Rabu malam (10/2014) digelar pemutaran film Senyap di sebuah rumah di jalan Kapuas, Surabaya. Seperti yang diungkapkan oleh pembawa acara, pemutaran film ini dimaksudkan untuk memperingati hari HAM (Hak Asasi Manusia). Diinformasikan bahwa pemutaran ini secara serempak diputar di berbagai kota. Dari berbagai pemberitaan melaporkan bahwa pemutaran film ini mendapat intimidasi dari aparat keamanan bahkan di beberapa tempat di Malang dibubarkan oleh ormas-ormas reaksioner. Meskipun demikian pemutaran film di Surabaya cukup berjalan lancar.
Orang berdatangan satu per satu, dan dalam waktu sekejap memenuhi bangku-bangku yang telah disediakan oleh panitia. Suasana senyap, hening seketika film itu diputar. Film yang disutradarai Joshua Oppenheimer merupakan film dokumenter yang menceritakan peristiwa Pembantaian 1965. Di sini diceritakan adik bungsu Ramli, yang sebagai aktor utama, mengungkap kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku pembantaian itu. Melalui medium memeriksa mata para pelaku pembantaian, si adik Ramli melakukan wawancara. Ramli merupakan salah satu korban Pembantaian 1965 yang dikisahkan oleh adiknya dibunuh dengan cara dipenggal kepalanya, dengan isi perut terburai. Dengan melakukan wawancara itu banyak fakta yang diungkapkan. Salah seorang pelaku pembantaian menceritakan dengan detail bahwa pada saat itu orang-orang yang dituduh PKI digiring ke sebuah ladang di dekat Sungai.
“Mereka kita giring; dengan tangan terikat; di sini; mereka terjatuh; kita seret! Meraung-raung, menangis, teriak: ‘ampun, ampun, ampun’, kita pukul mereka supaya diam!”
“Sesampainya di sini – di bibir sungai – dulu ini banyak pohon-pohon, kita memenggal kepala mereka. Kita memenggal bukan di tenggorok. Kita memenggal tepat di leher belakang sampai dua tiga sampai beberapa kali karena alot …”
“ … Tau suara orang yang dipenggal?” tanya para pelaku kepada adik Ramli.
“ Suaranya ngorok, errrgrrrroooookk, eerrrgrooook!”
“… Kepala mereka mengapung-apung di atas permukaan sungai, tenggelam timbul-tenggelam timbul, seperti pelampung pada kail ikan. Tubuhnya kita tendang ke sungai.
“ … Satunya lagi mengantre, kita sungkurkan ke pohon, mereka tidak berdaya; kita tikam berkali-kali, tubuhnya yang tidak berdaya kita tendang ke sungai, tubuh yang masih hidup itu menolak mati, berteriak: ‘tolooong, toolong, tooolong’…”
“ Lagi!”
“Antrean satu lagi!”
“ Kita penggal kepalanya.”
“Kita belah selangkangan mereka, seperti ini … ”, sambil mereka praktekkan.
“Kita potong kemaluan mereka!”
“… Orang-orang kampung berbulan-bulan tidak berani memakan ikan dan kerang karena ikannya memakan manusia di sungai.”
“Kejam, tak berperikemanusiaan”, itulah ungkap sebagian besar orang dalam diskusi ini.
Sejarah mengenal berbagai peristiwa kekejaman, kekerasan, dan berbagai bentuk pembunuhan-pembunuhan massal. Pembantaian Nankin di China, Peristiwa Holocaust di Jerman serta pembantaian suku Indian di Amerika, dll,. Bila kita tidak memahami dimana latar belakang sejarah bergerak, kita akan dibingungkan dengan berbagai peristiwa-peristiwa yang terjadi, seakan-akan semua ini bergerak secara kebetulan. Sejarah akan tampak hanya seperti serangkaian peristiwa-peristiwa penuh darah.
