Bab 15. Gen yang Egois?
Genetika
Baru pada akhir tahun 1930-an mekanisme evolusi Darwin – yakni seleksi alam –diterima secara luas. Pada masa ini, para ilmuwan terkemuka seperti Fisher, Haldane dan Wright menjadi para pendiri neo-Darwinisme, yang menggabungkan seleksi alam dengan genetika Mendel. Teori hereditas [pewarisan ciri-ciri induk] adalah esensial bagi hubungan antara teori evolusi dan teori sel. Di abad ke-19, ahli biologi Scheilden, Schwann dan Virchow menjelaskan bahwa sel adalah unit dasar dari makhluk hidup. Di tahun 1944, Oswald Avery mengidentifikasi DNA dalam inti sel sebagai bahan yang membangun basis hereditas. Penemuan struktur heliks ganda DNA oleh Crick dan Watson semakin memperjelas proses evolusi. Variasi-variasi Darwinian disebabkan oleh perubahan dalam DNA, yang muncul dari mutasi acak dan pengaturan ulang molekular internal, yang menjadi landasan bekerjanya seleksi alam.
Gregor Johann Mendel, seorang biarawan Austria, dan seorang botanis amatir, di tahun 1860-an membuat satu studi yang cermat tentang ciri-ciri yang diwariskan pada tanaman. Diakemudian menemukan fenomena pewarisan genetik. Mendel, seorang yang pemalu dan rendah hati, mengirimkan penemuannya pada seorang ahli biologi ternama yang, seperti dapat kita harapkan, menganggap penemuannya itu sebagai omong kosong. Karena sangat terpukul, Mendel menyembunyikan idenya dari dunia dan kembali ke tanaman-tanamannya. Karyanya yang revolusioner ini baru ditemukan kembali di tahun 1900-an ketika ilmu genetika dilahirkan. Perkembangan dalam teknik mikroskop memungkinkan untuk melihat ke dalam sel, yang membawa kita pada penemuan gen dan kromosom.
Genetika memungkinkan kita memahami perkembangan kehidupan yang berlangsung terus-menerus. Evolusi kehidupan berarti kemunculan molekul-molekul yang sanggup menyalin dirinya sendiri, yang dapat memindahkan ciri-ciri satu bentuk kehidupan ke generasi selanjutnya. Mekanisme ini adalah asam deoksiribonukleat (DNA). Molekul DNA yang sanggup menyalin diri sendiri ini tidaklah terkonsentrasi dalam satu bagian tubuh tertentu, melainkan terkandung dalam tiap sel hewan atau tumbuhan. Spesies yang berevolusi paling tinggi, produk evolusi selama 3 miliar tahun, adalah manusia. Pada saat dewasa, manusia tersusun dari sekitar satu triliun sel, tapi pada saat pembuahan ia hanya terdiri dari satu sel saja. Bagaimana ini dapat terjadi? Rahasianya ada pada DNA. Di dalam sel tunggal ini terdapat molekul DNA yang mengandung kode genetik untuk rekonstruksi seorang manusia. Informasi genetik yang terkandung dalam gen-gen ini disimpan dalam bentuk sandi kimiawi. Gen adalah sebuah bagian dari DNA yang memiliki informasi untuk membuat satu jenis protein tertentu.
Gen-gen yang terkandung dalam tiap sel adalah bagian dari organisme yang mengandung semua informasi yang diperlukan untuk menciptakan hewan atau tumbuhan tertentu. Kebanyakan gen membawa informasi yang mengarahkan sel untuk membuat protein. Beberapa gen memberitahu sel dalam embrio di mana mereka berada dan apakah mereka harus tumbuh menjadi tangan atau kaki. Urutan DNA yang tersimpan dalam gen-gen ini menentukan makhluk hidup macam apa yang akan tercipta. Informasi hereditas tersimpan dalam inti tiap sel dalam bentuk rantai gen-gen yang dinamai kromosom. Seperti sebuah buku teks yang hidup, dua set kromosom memuat semua gen yang dimiliki oleh satu individu, menentukan sifat dari struktur protein-protein yang melakukan sebagian besar kerja di dalam tubuh.
