncang.
Pengembalian tertunda, komoditi tak terjual dalam pasar yang jenuh,
dan harga-harga jatuh. Perkembangan pasar dunia tidak merubah proses
fundamental ini, namun hanya memberikan jangkauan yang lebih luas di
mana proses ini memanifestasikan diri. Akumulasi utang pada analisis
terakhir membuat krisis semakin dalam dan lebih panjang daripada yang
seharusnya. Sejarah baru Jepang lebih dari cukup untuk menunjukkan
hal ini. Setelah menikmati boom selama satu dekade yang ditandai
dengan meningkatnya asset dan harga saham, balon ini akhirnya meletus
dengan kenaikan suku bunga yang tajam. Situasinya sangat mirip dengan
yang terjadi di AS saat ini. Pada 25 Desember 1989, Bank of Japan
menaikkan suku bunga, yang menyebabkan terjadinya kemerosotan tajam
dalam Pasar Bursa, namun karena harga tanah masih terus naik, suku
bunga baru diperlukan. Akhirnya suku bunga dinaikkan hingga enam
persen dan menjelang akhir tahun harga saham merosot dengan tajam
sebanyak 40 persen. Dari sana, Bank of Japan mempertahankan tingginya
suku bunga. Pada saat itu Bank of Japan dipuji oleh para ahli ekonomi
atas penanganan ekonomi secara hati-hati. Namun akibatnya adalah
resesi panjang selama satu dekade.
Dengan globalisasi, dan penghapusan hambatan kredit dan transaksi
finansial, lingkup ekspansi tidak pernah lebih besar, tidak juga
potensi bagi crash di dunia. Namun masalahnya bukan krisis yang
disebabkan oleh modal fiktif, penipuan pasar bursa dan penggunaan
kredit yang berlebihan. Marx menjelaskan ini dalam volume ketiga
Capital:
“Mari kita abaikan transaksi dan spekulasi tipuan ini, yang
disukai oleh sistem kredit. Dari sini, krisis bisa dijelaskan sebagai
akibat dari disproporsi produksi antara konsumsi para kapitalis dan
akumulasi mereka. Namun sebagaimana masalah tersebut ada, penggantian
modal yang diinvestasikan dalam produksi sangat tergantung pada daya
konsumsi kelas-kelas yang tidak berproduksi; sementara daya konsumsi
pekerja sebagian dibatasi oleh hukum upah, sebagian oleh fakta bahwa
mereka digunakan sejauh mereka bisa dipekerjakan secara menguntungkan
oleh kelas kapitalis. Alasan pamungkas untuk semua krisis nyata
selalu tetap kemiskinan dan konsumsi massa yang dibatasi berlawanan
dengan dorongan produksi kapitalis untuk mengembangkan kekuatan
produktif seakan-akan hanya daya konsumsi masyarakat membentuk batas
mereka.” (Marx, Capital, vol. 3, p. 472.)
Ekspansi perdagangan dunia dan pembukaan pasar-pasar baru di Asia
juga memberikan dorongan sementara, tetapi hanya dengan harga
tepicunya keruntuhan yang lebih besar. Inilah bentuk dari apa yang
akan terjadi. Kebenaran analisis Marx tentang watak krisis kapitalis
ditunjukkan oleh apa yang telah terjadi di Asia. Perspektif tersebut
disampaikan tentang pasar besar dengan ribuan juta penduduk yang akan
menyediakan cadangan tanpa habis bagi barang-barang, jasa, dan
investasi dari barat. Pada mulanya janji tersebut nampaknya
mewujudkan diri. Pasar Asia menyediakan pasar besar dan mengembang
bagi Barat, yang terlepas dari hal lain, mencegah resesi 1990-2
menjadi depresi.
Namun kini semua ilusi lama berantakan menjadi abu. Sebagaimana
telah kita prediksikan delapan tahun yang lalu, pasar di Cina
tidaklah sebesar yang mereka bayangkan. Di bawah kapitalisme, pasar
tidaklah sama dengan besarnya penduduk. Jika pasar sama dengan
besarnya penduduk, maka Bangladesh akan jadi pasar penting. Alasan
mengapa pasar tidak sama dengan besarnya penduduk adalah bahwa suatu
pasar tergantung pada daya beli. Daya beli mayoritas Cina sangat
rendah. Fakta ini segera menerangi para pengamat asing. Artikel mulai
muncul dalam pers barat dengan judul seperti “Bagaimana tidak menjual
1,2 ribu juta tube pasta gigi.” Ilusi yang dipertaruhkan adalah daya
beli absolut penduduk Cina, yaitu kebutuhan real manusiawi (untuk
pasta gigi, dan banyak lainnya) dibenturkan pada kenyataan daya beli
penduduk Cina dan negara-negara Asia lain yang terbatas.
Kontradiksi pokok kapitalisme adalah bahwa keserakahan untuk nilai
lebih mendorong mereka untuk mengembangkan kekuatan produktif sampai
suatu titik di mana komoditi tidak bisa lagi diserap pasar. Pada
titik ini overproduksi muncul. Untuk sementara waktu mereka bisa
mengatasi kontradiksi ini dengan investasi pada apa yang disebut Marx
departemen satu, yaitu produksi alat-alat produksi, mesin, pabrik,
litbang, dsb. Namun kontradiksi-kontradiksi akan selalu muncul
kembali, karena pada titik tertentu investasi pabrik dan mesin pasti
menjadi komoditi massa.
Asia adalah contoh klasik bagi proses yang berlangsung dalam
kondisi yang mirip laboratorium. Pengejaran terhadap pasar baru dan
secara potensial menguntungkan mengundang investasi besar di Asia.
Ini menyebabkan pembangunan pabrik-pabrik baru dengan mesin modern
untuk mengambil keuntungan dari rendahnya upah buruh di Cina dan di
negara-negara Asia yang lain. Perkembangan ini disambut oleh kaum
Marxis karena ini menyebabkan penguatan proletariat. Implikasi
revolusioner in baru sekarang dipahami oleh para ahli strategi Modal.
Pemogokan umum di Korea Selatan adalah indikasi dari apa yang akan
terjadi besok di Cina, Jepang dan negara lain di Asia, sebagaimana
realitas krisis kapitalisme membakar kesadaran massa.
Dari sudut pandang ekonomi, Asia kini adalah bukti hidup
pernyataan Marx tentang tak bisa dihindarinya overproduksi. Akar
penyebab keruntuhan di Asia bukanlah besarnya hutang, korupsi dan
inefisiensi yang sedemikian sering dikutip oleh para ahli ekonomi
barat (sebelumnya ekonomi-ekonomi ini dijunjung sebagai model
efisiensi dan bukti keunggulan ekonomi pasar!). Faktor-faktor ini
hanyalah manifestasi luar dari masalah yang lebih dalam. Seandainya
pasar Asia terus berkembang, menghasilkan banyak penjualan dan laba,
tak seorangpun akan memperhatikan hutang, manipulasi dan ketimpangan.
Hal-hal tersebut terdapat dalam setiap boom kapitalis dan mereka ada
dalam ekonomi AS sekarang ini. Hanya ketika menjadi jelas bahwa
ekonomi menuju krisis, ketika overproduksi muncul (biasanya dalam
bentuk kelebihan kapasitas di bawah kondisi modern), permintaan dan
harga mulai jatuh dan margin laba menurun, dunia uang tiba-tiba
tersadar bahwa seluruh bangunannya adalah gubug yang dibangun di atas
kaki ayam. Konsekuensinya, bukan tidak adanya kepercayaan yang
menyebabkan krisis, namun adanya krisis yang menyebabkan runtuhnya
kepercayaan, yang memanifestasikan dirinya dalam jatuhnya mata uang
(Baht Thailand), skandal keuangan dan crash bursa saham.
