Pada akhir tahun lalu, rejim Jokowi-JK memenangkan pertempuran besar pertamanya melawan kelas buruh. Apa yang tidak bisa dilakukan oleh SBY dicapai dengan begitu gemilangnya oleh Jokowi dalam tahun pertama masa jabatannya. Rejim ini berhasil memaksakan PP Pengupahan ke kaum buruh dan merontokkan mogok nasional pada 24-27 November kemarin. Kita bisa katakan bahwa untuk pertama kalinya sejak 2012 gerakan buruh mengalami kekalahannya yang paling telak. Apa yang menjadi sebab dari kekalahan ini? Apa yang harus kita lakukan? Inilah sejumlah pertanyaan yang akan kita coba kupas di sini, yang tujuannya bukan hanya sebagai catatan akhir tahun, tetapi terutama sebagai refleksi yang bisa membuka jalan baru bagi gerakan buruh ke depannya.
Menengok ke belakang sejenak
Pada periode 2011-2012, gerakan buruh mengalami lompatan kualitatif ke depan, yang dimahkotai dengan Mogok Nasional pada 3 Oktober, yang lalu dikenal sebagai Getok Monas (Gerakan Tiga Oktober Mogok Nasional). Kaum buruh, dengan organisasi perjuangannya, masuk ke arena politik sebagai kelas untuk dirinya sendiri dan membuat kapitalis gemetar ketakutan. Kemenangan demi kemenangan diraihnya, tidak hanya kemenangan normatif tetapi terutama kemenangan moril, yakni kepercayaan diri serta solidaritas kelas. Jutaan buruh melakukan mogok serempak di hampir seluruh pelosok Indonesia; puluhan ribu buruh tumpah ruah di stadium Gelora Bung Karno; May Day dirayakan oleh buruh dengan gegap gempita dan dinyatakan sebagai hari libur nasional. Semua ini mengingatkan kaum kapitalis akan masa-masa yang sudah lama mereka tinggalkan di masa lalu dan mereka kira tidak akan kembali, yakni masa-masa revolusioner 1955-1965 dimana buruh dan tani termobilisasi dan tidak “mengambang”. Gerakan buruh yang sudah mereka hancurkan secara berdarah-darah pada 1965-66 sekarang mulai memunculkan kepalanya kembali.
Setelah puncaknya pada Monas 2012 gerakan buruh mulai kehilangan intensitas dan militansinya, yang sebab musababnya akan kita kupas di bawah. Akan tetapi kapital politik atau momentum dari kemenangan Monas 2012 masih cukup besar. Ini seperti batu besar yang menggelinding, yang bahkan setelah melambat masih menyimpan tenaga yang besar. Gerakan buruh masih cukup kuat untuk meraih sejumlah kemenangan, yang tentunya semakin hari semakin kecil dan semakin sulit diraih. Fakta ini tidak cukup memuaskan kelas penguasa. Mereka tidak hanya ingin batu besar gerakan buruh ini berhenti, tetapi meremukkannya sehingga tidak bisa bergerak lagi di hari depan.
“Kami jadi bulan-bulanan. Di satu titik, cukup, tidak dapat ditolerir [lagi],” ujar Haryadi, Ketua Umum Apindo menjelang Monas November kemarin. Demikianlah yang ada di pikiran setiap kapitalis. Mereka tidak bisa lagi menolerir buruh-buruh yang berani membangkang, yang berani menatap tajam mata mereka tanpa rasa kikuk, dengan tatapan yang mengatakan “kami tahu hak-hak kami dan kami akan menuntutnya”. Terbiasa menjadi penguasa absolut selama puluhan tahun selama masa Orde Baru, para kapitalis sekarang merasa tidak tenang dengan kekurangajaran buruh yang membuat mereka merasa “jadi bulan-bulanan”. Inilah motif politik dari PP Pengupahan, tidak hanya untuk menekan upah buruh tetapi juga mematahkan gerakan buruh secara keseluruhan.
Ekonomi Kapitalis dalam Krisis
Akan tetapi yang menjadi alasan utama pemerintahan Jokowi menyerang buruh adalah situasi ekonomi Indonesia dan dunia secara keseluruhan yang semakin runyam. Sejak 2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami penurunan, terkena imbas dari krisis akut ekonomi dunia yang tak kunjung selesai dan khususnya melambatnya perekonomian Tiongkok. Baru-baru ini (9/1), Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia, dari yang sebelumnya 5,5 persen menjadi 5.3 persen. Ini sejalan dengan diturunkannya proyeksi pertumbuhan dunia, dari 3,3 persen menjadi 2,9 persen.