Baru di tahun 1950-an komposisi kimia dari gen ditemukan, yakni DNA. Di tahun 1953 Francis Crick dan James Watson membuat sebuah terobosan revolusioner dalam genetika dengan penemuan model heliks gandadari molekul-molekul asam nukleat. Penemuan ini membawa mereka berbagi Hadiah Nobel di tahun 1962. Ini memperjelas bagaimana kromosom disalin dalam pembelahan sel. DNA hadir dalam bentuk-bentuk kehidupan yang paling sederhana sekalipun: sebuah virus memiliki satu molekul DNA tunggal. Semua bentuk kehidupan yang kita kenal pada akhirnya tergantung pada DNA. Penemuan dan perkembangan genetika semakin mengungkap rahasia evolusi. Hukum-hukum evolusi yang ditemukan oleh Darwin telah diperkaya oleh pemahaman genetika, melalui karya Fisher, Haldane dan Wright, para pendiri neo-Darwinisme.
Gen adalah unit hereditas. Seluruh koleksi gen yang dimiliki oleh satu organisme disebut genom. Pada saat ini pada ilmuwan sedang berusaha mengenali semua gen-genyang dimiliki manusia, yang jumlahnya sekitar 100 ribu. Gen-gen itu sendiri mereproduksi diri dalam tiap generasi sel; protein dalam bentuk enzim-enzim khusus memainkan peran penting dalam proses ini. Melalui reproduksi-diri, gen dibentuk lagi dan lagi dalam tiap sel baru. Dengan demikian, gen-gen secara tidak langsung menghasilkan protein yang membangun dan memelihara semua sel. Dari sel-sel bakteri, sel-sel tumbuhan dan sel-sel hewan; sel-sel yang terspesialisasi untuk membentuk daun dan batang, otot dan tulang, hati dan ginjal, dan banyak lagi, termasuk otak. Tiap sel mengandung gen yang sama dengan yang ada pada sel yang pertama membentuk mereka. Tiap sel manusia mungkin mengandung informasi genetik yang dibutuhkan untuk membuat tiap jenis sel manusia, dan dengan demikian keseluruhan manusia, tapi dalam tiap sel hanya satu potongan informasi yang digunakan. Ini dapat disamakan dengan sebuah buku panduan, di mana hanya beberapa halaman tertentu, dan bahkan hanya beberapa baris atau kata yang dipilih untuk menyandikan protein tertentu yang diperlukan untuk menghasilkan berbagai jenis sel.
Efek dari reproduksi seksual adalah percampuran atau pengocokan gen. Sel-sel seksual (telur atau sperma) hanya mengandung 23 kromosom, tapi ketika bergabung membentuk jumlah normal 46 kromosom. Sel yang baru ini akan, seperti kata Dawkins, menjadi “satu mosaik dari gen-gen ibu dan ayah.” Ketika dua himpunan kromosom bersatu, jika dua gen memberi sinyal yang berbeda, salah satu akan berjaya dari yang lain. Gen untuk mata cokelat, misalnya, bersifat dominan terhadap gen untuk mata biru. Ini adalah apa yang dikenal sebagai gen resesif atau dominan. Kadang kala kompromi hibrida dihasilkan.
Melalui reproduksi kita mendapatkan variasi. Dari sudut pandang evolusi, ini adalah hal yang vital. Reproduksi aseksual dari organisme primitif menghasilkan salinan yang identik dengan sel induknya, di manamutasi sangat jarang terjadi. Di pihak lain, reproduksi seksual, dengan kombinasi-kombinasi gen baru dari dua sumber, meningkatkan kemungkinan variasi genetik dan mempercepat tingkat kecepatan evolusi itu sendiri. Setiap bentuk kehidupan membawa sandi informasi genetiknya di dalam DNA. Bukti-bukti kesamaan moyang kita terletak pada kemiripan struktur sel dari semua makhluk hidup. Mekanisme pewarisannya adalah sama, di mana DNA menentukan kalau tikus akan berbentuk seperti tikus, manusia seperti manusia, dan bakteri seperti bakteri. Beberapa organisme, seperti bakteri, hanya memiliki satu molekul DNA utama, sementara sel-sel kita sendiri, dan sel-sel dari organisme yang lebih tinggi mengandung sejumlah bundel DNA yang terpisah (kromosom).
Gen dan Lingkungan
Selama lebih dari 25 tahun terakhir, ideologi kembar reduksionisme dan determinisme biologis telah mendominasi segala cabang biologi. Metode reduksionisme berusaha menjelaskan properti-properti dari keseluruhan yang kompleks – misalnya, protein – melalui properti-properti atom-atomnya dan bahkan partikel-partikel fundamental yang menyusun atom-atom itu. Semakin dalam kita pergi, semakin baik pula pemahaman kita (klaimnya begitu). Lebih jauh lagi, mereka menyatakan bahwa unit-unit yang menyusun keseluruhan terjadi sebelum keseluruhan itu terjadi, bahwa satu rantai kausalitas yang berjalan dari bagian menuju keseluruhan, bahwa telur selalu datang lebih dahulu dari ayam.
