Bagian Pertama: Nalar dan Anti-Nalar
Bab 1. Introduksi
Kita kini hidup dalam sebuah periode perubahan sejarah yang mendalam. Setelah sebuah periode 40 tahun perkembangan ekonomi yang tak ada presedennya, ekonomi pasar tengah mencapai batas-batasnya. Pada masa awal kapitalisme, walaupun ia membawa serta kejahatan-kejahatannya yang biadab, ia merevolusionerkan kekuatan produktif dan, dengan demikian, meletakkan basis bagi satu sistem masyarakat yang baru. Perang Dunia I dan Revolusi Rusia menandai satu perubahan yang menentukan dalam peran historis kapitalisme. Ia beralih peran dari satu alat untuk mengembangkan kekuatan produktif menjadi satu belenggu raksasa yang mencekik perkembangan ekonomi dan sosial. Periode pasang naik di Barat pada masa-masa 1948-73 kelihatannya menjanjikan satu fajar baru. Walau demikian, keuntungan-keuntungan pada periode ini terbatas hanya untuk segelintir negeri kapitalis maju. Bagi dua pertiga umat manusia yang hidup di Dunia Ketiga, kenyataan yang dihadapiadalah pengangguran massal, kemiskinan, perang dan penghisapan dalam skala yang luar biasa. Periode pasang naik kapitalisme berakhir bersamaan dengan apa yang dikenal sebagai “krisis minyak” di tahun 1973-74. Sejak itu, kapitalisme tidak lagi sanggup mencapai tingkat pertumbuhan dan tingkat penyediaan lapangan kerja seperti yang pernah mereka capai di periode sesudah perang.
Sebuah sistem sosial yang berada dalam kemunduranyang sudah tidak dapat lagi diperbaiki lagi mengekspresikan dirinya dalam degenerasi budaya. Hal ini tercermin dalam ratusan cara. Keresahan dan pesimisme akan masa depan menyebar seperti kanker, khususnya di kalangan intelektual. Mereka yang kemarin masih berbicara tentang keniscayaan kemajuan dan evolusi umat manusia, kini hanya dapat merenungi kegelapan dan ketidakpastian. Abad ke-20 kini tertatih-tatih menggapai ujungnya, setelah menyaksikan dua perang dunia yang mengerikan, keruntuhan ekonomi dan mimpi buruk fasisme di periode antara kedua perang dunia itu. Ini saja sebetulnya sudah merupakan satu peringatan keras bahwa tahapan progresif dari kapitalisme telah usai.
Krisis kapitalisme merasuk ke dalam segala aspek kehidupan. Krisis ini bukanlah sekedar gejala ekonomis. Ia juga tercermin dalam spekulasi dan korupsi, penyalahgunaan obat-obatan, kekerasan, egoisme dan ketidakpedulian terhadap kesengsaraan sesama, runtuhnya kelembagaan keluarga borjuis, krisis moralitas, budaya dan filsafat borjuis. Bagaimana mungkin ada jalan lain bagi mereka? Salah satu gejala yang menunjukkan bahwa sebuah sistem sosial sedang berada dalam krisis adalah bahwa kelas penguasa semakin merasa bahwa dirinyalah yang menjadi belenggu bagi perkembangan masyarakat.
Marx menunjukkan bahwa ide-ide yang dominan di dalam masyarakat adalah ide-ide kelas penguasa. Di masa jayanya, kaum borjuasi tidak hanya memainkan peran progresif dalam membuat patok-patok baru bagi perkembangan peradaban, melainkan juga sadar bahwa dirinyalah yang memainkan peranan itu. Kini para ahli strategi kapitalis terjangkiti perasaan pesimisme. Mereka adalah wakil-wakil dari sistem yang sudah ditakdirkan hancur, tapi mereka gagal berdamai dengan fakta itu. Kontradiksi sentral ini adalah faktor yang menentukan, yang mempengaruhi cara berpikir kaum borjuasi saat ini. Lenin pernah berkata bahwa seorang yang sedang berdiridi pinggir jurang tidak akan bisa menggunakan nalarnya.
Ketertinggalan dalam Kesadaran
Berlawanan dengan prasangka filsafat idealisme, kesadaran manusia secara umum sebenarnya luar biasa konservatif, dan selalu cenderung tertinggal dari perkembangan masyarakat, teknologi dan kekuatan produktif. Kebiasaan, rutinitas dan tradisi, seperti kata Marx, merupakan beban seberat gunung Alpen di dalam benak laki-laki dan perempuan, yang, pada masa-masa sejarah yang “normal” berpegang erat-erat pada kebiasaan-kebiasaan lama yang biasa dilakukannya. Ini datang dari naluri mempertahankan diri, yang akarnya terletak pada mekanisme evolusi spesies itu sendiri. Hanya dalam masa-masa khusus dalam sejarah, ketika tatanan moral dan sosial mulai retak karena tekanan yang tak terpanggulkan, massa rakyat mulai mempertanyakan dunia yang mereka huni, dan juga meragukan keyakinan dan prasangka-prasangka yang telah mereka percayai sepanjang hidup mereka.