Dalam era ekonomi yang sudah terglobalisasi, nasib ekonomi Indonesia tidak bisa dipisahkan dari dunia. Ini memiliki dampak langsung pada kemampuan kapitalis untuk bisa memberikan konsesi kepada buruh. Laba kapitalis yang semakin tergerus oleh krisis ekonomi harus dijaganya dengan menekan bagian dari nilai lebih yang diberikan kepada buruh, yakni upah. Selain upah langsung, yang juga ditekan adalah apa yang disebut upah sosial (tunjangan-tunjangan dan program-program serta pelayanan sosial dari pemerintah). Misalnya dengan kenaikan iuran BPJS yang baru-baru ini rencananya diumumkan.
Secara umum ketika ekonomi kapitalisme mulai memasuki fase penurunannya, maka kesulitan perjuangan buruh untuk perbaikan kesejahteraan akan semakin meningkat. Ini karena kapitalis tidak bisa lagi memberikan remah-remah kepada buruh ketika dapur mereka sedang terbakar oleh api yang tak kunjung padam.
Di sinilah pangkal permasalahannya. Ekonomi dunia hari ini ada dalam kondisi yang sudah tidak lagi memungkinkan perbaikan fundamental untuk kesejahteraan rakyat pekerja. Buruh dan rakyat pekerja umumnya menemukan dirinya dalam posisi yang semakin hari semakin sulit untuk mempertahankan apa yang sudah dicapainya, apalagi meningkatkannya. Kenyataan ini telah mematahkan argumen utama dari para pembela sistem kapitalisme: bahwa sistem ekonomi yang berdasarkan kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi dan ekonomi pasar bebas ini adalah sistem yang dapat membawa kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Hanya orang yang buta atau menolak melihat yang bisa menolak kesimpulan ini. Kebuntuan dari sistem ekonomi kapitalisme ini tidak hanya terekspresikan dalam kekacauan ekonomi, tetapi juga dalam kekacauan politik, sosial, dan kebudayaan.
Reformisme dalam Sejarah
Yang menjadi benteng pertahanan utama dari tatanan kapitalisme bukan hanya tentara dan polisi, bukan hanya aparatus kekerasan dari negara, tetapi juga dan terutama ilusi reformisme, yakni bahwa di dalam kerangka kapitalisme rakyat pekerja bisa memperoleh kesejahteraan dan keadilan sosial. Reformisme tidak menihilkan perjuangan dari kelas-kelas yang tertindas, tetapi membatasi perjuangan ini dalam batas-batas kapitalisme. Melalui reforma-reforma kecil, yang dimenangkan lewat jalur ekstra-parlementer dan/atau parlementer, rakyat pekerja bisa memperbaiki kehidupan mereka. Entah misalnya dengan negosiasi serikat buruh, lobi dan tekanan, petisi, gerakan koperasi, mengirim buruh ke parlemen, dsb. Intinya, kapitalisme tidak perlu ditumbangkan, dan bahkan mustahil untuk ditumbangkan, seperti yang nanti akan kita ulas di bawah nanti.
Mari kita tilik sejenak bagaimana reformisme sebagai paham dan tendensi politik muncul. Reformisme hari ini adalah paham yang dominan di antara rakyat pekerja, terutama di antara kepemimpinan gerakan rakyat pekerja. Ada basis ekonomi yang melandasi kelahiran dan perkembangannya. Pada periode akhir abad ke-19, gerakan buruh tumbuh besar dan menjadi gerakan massa. Ini berlangsung seiring dengan semakin matangnya kapitalisme itu sendiri. Pabrik-pabrik raksasa tumbuh seperti jamur di Eropa Barat, mempekerjakan ratusan ribu buruh dan dengan demikian menciptakan batalion proletar yang luar biasa besar. Organisasi-organisasi massa buruh lahir, dari serikat buruh sampai ke partai politik. Partai-partai buruh massa ini menyatukan diri ke dalam sebuah organisasi internasional yang lalu dikenal dengan nama Internasionale Kedua. Mayoritas pemimpin buruh pada saat itu berjuang – atau setidaknya mengklaim berjuang – untuk menumbangkan kapitalisme secara revolusioner dan mewujudkan sosialisme. Gerakan buruh semakin hari semakin besar dan kuat, dan tampaknya masa depan sosialisme yang dinubuatkan oleh Marx ada di depan mata dan dalam jangkauan tangan.