Determinisme biologis berkaitan sangat erat dengan reduksionisme. Ia mengklaim, contohnya, bahwa perilaku manusia ditentukan oleh gen-gen yang dimiliki seseorang. Dan ini membawa mereka pada kesimpulan bahwa seluruh masyarakat manusia ditentukan oleh jumlah perilaku semua individu dalam masyarakat tersebut. Kontrol genetik ini sama dengan ide-ide lama yang dinyatakan dengan istilah “sifat alami manusia”. Lagi-lagi para ilmuwan boleh berpendapat bahwa ini bukanlah apa yang mereka maksud, tapi ide tentang determinisme dan tentang gen sebagai “entitas yang tetap dan tak berubah” bertebaran dalam pernyataan-pernyataan mereka dan digunakan dengan senyum puas oleh para politisi sayap kanan. Bagi mereka, ketidakadilan sosial adalah sesuatu yang patut disayangkan, tapi juga statis dan tak dapat diubah; oleh karenanya mustahil untuk memperbaiki keadaan sosial, karena dengan melakukan inimaka kita akan “melawan kehendak alam”. Ide ini telah dinyatakan oleh Richard Dawkins dalam The Selfish Gene yang digunakan sebagai buku teks di berbagai universitas Amerika.
Mekanisme evolusi dikondisikan oleh kesalingterhubungan dialektik antara gen dan lingkungannya. Sebelum Darwin, Lamarck telah mengajukan sebuah teori evolusi yang berbeda, yang menyatakan bahwa individu beradaptasi langsung terhadap lingkungannya dan meneruskan modifikasi ini pada keturunannya. Interpretasi mekanik ini telah dibuktikan keliru sepenuhnya, sekalipun ide bahwa lingkungan dapat mengubah hereditas secara langsung telah muncul kembali di Rusia, di bawah Stalin, dalam bentuk Lysenkoisme. Evolusi manusia memiliki sifat“alamiah” maupun “sejarah”. Bahan baku genetik memasuki hubungan dinamis dengan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya. Mustahil memahami proses evolusi dengan mengambil salah satu saja tanpa menyertakan yang lain karena adanya interaksi terus-menerus antara unsur-unsur biologis dan “budaya”.
Telah dibuktikan secara meyakinkan bahwa kemampuan-kemampuan yang didapat dari proses belajar (yang diturunkan dari lingkungan) tidaklah dapat diteruskan secara biologis. Budaya diteruskan dari satu generasi ke generasi berikut hanya melalui pendidikan dan teladan. Inilah salah satu ciri yang menentukan, yang memisahkan masyarakat manusia dari kerajaan hewan, sekalipun elemen-elemen ini dapat pula diamati di antara kera-kera tingkat tinggi. Sangat mustahil bagi kita untuk menyangkal peran vital dari gen dalam perkembangan manusia, bahkan hal ini tidak bertentangan sedikit pun dengan materialisme. Namun, apakah dengan demikian “semuanya tergantung dari gen”? Mari kita kutip apa yang dikatakan oleh ahli genetika terkemuka Theodore Dobzhansky:
“Kebanyakan evolusionis kontemporer berpendapat bahwa adaptasi spesies pada lingkungan adalah agen utama yang menggerakkan dan mengarahkan evolusi biologis. … Namun, kebudayaan adalah alat adaptasi yang jauh lebih efisien daripada proses biologis yang membawa pada kelahiran dan perkembangannya sendiri. Ia jauh lebih efisien di antara hal-hal lain karena ia sangat cepat – gen-gen yang berubah diteruskan hanya pada keturunan langsung dari individu di mana mereka pertama muncul; untuk menggantikan gen-gen lama, orang-orang yang membawa gen baru itu harus secara perlahan memiliki keturunan lebih banyak dan menggantikan seluruhnya generasi terdahulu. Kebudayaan yang berubah dapat diteruskan kepada siapa saja tanpa memandang keturunan biologis, atau dapat dipinjam dalam bentuk jadi dari orang lain.”[1]
Para ahli biologi membagi organisme menjadi dua bagian, susunan genetiknya, yang dikenal sebagai genotip, dan kualitas yang nampak di permukaan, fenotip. Adalah satu kesalahan yang umum jika kita menganggap bahwa di antara keduanya terdapat satu hubungan sebab-akibat yang sederhana. Genotip, katanya, datang sebelum fenotip, dan dengan demikian merupakan unsur yang menentukan dalam persamaan itu. Kita dilahirkan dengan satu himpunan gen tertentu, yang tidak dapat diubah, dan ini menentukan nasib kita, sama pastinya seperti posisi planet-planet dalam astrologi.Determinisme mekanis genetik macam ini adalah sama dengan teori-teori palsu Lysenko. Ini adalah Lamarckisme yang diputarbalik. Pada kenyataannya, genotip, atau gen yang ditemukan di dalam inti tiap sel kurang lebih tidak berubah– dengan memperhitungkan terjadinya mutasi sekali-kali. Fenotip, atau ciri-ciri morfologi, fisiologi dan perilaku total dari satu individu, tidaklah statis. Sebaliknya, ia berubah terus sepanjang hidup organisme itu melalui interaksi antara genotip dan lingkungannya, dan antara fenotip dengan lingkungannya. Dengan kata lain, ia adalah hasil interaksi dialektik antara organisme dengan lingkungan. Jika Albert Einstein dilahirkan di sebuah perkampungan kumuh New York, atau sebuah desa di India, tidak akan butuh banyak kepandaian untuk melihat bahwa potensi genetik yang dimilikinya akan tersia-siakan.