Masa-masa semacam itu, salah satunya, adalah masa-masa kelahiran kapitalisme, yang ditandai oleh kejayaan kebangkitan budaya dan pembaharuan spiritual di Eropa setelah tidur musim dingin yang panjang di bawah feodalisme. Dalam masa pasang naiknya, kaum borjuasi memainkan peranan yang paling progresif, bukan hanya dalam pengembangan kekuatan produktif, dan dengan demikian meluaskan kedigdayaan manusia atas alam, tapi juga dalam meluaskan batas-batas sains, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Luther, Michelangelo, Leonardo, Dührer, Bacon, Kepler, Galileo dan serombongan perintis peradaban lainnya, bergemerlapan laksana sebuah galaksi yang menerangi jalan bebas hambatan bagi kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan yang gerbangnya dibuka oleh Reformasi Protestan dan Jaman Pencerahan. Walau demikian, masa-masa revolusioner semacam itu tidaklah datang dari langit. Harga yang harus dibayar untuk kemajuan itu adalah perjuangan – perjuangan antara yang baru melawan yang lama, yang hidup melawan yang mati, yang di masa depan melawan yang di masa lalu.
Kebangkitan kaum borjuasi di Italia, Belanda, Inggris, dan kemudian di Prancis diiringi oleh sebuah perkembangan yang luar biasa di dalam ranah kebudayaan, kesenian dan sains. Kita perlu menengok ke belakang, ke jamanYunani Kuno, untuk melihat perkembangan peradaban yang sanggup menyaingi perkembangan ini. Khususnya di negeri-negeri di mana revolusi borjuis mencapai kemenangannya di abad ke-17 dan 18, perkembangan kekuatan produktif dan teknologi diiringi oleh satu perkembangan ilmu dan pemikiran yang sejajar, yang secara drastis menggerogoti dominasi ideologi Gereja.
Di Prancis, negeri klasik dalam kancah ekspresi politik dari revolusi borjuis, kaum borjuasi di tahun 1789-93 melancarkan revolusinya di bawah bendera Nalar (Reason). Jauh sebelum mereka meruntuhkan tembok penjara Bastille, sangatlah perlu untuk terlebih dahulu meruntuhkan tembok-tembok kokoh takhayul mistik di dalam benak kaum laki-laki dan perempuan. Di masa mudanya yang revolusioner, kaum borjuasi Prancis berwatak rasional dan atheis. Hanya setelah mendudukkan diri di tampuk kekuasaan, kaum berpunya ini, yang berhadapan dengan kelas revolusioner yang baru [yakni kelas proletariat], membuang segala kepercayaan ideologis masa muda mereka.
Belum lama berselang Prancis memperingati dua ratus tahun Revolusinya yang jaya. Sangat jelas terlihat bahwa bahkan sekedar ingatan tentang sebuah revolusi yang berlangsung dua ratus tahun yang lalu sanggup membuat kelas penguasa merasa tidak nyaman. Sikap yang diambil oleh kelas penguasa Prancis terhadap revolusinya sendiri dengan jelas mengingatkan kita terhadap sikap seorang bejat yang sudah tua, yang mencoba untuk tampil terhormat – dan mungkin masuk ke surga – denganmenyangkal dosa-dosa masa mudanya ketika ia sudah berada dalam posisi yang tidak memungkinkannya mengulangi lagi tindakan-tindakan masa lalunya itu. Seperti semua kelas penguasa lainnya, kelas kapitalis berusaha untuk membenarkan keberadaannya, bukan hanya kepada masyarakat secara luas, tapi juga kepada dirinya sendiri. Dalam pencariannya atas dukungan ideologis, yang cenderung membenarkan status quo dan mengeramatkan hubungan sosial yang ada, mereka dengan cepat jatuh kembali ke pangkuan Ibu Gereja, terutama setelah ancaman maut yang mereka alami pada masa Komune Paris[1]. Gereja Sacré Coeur adalah satu ekspresi konkret akan ketakutan kaum borjuis akan revolusi, yang diterjemahkan dengan tepat dalam bahasa arsitektur yang terbelakang.
Marx (1818-83) dan Engels (1820-95) menjelaskan bahwa tenaga penggerak utama dari seluruh kemajuan yang dicapai manusia adalah perkembangan dari kekuatan produktif – industri, pertanian, sains dan teknik. Ini adalah satu generalisasi yang benar-benar dahsyat, yang tanpanya mustahil untuk bisa memahami pergerakan kesejarahan umat manusia secara umum. Walau demikian, tidaklah otomatis hal ini bermakna, seperti yang coba ditunjukkan oleh para penentang Marxisme yang tidak jujur dan naif, bahwa Marx “mereduksi segalanya menjadi persoalan ekonomis.” Materialisme yang dialektik dan historis memperhitungkan sepenuhnya fenomena-fenomena seperti agama, seni, sains, moralitas, hukum, politik, tradisi, karakter nasional dan berbagai perwujudan dari kesadaran manusia. Tapi bukan hanya itu. Marxisme juga menunjukkan hakikat dari fenomena-fenomena itu dan bagaimana mereka terhubung dengan perkembangan nyata dari masyarakat, yang pada analisa terakhir jelas tergantung pada kemampuannya untuk mereproduksi dan mengembangkan kondisi material untuk mempertahankan keberadaannya. Tentang hal ini, Engels menulis:
“Menurut pandangan materialis terhadap sejarah, elemen penentu akhir dalam sejarah adalah produksi dan reproduksi dari kehidupan keseharian. Baik Marx maupun saya tidak pernah mengatakan lebih dari ini. Dengan demikian, jika seseorang memutarbalikkan hal ini dengan menyatakan bahwa unsur ekonomi adalah unsur penentu satu-satunya, ia mengubah posisi ini menjadi satu frase yang tidak bermakna, abstrak, dan tidak masuk nalar. Situasi ekonomi adalah basis, tapi berbagai unsur dalam superstruktur – bentuk-bentuk politik dari perjuangan kelas dan hasil-hasilnya, dalam kata lain: konstitusi-konstitusi yang disusun oleh kelas yang menang dalam pertempuran, dsb., bentuk-bentuk peradilan, dan berbagai pemikiran yang timbul di benak para pelaku perjuangan kelas ini secara politik, teori-teori politik, yudisial, dan filosofis, pandangan-pandangan religius dan perkembangan mereka lebih lanjut menjadisistem-sistem dogma; semua ini juga mempunyai pengaruh dalam jalannya perjuangan-perjuangan historis, dan dalam berbagai kasus merupakan faktor dominan dalam menentukan bentuk perjuangan yang diambil.” (Surat Engels ke J. Bloch di Königsberg, 21 September 1890)
Pernyataan materialisme historis bahwa, secara umum, kesadaran manusia cenderung tertinggal dari perkembangan kekuatan produktif akan terlihat sebagai paradoks untuk beberapa orang. Tapi justru ini terekspresikan dengan begitu jelas dalam berbagai macam cara di Amerika Serikat di mana pencapaian sains telah mencapai puncaknya. Kemajuan teknologi yang terus menerus adalah syarat untuk pembebasan umat manusia yang sesungguhnya, melalui terbentuknya satu sistem sosio-ekonomi yang rasional, di mana umat manusia menjalankan kontrol secara sadar atas hidup dan lingkungan mereka. Namun di sini, kontras antara perkembangan sains dan teknologi yang pesat dengan ketertinggalan yang tajam dalam pemikiran manusia terpampang dengan sangat jelas.
Di Amerika Serikat, sembilan dari sepuluh orang percaya akan keberadaan satu Yang Maha Tinggi, dan tujuh dari sepuluh percaya akan kehidupan sesudah kematian. Ketika astronot Amerika pertama, yang berhasil mengelilingi dunia dalam pesawat luar angkasa, diminta untuk mengirimkan pesan pada para penghuni bumi, ia membuat satu pilihan yang sangat bermakna. Dari semua literatur yang ada di dunia, ia memilih kalimat dari Kitab Kejadian: “Pada mulanya, Tuhan menciptakan langit dan bumi.” Orang ini, yang duduk dalam pesawat antariksanya, satu produk dari teknologi termaju di masa itu, benaknya dipenuhi dengan berbagai takhayul dan hantu yang diwariskan tanpa perubahan berarti sejak masa prasejarah.
Tujuh puluh tahun yang lalu, dalam sebuah “pengadilan boneka” yang terkenal di tahun 1925, seorang guru yang bernama John Scopes divonis bersalah karena mengajarkan teori evolusi, yang bertentangan dengan undang-undang negara bagian Tennessee. Pengadilan ini sebenarnya menegakkan undang-undang anti-evolusi di negara bagian tersebut, yang tidak dihapus sampai tahun 1968, ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat menetapkan bahwa pengajaran teori penciptaan atau kreasionisme[2] adalah sebuah pelanggaran atas larangan konstitusional terhadap pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Sejak itu, kaum kreasionis mengubah taktik mereka, mencoba mengubah kreasionisme menjadi sebuah “sains”. Dalam upaya ini, mereka mendapat dukungan, bukan hanya dari lapisan luas opini publik, tapi juga dari tidak sedikit ilmuwan, yang siap untuk meluangkan tenaganya untuk membela agama dalam ajarannya yang telah terbukti tidak sesuai dengan penyelidikan-penyelidikan ilmiah.
Di tahun 1981 para ilmuwan Amerika, dengan menggunakan hukum Kepler tentang pergerakan planet, meluncurkan satu pesawat antariksa yang akan membuat perlintasan spektakuler dengan orbit Saturnus. Di tahun yang sama, seorang hakim Amerika harus menyatakan bahwa hukum di negara bagian Arkansas, yang menyatakan bahwa “ilmu kreasionis” harus diperlakukan setara dengan teori evolusi, adalah inkonstitusional. Di antaranya, kaum kreasionis menuntut bahwa banjir yang dialami Nuh harus diakui sebagai unsur pembentuk bumi yang utama. Dalam proses peradilannya, para saksi yang membela kaum kreasionis menyatakan kepercayaan mereka yang mutlak akan adanya Setan dan kemungkinan bahwa kehidupan dibawa ke bumi melalui meteorit, dan bahwa adanya berbagai jenis spesies di bumi ini adalah hasil dari semacam jasa antaran meteorit! Dalam peradilan itu, Mr. N.K. Wickremasinge dari University of Wales tercatat menyatakan bahwa serangga mungkin lebih cerdas dari manusia, sekalipun “mereka tidak membeberkan ini… karena segala sesuatu telah berlangsung begitu baikbagi mereka.”[3]
Lobi dari kaum fundamentalis agama di Amerika Serikat mendapatkan dukungan yang luas, akses dana yang tak terbatas, dan dukungan dari anggota-anggota kongres. Para pengkhotbah komersial di televisi meraup jutaan dolar dari acara-acara mereka yang ditonton oleh jutaan orang. Fakta bahwa, di penghujung abad ke-20, di negeri yang paling maju secara teknologi, masih terdapat banyak orang, laki-laki dan perempuan yang berpendidikan tinggi, yang bersedia untuk berjuang mempertahankan bahwa apa yang tertulis dalam Kitab Kejadian adalah sungguh terjadi secara kenyataan, bahwa dunia ini diciptakan dalam enam hari, sekitar 6000 tahun lalu,ini sesungguhnya adalah contoh yang paling luar biasa dari dialektika itu sendiri.
