Setelah pemilu usai dan Partai Buruh hanya memperoleh 0,6 persen suara, kita setidaknya mengharapkan semacam analisa dan refleksi politik dari sejumlah kawan-kawan sayap-kiri dalam PB. Tetapi tiga bulan berlalu dan keheningan ini sungguh memekakkan telinga. Yang kita dapati malahan sebuah artikel yang menyerang Perhimpunan Sosialis Revolusioner (PSR), sebagai kelompok yang sedari awal mengkritik keras asas Negara Kesejahteraan serta kebijakan kolaborasi kelas para pemimpin kanan dalam PB. Alih-alih mengkritik sayap kanan PB, kiri kita ini begitu getolnya menjadi pengacara mereka untuk melindungi mereka dari kritik.
Dalam pengantarnya untuk Ketidakacuhan Politik karya Marx, kawan Mohamad Zaki Hussein menggunakan Marx untuk mengkritik PSR dan membela asas Negara Kesejahteraan PB. Sungguh malang Marx, yang lagi dan lagi karyanya dipelintir untuk tujuan yang berseberangan. Untuk itu kita harus terlebih dahulu meletakkan artikel Marx ini dalam konteksnya yang tepat sebelum kita membongkar argumen kawan Zaki.
Apa yang sesungguhnya Marx perjuangkan?
Dalam Political Indifferentism, yang ditulisnya pada 1873, Marx meluncurkan polemik tajam melawan kaum anarkis di dalam Internasional Pertama. Pengikut Bakunin dan Proudhon ini menolak perjuangan politik dan bahkan menolak memperjuangkan tuntutan reforma sehari-hari, seperti pendidikan yang lebih baik, jam kerja yang lebih pendek, dsb. Namun ini hanya satu sisi saja. Zaki lupa, atau sengaja lupa, bahwa Marx saat itu tengah membangun sebuah organisasi yang memiliki asas Sosialisme, dan bukan Negara Kesejahteraan. Marx dan Engels dengan gigih melawan reformisme serta oportunisme dalam gerakan buruh dan secara terbuka berjuang demi Revolusi, demi penghapusan kelas-kelas atau terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Sebaliknya, Zaki dan Komite Politik Nasional (Kompolnas) menolak memperjuangkan sosialisme di dalam Partai Buruh.
Kita kutip saja AD/ART Internasional Pertama yang disahkan pada 1864, yang menyatakan bahwa “perjuangan untuk membebaskan kelas pekerja bukan berarti perjuangan untuk privilese kelas dan monopoli kelas, tetapi untuk kesetaraan hak dan tanggung jawab, dan penghapusan semua kekuasaan kelas.” AD/ART ini diamandemen lebih lanjut pada 1872 di Kongres Hague, dengan menambahkan klarifikasi: “Penghimpunan kelas buruh ke dalam sebuah partai politik sangat diperlukan untuk memastikan Revolusi Sosial dan tujuan akhirnya – penghapusan kelas-kelas.” Sisi yang penting ini diabaikan dengan nyamannya oleh Zaki. Tidak ada kontradiksi di sini antara memperjuangkan ideologi sosialisme sebagai asas organisasi buruh di satu sisi dan memperjuangkan reforma sehari-hari di sisi lain.
Ini bukan pertama kalinya kaum oportunis secara sepihak bersandar pada polemik Marx versus anarkisme untuk membenarkan oportunisme mereka. Mereka mencomot bagian ini dan itu dari karya Marx dan Engels dan lalu mendistorsi ajaran mereka untuk tujuan-tujuan tertentu.
Lenin juga memblejeti distorsi oportunis semacam ini dalam Negara dan Revolusi. Kita mengenal dengan baik, dan bahkan terlalu baik, bagaimana Marx dan Engels mengkritik keras kaum anarkis yang dengan sembrono mengabaikan negara. Namun kaum oportunis memelintir ini untuk membenarkan kebijakan mereka memasuki negara borjuis untuk mengubahnya dari dalam secara perlahan dan damai dan pencampakan mereka terhadap perjuangan untuk menghapus negara borjuis secara revolusioner. Esensi ajaran Marx – bahwa proletariat harus secara revolusioner menghancurkan negara borjuis dan membangun negara buruh sebagai bentuk kediktatoran proletariat, dan bahwa negara buruh ini akan melenyap seiring dengan melenyapnya kelas-kelas, dikaburkan oleh mereka.