Studi genetika menyediakan jawaban yang meyakinkan bagi idealisme. Tidak ada satu organisme pun yang akan dapat mengada tanpa genotip. Dan tidak ada genotip yang dapat mengada tanpa adanya spaciotemporal continuum – atau lingkungan. Gen berinteraksi dengan lingkungan untuk melahirkan proses perkembangan manusia. Sesungguhnya, jika hereditas adalah sempurna, tidak akan pernah ada evolusi, karena hereditas adalah kekuatan yang konservatif. Pada hakikatnya hereditas adalah mekanisme untuk menyalin diri sendiri. Tapi ada sebuah kontradiksi yang inheren di dalam gen, di mana kadang kala dihasilkan sebuah salinan yang tidak sempurna – mutasi. Kecelakaan mutasi ini jumlahnya tak terhingga, kebanyakan bukan hanya tidak berguna, tapi benar-benar merugikan bagi organisme itu.
Satu mutasi tunggal tidak dapat mengubah satu spesies menjadi spesies lainnya. Informasi yang terkandung dalam gen tidaklah tinggal di sana dalam isolasi mutlak. Ia memasuki kontak dengan dunia fisik, di mana ia diuji, diolah, diartikulasi dan dimodifikasi. Jika satu varian tertentu terbukti menyediakan protein yang lebih baik dari varian lain dalam satu lingkungan tertentu, ia akan berkembang biak, sementara yang lain akan tersingkir. Pada titik tertentu, variasi-variasi kecil ini akan mencapai satu tahap kualitatif, dan sebuah spesies baru terbentuk. Inilah makna seleksi alam. Selama sekitar empat miliar tahun, gen-gen dari tiap benda hidup – tumbuhan dan hewan, termasuk manusia – telah terbentuk dengan cara ini. Ini bukanlah sebuah proses yang berjalan searah. Gagasan determinasi genetik, bahwa gen adalah penguasa, telah digambarkan oleh Francis Crick, salah satu penemu kode DNA, sebagai “dogma sentral” dari biologi molekuler. Dogma ini tidak lebih sahih daripada dogma Immaculata Conceptio (Dikandung Tanpa Noda)[2]. Dalam hubungan dialektik antara organisme dengan lingkungannya, informasi tentang fenotip mengalir balik ke dalam genotip. Gen kemudian “diseleksi” oleh lingkungan, yang menentukan mana yang akan bertahan, dan mana yang akan gugur.
Kode genetik memainkan peran vital dalam memberikan“kerangka” bagi manusia, sementara lingkungan bekerja untuk mengisi dan mengembangkan perilaku dan kepribadian. Keduanya bukan faktor yang saling terpisah, tapi bergabung secara dialektik untuk menghasilkan satu individu dan ciri-ciri unik mereka. Tidak ada dua orang yang identik satu sama lain. Namun, sekalipun tidak mungkin mengubah susunan hereditas dari seseorang, sangat mungkin untuk mengubah lingkungannya. Cara untuk memperbaiki potensi seseorang adalah dengan memperbaiki lingkungannya. Gagasan ini telah memprovokasi argumen yang panas selama bertahun-tahun: apakah mungkin mengatasi atau mengubah “kekurangan” genetik melalui perbaikan lingkungan? Salah satu ahli genetika awal yang ternama, Francis Galton, berusaha menunjukkan bahwa kejeniusan adalah faktor keturunan, dan mendukung kebijakan perkawinan selektif untuk memelihara stok orang-orang cerdas. Gagasan bahwa orang kulit putih kelas menengah ke atas memiliki gen yang superior dari kelas-kelas dan ras-ras lain menjangkiti masyarakat Victorian. Pandangan ini telah menjadi ideologi gerakan eugenik yang menganjurkan pemandulan paksa untuk mencegah berkembangbiaknya mereka-mereka yang secara biologis tidak baik. Data yang kurang ilmiah, yang menggunakan tes IQ (intelligence quotient), digunakan untuk mendukung determinisme biologis dan ketidakadilan sosial yang didasarkan pada ras, jenis kelamin atau kelas; ketidakadilan yang katanya tidak dapat diubah karena itu hanya cerminan dari kepemilikan atas gen-gen yang inferior.