Akan tetapi di balik proses radikalisasi gerakan buruh ini, ada sebuah proses lain yang sedang berlangsung, sebuah proses yang bertentangan dengannya. Pertumbuhan ekonomi di Eropa pada periode akhir abad ke-19 menciptakan kondisi dimana sistem kapitalisme memiliki cukup banyak lemak untuk disisihkan sebagian kepada buruh. Konsesi demi konsesi dapat diberikan oleh kapitalis dan pemerintah kepada buruh, yang tentunya bukan diberikan begitu saja tanpa perjuangan keras dari buruh lewat organisasi mereka. Ada peningkatan kesejahteraan secara gradual yang dirasakan oleh rakyat pekerja di negeri-negeri pusat kapitalis pada saat itu, yakni Eropa Barat dan Amerika Utara umumnya. Situasi ini perlahan-lahan membentuk cara pandang baru di antara buruh, terutama para aktivis dan pemimpin buruh. Kapitalisme selama puluhan tahun, yakni hampir satu generasi, tampak terus menguat tanpa ada tanda-tanda memasuki krisis. Sementara posisi ekonomi kaum buruh juga terus membaik. Seiring dengan itu kekuatan politik buruh menancap semakin dalam dan kokoh setiap harinya, dengan semakin banyaknya kursi parlemen yang dimenangkan oleh buruh. Lantas, kalau demikian, para pemimpin buruh ini mulai berpikir: apakah revolusi masih dibutuhkan untuk mencapai sosialisme? Mungkin sosialisme bisa tercapai melalui reforma-reforma secara gradual? Mungkinkah Karl Marx keliru ketika ia mengatakan bahwa ada kontradiksi-kontradiksi inheren di dalam kapitalisme yang mendorongnya untuk memasuki krisis? Bahwa kapitalisme sudah berevolusi sedemikian rupa sehingga memiliki sarana-sarana adaptasi yang memungkinkannya menghindari krisis dan terus berkembang? Dan, oleh karenanya, kapitalisme tidak perlu ditumbangkan dan kesejahteraan buruh bisa terjamin di bawahnya?
Cara pandang yang baru ini mulai mengakar di dalam gerakan buruh. Awalnya malu-malu dan tanpa kerangka teori yang kokoh dan jelas, tetapi akhirnya cara pandang ini dipaparkan secara terbuka oleh Eduard Bernstein dalam karya seminalnya pada 1899, “Syarat-syarat Sosialisme dan Tugas Sosial Demokrasi”, yang juga dikenal dengan judul “Sosialisme Evolusioner”. Di dalam karya tersebut untuk pertama kalinya tendensi reformisme diberikan kerangka teori yang konsisten. Menurut Bernstein kemunduran umum kapitalisme adalah hal yang semakin hari semakin tidak mungkin terjadi, karena di satu sisi kapitalisme menunjukkan kapasitas adaptasi yang semakin besar, di sisi lain, produksi kapitalis semakin hari semakin beragam.
Salah satu proposisi utama dari Marxisme adalah bahwa kapitalisme, akibat dari kontradiksi-kontradiksi internalnya yang inheren, niscaya akan mencapai satu titik dimana ia tenggelam dalam krisis yang sangat akut, dan menjadi sebuah sistem yang sudah tidak mungkin lagi bisa dipertahankan. Krisis ini, yang terjadi secara siklikal, mengambil bentuk krisis komersial, yang lalu meluber menjadi krisis sosial dan politik. Inilah titik berangkat dari sosialisme. Kapitalisme sendirilah yang lalu menyediakan benih-benih untuk masyarakat baru yang akan menggantikannya. Pertama, kapitalisme senantiasa mendorong sosialisasi proses produksi. Divisi tenaga kerja semakin hari semakin terperinci, sehingga hampir semua barang adalah hasil kerja dari ratusan jika bukan ribuan buruh dari berbagai pabrik, sektor industri, dan berbagai negeri. Produksi telah menjadi sosial di bawah kapitalisme, tetapi kepemilikan alat produksi masih bersifat pribadi. Kedua, kapitalisme menciptakan batalion proletar yang semakin hari jumlahnya semakin besar, semakin sadar kelas, dan semakin terorganisir, yang merupakan faktor aktif dalam revolusi.