“Nalar Menjadi Anti-Nalar”
Masa di mana kelas kapitalis punya cara pandang dunia yang rasional tinggallah kenangan. Dalam epos pembusukan kapitalisme, proses yang sebelumnya telah dijungkirbalikkan. Mengutip Hegel, ini adalah “Nalar menjadi Anti-Nalar”. Benar bahwa, di negeri-negeri industri maju, agama “resmi”sudah sekarat. Gereja-gereja tidak lagi didatangi orang yang bersembahyang, dan semakin jatuh ke dalam krisis. Sebagai gantinya, kita menyaksikan menjamurnya sekte-sekte keagamaan yang aneh-aneh, yang diiringi dengan berkembangnya berbagai jenis ajaran mistis dan segala macam takhayul. Wabah fundamentalisme agama yang mengerikan – Kristen, Yahudi, Islam, Hindu – adalah satu perwujudan dari kemandekan yang dialami masyarakat. Sejalan dengan semakin mendekatnya abad baru, kita dapat mengamati kemunduran yang dahsyat dari masyarakat yang terlempar kembali ke Abad Kegelapan.
Gejala ini tidak hanya terjadi di Iran, India atau Aljazair. Di Amerika Serikat kita menyaksikan terjadinya“pembantaian Waco”[4], dan setelah itu, di Swiss, bunuh diri massal yang dilakukan oleh sekelompok orang fanatik beragama lainnya. Di negeri-negeri barat lainnya, kita melihat penyebaran tak terkendali dari berbagai sekte keagamaan, takhayul, astrologi dan segala macam kecenderungan irasional. Di Prancis, terdapat sekitar 36.000 pastor Katolik, dan sekitar 40.000 astrolog profesional yang melaporkan pendapatannya ke kantor pajak. Sampai baru-baru ini, Jepang nampak sebagai pengecualian terhadap kecenderungan ini. William Rees-Mogg, mantan editor dari harian London Times, dan seorang Konservatif tulen, dalam buku barunya, The Great Reckoning, How the World Will Change in the Depression of the 1990s, menyatakan bahwa: “Bangkitnya kembali agama adalah sesuatu yang sedang terjadi di seluruh dunia, dengan berbagai tingkatannya. Jepang mungkin merupakan pengecualian, mungkin karena tatanan sosial belumlah menunjukkan tanda-tanda keretakan di sana….”[5] Rees-Mogg berbicara terlalu lekas. Dua tahun setelah kalimat itu dituliskan, serangan gas yang mengerikan di jalur kereta bawah tanah Tokyo menarik perhatian dunia akan keberadaan satu kelompok keagamaan fanatik yang cukup besar, di mana krisis ekonomi telah mengakhiriperiode panjang keemasan tanpa pengangguran dan kestabilan sosial. Semua fenomena ini mengandung satu kemiripan yang luar biasa dengan apa yang terjadi di periode kemunduran kekaisaran Roma. Jangan juga ada yang membantah bahwa fenomena ini hanya terbatas pada rakyat jelata. Ronald dan Nancy Reagan secara teratur berkonsultasi dengan para astrolog mengenai tindakan-tindakan mereka, baik yang besar maupun yang kecil. Di bawah ini adalah kutipan dari buku Donald Reagan, For the Record:
“Hampir setiap pergerakan dan keputusan besar yang diambil Reagan selama masa saya menjabat sebagai kepala staf Gedung Putih terlebih dahulu diperbincangkan dengan seorang perempuan di San Francisco yang melihat horoskop untuk memastikan bahwa semua planet terletak dalam posisi yang tepat untuk mendukung keberhasilan keputusan tersebut. Nancy Reagan kelihatannya memiliki kepercayaan mutlak kepada kekuatan supernatural dari perempuan ini, yang telah meramalkan bahwa “sesuatu” yang buruk akan terjadi pada presiden beberapa waktu menjelang percobaan pembunuhan terhadapnya di tahun 1981.
“Sekalipun saya belum pernah bertemu muka dengan peramal ini – Ny. Reagan selalu menyampaikan hasil ramalannya setelah ia berkonsultasi dengan peramal itu melalui telepon – perempuan itu telah menjadi faktor yang demikian khusus bagi kerja-kerja saya, dan dalam urusan-urusan negara yang tertinggi, saya menyimpan satu kalender yang diberi kode berwarna (hari “baik” dengan warna hijau, hari “buruk” dengan warna merah, dan hari “yang tidak jelas” dengan warna kuning) sebagai pegangan untuk menjadwalkan perjalanan presiden Amerika Serikat dari satu tempat ke tempat yang lain, atau untuk menjadwalkan pidatonya, atau menjadwalkan negosiasi dengan pemerintah-pemerintah asing.