“Kecerdasan” dan Gen
Sosiobiologis E. O. Wilson menyatakan pandangan kaum determinisme biologis sebagai berikut:
“Jika sebuah masyarakat terencana – yang penciptaannya niscaya terjadi di abad berikut – dapat dengan sengaja mengendalikan anggota-anggotanya keluar dari stres dan konflik yang memberi keuntungan Darwinian pada fenotip-fenotip yang merusak (agresi dan keegoisan), maka fenotip yang lain (kerja sama dan altruisme) boleh jadi hancur bersama mereka. Dalam hal ini, dalam makna genetik sepenuhnya, kontrol sosial justru akan merampok kemanusiaan dari tangan manusia.”[3]
Dengan kata lain, dengan menyingkirkan aspek-aspek yang buruk dari kemanusiaan, kita akan juga menyingkirkan aspek-aspek baiknya! Lagi-lagi, Wilson mencampuradukkan genotip dan fenotip dengan mengimplikasikan bahwa fenotip (bukannya genotip) adalah tetap dan tidak berubah. Tidak demikian. Genotip tidaklah “menyandikan” ciri-ciri yang ada pada fenotip dan tidak ada gen altruisme. Setiap makhluk hidup adalah hasil dari sebuah interaksi terus-menerus antar gen, lingkungan dan fenotip itu sendiri. Namun, kita harus juga menghindari jebakan lain bahwa organisme adalah makhluk tidak berdaya di “tangan” gen dan lingkungannya. Organisme juga memainkan peran aktif dalam proses itu. Semua makhluk hidup berinteraksi dengan lingkungannya dengan cara yang dialektik.
“Anggapan bahwa sebuah sel seksual membawa satu partikel yang disebut ‘kecerdasan’ yang akan membuat pembawanya menjadi cerdas dan bijak tidak peduli apa yang terjadi padanya, sungguh, adalah anggapan yang menggelikan,” tegas Dobzhansky. “Tapi jelas bahwa orang-orang yang kita temui tidak sama kecerdasannya, kemampuan dan sikapnya, dan bukannya tidak beralasan untuk menganggap bahwa perbedaan-perbedaan ini sebagian disebabkan oleh sifat-sifat dasar yang dimiliki orang-orang ini dan sebagian lagi karena lingkungan mereka.”
Sekalipun genetika dengan jelas menunjukkan sifat materialis dan dialektik dari proses kehidupan, ia telah melahirkan kontroversi yang panas dan membuka pintu bagi idealisme dan paham-paham reaksioner. Pemahaman akan genetika yang sepihak niscaya akan berujung pada kesalahan dan kebingungan. Demikianlah, beberapa ahli genetika telah terjebak pada determinisme biologis atau determinisme genetik. Ini juga terjadi pada para sosiobiologis seperti E. O. Wilson dan Richard Dawkins. Berkomentar tentang hal ini, Steven Rose bertanya:
“Apakah teori evolusi menunjukkan bahwa beberapa aspek manusia – kapitalisme, nasionalisme, patriarki, xenophobia, agresi dan persaingan –‘tersalin’ di dalam ‘gen egois’ kita? Beberapa ahli biologi telah mengklaim bahwa mereka memiliki jawaban atas pertanyaan ini secara afirmatif, dan para teoretikus politik dari sayap kanan – dari kaum monetaris libertarian sampai neo-fasis telah menggunakan pernyataan-pernyataan mereka sebagai pembenaran ‘ilmiah’ atas filsafat politik mereka.”
Satu-satunya kesimpulan dari sini adalah bahwa kapitalisme dan segala keburukannya adalah “alamiah”, karena diturunkan dari fakta-fakta biologis. Teori ketidaksetaraan rasial dan seksual juga telah mencari basis dari interpretasi-interpretasi tertentu dari ilmu pengetahuan.