Bernstein, Sang Bapa Reformisme, menyangkal keniscayaan krisis kapitalisme sebagai titik berangkat sosialisme. Kesimpulan ini ditarik Bernstein berdasarkan apa yang dianggapnya sebagai sarana-sarana adaptasi dari sistem kapitalisme: sistem kredit, pembentukan kartel atau monopoli (konsentrasi kapital dan produksi), perkembangan sistem telekomunikasi, serta perbaikan taraf hidup rakyat pekerja yang konsekuensinya membuat mereka bukan lagi kelas buruh tetapi kelas menengah, dsb. Pendeknya, kapitalisme telah menemukan cara bagaimana memecahkan kontradiksi-kontradiksi internal mereka, sehingga ia telah menjadi sistem yang mempan krisis. 100 tahun kemudian argumen yang serupa, dengan sedikit modifikasi di sana dan di sini atau dengan bahasa-bahasa yang lebih baru, canggih, dan rumit, masih digunakan oleh kaum reformis atau para apologis kapitalisme. Namun setiap kali para nabi ini mengatakan bahwa tidak akan ada lagi krisis kapitalis, bahwa kapitalisme yang “baru” dan “adaptif” ini bisa menjamin kestabilan ekonomi, sosial dan politik bagi semua lapisan masyarakat, harapan mereka segera buyar ketika terbentur dengan realitas krisis kapitalis yang dalam dan katastropik.
Dari 1870-1914, kapitalisme terus tumbuh dan tampak kokoh. Ini menciptakan kesan bahwa tidak akan lagi ada krisis, dan kaum reformis seperti Bernstein berlomba-lomba mengumumkan bahwa revolusi dan sosialisme sudah tidak lagi relevan. Tetapi Perang Dunia Pertama pecah pada 1914-18, sebagai ekspresi dari krisis over-produksi kapitalisme dimana tiap-tiap negeri kapitalis berlomba – dengan bedil di tangan – untuk memperebutkan pasar bagi komoditas dan kapital mereka. Tentunya bukan kapitalis sendiri yang maju ke garis depan medan peperangan. Yang dikirim ke parit-parit perang adalah kaum buruh, untuk mati dalam jumlah jutaan. Mimpi utopis dari kaum reformis akan kapitalisme yang stabil dan damai hancur berkeping-keping di tengah dentuman meriam. Bahkan usai Perang Dunia I, tidak ada kestabilan jangka panjang yang bisa diharapkan. Anarki kapitalisme kembali berkecamuk dan dunia ditenggelamkan lagi ke kubangan darah Perang Dunia Kedua, 1939-1945.
Krisis over-produksi kapitalisme diselesaikan dengan dua Perang Dunia, yang menghancurkan – secara harfiah membom – semua komoditas dan alat produksi yang berlebihan. Ini memberikan landasan untuk kebangkitan ekonomi pasca Perang Dunia II. Pertumbuhan ekonomi yang pesat kembali memberikan ilusi bagi kaum reformis bahwa kali ini — ya, kali ini — kapitalisme akhirnya berhasil menyelesaikan kontradiksi internalnya. Para pemimpin gerakan buruh begitu cepat melupakan krisis kapitalisme pada periode sebelumnya (1914-1945) yang nyaris menghancurkan seluruh dunia, dan terbuai oleh boom kapitalisme pasca PD II. Metode Keynesian – yakni intervensi moneter pemerintah dalam suplai uang, misalnya dengan tingkat bunga rendah, mencetak uang untuk stimulus, mendorong ekspansi kredit – dipercayai dapat menyelesaikan masalah overproduksi yang inheren di dalam kapitalisme.