Apa yang dikatakan Lenin mengenai kaum oportunis pada jamannya berlaku juga untuk kaum kiri hari ini: “Mereka menghapus, mengaburkan, atau mendistorsi sisi revolusioner dari teori Marxisme, yaitu jiwa revolusionernya. Mereka menonjolkan dan memuji apa yang dapat diterima atau yang kelihatannya dapat diterima oleh borjuasi [dalam kasus ini, sayap kanan PB].”
Reforma dan Reformisme
Seperti Marx, kami dengan konsisten dan gigih mewartakan sosialisme di dalam gerakan buruh dan memerangi semua bentuk oportunisme dan reformisme. Tetapi ini bukan berarti menolak perjuangan untuk reforma.
Reforma dan reformisme adalah dua hal yang sungguh berbeda. Reforma adalah perbaikan bagi kehidupan sehari-hari buruh bahkan di bawah kapitalisme, seperti upah lebih baik, perlindungan kerja, dsb. Reformisme adalah paham bahwa kapitalisme bisa diperbaiki sedikit demi sedikit, secara gradual, tanpa revolusi, sehingga menjadi kapitalisme yang tidak lagi eksploitatif, kapitalisme yang manusiawi. Kaum revolusioner dan kaum reformis berjuang untuk reforma; ini benar, tetapi dari perspektif yang bertentangan. Yang satu berjuang demi reforma guna mempersiapkan kelas buruh untuk revolusi yang mengakhiri kapitalisme, yang satu lagi berjuang demi reforma untuk menghentikan perlunya revolusi dan melanggengkan kapitalisme.
Tidak hanya itu. Kaum reformis, karena ketertundukan mereka pada kapitalisme, justru sudah tidak bisa lagi memenangkan reforma yang serius dan berkelanjutan. Aparatus birokrasi-reformis dalam organisasi buruh kerap mencekik militansi buruh sehingga menyabotase perjuangan untuk reforma. Terlebih, ketika berkuasa mereka justru mengikuti dikte logika kapitalis untuk meluncurkan kontra-reforma. Ini karena krisis kapitalisme hari ini telah menyisakan sedikit sekali ruang untuk reforma.
Kaum reformis gemar sekali menyamakan reformisme dan reforma. Ketika kaum revolusioner mengkritik reformisme mereka, mereka membuat karikatur bahwa kami menolak reforma. Karikatur ini juga disuarakan dengan lantang oleh para pengacara sayap-kiri mereka, yang siap sedia membela sayap kanan dari kritik revolusioner.
Untuk menanggapi kongres pendirian Partai Buruh pada Oktober 2021, PSR merilis artikel “Kebuntuan asas ‘Negara Kesejahteraan’ Partai Buruh”, yang merangkum esensi kritik kami. Siapa pun yang mau membacanya dengan jujur dapat melihat bahwa yang kami kritik adalah asas Negara Kesejahteraan itu sendiri, yakni asas reformisme. Tidak benar kami menolak reforma. Intinya, kami mengatakan, selama Partai Buruh mengadopsi Negara Kesejahteraan sebagai asasnya maka:
“Setiap usaha dari Pemerintahan Partai Buruh [bila partai ini terpilih nantinya] … akan dihadapkan dengan batas-batas kapitalisme … dan akhirnya akan didikte oleh logika pasar kapitalisme. … alih-alih menciptakan Negara Kesejahteraan, mereka justru jadi pemerintah yang melakukan pemangkasan dan mempreteli Negara Kesejahteraan. Ini nasib yang menimpa partai-partai buruh di dunia [yang juga memiliki asas Negara Kesejahteraan]: Partai Buruh Inggris; PASOK di Yunani; Partai Sosial Demokrat SPD di Jerman; Partai Sosialis di Prancis.”