Dampak dramatik dari gejala-gejala tersebut mencekam imajinasi
jutaan orang, dan karena itu dianggap sebagai sebab krisis yang
sebenarnya. Namun adalah watak dari pemikiran borjuis modern (dalam
filsafat dan juga ekonomi) untuk mengaburkan apa yang kelihatan
dengan kenyataan dan memberikan penjelasan subyektif yang tidak
menjelaskan apa-apa. Apa tepatnya yang menyebabkan kepercayaan
runtuh? Mengapa krisis di Thailand terjadi pada saat itu dan bukannya
satu tahun lebih awal? Mengapa manipulasi dan kejanggalan baru nampak
sekarang? Kita dengan sia-sia berusaha mencari jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini pada para ahli ekonomi borjuis. Dan ketika
boom sekarang ini di AS jatuh, mereka juga tidak akan bisa
menjelaskan mengapa “kepercayaan” yang kini menjaga Amerika menahan
dari tarikan ke bawah semua hukum ekonomi akan menguap seperti air di
atas kompor panas. Alasannya tidak sulit untuk ditemukan. Lenin
pernah mengatakan bahwa orang yang ada di tepi jurang tidak berpikir.
Jika para ahli ekonomi tersebut harus mencari sebab obyektif krisis
kapitalisme, mereka harus mengakui apa yang tidak bisa diakui–yaitu
bahwa masalahnya melekat dalam sistem itu sendiri. Namun demikian,
mempertahankan gagasan subversif seperti itu tidak disarankan, karena
kesimpulan yang tak terhindarkan adalah bahwa perubahan fundamental
masyarakat dibutuhkan.
‘Dasar-dasarnya masih kokoh’
Salah satu argumen utama para pendukung Paradigma Ekonomi Baru
adalah bahwa masih ada permintaan produk-produk teknologi baru; masih
banyak rumah tangga yang belum mempunyai internet atau telepon
mobile! Dan kemudian televisi digital sebentar lagi diperlukan.
Argumen seperti ini kekanak-kanakan pada tingkat yang ekstrem. Mereka
mengasumsikan apa yang harus dibuktikan–yaitu bahwa permintaan
(dalam arti permintaan nyata–daya beli) mampu dikembangkan tanpa
batas. Jelas bahwa ada banyak orang di dunia yang ingin mendapatkan
berkah internet, telpon genggam, mobil baru, atau bahkan semangkok
nasi. Adalah sepenuhnya hal lain bahwa mereka memiliki sarana untuk
yang diperlukan untuk mendapatkan berkah tersebut! Inti produksi
kapitalis adalah bahwa untuk mengejar laba, tiap kapitalis
memproduksi tanpa memikirkan batas-batas pasar hingga pasar menjadi
jenuh dengan barang-barang yang tidak bisa mendapatkan pembeli.
Permintaan barangkali masih ada–dalam pengertian kebutuhan dan
hasrat. (Dalam hal ini tidak pernah ada overproduksi). Namun hal ini
bukanlah urusan kapitalis yang terlibat dalam produksi, bukan
nilai-guna namun semata-mata nilai tukar, yang hanya bisa diwujudkan
dalam tindakan pertukaran. Apakah dalam kenyataannya ini bisa
diwujudkan adalah perkara lain. Untuk sementara waktu batas-batas
alami pasar bisa dikembangkan lewat kredit. Namun pada akhirnya
batas-batas ini akan dicapai, dan pada titik ini, kredit akan
berbalik ke arah berlawanan. Pandangan sekilas pada situasi utang di
AS menunjukkan bahwa keadaan kredit seperti sekarang ini tidak bisa
berjalan lebih jauh lagi. Pasar sudah diulur secara berlebihan. Ini
pasti menyebabkan situasi di mana penyimpangan dikoreksi–proses yang
sangat menyakitkan! Seperti pita elastis yang diulur melebihi batas
kemampuannya, kredit akan memantul kembali dan menampar muka.
“Karena tujuan modal tidak untuk memenuhi keinginan tertentu,”
Marx menerangkan,”dan kaena modal mencapai tujuan ini dengan
metode-metode yang menyesuaikan produksi massa pada skala produksi
dan bukan sebaliknya, konflik pasti akan terus muncul antara kondisi
konsumsi terbatas atas basis kapitalis dan produksi yang selamanya
cenderung untuk melampaui hambatan-hambatan yang ada.” (Marx,
Capital, vol. 3, 15; 2-3)
Masalahnya tidak terletak pada apakah tersedia bidang investasi
baru yang didasarkan pada teknologi baru. Masalahnya adalah apakah
para kapitalis mampu membuat laba dengan investasi dalam teknologi
baru yang akan membenarkan pengeluaran mereka. Dan masalah ini
bukanlah apakah ada permintaan (potensial) umum untuk produk-produk
baru. Masalahnya adalah apakah ada cukup daya beli dalam masyarakat
di mana para kapitalis bisa menjual komoditi mereka, dan dengan
demikian mewujudkan nilai mereka dalam kenyataan. Sejauh ini
permintaan di AS masih kuat, terutama atas basis kredit dan boom
Pasar Bursa. Berapa lama ini akan bertahan adalah persoalan lain.
Argumen bahwa ekonomi Amerika pada dasarnya kuat dan bahwa boom
konsumen sekarang ini bisa berlanjut tanpa batas sepenuhnya tidak
benar. Mereka yang membuat pernyataan tak bisa dipertanggungjawabkan
tersebut melupakan penjelasan tingkat hutang dalam ekonomi Amerika
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dari tingkat yang sudah tinggi
85 persen di tahun 1992, hutang rumah tangga keseluruhan di AS telah
meningkat menjadi 102 persen dari pemasukan pribadi. Salah satu dari
industri yang paling menghasilkan keuntungan di Amerika saat ini
adalah bisnis kartu kredit. Pembayaran layanan utang konsumen mencapi
rekor. Dengan kata lain, orang-orang mengeluarkan lebih banyak uang
daripada yang mereka mampu, dan ini khususnya masalah rumah
tangga-rumah tangga paling miskin di Amerika. Ini mempunyai implikasi
yang sangat serius di masa mendatang ketika ekonomi bergerak turun.
Apa yang benar terjadi pada utang pribadi juga terjadi pada utang
perusahaan. Utang perusahaan juga mencapai rekor dalam persentasenya
dari sektor GDP perusahaan. Dalam tahun 1998 sendiri, bisnis
non-finansial meningkatkan utang mereka sebanyak lebih dari 400 ribu
juta dolar. Ini tidak akan menjadi masalah jika uang tersebut
diinvestasikan untuk tujuan-tujuan produktif. Namun masalahnya tidak
demikian. Sebagian besar uang ini digunakan untuk membiayai pembelian
saham! Pada tingkat tertentu demam spekulasi mencengkeram ekonomi
Amerika.
Mengomentari situasi ini, The Economist (25/9/99) menulis
“kendati terjadi boom ekonomi, pinjaman bank meningkat, dan tingkat
kegagalan membayar obligasi perusahaan mencapai tingkat paling tinggi
sejak awal 1990an.” Ini menunjukkan tidak kokohnya landasan
keseluruhan proses. Satu-satunya hal yang mempertahankannya adalah
boom Pasar Modal, yang cepat atau lambat pasti berakhir. The
Economist melanjutkan:”Namun harga saham bisa jatuh, walaupun utang
tetap bertahan pada nilainya. Dan hanya pemasukan bisa melayani
utang: asset finansial tidak bisa membayar bunga tagihan kecuali
dijual. Jika setiap orang dipaksa menjual, harga saham akan lebih
jatuh lagi.”