Secara umum dari 1945-2008 kapitalisme mengalami pasang naik yang tampaknya tidak akan pernah berakhir. Ada sejumlah resesi selama periode tersebut tetapi biasanya resesi ini cukup dangkal dan tidak menghentikan laju kapitalisme. Di periode ini kita saksikan terbentuknya negara kesejahteraan (welfare state) di negeri-negeri kapitalis maju, yang menjamin kesejahteraan buruh. “Tidak ada lagi alternatif,” ucap Margaret Thatcher pada 1980an. Kapitalisme adalah satu-satunya sistem untuk peradaban manusia. Keruntuhan Uni Soviet dan Blok Timur pada 1991 semakin meneguhkan cara pandang ini. Francis Fukuyama mengumumkan “akhir sejarah”, dimana tidak akan ada lagi perubahan di dalam masyarakat dan kapitalisme adalah bentuk final dari sistem pemerintahan manusia.
Selama hampir 2 generasi kaum buruh menyaksikan taraf hidup mereka terus membaik di bawah kapitalisme. Hari ini lebih baik dari kemarin, dan esok akan lebih baik dari hari ini. Ini memberikan landasan material bagi tumbuhnya paham reformisme di dalam gerakan buruh. Argumen dasarnya masih sama seperti yang dipaparkan oleh Bernstein hampir seabad yang lalu, bahwa kapitalisme telah menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi internalnya lewat sarana-sarana adaptasi yang diciptakannya. Gerakan buruh tidak perlu lagi berjuang demi revolusi dan sosialisme. Kalaupun ada masalah di dalam kapitalisme, dengan mengutak-atiknya sedikit lewat beragam regulasi yang pintar masalah ini akan bisa teratasi.
Krisis 2008 membuyarkan ilusi reformisme ini. Semua tesis mengenai kapitalisme yang bebas krisis, kapitalisme yang adaptif dan inovatif, kapitalisme yang bisa menjamin kesejahteraan rakyat pekerja, terekspos hampa. Namun para pemimpin gerakan buruh reformis yang dibesarkan di periode boom kapitalisme sebelumnya tidak mampu melihat ini. Mereka terjebak di masa lalu dan tidak mampu melihat ke depan. Mereka masih mengidam-idamkan kembali ke masa kejayaan kapitalisme yang lalu, dan dengan demikian mereka telah menjadi kerak birokrasi yang menghambat buruh untuk mencapai kesimpulan revolusioner.
Krisis kapitalis 2008, yang merupakan krisis terdalam di dalam sejarah kapitalisme, tidak serta-merta langsung menghancurkan paham reformisme yang mengakar di benak rakyat pekerja. Secara umum kesadaran manusia bersifat konservatif, dalam artian manusia cenderung berpegang pada kebiasaan lama dan cara berpikir lama, bahkan ketika realitas sudah tidak lagi sesuai dengan kesadaran lama tersebut. Tetapi pada akhirnya realitas yang akan menang, dan kesadaran akan mengejar realitas dengan lompatan. Jadi kesadaran tidak selalu bergerak dalam garis lurus, ia bisa melompat. Lompatan semacam inilah yang menjadi basis revolusi di dalam perkembangan masyarakat.
Sejak 2008 kita sudah mulai saksikan lompatan-lompatan semacam ini di seluruh penjuru dunia: Occupy Movement, Revolusi Arab, gerakan Indignados dan munculnya Podemos di Spanyol, kemenangan Syriza di Yunani, terpilihnya Jeremy Corbyn sebagai pemimpin Partai Buruh di Inggris, gerakan Bernie Sanders di AS yang berbicara mengenai sosialisme, dsb. Walaupun gerakan-gerakan ini belum mencapai kesimpulan revolusioner yang diperlukan, mereka mulai mempertanyakan kapitalisme. Mereka mulai mengguncang paham-paham tua.
Yang menarik adalah peran aktif kaum muda (pelajar, mahasiswa, dan buruh muda) di dalam gerakan-gerakan ini, yang tidak mengherankan karena generasi muda adalah generasi yang lebih bebas dari jerat ilusi reformisme. Tidak seperti orang tua mereka yang menikmati taraf hidup relatif tinggi selama masa boom kapitalisme sebelumnya, yang hidup di bawah negara kesejahteraan, kaum muda dihadapkan dengan masa depan yang tidak pasti. Negara kesejahteraan dipreteli di depan hidung mereka. Mereka dihadapkan dengan kapitalisme dalam bentuk yang sesungguhnya, dimana yang miskin bertambah miskin dan yang kaya bertambah kaya, dimana kesengsaraan terakumulasi di satu kutub dan kapital terakumulasi di kutub yang lainnya. Yang perlu kita pahami adalah bahwa boom kapitalisme pada periode yang lalu sebenarnya adalah pengecualian (bahkan hanya berlalu untuk negeri-negeri Barat saja), yang dimungkinkan oleh hancurnya Eropa akibat Perang Dunia II dan ekspansi perdagangan dunia.