Perumpamaan-perumpamaanevolusi yang sederhana dan kasar ini, seperti “yang paling kuat yang menang” (survival of the fittest) dan “persaingan untuk hidup” (the struggle for existence),dipungut oleh Herbert Spencer dan dimasukkan ke dalam kosakata Darwinisme Sosial. Di dalam biologi ditemukanlah konfirmasi atas kapitalisme, ketidaksetaraan kelas dan imperialisme. Nampaknya para sosiobiologis semodel E. O. Wilson membuntuti Darwinisme Sosial dalam pandangan mereka tentang sifat manusia dan determinisme biologis. Marx dan Engels menjelaskan bahwa “manusia menentukan dirinya sendiri”. Sifat manusia, seperti kesadaran, adalah produk dari kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang dominan. Itulah mengapa sifat manusia terus berubah sepanjang sejarah, mengikuti perkembangan masyarakat itu sendiri. Bagi para sosiobiologis, ciri-ciri manusia tampaknya ditetapkan secara biologis melalui gen-gen kita, yang menyokong mitos bahwa “kita tidak akan dapat mengubah sifat manusia.”
Sesungguhnya, apa yang disebut “sifat manusia” telah berubah dan diubah lagi berkali-kali sepanjang sejarah manusia, seperti yang ditunjukkan oleh Dobzhansky:
“Darlington (1953) percaya bahwa ‘kemampuan adaptasi individu sungguh merupakan ilusi besar dari pengamatan yang berdasarkan akal-sehat. Itu adalah ilusi yang bertanggung jawab atas beberapa kesalahan utama dari administrasi ekonomi dan politik hari ini. Individu dan populasi tidak dapat dipindahkan dari tempat atau pekerjaan yang satu ke yang lain setelah satu masa pelatihan yang cocok dengan kebutuhan segelintir perancang, sebagaimana petani di gunung tidak akan dapat diubah menjadi nelayan atau penjahat kambuhan diubah menjadi warga negara yang baik.’
“Sekalipun terdapat banyak kekurangan dan ketidakpastian dalam pengetahuan kita tentang genetika manusia, terdapat cukup banyak bukti yang berlawanan dengan pandangan Darlington, dan bukti-bukti ini sangat konklusif.
“Sejarah sangat kaya dengan bukti bahwa individu dan populasi dapat dengan berhasil berpindah dari tempat atau pekerjaan yang satu ke yang lain. Revolusi industri di banyak negeri di seluruh dunia telah menunjukkan bukti yang sangat kuat tentang hal ini. Moyang dari jutaan buruh yang sekarang ada tentulah para petani yang ‘sejak jaman tak terkira’ telah selalu membajak sawah. Pergerakan dari desa ke kota-kota industrial sekarangpun masih terus berlangsung, dan pada skala yang besar pula, di negeri-negeri ‘berkembang’.”[4]
Tes IQ
Satu istilah yang sering disalahgunakan oleh para determinis genetik adalah hereditas, khususnya dalam bidang pengujian IQ. Psikolog Hans Eysenck di Inggris, Richard Herrstein dan Arthur Jensen di Amerika Serikat telah mempromosikan ide bahwa kecerdasan sebagian besar merupakan warisan. Mereka juga beranggapan bahwa rata-rata IQ dari kulit hitam secara genetik lebih rendah dari orang kulit putih, dan juga IQ orang -orang Irlandia secara genetik lebih rendah dari orang Inggris. Eysenck percaya bahwa orang kulit hitam dan Irlandia telah dibiakkan secara selektif untuk gen-gen “IQ rendah”. Sesungguhnya, tes IQ telah terbukti mengandung cacat inheren di dalamnya. Sebenarnya tidak ada unit pengukuran untuk “kecerdasan”, sebagaimana halnya untuk tinggi atau berat. IQ adalah sebuah konsep imajiner yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang sembarangan.
Tes IQ dimulai pada awal abad ke-20 ketika Alfred Binet menciptakan satu tes sederhana untuk mengenali anak-anak yang memiliki kesulitan belajar. Bagi Binet ini adalah alat untuk mengenali kesulitan-kesulitan yang dapat diperbaiki melalui “ortopedi mental”. Pastinya ia tidak percaya bahwa tes ini dapat mengukur semacam kecerdasan yang “tetap”, dan bagi mereka yang berpikir semacam itu, balasan dari Binet tajam adanya: “Kita harus memprotes dan bereaksi melawan pesimisme brutal macam ini.”