Marx menjelaskan peranan kredit dalam ekonomi kapitalis sebagai
sarana di mana kaum kapitalis bisa mendorong pasar melampaui
batas-batas normalnya. Dalam periode boom, setiap orang mengejar
kredit, yang kelihatan memiliki sifat-sifat ajaib. Ini adalah bagian
yang diperlukan dari proses akumulasi modal, dan tak seorangpun
perduli akan tingkat utang yang semakin tinggi. Dalam pengerukan laba
gila-gilaan, kredit nampaknya memainkan peranan penting dalam
mendorong ekonomi untuk maju: “Ekspansi kredit dan boom harga asset
cenderung untuk mendorong dirinya sendiri. Ekspansi kredit yang lebih
cepat mendorong kegiatan ekonomi, laba dan juga harga asset. Pada
gilirannya, naiknya harga asset memberi harapan palsu pada lembar
keuangan dan memberikan kemungkinan rumah tangga dan perusahaan untuk
meminjam lebih banyak lagi. Dengan cara ini, boom kredit membakar
gelembung spekulatif.” (The Economist, 25/9/99)
Namun demikian, dengan dimulainya krisis, seluruh proses berputar
ke arah sebaliknya. Kini utang harus diminta. Bank tidak lagi dengan
gampang memberikan kredit. Hipotek harus ditutup. Orang-orang perlu
uang untuk membayar utang mereka. Ada rush dari bursa dan
saham untuk diubah menjadi tunai. Semua ini tercermin dalam naiknya
suku bunga yang menyebabkan dampak menekan pada konsumsi dan margin
laba dan kaenanya membuat kemerosotan semakin dalam. Mantra kredit
tak terbatas tiba-tiba putus, kereta kencana berubah kembali menjadi
labu, dan Cinderella harus pulang dengan pakaian compang campingnya,
hanya untuk mendapatkan bahwa rumahnya telah diambil alih oleh bank.
Seperti yang diungkapkan oleh Warren Buffet dengan jenaka: “Hingga
pasang surut hilang kita tidak tahu siapa yang berenang telanjang.”
Ekspansi kredit yang cepat telah memainkan peran besar dalam
setiap periode ekspansi kapitalis, paling tidak sejak Revolusi
Industri. Namun demikian, di bawah kondisi-kondisi modern, ekspansi
ini telah tumbuh mencapai dimensi yang tak terdengar hingga saat ini.
Karena itu, dalam gelembung asset dan harga di Jepang, Inggris, dan
Skandinavia di tahun 1980-an, pertumbuhan kredit yang cepat adalah
salah satu dari sebab utama seriusnya kemerosotan yang mengikutinya.
Apa yang pada awalnya mendorong boom akhirnya menjadi salah satu
penyebab utama penghancurannya. Dalam gerakan naik, kredit dan modal
fiktif berfungsi melumasi sistem, hanya untuk menghancurkannya
belakangan nanti.
Watak timpang ekonomi Amerika saat ini dimanifestasikan lebih jauh
dalam pertumbuhan defisit finansial sektor swasta secara
besar-besaran. Ini adalah jumlah tabungan perusahaan dan rumah
tangga, minus investasi total. Di awal 1990-an terjadi empat persen
surplus. Kini, defisit berada pada tingkat lima persen dari GDP.
Untuk membuat perbandingan historis, di tahun 1987, hanya ada sedikit
defisit sebanyak 0,8 persen dari GDP.
Ketika boom tiba-tiba runtuh, orang-orang akan berusaha membayar
utangnya, mengurangi pinjaman dan menabung lebih banyak. Ini adalah
fenomena klasik penimbunan, yang dibahas Marx secara rinci dalam
Capital. Setiap orang menginginkan tunai, tak seorangpun ingin
membelanjakan uangnya, maka konsumsi turun dan pasar mengerut. Ini
menyebabkan jatuhnya harga dan laba. Untuk mengamankan sahamnya dalam
pasar yang menciut, para kapitalis terpaksa menggunakan diskon dan
bahkan menjual komoditinya dibawah harga. Pada gilirannya ini
mengakibatkan jatuhnya investasi. Karena investasi adalah motor
penggerak dibalik setiap boom, ini langsung menyebabkan kemerosotan.
Dalamnya kemerosotan sangat diperparah oleh ekses-ekses periode
sebelumnya, seperti sakit kepala karena minuman keras berbanding
lurus dengan banyaknya alkohol yang dikonsumsi pada pesta malam
sebelumnya. Boom spekulatif saat ini di AS mewakili sebagian dari
dimensi-dimensi yang perlu dipertimbangkan!
Pasar Bursa
Ada elemen spekulatif dalam setiap boom, dimulai abad 17. Dalam
tulip mania di Belanda (1630) setangkai bunga yang jarang mampu
mencapai 5.500 Florin–atau 50.000 dollar dalam mata uang modern.
Dalam crash setelah itu, banyak orang yang hancur. Hampir seratus
tahun kemudian, kisah ini terulang lagi dalam gelembung Laut Selatan
(1720), ketika satu perusahaan petualang menawarkan untuk
mengambilalih utang nasional Inggris ditukarkan dengan monopoli
perdagangan Laut Selatan (perdagangan di Amerika Selatan). Ada contoh
terkenal mengenai saham yang ditawarkan dalam koran Times yang
diiklankan sebagai “Untuk tindakan yang akan diungkapkan dalam waktu
yang tepat.” Saham ini laris. Selama demam spekulatif gila ini, harga
saham naik dari 130 menjadi 1.000 pound dalam waktu tujuh bulan.
Kemudian meletus. Di antara ribuan orang yang kehilangan uang ketika
gelembung itu meletus adalah ilmuwan terkenal Isaac Newton yang
berkomentar dengan pahit: “Saya bisa menghitung gerakan benda-benda
di langit, namun saya tidak mampu memperhitungkan kegilaan orang.”
Sebelum crash 1929 terkenal skandal tanah Florida. Banyak uang
dibayarkan untuk tanah rawa. Dan sebagaimana selalu, pesta gila
spekulatif berakhir dengan air mata.
Modal fiktif, sebagaimana Marx menyebut surat “kekayaan” yang
disebabkan oleh spekulasi, telah memainkan peranannya dalam setiap
boom dalam sejarah kapitalisme. Dalam periode gerakan naik, ada demam
permintaan modal dan pengejaran irasional untuk laba cepat dan uang
mudah. Sebagaimana diterangkan Marx, borjuis selalu mendapatkan uang
dari uang (M-M1) tanpa usaha keras dalam produksi. Inilah asal usul
perjudian pasar modal dan berbagai jenis spekulasi yang lain. Selama
periode boom, sejumlah besar modal fiktif dihasilkan dan dianggap
valid, walaupun kurang memiliki basis nyata. Di AS dalam boom saat
ini fenomena ini telah mencapai proporsi yang paling luar biasa.
Tidak hanya harga-harga di Wall Street telah digelembungkan samapi
pada titik di mana mereka tidak punya hubungan dengan niali nyata
atau profitabilitas perusahaan yang dikutip, namun banyak modal
fiktif yang bersirkulasi di dunia pasar uang sebagai turunan dan
perangkat spekulatif yang mirip.
Bahwa mereka menuju pada keruntuhan besar jelas bagi semua orang
kecuali pemuja buta masyarakat perjudian. Mengomentari bahaya
crash pasar bursa, The Economist (21/8/99) menulis:
“Dua –dan berhubungan– ketidakpastian penting bisa menutupi
gambaran ini. Yang pertama adalah pasar bursa. Jika Wall Street
mengabaikan suku bunga yang lebih tinggi seluruhnya, sebagaimana
dilakukannya bulan Juni, perlambanan akan lebih sulit dicapai.
Sebaliknya, koreksi besar dalam pasar bursa bisa memicu perlambanan
tajam yang tidak menyenangkan. Yang kedua adalah bagaimana orang
asing akan berperilaku. Ini tidak diketahui. Defisit perdagangan
Amerika mencapai rekor $24,6 milyar di bulan Juni, dan negara
tersebut sedang menuju defisit anggaran berjalan 4% dari GDP tahun
ini. Karena ekonomi-ekonomi Eropa dan Asia naik, investor asing yang
membiayai defisit bisa menuntut suku bunga yang lebih tinggi untuk
melakukannya.
“Turunnya dollar baru-baru ini dan menguatnya penerbitan obligasi
baru merupakan permintaan jika sentimen asing turun dengan tajam,”
the Economist memperingatkan. “Perlambanan ekonomi Amerika yang
dibutuhkan bisa terjadi lebih mendadak daripada yang diharapkan
orang. Dan Alan Greenspan nantinya bukanlah lagi nampak sebagai
makhluk setengah dewa.”