Reformisme di Indonesia
Seperti halnya kapitalisme dicangkokkan di Indonesia dari luar, dan bukan tumbuh secara organik dari masyarakat Indonesia, begitu juga reformisme. Tidak seperti di negeri-negeri pusat kapitalis, dalam sejarah Indonesia tidak ada kondisi-kondisi material untuk tumbuh berkembangnya paham reformisme. Tidak ada kondisi dimana kapitalisme secara umum mampu memberikan konsesi kepada buruh. Sampai pada 1965 gerakan buruh didominasi oleh anasir-anasir revolusioner dan anti-kapitalis.
Setelah dipatahkan oleh kontra-revolusi Orde Baru, gerakan buruh lahir kembali pada akhir 80an dan awal 90an, yang sebagian besar dimotori oleh LSM-LSM perburuhan sebagai bagian dari perjuangan demokratik melawan kediktatoran Orde Baru. Ini terjadi seiring dengan industrialisasi perekonomian Indonesia, yang menciptakan batalion proletar yang semakin besar terutama di industri tekstil, garmen, dan sepatu. Kebebasan demokratik pasca Reformasi 1998 membuka gerbang bagi lahirnya lebih banyak lagi serikat buruh.
Malangnya gerakan buruh Indonesia, dan umumnya gerakan Kiri Indonesia, adalah ia lahir kembali ketika ideologi borjuasi atau kapitalis (atau reformisme) sedang mendominasi di dunia. Uni Soviet dan Blok Timur mengalami krisis pada tahun 1980an, yang berujung pada runtuhnya Tembok Berlin pada 1989 dan bubarnya Uni Soviet pada 1991. Marxisme tampak terdiskreditkan. Tidak ada gagasan alternatif lain selain reformisme yang tersedia bagi kaum buruh dan kaum muda di Indonesia. LSM-LSM mengimpor dari luar gagasan-gagasan reformis siap-saji ke dalam gerakan, terutama karena pendanaannya datang dari organisasi-organisasi reformis dan borjuis negeri-negeri Barat. Para mahasiswa, sebagai intelektual gerakan, menggeluti ilmu-ilmu sosiologi, filsafat dan politik dari akademisi borjuis luar negeri: para “Indonesianis”, para pemikir-pemikir post-modern, post-Marxis, neo-Marxis, dan sebagainya. Inilah basis dari paham reformisme di Indonesia.
Oleh karenanya bisa kita simpulkan kalau reformisme di Indonesia tidak memiliki akar yang dalam, tidak seperti di Barat dimana ilusi reformisme memiliki basis material yang riil di antara kelas buruh. Misalnya di Amerika Serikat kita mengenal “The American Dream”, bahwa siapapun yang bekerja keras dan jujur akan bisa meraih mimpi mereka. Tidak pernah ada “Indonesian Dream”. Kelas kapitalis AS berkuasa terutama lewat ilusi reformisme yang tertanam kokoh di benak tiap-tiap buruh AS, sementara kelas kapitalis Indonesia harus menggunakan kekerasan terbuka dan kediktatoran militer. Hal yang sama kita saksikan di hampir semua negeri “Dunia Ketiga”.
Ini bukan berarti tugas kaum revolusioner dalam melawan reformisme adalah mudah. Kontra-revolusi 1965 dan runtuhnya Uni Soviet 1991 telah memutuskan rantai yang menghubungkan sejarah gemilang gerakan proletariat revolusioner dengan generasi kaum revolusioner hari ini. Kaum revolusioner Indonesia harus bekerja keras untuk menemukan kembali tradisi Marxisme dan Bolshevisme. Satu-satunya alasan mengapa reformisme dan liberalisme begitu dominan di dalam gerakan adalah kelemahan kaum revolusioner dalam ranah ideologi, sebuah kelemahan besar yang sedang kita benahi dan harus kita benahi kalau kita ingin menang.