Basis bagi tes Binet cukup sederhana: anak yang lebih tua seharusnya sanggup menjalankan tugas-tugas mental yang tidak dapat dijalankan anak yang lebih muda. Ia kemudian mengumpulkan tes-tes yang cocok untuk tiap kelompok usia; mereka yang dianggap lebih cerdas atau kurang cerdas dinilai berdasarkan hal ini. Di mana anak-anak mengalami kesulitan,makatindakan-tindakan perbaikan harus dilaksanakan. Namun sistem ini, di tangan orang lain, digunakan untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan yang berbeda. Dengan wafatnya Binet, para penganjur eugenik melihat peluang mereka untuk memperkuat pesan-pesan determinis mereka. Kecerdasan kemudian dilihat sebagai sesuatu yang ditetapkan melalui hereditas dan berhubungan dengan asal kelas sosial dan ras mereka. Ketika Lewis Terman memperkenalkan tes Stanford-Binet ke Amerika Serikat, ia memperjelas bahwa kecerdasan yang rendah“sangat jamak terdapat di tengah orang-orang keturunan Indian-Spanyol dan keluarga-keluarga Meksiko di Barat Daya, dan juga di kalangan orang negro. Kebodohan mereka nampaknya bersifat rasial, atau setidaknya inheren dalam keturunan keluarga mereka…. Anak-anak dari kelompok ini harus dipisahkan dalam kelas-kelas khusus…. Mereka tidak dapat menguasai abstraksi, tapi mereka sering kali dapat dididik menjadi buruh yang efisien…. Tidak ada kemungkinan saat ini untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka seharusnya tidak diperkenankan melakukan reproduksi, sekalipun dari sudut pandang eugenik mereka merupakan problem yang parah karena mereka berkembang biak dengan luar biasa cepat.”
Pandangan ini menjadi sikap sistem pendidikan di Amerika Serikat sehubungan dengan tes ini. Satu puntiran baru dimasukkan untuk memperluas cakupan ilmiahnya: standar baru ditetapkan untuk orang dewasa dan rasio antara usia dan usia-mental –“intelligence quotient” atau IQ.
Di Inggris, psikolog Inggris Sir Cyril Lodowic Burt adalah orang yang menerjemahkan dan membela tes Binet dengan jauh lebih obsesif daripada kawan-kawan Amerikanya. Ia mengklaim bahwa laki-laki lebih cerdas daripada perempuan berdasarkan studi yang katanya telah dilakukannya. Tuan terhormat ini katanya juga memiliki bukti ilmiah yang paling kuat bahwa orang-orang Kristen lebih cerdas daripada orang Yahudi, orang Inggris lebih cerdas daripada orang Irlandia, kelas atas Inggris lebih cerdas daripada kelas bawah Inggris, dan seterusnya. Tidak mengherankan bahwa Burt sendiri kebetulan adalah dari kelas atas, berkebangsaan Inggris, Kristen dan tentunya laki-laki! Dengan cara ini, para penindas membenarkan penindasan, orang-orang yang kaya dan berkuasa membenarkan privilese mereka, berdasarkan anggapan bahwa korban-korban mereka adalah “inferior”. Selama 65 tahun, sampai kematiannya di tahun 1971 Burt terus melanjutkan karyanya tentang eugenik dan tes IQ, setelah diberi gelar kebangsawanan untuk “jasanya” bagi umat manusia. Ia berperan dalam menetapkan sistem pendidikan “eleven plus” yang terkenal “harum” namanya itu, yang memisahkan antara sekolah “secondary modern” dengan grammar school.[5] Burt menjelaskan: “Kapasitas haruslah membatasi isi. Mustahil bagi satu botol berukuran satu pint (568 mL) untuk memuat susu lebih dari satu pint; demikian pula mustahil bagi seorang anak untuk mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada yang diizinkan oleh kapasitas yang dimilikinya.”
Dengan demikian tes Binet telah disimpangkan demikian jauh untuk memperkuat karakter kelas dari masyarakat. Ada orang yang dilahirkan untuk menjadi penggali batubara atau pengangkut air, dan yang lain dilahirkan untuk berkuasa atas masyarakat. Tes itu tidak lagi digunakan untuk memperbaiki, tapi justru untuk memisahkan. Bagaimanapun tes IQ itu dimodifikasi, semuanya memiliki akar yang sama: “kecerdasan” yang ditetapkan di muka sebagai ukuran untuk menilai semua orang. Akan tetapi, tes-tes ini sangatlah dipengaruhi oleh stereotip kebudayaan dan sosial, yang menentukan hasil dari tes tersebut. Pada akhirnya, apa itu kecerdasan? Bagaimana kita bisa menilai kecerdasan secara kuantitatif? Kecerdasan bukanlah seperti berat badan atau tinggi badan. Kecerdasan bukanlah sebuah hal yang tetap, seperti yang diklaim oleh Burt, tetapi elastik. Potensi otak manusia tidak ada batasnya. Tugas masyarakat adalah untuk memungkinkan manusia memenuhi potensi tersebut. Fakta-fakta lingkungan dapat menghambat atau mendorong potensi ini. Asuh seorang anak di kondisi sosial yang buruh, maka sang anak akan dalam posisi yang lebih tidak menguntungkan dibandingkan dengan mereka yang diasuh dengan seluruh kebutuhan mereka tersedia. Latar belakang sosial sangatlah penting. Jika kita mengubah lingkungan di sekitar kita, kita akan mengubah sang anak. Kendati klaim-klaim kaum determinis biologi, kecerdasan bukanlah sesuatu yang statis atau ditentukan secara genetik.