Cukup menggelikan membaca komentar mereka yang disebut pakar yang
menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk prihatin karena para
kapitalis telah belajar dari kekeliruan masa lalu. Hal ini
mengingatkan akan pendapat Hegel bahwa tiap orang yang belajar
sejarah bisa menarik kesimpulan bahwa tak seorangpun pernah belajar
dari sejarah. Sebaliknya, para kapitalis sekarang ini sibuk
mengulangi kekeliruan masa lalu, menyiapkan bencana yang jauh lebih
besar.
Dalam ukuran besarnya, perilaku spekulatif di Wall Street tidak
memiliki preseden dalam sejarah kapitalisme. Ini menempatkan
spekulasi 1929 dalam bayangannya. Dalam ruang 12 bulan, saham
internet naik sebanyak lebih dari 1.000 persen. Namun hingga saat
ini, tidak ada satu perusahaan yang disebut telah menghasilkan laba.
Ini mirip dengan boom saham dan harga properti di Jepang di tahun
1980-an, ketika mereka naik sebanyak empat kali lebih, dan kemudian
jatuh. Bahaya keruntuhan di Wall Street telah ditunjukkan kurang
lebih tiga tahun yang lalu oleh Alan Greenspan, Kepala Federal
Reserve. Di bulan Desember 1996, dia memperingatkan kegembiraan
irasional di pasar bursa, yang pada saat itu berada lebih dari 6.000.
Namun Greenspan dan Fed tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan
inflasi nilai besar-besaran di Wall Street. Di sisi sebaliknya,
setelah runtuhnya Rusia bulan Agustus 1998, tingkat bunga AS
diturunkan, mendorong pecahnya demam spekulatif. Dow Jones kini
berada pada sekitar 11.000. Ini menghasilkan semacam euforia dan
keyakinan dalam banyak orang bahwa kenaikan spektakuler pasar bursa
bisa berlangsung selamanya. Dalam kenyataannya hal ini justru
menyiapkan keruntuhan masif.
Sejauh ini pasar bursa mengabaikan sedikit kenaikan suku bunga,
yang oleh Fed dinaikkan dengan sangat lamban. Greenspan tidak lagi
memperingatkan menentang “kegembiraan irasional” pasar bursa. Alasan
mengapa dia diam saja mudah dipahami. Bukan berarti bahwa
representatif keras kepala dari bisnis besar ini telah yakin bahwa
bahaya telah dilewati. Justru sebaliknya. Dia tahu bahwa situasinya
lebih berbahaya dari sebelumnya, dan bahwa goncangan paling kecil
bisa membuat seluruh struktur yang lemah runtuh ke tanah. Kata-kata
ceroboh dari Presiden Fed bisa mengakibatkan kepanikan finansial. Dan
Greenspan tidak ingin turun dari sejarah sebagai orang yang
menyebabkan crash di Wall Street!
Karena Pertukaran Bursa tidak berhubungan dengan ekonomi nyata,
ada orang yang berpendapat bahwa keruntuhan di Wall Street tidak akan
mempunyai dampak serius. Ini sepenuhnya keliru. Walaupun pasar bursa
punya hukumnya sendiri, yang terpisah dari hukum-hukum ekonomi nyata,
tidak berarti bahwa keduanya tidak berhubungan. Ada kaitan antara
keduanya, walaupun tidak langsung dan otomatis. Sebagai contoh,
walaupun harga saham di Wall Street nampaknya tidak berhubungan
dengan nilai nyata perusahaan yang dicantumkan, pada analisis
terakhir dividen saham pasti tergantung pada laba
perusahaan-perusahaan tersebut, pada jumlah kerja yang diambil dari
kelas pekerja yang tidak dibayarkan. Kenaikan harga saham adalah
antisipasi kenaikan laba dan dividen yang lebih besar. Ketika
antisipasi ini dinegasikan oleh kenyataan, harga saham akan jatuh
secepat ketika dia naik. Hingga kini para kapitalis telah menjaga
margin laba dengan meningkatkan produktivitas, namun ini telah
mencapai batasnya.
Sulit untuk mendapatkan bukti konklusif kecenderungan
profitabilitas, yang cenderung untuk naik dan turun, namun ada
beberapa indikator signifikan bahwa kondisinya jauh dari memuaskan.
Di tahun 1997, 70 persen laba perusahaan AS datang dari 200
perusahaan. Di tahun 1999, 70 persen laba perusahaan berasal dari
hanya 50 perusahaan. Ini sebagian merefleksikan naiknya jumlah
merger, namun ini tidak bisa menjelaskan gambar seluruhnya. Ini
nampaknya juga menunjukkan bahwa laba mulai turun, kecuali segelintir
perusahaan yang berhubungan dengan sektor teknologi informasi. Ini
adalah landasan sempit bagi seluruh ekonomi AS dan dunia. Ini juga
cocok dengan gambaran umum mengenai stagnasi atau jatuhnya
produktivitas. Posisi ini jelas tidak bisa dipertahankan. Ketika
fakta ini mulai dicatat, ini akan punya konsekuensi mengerikan bagi
Wall Street. Ketika para pemegang saham menyadari bahwa laba besar
yang diantisipasi tidak akan pernah terwujud, mereka mulai menarik
saham mereka, yang memicu jatuhnya harga. Banyaknya pedagang yang
tidak berpengalaman membuat persoalan semakin buruk. Keruntuhan akan
berubah menjadi bola salju.
Oleh karena itu pasar bursa, dalam cara gila dan terdistorsi,
merefleksikan gerakan ekonomi nyata dan pada gilirannya bisa
menimbulkan dampak besar bagi ekonomi nyata. Boom konsumen di AS
sekarang ini sangat tergantung pada naiknya harga saham dan utang.
Ketika gelembung inflasi asset meletus, ini akan menimbulkan efek
yang menggoncang pada apa yang disebut kepercayaan konsumen.
Permintaan akan merosot karena para memegang saham mengambil cadangan
kerugian mereka dan berusaha untuk mengatasi utang mereka. Ini jelas
merupakan masalah bagi ekonomi nyata! Pada saat ini hampir lima puluh
persen orang Amerika memiliki saham, baik secara langsung atau tidak.
Ini berbanding dengan sekitar 25 persen di tahun 1987, ketika krisis
pasar bursa terakhir terjadi. Jumlah pemegang saham di AS lebih dari
sepuluh kali lebih besar daripada di tahun 1929. Membayangkan bahwa
crash dalam pasar bursa dalam situasi ini tidak punya dampak
pada ekonomi nyata adalah fantasi belaka.
Pada saat ini boom Pasar Bursa di AS telah menarik banyak modal
asing. Walaupun ekonomi AS banyak utang dan mengalami banyak defisit
perdagangan dengan bagian dunia yang lain. Di sini kita punya
kontradiksi nyata. Jika negara lain ada dalam posisi yang sama, modal
akan keluar dan mata uangnya jatuh. Wall Street dan dollar nampaknya
menolak hukum gravitasi, untuk kegembiraan para pendukung Paradigma
Ekonomi Baru. Namun demikian, dalam ekonomi sebagaimana dalam
kehidupan sehari-hari, yang naik pada akhirnya pasti akan turun.
Cepat atau lambat ketimpangan masif dalam ekonomi AS pasti
menimbulkan keprihatinan di antara investor asing yang akan menuntut
premi ekstra untuk resiko meninggalkan uang mereka di Amerika. Ini
berarti suku bunga yang lebih tinggi.
Sejauh ini Fed mempertahankan rendahnya suku bunga, atau
menaikkannya sebanyak seperempat persen, ekuivalen dari kedipan licik
bagi spekulator yang menangkap isyarat dengan gembira dan segera
membuat Dow Jones naik. Secara pribadi Greenspan dan yang lainnya
mestinya sangat kuatir mengenai situasi ini. Mereka tahu bahwa
karnaval sekarang ini tidak bisa berlanjut. Jika Fed tidak ingin
bertindak, pasar uang internasional akhirnya akan memaksa mereka.
Jatuhnya dollar akan membuat konsentrasi pikiran seperti gantungan
yang baik dan memaksa mereka menaikkan suku bunga pada tingkat yang
berhubungan lebih dekat dengan realitas ekonomi Amerika. Pada titik
itu seluruh bangunan yang lemah akan mulai runtuh seperti rumah
kartu. Efeknya akan seperti ban yang tertusuk paku.