Gerakan Buruh Kita Hari Ini
Kegagalan Monas 2015 untuk menghadang PP Pengupahan kemarin bukan semata karena kurang beraninya para pemimpin serikat buruh, atau kurang amanahnya para pemimpin buruh, atau taktik yang keliru. Misalnya ada yang mengatakan bahwa Monas gagal karena para pemimpin tingkat pabrik lalai menjalankan instruksi. Ada pula yang mengatakan bahwa ini karena Monas diundur, sehingga kapitalis bisa menstok barang. Ada pula yang mengatakan sejumlah pemimpin telah berkongkalikong dengan para bos dan pemerintah, dengan membuat deal-deal di belakang pintu. Atau juga yang mengatakan ini karena kurangnya solidaritas dengan buruh kontrak atau outsourcing, dan kelalaian dalam membela dan mengorganisir mereka. Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.
Semua alasan yang dikemukakan di atas benar, tetapi salah sasaran. Karena semua ini adalah hanyalah gejala, hanyalah ekspresi dari apa yang merupakan problem fundamental di dalam gerakan buruh, yakni perspektif reformisme.
Dengan perspektif reformisme, maka yang ada di pikiran para pemimpin buruh adalah bagaimana memperjuangkan bentuk kapitalisme yang ramah pada kepentingan buruh. Mereka membayangkan sebuah sistem dimana pemilik modal dan buruh bisa bekerja sama secara harmonis demi kemakmuran bangsa. Said Iqbal misalnya baru-baru ini dilantik sebagai anggota Governing Body ILO, yang misinya adalah menciptakan “kondisi kerja dan ekonomi yang memberikan pekerja dan pemodal peran dalam menjaga kedamaian, kemakmuran, dan progres.” Untuk bisa mencapai ini maka tugas pemimpin buruh menjadi mengelola antagonisme antara kepentingan buruh dan kapitalis, supaya antagonisme ini tidak keluar dari jalur yang aman, agar antagonisme ini tidak mengancam prospek pembangunan hubungan yang harmonis antara kapital dan buruh. Para pemimpin buruh ini akan membela kepentingan buruh, dengan mogok, demonstrasi, dan berbagai aksi massa, tapi hanya selama dalam proses membela kepentingan buruh tersebut tidak mengancam keberlangsungan kapitalisme.
Ketika kaum revolusioner mengorganisir mogok, tujuan kita tidak hanya untuk meraih kemenangan normatif tetapi juga – dan terutama – untuk menunjukkan kepada buruh bahwa merekalah sebenarnya pencipta semua kekayaan, merekalah tuan yang sesungguhnya, bahwa buruh tidak membutuhkan kapitalis. Kaum revolusioner menggunakan setiap perjuangan reforma sehari-hari untuk melatih dan menempa buruh demi “perjuangan penghabisan” menumbangkan kapitalisme. Tidak demikian dengan kaum reformis, yang tidak punya tujuan menumbangkan kapitalisme dan bahkan berusaha sekeras mungkin mempertahankannya karena mereka percaya kapitalisme adalah satu-satunya sistem. Inilah mengapa mereka selalu ragu-ragu, selalu setengah-hati dalam memobilisasi buruh, selalu dipenuhi rasa takut dan bimbang pada momen-momen yang penting, selalu berusaha bernegosiasi dengan pemodal. Ini menjadi tabiat dari kaum reformis.
Untuk bisa mengontrol gerakan buruh, mereka sempurnakan metode-metode birokratis, guna mencekik inisiatif dan energi buruh di satu pihak dan menyingkirkan elemen-elemen radikal di pihak lain. Ini terutama benar kalau para pemimpin reformis ini tidak bisa mempertahankan pendirian dan perspektif mereka secara ideologis, sehingga harus menggunakan metode-metode birokratis dan non-demokratik untuk menjaga kepemimpinan mereka di dalam serikat buruh. Seorang menjadi birokrat bukan tanpa alasan.
Untuk jasa mereka yang tak ternilai ini kapitalis tidak lupa membanjiri para pemimpin reformis dengan berbagai privilese, entah dalam bentuk hadiah finansial (secara legal ataupun ilegal), piagam penghargaan, jabatan empuk, dsb. Ini membentuk tabiat elitisme dan korup di antara mereka, dan menciptakan jurang yang memisahkan mereka dari kaum buruh. Kaum kapitalis sungguh telah menyempurnakan seni mengkooptasi pemimpin buruh.