“Sebelum saya tiba di Gedung Putih, Mike Deaver telah menjadi orang yang mengintegrasikan horoskop Ny. Reagan ke dalam jadwal kepresidenan…. Hasil dari kerahasiaan dan loyalitasnyalah sehingga hanya sedikit orang di Gedung Putih yang tahu bahwa Ny. Reagan adalah bagian dari problem mereka [ketika menunggu jadwal] – lebih sedikit lagi yang tahu bahwa seorang peramal di San Francisco adalah orang yang menentukan jadwal kepresidenan. Deaver memberitahu saya bahwa ketergantungan Ny. Reagan terhadap kultus ini sudah berjalan lama, sejak suaminya masih menjadi Gubernur Negara Bagian, ketika itu ia menyandarkan diri pada peramalan dari Jeane Dixon yang terkenal itu. Belakangan ia kehilangan kepercayaan pada kekuatan ramalan Dixon. Tapi Ibu Negara kelihatannya memiliki kepercayaan mutlak pada bakat supranatural dari perempuan di San Francisco itu. Dan kelihatannya Deaver telah berhenti berpikir bahwa ada sesuatu yang istimewa mengenai peramal ini…. Baginya hal itu hanyalah satu masalah kecil dalam kehidupan seorang hamba dari seorang figur besar. ‘Setidaknya,’ katanya, ‘peramal yang ini tidaklah seaneh yang terdahulu.’ “
Astrologi digunakan untuk merencanakan pertemuan antara Reagan dan Gorbachev, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh peramal keluarga istana, tapi tidak semua hal berjalan mulus antara kedua Ibu Negara karena hari lahir Raisa Gorbachev tidaklah diketahui! Pergerakan ke arah “ekonomi pasar bebas” di Rusia sejak itu telah menebarkan berkah peradaban kapitalis di negeri yang malang itu – pengangguran massal, disintegrasi sosial, pelacuran, mafia, tingkat kejahatan yang luar biasa, penyalahgunaan obat-obatan dan agama. Baru-baru ini baru diketahui bahwa Yeltsin sendiri juga berkonsultasi dengan para astrolog. Dalam hal ini juga, kelas kapitalis yang baru lahir di Rusia telah menunjukkan dirinya sebagai murid-murid yang setia dari para guru mereka di Barat.
Rasa kehilangan arah dan pesimisme menemukan cerminannya dalam segala macam cara, tidak harus selalu dalam bidang politik. Irasionalitas yang mendominasi ini bukanlah satu kebetulan belaka. Semua itu adalah cerminan psikologis atas satu dunia di mana nasib umat manusia dikendalikan oleh satu kekuatan yang mengerikan dan tak-terlihat. Lihatlah apa yang terjadi ketika kepanikan melanda bursa saham, di mana orang-orang “terhormat” berlari tidak karuan seperti semut ketika sarangnya dibongkar paksa. Kejang-kejang ekonomi periodik yang menyebabkan terjadinya kepanikan massa ini ekspresi yang amat jelas mengenai anarki di dalam sistem kapitalisme. Dan anarki inilah yang menentukan hidup jutaan manusia. Kita kini hidup dalam sebuah masyarakat yang sedang terjun ke dalam jurang. Bukti-bukti pembusukan itu terjadi di mana-mana. Kaum reaksioner konservatif berkeluh-kesah tentang runtuhnya nilai-nilai keluarga dan wabah penyalahgunaan obat, kejahatan, kekerasan yang biadab, dan lain-lain. Jawaban satu-satunya yang dapat mereka berikan adalah dengan meningkatkan penindasan negara – lebih banyak polisi, lebih banyak penjara, hukuman yang lebih berat, bahkanpenelitian genetik terhadap “tipe-tipe kriminal”. Apa yang tidak dapat dan tidak mau mereka lihat adalah bahwa gejala-gejala ini hanyalah indikasi dari jalan buntu yang dihadapi oleh sistem sosial yang mereka bela.
Mereka adalah para pembela “kekuatan pasar”, kekuatan irasional yang kini telah memenjarakan jutaan orang ke dalam pengangguran. Mereka adalah juga para pengkhotbah perekonomian “sisi suplai”, yang didefinisikan secara cerdas oleh John Galbraith sebagai teori bahwa kaum miskin punya terlalu banyak uang dan kaum kaya terlalu sedikit. Maka, “moralitas” yang berlaku sekarang ini adalah moralitas pasar, yakni, moralitas rimba. Kekayaan masyarakat semakin terkonsentrasikan ke segelintir orang, yang juga jumlahnya semakin menyusut, sekalipun kita terus mendengar propaganda konyol tentang “demokrasi kepemilikan” dan “yang kecil itu indah”. Kita seharusnya kini sedang hidup di tengah demokrasi. Tapi segelintir bank besar, monopoli dan para spekulan bursa saham (biasanya orangnya itu-itu juga) adalah penentu nasib jutaan orang lainnya. Minoritas kecil ini menguasai alat-alat yang dahsyat untuk memanipulasi pendapat publik. Mereka menguasai monopoli atas alat komunikasi, pers, radio dan televisi. Lalu masih ada lagi para polisi spiritual – gereja, yang selama puluhan generasi telah mengajar orang untuk mencari keselamatan di langit.