Para ahli ekonomi yang serius sepakat bahwa bahaya paling besar
yang dihadapi Amerika dan ekonomi dunia sekarang adalah krisis
deflasi. Hal ini belum terlihat sejak 1930-an–kecuali di Jepang
selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Ini adalah bayangan cermin
dari krisis inflasi namun terbalik. Ini adalah gerakan spiral menurun
di mana harga-harga turun, permintaan turun dan runtuhnya bank yang
semuanya ini bersamaan menarik ekonomi ke dalam depresi. Dalam
kondisi ini, jatuhnya harga bukan merupakan ekspresi sehatnya ekonomi
dengan naiknya produktivitas (seperti, periode lama gerakan naik
kapitalis sebelum Perang Dunia Pertama) namun sebaliknya, manifestasi
sakit dari kurangnya permintaan dan runtuhnya kepercayaan bisnis dan
investasi. Karena kondisi ini, di mana margin laba telah menurun,
kenaikan signifikan suku bunga akan mengurangi profitabilitas. Ini
akan menggerakkan reaksi berantai dalam ekonomi. Jatuhnya laba
menyebabkan jatuhnya harga dalam pasar bursa, yang kemudian bereaksi
terhadap pasar keseluruhan. Terpukul oleh jatuhnya harga saham dan
naiknya utang, konsumen menunda pengeluaran untuk mengantisipasi
jatuhnya harga lebih jauh, dengan demikian memperkecil pasar lebih
jauh. Dipenuhi utang, bank menolak meminjamkan lebih banyak uang dan
menaikkan suku bunga real pada tingkat yang menghukum, dengan
demikian memperkecil tingkat laba lebih jauh. Karena telah melampaui
batas-batas alami lewat ekspansi kredit dalam periode sebelumnya,
sistem kapitalisme dengan keras dipaksa kembali ke jalurnya. Tanpa
prospek yang bisa dilihat, para kapitalis menghentikan investasi.
Meningkatnya pengangguran lebih jauh menekan permintaan. Ekonomi
mengalami kemerosotan yang dalam.
Para ahli ekonomi borjuis cenderung mengidentifikasi siklus bisnis
dengan ekspansi dan kontraksi kredit. Dari sini kecenderungan
penyebab eksklusif kemerosotan adalah kenaikan suku bunga. Sebenarnya
ini bukan penyebab melainkan gejala. Ini juga berlaku untuk krisis
pasar bursa. Walaupun tidak benar bahwa krisis Pasar Bursa –atau
manifestasi operasi modal finansial–adalah penyebab krisis kapitalis
(penyebab sebenarnya, seperti dijelaskan Marx, adalah overproduksi),
krisis finansial tersebut bisa menandai keruntuhan mendadak suatu
boom dan memperbesar efek kemerosotan, tergantung sejauh mana pasar
telah ditarik melampaui batas-batasnya (oleh spekulasi, modal fiktif,
dan ekspansi kredit pada masa gerakan naik). Namun dalam siklus
sekarang ini, proses ini telah mencapai dimensi yang belum pernah
terdengar. Dan sebagaimana diperingatkan The Economist
akhir-akhir ini:
“Semakin lama pesta berlangsung, semakin parah pusing kepala
keesokan harinya, karena berbagai ketimpangan, seperti tingkat utang,
akan menjadi semakin besar.”
Paralel dengan 1920-an
Berlawanan dengan kepercayaan orang-orang Paradigma Ekonomi Baru,
boom sekarang ini jauh dari unik. Dalam boom yang mendahului crah
1929 terjadi periode pertumbuhan cepat dan investasi, yang saat itu
didorong oleh teknologi baru dan teknik produksi seperti otomobil dan
Fordisme, radio, pesawat terbang dan listrik, yang semuanya membawa
produktivitas pada tingkat baru yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Memang, tujuh tahun hingga 1929 menyaksikan tingkat pertumbuhan lebih
tinggi di AS daripada dalam boom sekarang ini, 4,7 persen, dengan
pengangguran kurang dari 4 persen dan tidak ada inflasi. Ini juga
merupakan periode laba tinggi dan boom pasar bursa, yang semuanya
menyebabkan orang percaya bahwa hari-hari baik terus berlangsung.
Semua ini berakhir dalam crash terbesar dalam sejarah, yang
diikuti oleh depresi besar pada skala dunia. Banyak paralel antara
situasi sekarang dengan 1920-an.
Inilah apa yang ditulis oleh John K. Galbraith tentang boom yang
mendahului kemerosotan 1929:
“Selama 1920-an produksi dan produktivitas tiap buruh tumbuh
dengan stabil; antara 1920 dan 1929, output tiap buruh dalam industri
manufaktur naik sebesar empat puluh tiga persen. Upah, gaji dan harga
secara komparatif tetap stabil, atau paling tidak mengalami kenaikan
yang tidak bisa dibandingkan. Dengan demikian, biaya turun, dan
dengan harga yang sama, laba meningkat. Laba ini mempertahankan
pengeluaran orang kaya, dan mereka juga memupuk paling tidak beberapa
harapan di balik boom pasar bursa. Lebih dari semua itu, mereka
mendorong investasi modal pada tingkat yang sangat tinggi. Selama
tahun dua puluhan, produksi barang-barang modal meningkat pada
tingkat tahunan rata-rata 6,4 per tahun, barang-barang konsumen tidak
awet (non-durable), kategori yang termasuk konsumsi massa seperti
makanan dan pakaian, meningkat hanya 2,8 persen. (Tingkat kenaikan
bagi barang-barang konsumen awet seperti mobil, rumah, perlengkapan
rumah dan semacamnya, merepresentasikan pengeluaran orang karya,
adalah 5,9 persen). Besar dan meningkatnya investasi dalam
barang-barang modal, dengan kata lain, alat utama di mana laba
dibelanjakan.” (J.K. Galbraith, The Great Crash, hal 192-3)
Batas-batas boom ini dicapai pada titik ketika permintaan tidak
lagi mampu mengikuti produksi. Sebelum landasannya keluar dari pasar
bursa, overproduksi sudah mulai tampak di AS:
“Sebagaimana dicatat, indeks aktivitas industrial dan indeks
produksi pabrik yang dibuat Federal Reserve, ukuran aktivitas ekonomi
bulanan yang paling komprehensif pada saat itu, mencapai puncaknya
pada bulan Juni. Indeks tersebut kemudian turun dan terus merosot
sepanjang tahun. Titik balik indikator lain, payroll pabrik, bongkar
muat, dan penjualan departemen store, muncul belakangan dan pada
bulan Oktober sebelum dan setelah trend semua ini turun. Kendati
demikian, sebagaimana para ahli ekonomi biasanya menekankan, dan
masalahnya punya otoritas tinggi dari Biro Nasional Penelitian
Ekonomi, ekonomi telah melemah di musim panas sebelum crash.
“Melemahnya ekonomi ini bisa dijelaskan dengan berbagai cara.
Produksi produk industri, untuk saat itu, telah melampaui konsumen
dan permintaan investasi untuk produk-produk tersebut. Alasan yang
paling mungkin adalah bahwa perhatian bisnis, dalam watak antusiasme
dari saat-saat yang baik, keliru menilai prospek peningkatan
permintaan dan mendapatkan inventaris lebih besar ketimbang yang
mereka butuhkan. Akibatnya mereka memotong pembelian, dan ini
menyebabkan pemangkasan produksi. Singkatnya, musim panas 1929
menandai awal resesi inventaris.” (Ibid., hal. 191-2)
Dengan kata lain, adalah krisis overproduksi yang menyebabkan
crash pasar bursa. Dan banyak dari ahli strategi kapital yang lebih
serius berpendapat bahwa kita sekarang menuju arah yang sama:
“Konsumen telah berada dalam pesta utang dan belanja, dan tabungan
rumah tangga menjadi negatif untuk kali pertama sejak 1930-an.