Marxisme menjelaskan bahwa motor penggerak sejarah adalah perkembangan kekuatan produksi dimana manusia memasuki hubungan-hubungan produksi dan pertukaran. Ketika hubungan-hubungan produksi lama telah menjadi belenggu atas perkembangan kekuatan produksi, maka pada saat itu pula kita menyaksikan era-era revolusi sosial. Satu kelas yang sudah lapuk dengan susah payah mempertahankan keberadaannya, sedangkan sebuah kelas baru yang lahir dari masyarakat lama menjadi ancaman bagi keberadaan kelas lama. Bila kelas yang mewakili masa depan tidak segera memenangkan pertarungan ini, maka reaksi akan menunggu, seperti burung pemakan bangkai. Hari ini, kelas yang sudah lapuk dan reaksioner ini adalah kelas kapitalis; sementara satu kelas yang berjuang untuk masa depan adalah kelas proletariat. Kedua kelas ini saling berbenturan satu sama lain secara tak terdamaikan, kadang benturan ini terjadi secara tertutup dan kadang secara terbuka.
Hanya lewat pemahaman sejarah seperti ini maka kita bisa memahami kekejaman Pembantaian 1965, yang merupakan bagian dari benturan kelas-kelas ini. Hanya dengan ini maka kita bisa memahami kejatuhan PKI yang berdarah-darah ini dan menarik pelajaran berharga darinya. PKI adalah partainya buruh dan tani Indonesia; partai proletariat. Ia adalah representasi dari kelas yang mewakili masa depan yakni kelas proletariat Indonesia. Sejauh yang kita tarik dari perjuangan kolonial melawan penjajahan Belanda, PKI merupakan garda depan dalam menentang kolonialisme. Banyak kader-kadernya dibuang di pengasingan, di kamp kerja paksa Belanda, menderita intimidasi, bahkan sampai dibunuh. Rakyat melihat kesetiaan ini di dalam tubuh PKI. Sehingga sangat sulit memisahkan PKI dan rakyat. PKI tumbuh organik bersama berkembangnya perjuangan kelas proletariat Indonesia. Ini tak terbantahkan.
Tradisi yang dibangun oleh PKI melewati tahun dan dekade. Meskipun beberapa kali jatuh bangun karena kecerobohan kepemimpinan, mereka masih dipercaya oleh rakyat. Pada Pemilu 1955, ketika PKI pertama kali berpartisipasi di dalam pemilihan umum, PKI berhasil meraup 6,1 juta suara, dengan 39 perolehan kursi di parlemen. Dengan ini PKI menduduki urutan keempat setelah NU, Masyumi, dan PNI. Dengan beranggotakan kurang lebih 3 juta orang yang terhimpun di ormas-ormas BTI, SOBSI, CGMI, Lekra, dsb. PKI melesat tumbuh. Ini jauh daripada keanggotaan Bolshevik Rusia saat itu yang jumlahnya hanya 8 ribu sebelum Revolusi Februari 1917 pecah. Ini adalah pencapaian signifikan PKI saat itu.
Sayangnya di balik pencapaian besar ini terdapat kesalahan krusial yang tidak segera diperbaiki oleh kepemimpinan. Tentu sebuah partai tidak terlepas dari kesalahan. Namun, seperti halnya kesalahan ia menuntut pertimbangan akan teori-teori yang ada. Bila kesalahan ini tidak jujur diakui dan diperbaiki maka ini adalah jalan yang sama untuk mempersiapkan kesalahan yang besar di masa depan.
Kesalahan implisit PKI adalah menempatkan perjuangan kelas di bawah perjuangan nasional yang artinya menunda perjuangan sosialisme pada hari depan yang sangat jauh. Perjuangan ini adalah perjuangan revolusi nasional demokratik yang mengharuskan “ … melapangkan jalan partai [untuk] menggalang persatuan dengan borjuasi nasional … ” seperti yang diungkapkan Aidit di dalam pidato Kongres ke-V PKI. Teori Stalinis ini, yang dikenal dengan “teori revolusi dua-tahap”, dalam prakteknya melucuti partai dan kaum proletariat dan “melapangkan jalan partai” ke ladang pembantaian.
Kelas proletariat yang sedang menguat di dalam tubuh PKI pada ekspresi terakhir hanya bisa disalurkan melalui perjuangan yang konsisten untuk menggulingkan borjuasi. Kelas proletariat yang sedang menguat adalah ancaman yang tidak bisa ditolerir oleh borjuasi. Kedua kelas ini tidak bisa dibiarkan berdiri berdampingan satu sama lain. Dalam situasi ini ia akan saling menghancurkan. Dan ini adalah masalah waktu saja.