Sains dan Krisis Masyarakat
Sampai beberapa waktu berselang, kelihatannya dunia sains berdiri di luar pembusukan umum yang tengah berlangsung di dunia kapitalisme. Keajaiban teknologi modern membawa segunung prestise bagi para ilmuwan, yang membuat mereka seakan-akan sanggup menciptakan sihir. Penghormatan yang diterima oleh komunitas ilmuwan semakin meningkat seiring dengan semakin tidak dapat dipahaminya teori-teori mereka, bahkan oleh mayoritas orang terdidik. Walau demikian, para ilmuwan itu tetaplah makhluk-makhluk fana, yang hidup di dunia yang sama dengan kita. Dengan begitu, mereka tetap dapat terpengaruh oleh ide-ide, filsafat, politik dan prasangka-prasangka yang berlaku di masyarakat, belum lagi kadang-kadang kepentingan materi yang sangat besar
Untuk waktu yang cukup lama, selalu ada asumsi bahwa kaum ilmuwan – khususnya para ilmuwan fisika teoritik – adalah jenis manusia yang unik, yang berdiri di luar persoalan-persoalan kemanusiaan sehari-hari, dan dianugerahi keistimewaan agar dapat mengorek misteri alam semesta yang tidak terjangkau oleh makhluk-makhluk fana lainnya. Mitos abad ke-20 ini dipaparkan dengan baik oleh film-film fiksi-ilmiah, di mana bumi selalu berada di bawah ancaman bahaya pemusnahan oleh makhluk-makhluk dari planet asing (pada kenyataannya, ancaman terhadap masa depan umat manusia datang dari sumber yang sangat dekat dengan kita di bumi ini, tapi itu cerita yang lain). Ketika cerita sudah hampir tamat, selalu datang seorang berjubah putih, ia menulis rumus-rumus yang rumit di papan tulis, dan masalah yang dihadapi pun selesai seketika itu juga.
Hal yang sesungguhnya terjadi agak berbeda dari jalan cerita klasik itu. Para ilmuwan dan para intelektual lainnya tidaklah kebal dari kecenderungan-kecenderungan umum yang bekerja di tengah masyarakat. Fakta bahwa kebanyakan dari mereka tidak acuh pada politik dan filsafat hanya berarti bahwa mereka akan lebih mudah jatuh dalam perangkap prasangka-prasangka yang mengepung mereka. Sudah terlalu sering ide-ide para ilmuwan ini ditunggangi untuk mendukung posisi politik yang paling reaksioner. Ini sangat jelas terjadi dalam bidang genetika di mana satu kontra-revolusi yang ganas telah terjadi di Amerika Serikat. Teori-teori yang disebut ilmiah telah digunakan untuk “membuktikan” bahwa kriminalitas disebabkan, bukan oleh kondisi sosial, bukan karena adanya diskriminasi, melainkan oleh karena adanya “gen kriminal”. Kaum kulit hitam dianggap tidak beruntung, bukan karena mereka mengalami diskriminasi, melainkan karena genetika mereka. Argumen yang sama digunakan juga untuk orang-orang miskin, para ibu tunggal, kaum perempuan, kaum homoseksual, dan lain-lain. tentu saja, “ilmu”semacam itu sangatlah berguna bagi Kongres yang didominasi oleh kaum Republik yang ingin memotong anggaran kesejahteraan rakyat.
Buku ini adalah buku tentang filsafat – lebih tepatnya, filsafat Marxisme, materialisme dialektik. Bukan urusan filsafat untuk menguliahi para ilmuwan apa yang harus mereka pikir atau tulis, setidaknya ketika mereka sedang menulis dan berpikir tentang sains. Tapi para ilmuwan punya kebiasaan untuk menyatakan pendapat mengenai segala macam hal – filsafat, agama, politik. Mereka memang sangat berhak untuk melakukannya. Tapi, ketika mereka menggunakan kewibawaan ilmiah mereka untuk membela pandangan filsafat yang reaksioner, tibalah waktunya untuk menempatkan segala sesuatu sesuai konteksnya. Pernyataan-pernyataan mereka tidak akan tinggal hanya di antara segelintir profesor. Para politisi sayap kanan, orang-orang rasis dan kaum religius-fanatik akan dengan bersemangat menggunakan pernyataan-pernyataan itu untuk membentengi diri mereka dengan argumen-argumen palsu berkedok ilmiah.
Para ilmuwan sering mengeluh bahwa mereka selalu disalahpahami. Mereka tidak hendak menyediakan amunisi bagi para penipu mistis dan politikus kotor itu. Mungkin saja demikian. Tapi, dalam hal ini, mereka tetaplah bersalah karena keteledoran mereka, atau pada tingkat yang paling rendah, karena kenaifan mereka yang parah. Di pihak lain, mereka yang menggunakan pandangan falsafah yang keliru dari para ilmuwan itu tidak dapat dikatakan naif. Mereka tahu persis di mana mereka berdiri. Rees-Mogg menyatakan bahwa “sejalan dengan semakin ditinggalkannya agama konsumerisme sekuler seperti mobil yang telah berkarat, agama-agama yang lebih keras yang melibatkan prinsip-prinsip moral yang lebih keras dan tuhan-tuhan yang pendendam akan kembali ke panggung. Untuk pertama kalinya dalam berabad-abad,penemuan-penemuan sains akan memperkuat, dan bukannya memperlemah, dimensi spiritual dalam hidup.” Bagi Rees-Mogg, agama adalah sebuah senjata yang berguna untuk mengekang kaum tertindas, yang juga dilakukan oleh para polisi dan penjara-penjara negara. Ia sangat blak-blakan tentang hal ini:
“Semakin rendah peluang pergerakan sosial ke atas, semakin rasional bagi kaum miskin untuk menganut pandangan dunia yang anti-ilmiah dan penuh khayalan. Alih-alih teknologi, mereka menggunakan sihir. Ahli-ahli telaah yang independen, mereka memilih pemikiran-pemikiran ortodoks. Bukannya mempercayai sejarah, mereka mempercayai mitos. Bukannya mengagumi biografi, mereka memuja para pahlawan. Dan mereka biasanya menggantikan kejujuran impersonal yang dituntut oleh pasar dengan keterikatan tingkah-laku yang berdasarkan kekerabatan.”[6]
Mari kita sisihkan dulu lelucon tentang “kejujuran impersonal” yang dituntut oleh pasar, dan memusatkan diri pada inti argumen Rees-Mogg. Setidaknya, Rees-Mogg tidak mencoba menutupi niat sejatinya atau sudut pandang kelasnya. Di sini kita lihat satu keterusterangan yang luar biasa dari seorang pembela tatanan yang ada. Terciptanya satu kelas bawah yang miskin, pengangguran, yang kebanyakan adalah kulit hitam, yang hidup di kampung-kampung kumuh, merupakan satu ancaman yang sangat berpotensi meledakkan tatanan sosial yang ada. Kaum miskin itu, untungnya bagi kita, bodoh. Dan mereka harus dijaga agar tetap bodoh, dan didorong untuk semakin percaya pada takhayul dan khayalan-khayalan religius yang kita, dari “kelas terpelajar” ini, sama sekali tidak percaya! Pesan ini, tentunya, bukanlah hal yang baru. Nyanyian ini telah diperdendangkan oleh kaum yang kaya dan berkuasa selama berabad-abad. Tapi, yang harus digarisbawahi adalah rujukan kepada ilmu sains yang, seperti dinyatakan Rees-Mogg, kini untuk pertama kalinya dilihat sebagai sekutu agama yang penting.
