Hari ini kita akan menutup tahun 2012 dan menyongsong tahun baru 2013. Kita akan coba melihat ke belakang sebentar apa-apa saja yang telah kita capai. Walau tidak ada statistik solid yang dapat membacking pernyataan ini, kita-kita yang ada di dalam gerakan buruh dapat mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa tahun ini adalah tahun dimana jumlah pemogokan – dan juga jumlah buruh yang terlibat dalamnya – tidak diragukan lagi adalah yang paling besar sejak runtuhnya rejim Soeharto. Bahkan tidak mustahil kalau melebihi total 10 tahun terakhir, kalau bukan 5 tahun terakhir. Tidak hanya jumlahnya saja, tetapi juga kualitasnya, karena gerakan buruh sudah mulai keluar dari batasan gerbang pabriknya saja dan mulai memperjuangkan tuntutan-tuntutan kesejahteraan rakyat luas. Coba kita ringkas saja gebrakan-gebrakan buruh pada 2012 ini:
– Januari-Februari: jalan Tol-Cikampek dan 7 kawasan industri Bekasi diblokir oleh ribuan buruh
– Maret-April: buruh memimpin gerakan menolak kenaikan BBM dan memukul mundur pemerintah
– Mei: May Day terbesar di Asia, dengan vergadering raksasa hampir 100 ribu buruh di Gelora Bung Karno dimana MPBI diumumkan
– Mei sampai Agustus, gelombangan aksi sweeping pabrik-pabrik yang melanggar ketentuan outsourcing
– Oktober: puncaknya adalah Getok Monas, pemogokan umum pertama buruh Indonesia sejak 1965 dan mungkin terbesar sepanjang sejarah gerakan buruh Indonesia, yang melibatkan sampai 2 juta buruh.
– November-Desember: Gelombang aksi buruh tidak surut dan kian meluas. Para pemilik pabrik merespon dengan mengerahkan massa bayaran, yang dijawab dengan kepalan tangan buruh.
Untuk pertama kalinya kaum buruh menunjukkan dirinya sebagai sebuah kelas di hadapan seluruh bangsa. Tidak heran kalau para kapitalis kelabakan. Tahun ini mungkin adalah tahun dimana Sofjan Wanandi paling sering dikutip oleh media massa. Kita dapat mengatakan, bahwa ada rumus matematika dimana kemunculan Sofjan Wanandi di media massa berbanding lurus dengan tumbuhnya gerakan buruh di Indonesia.
Kaum buruh Indonesia boleh berbangga kalau tahun ini adalah tahunnya mereka. Pencapaian demi pencapaian telah diraihnya, bukan hanya dalam bentuk perubahan-perubahan normatif (status kerja, kenaikan upah, dll.) tetapi di atas segalanya adalah kepercayaan diri. Setelah kepercayaan diri ini dikebiri selama 32 tahun di bawah Soeharto, buruh Indonesia mulai menemukan kembali kepercayaan dirinya. Segala upaya harus dilakukan untuk terus memupuk kepercayaan diri ini, untuk menghancurkan ilusi terburuk di dalam sejarahnya, yakni ilusi bergantung pada orang lain. Seperti halnya buruh membangun organisasi serikat buruhnya untuk berjuang dan tidak mengharapkan pamrih dari para majikan, demikian juga buruh harus membangun kemandirian politiknya. Momentum ini tidak boleh disia-siakan.
Ini teramat penting terutama menyongsong tahun 2013, yakni dimana partai-partai politik akan mulai memburu suara untuk pemilu 2014. Buruh yang mulai menjadi kekuatan politik besar, yang mulai terorganisir dalam jumlah jutaan, akan menjadi rebutan partai-partai politik kapitalis dari berbagai warna, dari yang nasionalis, demokrat, Islam, liberal, dsbnya. Mari kita katakan dengan jelas: tidak ada satupun partai politik hari ini yang layak mendapat dukungan dari kaum buruh! Apa ini berarti kita diam saja berpangku tangan? Tidak! Buruh harus membangun partai politiknya sendiri. Kalau buruh bisa mengorganisir pemogokan umum nasional dan vergadering-vergadering raksasa, lantas apa yang mencegahnya untuk dapat membangun partai politiknya sendiri. Setiap manuver mendukung partai kapitalis ini atau itu, tokoh populis ini atau itu, hanya menjadi alasan untuk terus menunda apa yang seharusnya sudah mulai dilakukan oleh buruh dan serikat-serikatnya hari ini: memulai pembangunan partai buruh.