Perusahaan-perusahaan juga punya banyak pinjaman. Karena membumbungya
impor, defisit neraca berjalan Amerika mencapai rekor 4 persen dari
GDP. Pasar properti juga mulai nampak menggelembung namun kosong
seperti busa; harga properti tempat tinggal utama di banyak kota
besar membumbung tinggi. Terakhir, namun tidak kalah pentingnya,
pertumbuhan pasokan uang nampaknya berlebih-lebihan. Semua ini adalah
gejala-gejala klasik suatu gelembung.” (The Economist,
25/9/99)
Tingkat siklus yang mana?
Dalam beberapa hal, semua faktor yang disinggung di atas nampak
dalam boom di AS, dan bersama-sama menghasilkan spiral naik klasik
yang telah lama berlangsung. Namun gerakan ke atas spriral ini sedang
mendekati batas-batasnya. Ekonomi AS mulai menunjukkan gejala-gejala
klasik “kepanasan.” Pada puncak boom, ketika ekonomi bekerja penuh,
para kapitalis tidak mungkin lagi meraih laba besar-besaran
sebagaimana sebelumnya. Ada kecenderungan untuk overproduksi, yang
memberi tekanan pada harga dan margin laba. Pada saat yang sama,
penampilan ketenagakerjaan hampir penuh (di AS mereka mengeluh
mengenai kurangnya tenaga kerja pada beberapa bidang utama ekonomi)
kekuatan tawar menawar pekerja meningkat dan upah cenderung naik.
Karena itu, setiap penurunan pengangguran di Amerika dihadapi dengan
wajah muram pasar bursa. Bagi pekerja Amerika ini jelas berarti bahwa
apa yang baik bagi buruh adalah buruk bagi para kapitalis dan hiu-hiu
pasar bursa!
Satu-satunya cara memperpanjang boom adalah lewat peningkatan
substansial produktivitas. Namun ini bukanlah pilihan realistik.
Peningkatan produktivitas telah dilakukan pada periode sebelumnya
dengan tekanan keras pada otot dan sistem syaraf para buruh,
pemecatan, perampingan, memaksa lebih sedikit buruh untuk melakukan
pekerjaan yang dilakukan oleh buruh dengan jumlah lebih banyak. Namun
ini telah mencapai batas-batasnya. Mereka telah melakukan hal ini
terlalu jauh dan memprovokasi pukulan balik di mana-mana. Karena itu
tidak mungkin bagi para pengusaha untuk meningkatkan margin laba
dengan cara-cara seperti itu pada periode berikutnya.
Pengangguran di AS mencapai titik terendah selama 30 tahun.
Kendati demikian, fakta ini tidak mempertimbangkan banyaknya orang
yang bekerja paruh waktu, yang banyak terdapat dalam sektor teknologi
informasi. Para pekerja ini tidak punya banyak hak dan bisa segera
dipecat pada awal kesulitan ekonomi. Ini berarti bahwa dalam resesi
berikutnya, pengangguran di AS akan membumbung tinggi dengan cepat.
Namun pada tahap ini, ekonomi nampaknya bekerja penuh, dan tidak
menunjukkan tanda-tanda menurun. Selama tiga tahun terakhir GDP AS
rata-rata mencapai 4 persen per tahun. Produktivitas non pertanian
telah meningkat sebanyak dua persen setahun dalam periode yang sama,
sementara harga (kecuali dalam Pasar Bursa dan pasar properti) tetap
rendah.
Semua ini digunakan sebagai justifikasi bagi Paradigma Ekonomi
Baru. Namun sebenarnya alasan mengapa harga dipertahankan tetap
rendah di AS bukanlah hal baru, sebagaimana telah kita lihat. Tidak
perlu penjelasan atau paradigma baru untuk menjelaskannya. Ini
berhubungan dengan faktor-faktor klasik yang ada dalam setiap siklus.
Selain itu, gejala-gejala yang bisa diamati menunjukkan bahwa siklus
sekarang ini telah mencapai batas-batasnya dan mendekati akhirnya.
Kenyataannya, ketenagakerjaan yang penuh (atau hampir penuh), tingkat
pertumbuhan yang tinggi dan boom pasar bursa –dan juga
overproduksi– adalah hal yang akan diharapkan dilihat di puncak,
tepat sebelum keruntuhan.
“Kendati demikian,” tulis The Economist, “jelas bahwa pasar tenaga
kerja lebih ketat dari sebelumnya dan berada pada track yang tidak
bisa berkesinambungan. Lebih dari 300.000 pekerjaan diciptakan pda
bulan Juli, jauh lebih banyak dari yang diharapkan oleh sebagian
besar analis dan tiga kali lipat lebih besar dari pertumbuhan tenaga
kerja yang biasanya bisa berkelanjutan. Jumlah klaim pengangguran
berada pada titik paling rendah dalam siklus ekonomi ini, dan setiap
distrik Federal Reserve mencatat kekurangan tenaga kerja yang
meluas.” (The Economist, 21/8/99)
Dalam periode belakangan ini, ketakutan utama para ahli ekonomi
kapitalis adalah deflasi utang, yaitu spiral menurun jatuhnya
harga-harga asset, naiknya utang pada rasio asset, penjualan asset
terpaksa, kenaikan utang, dan jatuhnya pinjaman bank. Semua ini
adalah gejala klasik kemerosotan di masa lalu, yang diperburuk oleh
tindakan spekulasi berlebih-lebihan, sebagaimana telah kita jelaskan.
Semua ini adalah bahaya yang kini dihadapi AS–dan ekonomi dunia.
Semua faktor yang mendorong ke atas pada titik tertentu akan berbalik
arah. Dan titik ini mungkin tidak terlalu jauh. Setahun lalu raja
spekulator George Soros memperingatkan akan bahaya crash dalam pasar
uang dunia yang bisa menunjukkan ancaman mematikan bagi kapitalisme.
Kini suara-suara yang lain melantunkan tema yang sama. Tidak hanya
Keynesian kolot J.K. Galbraith memperingatkan tentang 1929 lain,
tetapi bapak monetarisme, Milton Friedman, mengatakan hal yang sama
persis. Dengan demikian, para representatif serius Modal–dengan
sedikit tertunda–sampai pada kesimpulan yang sama seperti kaum
Marxis.
Jelas tidak mungkin untuk bisa tepat soal waktu siklus. Menuntut
ketepatan waktu siklus berarti tidak memahami watak prediksi ekonomi.
Jauh hari Engels sudah menunjukkan bahwa ekonomi bukanlah ilmu pasti
karena, salah satu alasannya, lambannya statistik berarti bahwa
gambaran kita tentang ekonomi selalu ketinggalan jaman. Hal sama
baru-baru ini disampaikan oleh The Economist: “Mereka (para bankir
sentral) bekerja di dunia yang penuh ketidakpastian tanpa peta dan
kompas yang bisa diandalkan. Karena kesenjangan publikasi statistik,
mereka tidak tahu persis kemana seharusnya arah ekonomi, apalagi
sedang ke arah mana ekonomi sekarang ini.” (The Economist 23/9/99)
Karena itu semua prediksi ekonomi mempunyai watak kondisional. Tidak
mungkin memastikan dengan tepat waktu peristiwa-peristiwa. Panjangnya
waktu siklus sekarang ini telah diulur dengan cara yang paling
mengejutkan. Namun proses-proses di balik ini bisa dijelaskan dan
dipahami, dan akibat dari situasi sekarang ini bisa ditentukan dengan
tingkat kepastian yang masuk akal.