Baru-baru ini, ahli teori fisika Paul Davies dianugerahi hadiah sebesar £650.000 (Rp. 12 miliar) oleh Templeton Prize for Progress in Religion, karena ia telah menunjukkan “orisinalitas yang luar biasa” dalam memajukan pemahaman umat manusia mengenai Tuhan atau spiritualitas. Para pemenang sebelumnya adalah Alexander Solzhenitsyn[7], Ibu Theresa, penginjil Billy Graham[8], dan si pencuri dalam Skandal Watergate yang kini menjadi pendeta – Charles Colson[9]. Davies, yang menulis buku-buku seperti God and the New Physics, The Mind of God, dan The Last Three Minutes, menegaskan bahwa ia “bukanlah seorang yang religius dalam makna yang konvensional” (apapun itu maknanya), tapi ia juga mempertahankan bahwa “ilmu pengetahuan menawarkan satu jalan yang lebih lapang menuju Tuhan ketimbang agama.”[10]
Kendati “jika” dan “tapi” dari Davies, jelas bahwa ia mewakili satu kecenderungan tertentu, yang berusaha untuk menyuntikkan ajaran mistis dan agama ke dalam sains. Ini bukanlah sebuahfenomena yang terisolasi. Fenomena ini sudah menjadi terlalu jamak, khususnya dalam bidang fisika-teori dan kosmologi, di mana keduanya sangat tergantung pada model-model matematika abstrak yang semakin hari semakin dilihat sebagai pengganti penyelidikan empiris atas dunia nyata. Namun, untuk setiap penganut ajaran mistis di bidang ini, masih terdapat ratusan ilmuwan yang jujur, orang-orang yang tidak ingin disangkutpautkan dengan ajaran-ajaran mistis seperti itu. Satu-satunya pertahanan yang sesungguhnya terhadap ajaran mistis idealis ini, bagaimanapun juga, adalah satu filsafat materialis yang sadar – filsafat materialisme dialektik.
Niat dari buku ini adalah untuk menjelaskan ide-ide dasar materialisme dialektik, yang pertama kali diungkap oleh Marx dan Engels, dan menunjukkan relevansinya dalam dunia modern, dan terhadap sains pada khususnya. Seperti Rees-Mogg yang membela kepentingan kelas yang diwakilinya, dan tidak mencoba mengenakan kedok apapun, demikian juga kami akan secara terbuka menyatakan diri kami sebagai penentang apa yang disebut “ekonomi-pasar” dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Kami adalah partisipan aktif dalam perjuangan untuk mengubah masyarakat. Tapi sebelum kita dapat mengubah dunia, kita harus terlebih dahulu memahaminya. Sangatlah perlu untuk melancarkan perjuangan yang tak kenal ampun terhadap segala upaya untuk menyesatkan pikiran rakyat dengan kepercayaan-kepercayaan mistis yang berakar dariprasejarah pemikiran umat manusia yang gelap. Sains tumbuh dan berkembang sampai ke tingkatan di mana ia sanggup memalingkan punggungnya ke segala akumulasi prasangka yang diwarisi dari masa lalu. Kita harus berdiri kokoh melawan segala upaya untuk membalikkan waktu ke jaman empat ratus tahun yang lalu.