Kami menegaskan, hanya Partai Buruh dengan asas Sosialisme yang bisa sungguh-sungguh memenangkan reforma yang serius dan berkelanjutan bagi rakyat pekerja. Partai buruh yang berasaskan Sosialisme akan menyatakan bahwa cita-cita partai ini adalah transformasi radikal atas sistem ekonomi kapitalis yang berlaku, dengan mengakhiri kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi oleh segelintir pemodal dan menegakkan kepemilikan kolektif dan kontrol buruh atas tuas-tuas ekonomi, di mana ekonomi akan dikelola untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan bukan demi profit kapitalis. Partai ini akan selalu berupaya menghubungkan perjuangan reforma mereka dengan cita-cita sosialis mereka.
Tetapi menurut Zaki Hussein serta Muhamad Ridha sebagai ideolog Kompolnas (dalam artikel yang mengandung semangat yang sama, Menilai Partai Buruh dari Dalam), kaum sosialis harus terlebih dahulu menerima reformisme – atau “politik material” seturut jargon akademis kawan Ridha – dan tidak “mendorong konfrontasi yang antagonistis” guna “memastikan suksesnya agenda elektoral PB”. Inilah esensi dari oportunisme kawan-kawan kiri dalam PB, yang menanggalkan prinsip sosialisme demi pencapaian jangka pendek, yang bahkan tidak mereka peroleh sama sekali.
Kepemimpinan reformis gerakan buruh
Kawan Zaki menuduh kami “terobsesi mengkritik gerakan kelas pekerja dan capaian-capaiannya.” Sesungguhnya, yang kami kritik adalah kepemimpinan reformis gerakan buruh, terutama kaum reformis kanan seperti Said Iqbal yang dalam setiap langkahnya menghalangi kemajuan gerakan kelas pekerja. Tidak ketinggalan, kami juga mengkritik kaum reformis kiri dalam Kompolnas ketika mereka membuntuti kaum reformis kanan.
Tidak ada kesamaan antara kepemimpinan gerakan buruh hari ini dengan gerakan buruh (atau lapisan buruh akar-rumput). Sebaliknya, kepemimpinan reformis gerakan buruh hari ini telah menjadi penghalang terbesar bagi berkembangnya gerakan buruh. Lapisan buruh akar-rumput terus mencoba membebaskan dirinya dari kerak birokrasi-reformis yang menyesakkan itu, dan mereka terus pula dirintangi oleh para pemimpin kanan mereka, dan tidak jarang dengan bantuan dari kaum reformis kiri yang menganjurkan mereka untuk tiarap dulu dan tidak berkonfrontasi dengan pemimpin kanan mereka.
Mengkritik kepemimpinan reformis disamakan dengan “mengkritik gerakan kelas pekerja dan pencapaian-pencapaiannya [!!]”. Konyol. Kami tidak pernah mengecam buruh-buruh yang masih terilusi oleh kepemimpinan reformis mereka. Justru kami terus berusaha membantu mereka untuk bisa memahami karakter sesungguhnya dari pemimpin reformis mereka hari ini, yang tidak lain adalah perwakilan borjuis dalam gerakan buruh.
Kondisi gerakan buruh hari ini
Zaki berbicara mengenai “pencapaian-pencapaian” gerakan buruh di bawah kepemimpinan reformis. Pencapaian apa yang dimaksud? Yang ada justru kekalahan demi kekalahan selama dekade terakhir.
Dalam artikelnya, ia menyajikan gambaran yang sangat indah mengenai kondisi gerakan buruh. Siapapun yang membaca artikel Zaki akan mendapat kesan kuat bahwa selama dekade terakhir gerakan buruh ini terus mengalami kemajuan. “Aspek kepentingan kelas dari gerakan buruh reformis tampak masih berperan kuat [dan] secara umum gerakan buruh reformis masih memperlihatkan kemajuan,” umbar Zaki. Kawan kita ini tampaknya hidup di dunia angan-angan, atau lebih tepatnya hidup di dunianya kaum reformis kanan yang memang melihat segala sesuatunya baik-baik saja.