Dari sini kita melihat bagaimana paham reformisme menjadi dasar dari semua tabiat buruk yang sering kita saksikan di antara para pemimpin reformis: penakut, kongkalikong, birokratis, gila hormat, korup, elitis. Tentunya tidak semua pemimpin reformis sama. Ada yang jujur dan tidak korup. Ada yang sungguh punya jiwa pemberani. Tapi ada juga yang benar-benar bajingan, dan mereka tidak sedikit jumlahnya. Tetapi pada akhirnya dengan satu cara atau yang lain mereka akan mengkhianati perjuangan buruh. Sejarah kita tidak kekurangan pemimpin reformis yang jujur yang akhirnya menelikung gerakan pembebasan buruh dari rantai kapitalisme.
Kemana Kita
Kegagalan Monas 2015 bisa ditelusuri ke reformisme. Keragu-raguan, kebimbangan, ketidakamanahan, elitisme, birokratisme, dan konservatisme dari lapisan kepemimpinan buruh yang ada, dari pimpinan tingkat atas sampai bawah, bukan disebabkan oleh kecacatan pribadi mereka, tetapi semata adalah ekspresi dari ideologi reformisme yang telah merasuki gerakan buruh. Ini hanya bisa dilawan dengan memperjuangkan gagasan dan program sosialis secara konsisten dan konsekuen. Bila kau percaya bahwa kapitalisme bisa ditumbangkan dan harus ditumbangkan, bila kau percaya akan kekuatan revolusioner dari kelas buruh untuk membawa sosialisme, maka kau tidak akan ragu dan bimbang; kau tidak akan berkongkalikong dengan kapitalis karena kau percaya kekuatan aksi massa; kau akan jauh dari elitisme karena tidak akan ada kapitalis yang sudi memberimu privilese untuk memisahkanmu dari kelasmu; kau tidak perlu menggunakan cara-cara birokratis untuk menyingkirkan lawanmu karena kau percaya bahwa ideologimu benar adanya dan yakin bahwa kau bisa memenangkan argumen secara demokratis dengan kekuatan gagasanmu; kau tidak akan konservatif karena kau dipenuhi dengan semangat revolusioner yang terkandung dalam gagasan sosialisme.
Gagasan sosialis yang harus kita perjuangan untuk menjadi landasan dari gerakan buruh secara umum bisa diringkas seperti demikian:
1) Dalam masyarakat kapitalis, ada dua kelas utama dengan kepentingan yang tak terdamaikan: kapitalis di satu sisi dan buruh di sisi lain. Semua usaha untuk mendamaikan antagonisme antara buruh dan kapital hanya akan berakhir pada tunduknya buruh pada modal.
2) Kapitalisme sudah tidak bisa lagi memajukan peradaban manusia, dan justru telah menjadi penghambat bagi kemajuan dan progres. Dalam kondisinya yang sakit-sakitan seperti sekarang, bukan satu hal yang mustahil kalau kapitalisme akan menyeret seluruh peradaban ke abad kegelapan, ke barbarisme.
3) Kapitalisme karena kontradiksi-kontradiksi internalnya akan selalu memasuki krisis umum, yang akan selalu lebih dalam dan akut daripada sebelumnya. Krisis ini akan menjadi titik berangkat bagi sosialisme.
4) Kapitalisme telah menyiapkan benih-benih untuk perubahannya sendiri, atau mengutip Karl Marx, kapitalisme menciptakan penggali kuburnya sendiri. Pertama dengan membuat produksi menjadi sebuah proses sosial; Kedua dengan menciptakan kelas proletariat yang akan menjadi agen aktif perubahan revolusioner. Dengan demikian kapitalisme telah menyediakan faktor objektif dan subjektif untuk penumbangannya sendiri.
4) Transformasi dari kapitalisme ke sosialisme akan terjadi secara revolusioner dan bukan secara gradual atau perlahan-lahan.
Hanya dengan melayangkan pandangan dan perspektif kita melampaui batas-batas kapitalisme maka kita dapat menemukan jalan keluar dari kebuntuan yang ada. Mereka-mereka yang tidak mampu melihat ke masa depan, yang terjebak dan terjerat oleh bayang-bayang masa lalu kejayaan kapitalisme yang sudah pudar dan tak akan kembali, akan menjadi penghalang bagi gerakan tidak peduli sejujur dan setulus apa niat mereka untuk membela yang tertindas.