Semakin hari semakin banyak ilmuwan yang merasa gelisah dengan situasi hari ini, bukan hanya dalam bidang sains dan pendidikan, tapi juga masyarakat secara luas. Mereka melihat kontradiksi antara potensi raksasa dari teknologi dan satu dunia di mana jutaan orang hidup di ambang kelaparan. Mereka melihat penyalahgunaan sains secara sistematik demi kepentingan laba monopoli-monopoli besar. Dan mereka sangat gelisah melihat berlanjutnya usaha untuk menggiring para ilmuwan melayani obskurantisme religius dan kebijakan-kebijakan sosial yang reaksioner. Banyak dari mereka sangat jijik melihat watak birokratis dan totalitarian dari Stalinisme. Namun kejatuhan Uni Soviet telah menunjukkan bahwa alternatif kapitalis justru jauh lebih buruk lagi. Lewat pengalaman pribadi mereka, banyak ilmuwan yang akan sampai pada kesimpulan bahwa satu-satunya jalan keluar dari kemandekan sosial, ekonomi dan budaya ini adalah melalui sejenis masyarakat yang terencana secara rasional, di mana sains dan teknologi ditempatkan sebagai pelayan umat manusia, bukan pelayan para pencari keuntungan pribadi. Masyarakat semacam itu haruslah demokratik, dalam maknanya yang paling sejati, dengan melibatkan kontrol secara sadar dan partisipasi dari segenap populasi masyarakat. Sosialisme pada dasarnya adalah demokratik. Seperti yang dikatakan oleh Trotsky “sebuah perekonomian nasional yang terencana membutuhkan demokrasi, seperti tubuh manusia membutuhkan oksigen.”
Tidaklah cukup sekedar merenungkan masalah-masalah dunia. Kita harus mengubahnya. Akan tetapi, pertama-tama perlulah untuk memahami alasan mengapa keadaan dunia ini menjadi begini. Hanya gagasan-gagasan Marx dan Engels, yang kemudian digarap lebih lanjut oleh Lenin dan Trotsky, yang dapatmembantu kita mencapai pemahaman ini. Kami percaya bahwa para anggota komunitas ilmiah yang paling sadar, melalui kerja dan pengalaman mereka, akan mencapai kesadaran bahwamereka membutuhkan satu cara pandang dunia yang materialis dan konsisten. Inilah yang ditawarkan oleh materialisme dialektik. Perkembangan terakhir dari teori chaos dan kompleksitas menunjukkan bahwa semakin banyak ilmuwan yang bergerak ke arah pemikiran dialektis. Ini adalah perkembangan yang maha penting. Tidak diragukan lagi bahwa penemuan-penemuan baru akan memperdalam dan memperkuat kecenderungan ini. Kami sangat kukuh dalam keyakinan kami bahwa materialisme dialektik adalah filsafat bagi masa depan.
__________________
Catatan Kaki
[1] Komune Paris adalah revolusi pekerja pertama yang berhasil merebut kekuasaan walaupun hanya untuk sementara. Komune Paris berdiri dari 28 Maret hingga 28 Mei 1871. Setelah kekalahan Prancis dalam perang Franco-Prussian, Pemerintahan Pertahanan Nasional mengakhiri perang melawan Jerman dengan syarat-syarat yang kejam, salah satunya pendudukan Paris yang secara heroik telah bertahan selama enam bulan melawan pengepungan oleh tentara Jerman.Rakyat pekerja Paris sangat marah terhadap pendudukan ini dan menolak untuk bekerja sama dengan tentara Jerman. Pada 18 Maret, pemerintahan Prancis yang baru, dipimpin oleh Thiers, setelah mendapatkan izin dari Jerman, mengirim tentara ke Paris untuk merebut persenjataan di dalam kota, serta untuk memastikan agar rakyat pekerja Paris tidak dipersenjatai dan melawan Jerman. Rakyat pekerja Paris melawan. Akibatnya Pemerintahan “Pertahanan Nasional” Prancis menyatakan perang terhadap kota Paris. Pada 26 Maret 1871, dewan kota atau Komune Paris dibentuk yang terdiri dari para pekerja dan prajurit yang terpilih. Kurang dari tiga bulan setelah anggota-anggota Komune Paris dipilih, kota Paris diserang dengan kekuatan penuh oleh tentara pemerintah Prancis. Tiga puluh ribu pekerja tanpa senjata dibantai, ribuan orang ditembaki dijalan-jalan kota Paris. Ribuan lainnya ditangkap dan 7.000 pekerja diasingkan dari Prancis selamanya.
[2] Kreasionisme adalah ajaran agama mengenai bagaimana bumi dan semua makhluk hidup di dalamnya diciptakan.
[3]The Economist, 9 Januari 1982.
[4] Pembantaian Waco adalah insiden yang terjadi di Texas, Amerika Serikat pada 1993, di mana polisi dan militer mengepung dan menyerang markas Sekte Davidian, salah satu sekte Kristen. Pengepungan yang berlangsung selama 51 hari ini berakhir dengan bunuh diri massal yang menewaskan 87 penganut sekte ini, di antaranya 28 anak kecil.
[5] W. Rees-Mogg dan J. Davidson, The Great Reckoning, How the World Will Change in the Depression of the 1990s, hal. 445.
[6] Rees-Mogg 27.
[7] Alexander Solzhenitsyn (1918-2008) adalah sejarawan dan novelis Rusia, yang adalah seorang kritikus anti-komunis terkemuka. Dia menulis banyak buku yang mengutuk komunisme, dan pembela kebijakan kapitalisme Barat yang paling kukuh. Dia meraih hadiah Nobel Sastra pada 1970.
[8] Billy Graham (1918 – ) adalah pendeta Kristen Evangelical dari Amerika Serikat yang sangat terkemuka dan dekat dengan koridor kekuasaan. Dia tampil di berbagai media, televisi, dan radio.
[9] Charles Colson (1931-2012) adalah penasihat khusus Presiden Richard Nixon pada 1969-1973, dan pemimpin Kristen Evangelical terkemuka. Dia terlibat dalam skandal Watergate pada1974.
[10] The Guardian, 9Maret 1995.