Pada kenyataannya, gerakan buruh sejak pemogokan nasional 2012 (Getok Monas) terus mengalami kemunduran. Jumlah anggota serikat semakin menurun; serangkaian UU pro-modal, dari PP78 hingga Omnibus Law, lolos tanpa perlawanan serius; taraf hidup buruh yang semakin memburuk; May Day dengan jumlah peserta dan militansi yang semakin menyusut dari tahun ke tahun, yang telah menjelma jadi jalan sehat dan dangdutan, atau jadi momen bagi kepemimpinan reformis untuk menyatakan dukungannya kepada borjuasi, dst. dst.
Rejim Jokowi dapat dengan leluasa menerapkan berbagai kebijakan pro-kapital, menggerus demokrasi, dan menikmati kestabilan relatif karena melempemnya gerakan buruh selama dekade terakhir. Dan kemunduran gerakan buruh ini adalah tanggung jawab para pemimpin reformisnya.
Pencapaian PB dalam pemilu ini, yang hanya 0,6 persen, disebutnya “lumayan jika dibandingkan dengan yang selama ini bisa dijangkau oleh gerakan sosialis.” Ini menunjukkan ketidaktahuan politik. Politik hanya diukur lewat jumlah suara elektoral. Bila demikian maka tidak ada gunanya membangun gerakan sosialis, tidak ada gunanya terus mengusung gagasan sosialisme, karena hari ini – dan bahkan di mayoritas waktu – di mana-mana semua pencapaian elektoral dari partai-partai massa buruh yang dipimpin oleh kaum reformis kanan jauh lebih besar dibandingkan apa yang bisa dijangkau oleh gerakan sosialis. Puluhan juta suara diperoleh oleh Partai Buruh Inggris, SPD Jerman, PASOK dan SYRIZA di Yunani, PSOE di Spanyol, NDP di Kanada, dsb., yaitu partai-partai yang ketika berkuasa justru dengan setia menjalankan kebijakan penghematan.
Ketika organisasi sosialis seperti PSR mengkritik reformisme dalam Partai Buruh, jawabannya biasanya mengambil bentuk ini: “Kalian sendiri bagaimana? Masih kecil-kecil saja dari dulu padahal mengusung gagasan sosialisme. Kalau memang gagasan sosialis itu lebih baik, bukankah mestinya organisasi kalian itu bisa besar?” Sebenarnya implisit dari argumen kawan-kawan “sosialis” seperti kawan Zaki ini adalah mereka sudah menyerah dalam memperjuangkan sosialisme.
Hanya orang bodoh yang beranggapan bahwa cukup dengan 3 orang dan seekor anjing untuk berkumpul dan meneriakkan sosialisme dari atas atap maka massa buruh akan segera mengikutinya. Tetapi organisasi sosialis yang dimulai oleh 3 orang (dan embrio Partai Bolshevik secara efektif dimulai oleh 3 orang: Plekhanov, Zasulich, dan Axelrod) yang dengan gigih memperjuangkan gagasan sosialisme di dalam gerakan buruh yang lebih luas, yang mempertarungkan sosialisme di dalam organisasi-organisasi massa buruh yang masih reformis, dapat – dan pada kenyataannya telah berhasil – menjadi partai massa revolusioner yang menumbangkan kapitalisme. Pemahaman dasar seperti ini adalah buku tertutup bagi mereka-mereka yang sudah letih dan menyerah.
Kaum reformis kanan sejatinya tidak pernah percaya pada sosialisme dan secara terbuka menentang sosialisme. Sementara kaum reformis kiri seperti Zaki dan banyak aktivis Kompolnas lainnya telah kehilangan kepercayaan pada sosialisme dan kapasitas revolusioner kelas buruh, tetapi mereka masih malu-malu untuk menyatakan secara terbuka kematian sosialisme di benak mereka. Mereka malu menjadi Budiman, Dita, dan Agus Jabo; atau sebagian mungkin belum memperoleh kesempatan emas untuk menyeberang sepenuhnya. Dengan berbagai akrobat mental dan intelektual, mereka berusaha mencocokkan sosialisme dengan oportunisme mereka, dengan cara mendistorsi sosialisme seperti yang dilakukan oleh kawan Zaki dengan artikelnya itu.