Samuel Brittan dari the Financial Times berargumen bahwa
krisis Pasar Bursa sekitar peralihan abad bisa mengakibatkan lebih
banyak kerusakan daripada crash Wall Street 1929. Dalam sebuah
artikel yang muncul dalam the Financial Times 22 Juli 1999,
dengan judul “Bubbles do burst,” dia menulis:
“Beberapa komentator dan pembuat kebijakan salah arah karena tidak
adanya tekanan inflasioner dalam pasar barang dan jasa. Namun
tanda-tanda tipuan ini sering terlihat dalam gelembung-gelembung di
masa lalu.” Dan kemudian dia mengutip Stephen King, kepala ahli
ekonomi di HSBC, yang tidak hanya yakin bahwa crash tidak
terhindarkan, namun juga berusaha menunjukkan bagaimana crash
tersebut terjadi:
“Sebagian besar gelembung mengembang dalam periode pertumbuhan di
atas rata-rata dan di bawah inflasi rata-rata,” tulis dia. “Tekanan
inflasioner sering disamarkan oleh turnnya harga-harga komoditi
global atau nilai tukar yang kuat yang menekan tekanan inflasioner
untuk sementara.” Selain itu selama boom, pertumbuhan pasokan uang
yang cepat secara langsung menghasilkan output lebih tinggi atau
harga-harga asset yang lebih tinggi, dan kaitan antara uang dan
inflasi untuk sementara putus. Brittan melanjutkan: “Menurut Ekonomi
HSBC, kekuatan yang paling mungkin meletuskan gelembung itu adalah
kombinasi kenaikan suku bunga lebih lanjut, apapun kata Greenspan
sekarang, dan jatuhnya dollar, yang keduanya diharapkan pada paruh
kedua tahun ini dan paruh pertama tahun 2000. Ini akan menghasilkan
perlambatan pertumbuhan tahun ini dan resiko resesi tahun 2001.”
Ketepatan waktunya mungkin keliru. Namun logika argumen tersebut
tidak salah. Para ahli ekonomi serius tidak mengharapkan boom
sekarang ini berlangsung lebih lama, dan mereka takut bahwa efek-efek
kemerosotannya akan keras. Argumen bahwa ekonomi bisa menghindari
efek-efek crash pasar bursa (berdasarkan pengalaman 1987)
tidak mempunyai landasan yang kuat. HSBC menunjukkan bahwa ada
perbedaan yang besar antara situasi sekarang dan saat itu:
“Dua belas tahun yang lalu tidak banyak bukti neraca sektor swasta
yang direntang berlebihan dan sedikit alasan untuk takut akan
kontraksi ganda dalam penguluaran sektor swasta sebagai akibat
jatuhnya harga bursa. Namun demikian, kini tingkat pengeluaran yang
tinggi didukung oleh kenaikan harga asset dan koreksi ekuitas yang
dipertahankan memungkinkan untuk menimbulkan efek-efek yang lebih
besar pada ekonomi AS.”
Boom sekarang ini bisa berlanjut untuk satu atau dua tahun lebih
lama, atau bisa jatuh dalam beberapa minggu. Tidaklah mungkin untuk
bisa tepat. Namun semuanya tampak menunjukkan bahwa ketika waktunya
tiba akan keras.
Marx benar!
Apa yang mengejutkan dari situasi dunia sekarang ini adalah
ramalan Marx tentang kapitalisme yang pada tingkat tertentu
ketepatannya sangat menakjubkan. Dalam halaman-halaman Capital kita
membaca bagaimana salah satu cara utama yang digunakan para kapitalis
untuk mengatasi (sementara) kontradiksi sistem mereka adalah lewat
pembangunan perdagangan dunia. Inilah makna globalisasi:
intensifikasi pembagian kerja internasional, dalam periode terakhir.
Namun, sebagaimana juga telah dijelaskan Marx, pada akhirnya ini
hanya mereproduksi kontradiksi pada skala yang jauh lebih besar dari
sebelumnya. Kebenaran prediksi tersebut akan segera ditunjukkan
seperti dalam laboratorium.
Selain itu, boom sekarang ini dibarengi dengan tingkat
pengangguran di sebagian besar negeri kapitalis maju yang belum
pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Tingkat pengangguran resmi
OECD (yang secara kasar memandang rendah tingkat pengangguran
sesungguhnya) berkisar sekitar 30 juta. Ini terjadi di tengah-tengah
boom! Tetap tingginya tingkat pengangguran dalam suatu boom belum
pernah terjadi sebelumnya. Ini bukan pengangguran musiman. Bahkan
bukan tentara cadangan pengangguran yang dibicarakan Marx. Ini
pengangguran permanen, organik, yang tidak kelihatan turun dalam
periode pemulihan. Ini adalah luka beracun yang menggerogoti
organ-organ penting dalam sistem. Pada skala dunia, menurut PBB,
tingkat pengangguran tidak kurang dari 1.000 juta. Angka-angka ini
sendiri merupakan kutukan bagi kapitalisme. Dan angka-angka tersebut
adalah yang terbaik yang ditawarkan oleh sistem. Apa yang terjadi
bila pada saat kemerosotan?
Benar bahwa di AS (bahkan membiarkan manipulasi angka),
pengangguran saat ini relatif rendah. Namun kita harus
mempertimbangkan watak dari “kesempatan kerja” ini, yang terdiri
sebagian besar kerja upah rendah, kerja biasa dengan sedikit hak,
jika memang ada haknya. Pekerjaan semacam ini bisa dan akan
menghilang semalam jika terjadi kemerosotan. Ini tidak hanya
persoalan ekonomi, namun mempunyai implikasi sosial dan politik yang
besar. Lenin pernah mengatakan bahwa politik adalah ekonomi yang
terpusat. Kemerosotan di Asia telah menunjukkan dirinya dalam awal
revolusi di Indonesia, krisis besar dalam rezim di Malaysia dan
kebangkitan masif perjuangan kelas di Korea Selatan. Kita akan
melihat apa konsekuensi ini semua di Cina, raksasa yang tidur, yang
ada di ambang perkembangan revolusioner yang bisa menggoncang dunia.
Ketika kita melihat Amerika Latin, kita melihat runtuhnya boom
telah menciptakan situasi di mana perkembangan eksplosif sedang
disiapkan di satu negeri setelah yang lain. Sebagian besar Amerika
Latin berada dalam resesi parah. Ekuador baru-baru ini mengumumkan
bahwa dia tidak mampu membayar Brady Bonds (suatu perangkat yang
dimaksudkan untuk membantu negara-negara Amerika Latin membyar
utangnya dari krisis terakhir 1980-an). Ekuador adalah negara pertama
yang melakukan hal ini –walaupun mungkin bukan yang terakhir.
Ekonominya menciut sebesar tujuh persen tahun ini, dan akibatnya
adalah gelombang pemogokan, pemogokan umum dan unjuk rasa yang belum
pernah terjadi sebelumnya yang menggoncang negara hingga ke
fondasinya. Venezuela–negeri penghasil minyak, seperti
Ekuador–berada dalam krisis parah. Kendatipun faktanya harga minyak
naik tajam dalam beberapa bulan terakhir, ekonomi Venezuela jatuh
sebesar 6 persen di tahun 1999. Rezim di Colombia ada di ambang
kebangkrutan, dengan akibat luasnya terhadap benua ini, sedangkan
yang disebut revolusi Chavez di Venezuela menyebabkan keprihatinan
mendalam di Washington. Kemerosotan di AS akan mengakibatkan
kekacauan di Amerika Latin, menempatkan perkembangan revolusioner
sebagai keharusan di mana-mana.
Afrika dalam keadaan kacau, dengan perang dan perang saudara yang
merusak sebagian besar benua ini. Kebijakan pasar bebas, yang jauh
dari penyelesaian masalah, telah melemparkannya ke dalam kekacauan
dan melahirkan hantu barbarisme. Di Timur Tengah tidak ada satu pun
rezim borjuis stabil yang nampak. Serangan bom mematikan atas Iraq
oleh imperialisme AS dimaksudkan sebagai peringatan bagi
bangsa-bangsa Timur Tengah dan dunia bekas jajahan pada umumnya untuk
tidak menentang kapitalisme dan imperialisme. Namun semua bom dan
peluru kendali di dunia tidak mampu menghentikan gerakan revolusioner
bangsa-bangsa bagi pembebasan mereka. Gerakan mahasiswa yang dahsyat
di Iran setelah 20 tahun kediktatoran Mullah memberi tahu dunia bahwa
revolusi sedang bergolak di negeri itu, dan tidak hanya di sana.
