Pada May Day yang lalu kita dipertontonkan represifitas aparat kepolisian. Ratusan buruh dan kaum muda ditangkapi. Mobil-mobil bak polisi penuh dengan para demonstran. Di Jakarta, pelajar dan mahasiswa dipisahkan dari barisan demonstrasi lalu disergap dimasukkan ke kendaraan polisi. Di Medan puluhan demonstran juga ditangkapi, yang kebanyakan adalah mahasiswa. Selang satu hari pada demonstrasi Hari Pendidikan Nasional, puluhan kaum muda lainnya juga ditangkap. Di tempat-tempat lain juga demonstrasi ditekan supaya cepat bubar.
Meskipun demonstrasi kali ini kecil dibanding sebelumnya, tapi tingkat represi semakin sering terjadi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Penangkapan ini tanpa disertai alasan yang jelas. Dalam pengakuan salah satu demonstran, pihak kepolisian mengatakan, “Ini hari buruh. Dan kalian mahasiswa. Maka kalian tidak bisa ikuti aksi.” Alasan mereka mudah dipahami karena tahun sebelumnya demonstrasi besar pecah dipelopori kaum muda. Takut peristiwa ini akan terulang kembali, Kabid Humas Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa tak ingin kejadian yang tak diinginkan saat mahasiswa membaur dengan serikat pekerja: “Ini bentuk preventif kita, pencegahan kita. Hari ini adalah hari buruh. Kita cegat mahasiswa dan pelajar gabung dengan buruh.”
Langkah “preventif” ini bukanlah tanpa sebab. Banyak yang mengatakan bahwa rezim saat ini tidak menghormati demokrasi dan semakin otoriter. Tapi mengapa rezim tidak menghormati demokrasi? Apa penyebabnya? Demokrasi merupakan alat penguasa untuk mengalihkan perhatian rakyat pekerja dari perbudakan kapital. Krisis kapitalisme adalah juga krisis demokrasi. Di mana-mana fenomena ini menjadi umum, dari Amerika sampai Hong Kong; dari Myanmar sampai Kolombia. Satu per satu rezim penguasa tidak bisa mempertahankan dirinya dalam batas-batas demokrasi dan beralih ke represi untuk menghentikan gejolak sosial.
Kelas penguasa sudah tidak bisa lagi menjamin syarat bagi berlanjutnya sistem mereka, dan kelas-kelas di bawahnya sedang mempertanyakan kondisi tersebut. Seiring kelas penguasa terekspose tidak mampu menjalankan masyarakat mereka akan segera membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi. Inilah demokrasi dalam sistem kapitalisme. Selama sistem hari ini masih bersandar pada kekuasaan segelintir pemodal atas mayoritas rakyat pekerja, maka demokrasi akan selalu terbatas dan sempit.
Pandemi telah memukul kehidupan kelas pekerja. Kondisi kerja semakin sulit, dengan upah yang semakin minim. Di mana-mana telah terjadi PHK dan pemotongan upah. Pengangguran telah menjadi fakta umum. BPS menyebutkan, dalam setahun antara 2020-21 telah terjadi lonjakan pengangguran 1,82 juta orang, dari 6,93 ke 8,75 juta orang. Belum lagi mereka yang bekerja secara formal menghadapi pemotongan jam kerja yang secara otomatis berarti berkurangnya tingkat pendapatan.
Di samping itu, setiap hari rakyat dipertontonkan dengan korupsi dan keimpotenan pemerintah dalam mengatasi ekonomi dan pandemi. Ada ketidakpercayaan yang meluas terhadap pemerintah. Mereka sudah tidak mempercayai berita yang datang dari pemerintah. Rakyat mulai mencari jawaban. Situasi inilah yang menjadi sumber polarisasi yang tajam di masyarakat.
Menurut Indeks Negara Rentan, kohesi sosial di Indonesia selama 2020-21 semakin memburuk, dari skor 16 menjadi 16,9. Menurut sosiolog Universitas Indonesia Imam B Prasodjo, ancaman kohesi sosial ini akibat dari ketidakpercayaan publik, seperti yang dilansirnya, “Apalagi ada penjabat atau perangkat pemerintah yang terjerat korupsi dan beririsan langsung dengan hak publik seperti bantuan sosial, ini akan memunculkan distrust di masyarakat. Distrust ini akan merusak relasi vertikal dan memperlemah kohesi sosial.”
Di lain kesempatan, menyadari hal ini, Mahfud MD memberikan siaran pers meminta masyarakat tak sepenuhnya kecewa dengan pemerintahan yang koruptif. “Tentu kehidupan demokrasi kita harus terus diperbaiki, tapi kemajuan yang sudah dicapai juga tak boleh dinafikan,” kata Mahfud.
Bila kita gabungkan semua kondisi yang ada, maka ini adalah bahan bakar yang dapat menyulut ledakan sosial. Kelas penguasa paham bahwa jerami kering kekecewaan ini meluas di mana-mana. Kekecewaan ini bukan semata hanya karena Omnibus Law tapi juga revisi undang-undang KPK di tahun sebelumnya. Dan di atas semua itu, ada kekecewaan terhadap penderitaan yang terakumulasi selama bertahun-tahun.
Hari ini, kelas penguasa sangat ketakutan terhadap setiap demonstrasi. Pandemi dan krisis yang menyertainya telah mengekspose ketidakbecusan pemerintah. Untuk alasan ini mereka mencoba sebisa mungkin memadamkan setiap gerakan yang muncul. Jelas mereka paham bahwa bila demonstrasi ini dibiarkan bisa menyulut ledakan sosial yang serupa terjadi di banyak negara. Fenomena Thailand dan Myanmar tidak jauh dari pengamatan mereka dan mereka paham betul atas situasi ini.