“Kondisi objektif yang belum memadai”
Bagi kaum sosialis memble seperti kawan Zaki, gagasan sosialisme belum siap diwartakan atau diperjuangkan di dalam gerakan buruh karena “kondisi objektifnya belum memadai”, karena sosialisme “masih belum punya pijakan yang kuat di kesadaran buruh dan kaum muda secara luas”. Apa artinya? Mereka hanya siap berjuang untuk menyebarkan gagasan sosialisme di gerakan buruh kalau kondisi objektifnya sudah memadai, kalau buruh dan kaum muda secara luas sudah berkesadaran sosialis.
Mereka menunggu sampai massa menjadi sosialis dan barulah mereka siap memperjuangkan gagasan sosialis dalam partai buruh. Bila demikian, buat apa partai? Justru tugas partai adalah memajukan kesadaran buruh, dan bukannya menunggu atau membuntuti kesadaran buruh.
Kita beruntung memiliki guru-guru besar seperti Marx dan Engels yang tidak pernah menyerah memperjuangkan gagasan sosialisme bahkan ketika kondisi objektifnya belum memadai, bahkan ketika tidak ada seorang pun yang mau mendengarkan gagasan mereka.
Bayangkan bila Marx dan Engels menyerah pada kondisi objektif seperti Zaki. Mereka akan menunda pembentukan Liga Komunis (1847) yang menghasilkan Manifesto Partai Komunis yang bersejarah itu, dan menunda pembentukan Internasional Pertama (1864). Maka tidak akan ada Marxisme seperti yang kita kenal hari ini.
Hegemoni kapitalis
Ini membawa kita pada poin terakhir. Zaki mengatakan, “kebanyakan massa buruh dan kaum muda tidak memilih PB … karena mereka masih dicengkeram oleh hegemoni kapitalis.” Hegemoni kapitalis adalah abstraksi umum yang paling mudah digunakan untuk menyalahkan segala sesuatu yang salah dengan gerakan. Mogok gagal, mengapa? Hegemoni kapitalis. Prabowo menang, mengapa? Hegemoni kapitalis. Buruh rasis dan seksis, mengapa? Hegemoni kapitalis.
Abstraksi umum ini diajukan untuk mengalihkan perhatian dari proses konkret bagaimana hegemoni kapitalis mencengkeram kaum buruh, yakni bagaimana hegemoni kapitalis ini ditransmisi lewat kepemimpinan reformis organisasi-organisasi buruh. Lapisan elite buruh inilah yang menjadi instrumen borjuis dalam menegakkan hegemoni kapitalis di dalam gerakan buruh.
Ketika Zaki mengatakan bahwa kegagalan PB – dan kurang memadainya kondisi objektif – disebabkan oleh buruh yang masih dicengkeram oleh hegemoni kapitalis, dia sesungguhnya menyalahkan buruh yang menurutnya menerima begitu saja hegemoni kapitalis. Dia tidak berani mengatakan bahwa hegemoni kapitalis ini ditegakkan terutama oleh para pemimpin reformis dalam gerakan buruh.
Berulang kali buruh berusaha membebaskan dirinya dari hegemoni kapitalis. Namun mereka senantiasa dirintangi dengan berbagai cara oleh kepemimpinan mereka sendiri, secara birokratik dan juga secara ideologis, dan tidak jarang dengan bantuan dari kiri-kiri kita yang membenarkan kebijakan para pemimpin kanan ini. Dari para akademisi “progresif” di seputar Indoprogres yang tempo hari menyerukan kepada rakyat untuk memilih Jokowi, sampai Zaki dan Kompolnas hari ini yang lebih sibuk melindungi pemimpin kanan PB.
Secara historis, demikianlah peran reformisme, sebagai sabuk transmisi hegemoni kapitalis. Inilah kebenaran yang harus kita suarakan dengan lantang di dalam PB dan gerakan buruh.