Perpecahan dalam keluarga kerajaan di Saudi Arabia dan negara-negara
Arab lainnya adalah gejala krisis mendalam, berkaitan dengan gerakan
gejolak harga minyak di pasar dunia.
Kemerosotan di Asia memakan waktu hampir setahun untuk menunjukkan
dirinya dalam kebangkrutan Rusia bulan Agustus 1998, namun akhirnya
tiba. Dan hasil-hasil yang menakjubkan! Gerakan para buruh tambang
dan seksi lain kelas pekerja Rusia adalah untuk mengingatkan bahwa
proletariat Rusia kembali berjuang. Stabilisasi yang nampak di Rusia
menipu orang untuk berpikir bahwa krisis sudah segera meletus menjadi
rangkaian krisis pemerintahan, serangan bom dan perang baru di
Chechnya. Tidak akan lama lagi sebelum Rusia dihadapkan pada
kebangkrutan ekonomi yang baru yang menempatkan seluruh persoalan
rezim sebagai keharusan. Sebagaimana di Cina, demikian juga di Rusia,
pasar telah menunjukkan kebangkrutannya. Masalahnya bukan apakah
perkembangan revolusioner akan terjadi, namun tinggal kapan.
Efek-efek sosial crash
Sebagaimana baru-baru ini The Economist memperingatkan,
“resiko paling besar bagi ekonomi dunia kini adalah Wall Street.”
Sekali gelembung spekulatif ini meletus dan seluruh bangunan yang
tidak kokoh akan hancur di sekeliling telinga mereka, gaung
psikologis, terutama di AS, akan besar sekali. Akan ada reaksi yang
sangat besar terhadap pasar dan seluruh kerjanya. Kekerasan reaksi
ini akan sebanding dengan besarnya ilusi yang dihasilkan dalam
periode sebelumnya. Efek-efek tersebut akan membuat diri mereka
terasa lebih tajam di AS daripada di tempat lain. Setelah beberapa
dekade mengalami jatuhnya standar hidup, perampingan dan ketimpangan
gila-gilaan, Impian Amerika ada dalam kehancurannya. Ada kekecewaan
meluas dan mempertanyakan keberadaan masyarakat yang didirikan di
atas landasan yang busuk. Perasaan umum malaise dan keterasingan
ditunjukkan dengan rendahnya partisipasi dalam pemilu dan kepercayaan
(sangat berdasar) bahwa orang-orang di atas tidak perduli akan
orang-orang kecil.
Sebagaimana telah kita tunjukkan, periode sekarang ini telah
menyaksikan peningkatan besar-besaran konsentrasi modal, yaitu
peningkatan besar-besaran dalam kekayaan dan kekuasaan sekelompok
minoritas pada satu ekstrem dan peningkatan yang sama besarnya dalam
kemiskinan, kesengsaraan, degradasi dan penyakit pada ekstrem yang
lainnya. Trend ini, yang diramalkan Marx dan ditentang keras oleh
para ahli sosiologi borjuis selama puluhan tahun, kini menjadi fakta
mengerikan yang tidak bisa ditolak. Kekayaan menakjubkan didapat dari
eksploitasi kelas buruh.
Rasa keterasingan ini tercermin dalam beberapa insiden kecil yang
mempunyai signifikansi simptomatik besar. Ketika pada akhir cerita
film Titanic, beberapa orang jahat kaya tenggelam, ada sorak sorai
dan kegembiraan dalam gedung bioskop di seluruh AS. Reaksi ini
dikomentari oleh para pengamat borjuis yang kuatir karena hal
tersebut. Sikap seperti itu terhadap orang kaya dan sukses tidak
seharusnya terjadi di Amerika! Lagipula, tidakkah boom pasar bursa
menawarkan harapan akan perbaikan dan kekayaan bagi semua orang?
Namun insiden tersebut, yang kelihatannya kecil dan tidak penting,
menunjukkan kecemasan dan pertanyaan tentang watak dan nilai-nilai
kapitalisme Amerika, jurang yang melebar antara yang kaya dan yang
miskin, khususnya di antara kaum muda, yang mewakili ancaman
mematikan bagi sistem kapitalis di masa depan. Jika sikap tersebut
adalah suasana hati saat kini, seperti apa situasinya bila
kemerosotan ekonomi terjadi? Pikiran seperti ini pasti membuat para
wakil Modal tidak bisa tidur nyenyak di malam hari.
Kemerosotan juga akan menimbulkan dampak yang serius di Eropa,
menempatkan euro dalam tarikan yang tidak bisa ditolerir. Sebagaimana
kita prediksi sebelumnya, sudah jelas bahwa introduksi euro akan
meningkatkan kontradiksi antar berbagai ekonomi Eropa. Atas basis
kapitalis, tidak mungkin untuk mempersatukan Eropa, karena tidak
mungkin mencapai konvergensi antar ekonomi-ekonomi yang menarik ke
berbagai arah. Jerman, ekonomi paling kuat di Eropa, sedang dalam
kekacauan. Dengan empat juta pengangguran pertama kali sejak Hitler,
tidak ada tanda-tanda akan membaik. Enam institut ekonomi telah
memangkas ramalan pertumbuhan tahun ini dari 2,3 persen menjadi hanya
1,7 persen. Namun kelemahan euro tidak memungkinkan menurunkan suku
bunga. Masalah-masalah ekonomi kapitalis yang lebih lemah bahkan
lebih keras. Di masa lalu Italia pasti akan melakukan devaluasi dan
menaikkan pengeluaran publik untuk keluar dari kesulitan. Kini mereka
terkunci dalam sistem kaku yang mungkin tidak akan bertahan melewati
resesi keras. Dalam suatu krisis semua antagonisme nasional lama akan
muncul kembali dengan kekuatannya lebih besar dua kali lipat.
Akan ada gejolak dari negara yang satu ke negara yang lain. Cepat
atau lambat ini pasti akan tercermin dalam oragnisasi massa kelas
pekerja. Pemimpin buruh sayap kanan seperti Blair dan Schroeder yang
sedemikian bergairahnya memeluk pasar bebas dan semua kerjanya akan
dikutuk. Akan terjadi oposisi besar-besaran terhadap
kebijakan-kebijakan kolaborasi kelas yang diambil oleh para pemimpin
Buruh. Setelah sekian lama organisasi Buruh bergoyang ke kanan, yang
mencerminkan tekanan kapitalisme, akan ada ayunan besar ke kiri di
mana-mana, yang akan membuka peluang besar bagi tendensi Marxis.
Jadi, pada fajar milenium baru, kita dihadapkan pada perspektif
revolusi dunia yang pertama kali dalam sejarah umat manusia. Revolusi
1848 yang ditulis Marx dan Engels dalam realitasnya terbatas di
Eropa. Bahkan gelombang revolusioner sesudah revolusi Rusia periode
1917-21, dan yang mempunyai gaung penting di Persia, China, Turki,
India dan Mesir, adalah fenomena Eropa. Namun kini semuanya berbeda.
Penciptaan ekonomi dunia yang tunggal, saling tergantung, dan
penguatan kelas pekerja sebagai akibat dari perkembangan industri di
setiap bagian dunia, untuk pertama kalinya menciptakan kondisi
obyektif bagi revolusi sosialis dunia. Yang diperlukan adalah satu
kemenangan utama kelas pekerja di salah satu negeri kunci, dan
perspektif transformasi masyarakat sosialis akan ditempatkan dalam
agenda di satu negeri dan benua satu demi satu.
Dalam jangka lima atau sepuluh tahun mendatang, persoalan
kekuasaan akan dihadapkan dalam satu negeri atau yang lain. Pemecahan
persoalan ini akan menentukan masa depan umat manusia.
Oleh Alan Woods dan Ted Grant
London, 14 Oktober 1999.
catatan :
The Federal Reserve adalah Bank Sentral Amerika Serikat. Greenspan
adalah induk darinya
OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development)
sebuah think-tank internasional dari negeri-negeri kapitalis terkaya
di dunia. Pendukung kebijakan ekonomi ultra-liberal. Tidak memiliki
kekuatan untuk terlalu mempengaruhi atau mengubah kebijakan ekonomi
negeri-negeri tersebut.