Demi beraliansi dengan kaum borjuasi nasional “progresif”, kepemimpinan PKI justru menjadi sebuah rem bagi perjuangan kelas. Ia menginginkan harimau untuk memakan rumput sedangkan ia berdampingan dengan keledai. Ini adalah kebijakan yang konyol. Kebijakan yang tidak hanya dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia tapi juga dilakukan sebagian besar partai-partai komunis di dunia yang mengekor teori Stalin. Kebijakan ini membawa petaka besar di China (1925-27) dan Spanyol (1936), dan memberikan jalan bagi kaum reaksi di bawah tumpukan mayat proletariat.
Sejarah tidak mengenal ampun terhadap siapa saja yang melakukan kesalahan. Ia adalah batu ujian bagi sebuah teori. Namun kesalahan teori bukanlah tanpa risiko. Dalam perjuangan kelas, kesalahan akan dibayar mahal yakni nyawa dari kaum proletariat. Oleh karenanya perlu bagi generasi mendatang untuk mengambil sikap serius terhadap teori.
Pelajaran dari sebuah kekalahan
“Dalam bencanalah orang mengenal kawannya. Tentara yang kalah belajar dengan baik-baik.” – Lenin.
Peristiwa 1965 merupakan bukti kebangkrutan Teori Dua Tahap Stalinis. Fakta ini juga membuktikan bahwa borjuasi di negeri-negeri kolonial jauh dari mampu untuk menyelesaikan tugas yang seharusnya dia emban (reforma agraria, pembentukan majelis konstituante, hak berserikat dan berkumpul, dsb). Borjuasi nasional Indonesia yang direpresentasikan oleh Soekarno saat itu sangatlah takut untuk mengambil nasib seluruh bangsa ke tangannya, apalagi setelah Jepang kalah dengan Sekutu dalam Perang Dunia II. Kita harus mengakui bahwa bila saat itu tidak ada desakan dari kaum muda Menteng 31 di Rengasdengklok mungkin deklarasi kemerdekaan Indonesia akan tertunda lagi untuk waktu yang lama. Tidak selesai pada itu pergolakan republik Indonesia yang muda ini masih dalam proses tarik ulur hanya karena kaum borjuasi nasional Indonesia sangat ragu-ragu dan pengecut.
Situasi krisis yang menghantam setelah kemerdekaan membuat kaum borjuasi ini terpaksa melakukan langkah-langkah nasionalisasi aset-aset yang selama ini dimiliki oleh Belanda. Satu-satunya yang bisa ditemui untuk merealisasikan ini adalah PKI yang memiliki basis keanggotaan serikat-serikat buruh di perusahaan-perusahaan Belanda.
Bila saat itu kepemimpinan PKI mengedepankan kemandirian kelas, mungkin Revolusi Oktober Indonesia akan terjadi dengan cukup damai. Sayangnya program PKI tidaklah demikian. Teori Dua Tahap yang dipegang PKI mengharuskan mereka bertemu dengan Soekarno. Meskipun kelas borjuis ini tidak progresif, para pemimpin PKI menciptakan sendiri ilusi tersebut.
Perjalanan sejarah Indonesia memberikan pelajaran akan siapa sekutu sebenarnya proletariat di dalam mencapai masyarakat sosialis. Di atas sudah kita sudah paparkan bagaimana kaum borjuasi bukanlah sekutu kita. Sekutu proletariat adalah kaum tani miskin, dan elemen tertindas lain yang untuk mencapai itu kelas proletariat harus meraih kepercayaan bahwa dengan jalan sosialislah terbentang harapan yang besar bagi kesejahteraan rakyat. Seperti yang ditulis Tan Malaka dalam Menuju Republik Indonesia bahwa, “Hanya suatu program yang benar-benar bertujuan memperjuangkan kepentingan-kepentingan materiil seluruh rakyat dan dilaksanakan dengan jujur dapat menciptakan satu setia-kawan, satu setia kawan yang akan mampu menghancurkan imperialisme, bukan hanya demikian, akan tetapi juga menjauhkannya buat selama-lamanya dan akhirnya merintis jalan untuk komunisme internasional.”