Apa yang harus dilakukan
Pada May Day kemarin, kepemimpinan PB menyatakan akan mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. Inilah logika tak-terhindarkan dari asas “Negara Kesejahteraan”, yang tidak bisa tidak berkait kelindan dengan kolaborasi kelas.
Kompolnas dalam statemennya mengatakan bahwa mereka terkejut, bahwa ini adalah “inkonsistensi gerak politik Partai Buruh”. Bagi sebagian besar buruh, dan siapa pun yang tidak buta, ini tidak mengejutkan dan sungguh konsisten dengan reformisme kepemimpinan PB.
Tanggapan Kompolnas pun sangat lembek, dengan embel-embel negosiasi dan kompromi dengan kelas penguasa diperbolehkan selama menguntungkan. Padahal, masalah utamanya sekarang ini bukanlah berkompromi atau tidak, melainkan mempertahankan kemandirian politik kelas buruh versus kebijakan kolaborasi kelas. Di tengah kondisi yang sulit, di mana tekanan yang paling besar adalah tekanan untuk menyerah dan berkompromi dengan borjuasi, di mana sayap kanan lagi dan lagi mensubordinasikan gerakan buruh di bawah borjuasi, penekanannya seharusnya menolak total semua bentuk pendukungan, koalisi dan aliansi dengan semua partai kapitalis. Kalau belum mulai bertempur saja kita sudah terus berbicara mengenai bolehnya berkompromi dan bernegosiasi dengan lawan, kita sudah kalah!
Dengan “kritik” yang menekankan bahwa kompromi itu diperbolehkan selama bermanfaat bagi buruh, kubu Said Iqbal dapat dengan mudah mengatakan bahwa dukungan mereka terhadap Prabowo-Gibran merupakan kompromi yang akan menguntungkan buruh. Bukankah mereka adalah pemimpin serikat buruh dengan ratusan ribu anggota, yang jumlahnya “lumayan jika dibandingkan dengan yang selama ini bisa dijangkau oleh” semua kiri yang terkumpul dalam Kompolnas? Percayalah pada kemahiran bernegosiasi para pemimpin besar ini!
Dengan ini Partai Buruh digugurkan secara prematur sebelum dapat menjadi partai massa oleh kebijakan reformis dan kolaborasi kelas dari para pemimpin kanannya. Tetapi ini bukan akhir dari kisah perjuangan kelas buruh. Krisis kapitalisme dan pembusukannya akan terus mendorong kaum buruh dan muda untuk mencari saluran-saluran untuk mengekspresikan keresahan mereka. Reformisme dan oportunisme akan terus menjadi rintangan bagi kaum buruh dan muda ini, dan kaum sosialis harus memeranginya dengan kekeraskepalaan yang tiada duanya.
Problem utama dalam gerakan sosialis hari ini bukanlah apa yang disebut Zaki sebagai “idealisme kekanak-kanakan”, tetapi oportunisme. Hari ini lebih baik memiliki 10 anak muda idealis dengan kebencian mendalam terhadap semua yang berbau reformisme daripada 1000 orang ‘sosialis’ yang dalam pragmatismenya menoleransi reformisme. Yang 10 ini punya potensi riil menjadi batu penjuru bagi ribuan dan puluhan ribu kaum muda dan buruh lainnya dalam perjuangan revolusioner melawan kapitalisme; sementara kaum oportunis yang 1000 ini akan menghilang ditelan sejarah. Tugas mendesak kaum sosialis revolusioner adalah membangun organisasi revolusioner yang berani secara terbuka memperjuangkan gagasan sosialisme dalam gerakan buruh, yang dengan tegas memerangi reformisme kanan maupun kiri, alih-alih menerimanya, dan yang menghimpun ke dalam barisannya generasi pejuang muda yang baru, yang tidak pernah gentar untuk mengatakan kebenaran kepada buruh luas, yang tidak pernah menyembunyikan sosialisme mereka dengan alasan “kondisi objektif yang tidak memadai”. Inilah bagaimana kita dapat membangun gerakan sosialis yang akan memastikan kemenangan akhir proletariat untuk mengakhiri horor kapitalisme.