Apa partai buruh ini bisa dibangun dalam semalam saja? Tidak! Ia harus melalui sebuah proses, tetapi proses ini harus dimulai sekarang dan tidak ditunda lagi.
Tahun 2012 ini memberi satu pelajaran penting juga, bahwa pencapaian-pencapaian terbesar dan terbanyak justru datang dari tangan buruh sendiri. Tidak ada satupun kontrak politik antara buruh dan parpol-parpol dalam 10 tahun terakhir yang membawa satupun kemenangan serius untuk buruh. Buruh menang dengan usahanya sendiri, dengan serikat buruhnya sendiri; bayangkan kalau ia punya partainya sendiri. Kalau memang ada satu dua politisi yang lalu menyuarakan dukungannya kepada aksi-aksi buruh – dan oleh karenanya memberi sedikit bantuan, seperti ekspose di media, suara di parlemen, dan sebagainya – ini hanya karena buruh sendiri sudah bergerak dan dukungan tersebut bersifat sekunder. Tanpanya gerakan buruh tahun ini tetap akan menang.
Bahkan suara-suara dukungan dari para elit politik ini tidak konsisten. Katakanlah Prabowo dengan Gerindranya. Saat Getok Monas, ia mengeluarkan pernyatan mendukung tuntutan buruh. Tetapi tidak lama kemudian, ketika gelombang pemogokan terus berlanjut dan semakin radikal, sang pemimpin Gerindra ini lalu meminta agar buruh jangan menuntut gaji terlalu tinggi. Satu-satunya suara dukungan yang dapat diandalkan oleh buruh adalah suara dukungan dari dalam hatinya sendiri dan dari kawan-kawan buruhnya.
Akan tetapi, dengan semakin tajamnya perjuangan, semakin tajam juga aksi balasan dari kaum kapitalis. Buruh tidak boleh lengah. Akan menjadi kemalangan bagi buruh kalau ia tidak siap menghadapi pukulan balik ini. Menyusul Getok Monas, para pemilik modal mengerahkan massa bayaran. Hanya kelengahan serikat-serikat buruh yang memberikan peluang bagi massa reaksioner ini. Ketika buruh langsung mengorganisir perlawanan, massa bayaran ini pun mundur seribu langkah (baca “Masalah Milisi Pertahanan Buruh”). Apindo pun mengancam akan melakukan lockout nasional (baca “Pukul Balik Lockout dengan Mogok Nasional”) dan juga mengancam akan memecat 1 juta buruh pada awal tahun 2013 karena UMK yang terlalu tinggi. Untuk setiap pabrik yang dilockout, buruh harus menjawab dengan mogok 100 pabrik. Untuk setiap buruh yang dipecat dengan alasan UMK terlalu tinggi, 100 buruh akan mogok. Inilah satu-satunya jawaban yang harus kita berikan.
Akhir kata, radikalisasi buruh Indonesia tahun ini berlangsung dengan latar belakang sistem kapitalisme yang mulai goyah. Kita tinggal menengok ke lembar-lembar koran berita mengenai ekonomi Eropa dan Amerika Serikat. Tidak ada lagi optimisme di antara para pemilik modal. Krisis di AS dan Eropa, pusat kapitalisme dunia, semakin dalam dan tak terselesaikan. Negeri-negeri ini mengalami defisit anggaran yang begitu besar – karena membailout perusahaan-perusahaan dan bank-bank kapitalis – sehingga satu-satunya cara untuk menanggulangi defisit adalah melakukan pemotongan besar-besaran terhadap anggaran sosial rakyat pekerja (pendidikan, kesehatan, dll.), dana pensiun buruh, dan gaji-gaji pekerja. Namun solusi ini menemui perlawanan dari kaum buruh Eropa. Setiap usaha untuk menyelesaikan kontradiksi ekonomi hanya melahirkan kontradiksi sosial yang baru. Hanya perebutan kekuasaan oleh buruh yang bisa menyelesaikan kegilaan masyarakat kapitalis. Hari ini sudah bukan saatnya lagi ragu akan kekuatan revolusioner buruh dan tugas historis yang menantinya. Semua usaha harus dilakukan untuk menghubungkan perjuangan ekonomi dengan perjuangan politik, perjuangan sehari-hari dengan perspektif perebutan kekuasaan politik dan ekonomi. Tahun 2013 harus dibuka dengan komitmen ini, dan dengan ini kita akan melangkah lebih dekat ke realisasi slogan “Buruh Berkuasa Rakyat Sejahtera”.