Obsesi untuk secara statistik memplot “kecerdasan” melalui kurva Gauss adalah satu upaya untuk memaksakan ketertundukan sosial. Mereka yang berada di luar norma dikatakan “abnormal” dan harus mendapatkan perlakuan khusus. Klaimnya adalah bahwa ini bersifat genetik dan menentukan kelas, ras dan hidup kita. Tapi, pada kenyataannya, sekalipun genotip kita tetap, fenotip kita terus berubah. Kehilangan satu tangan atau kaki tidak dapat dikembalikan lagi, setidaknya pada saat ini, tapi jelas tidak diwariskan. Penyakit Wilson[6] merupakan penyakit turunan, tapi bukannya tidak dapat diobati. “Bahkan,” kata Rose, Kamin dan Lewontin, “fenotip juga tidak berkembang secara linear dari genotip sejak kelahiran sampai kedewasaan. ‘Kecerdasan’ dari seorang bayi bukanlah sekedar satu persentase tertentu dari tingkat kecerdasannya pada masa dewasa, bukan seperti sebuah botol susu yang terus-menerus diisi.”
Upaya panik Burt untuk membangun basis genetika dari IQ telah membuatnya terpaksa secara sistematik memalsukan catatan dan datanya sendiri. Studinya yang terkenal tentang IQ dari dua orang kembar yang dipisahkan berujung pada pernyataannya yang luar biasa bahwa tidak ada korelasi sama sekali antara lingkungan dengan kecerdasan kedua kembar itu. Baginya, segala sesuatu ditentukan oleh gen dari kedua anak kembar itu. Ia adalah idola bagi semua kaum determinis genetik, dan karyanya memberi mereka amunisi untuk memajukan tujuan-tujuan mereka. Di tahun 1978, D. D. Dorfman, seorang psikolog Amerika, membuktikan secara meyakinkan bahwa Tuan yang terhormat dari Inggris itu telah memalsukan datanya. Setelah Tuan itu dibuktikan sebagai penipu, para pendukungnya terpaksa mengganti taktik, dengan mencela Burt karena kecerobohan ilmiahnya! Karya Burt tentang IQ adalah sejajar dengan penemuan Piltdown Man[7]. Bahkan pada saat itu – sekalipun setelah lima belas tahun penuh inkonsistensi – penelitian-penelitiannya tetap dipuji oleh para ilmuwan terkemuka sebagai bukti bahwa IQ ditentukan oleh faktor turunan. Sekalipun Burt telah disingkirkan kredibilitasnya, orang-orang konservatif terus memeluk erat filsafat reaksionernya sebagai batu penjuru dari cara pandang kelas mereka.
Studi yang lebih baru, yang melibatkan anak-anak kembar yang terpisah di Inggris, Amerika dan Denmark, tidak membuktikan faktor turunan dari IQ. Studi ini telah dijawab dengan meyakinkan oleh Rose, Kamin dan Lewontin. Kesimpulan mereka?
“Kami tidak tahu apa itu yang dimaksud dengan heritabilitas IQ. Data itu sama sekali tidak memungkinkan kami untuk menghitung sebuah estimasi yang cukup baik tentang variasi genetik untuk IQ dalam populasi apapun. Sejauh yang kami tahu, heritabilitas IQ mungkin nol atau mungkin juga 50%. Kenyataannya, sekalipun banyak sekali penelitian yang dicurahkan untuk menelaahnya, persoalan apakah IQ diwariskan atau tidak sama sekali tidak ada hubungannya dengan persolan yang sedang dibahas. Signifikansi besar yang dilekatkan oleh para determinis pada heritabilitas adalah konsekuensi dari kepercayaan mereka yang keliru bahwa heritabilitas berarti keadaan yang tidak akan pernah dapat diubah.
“Gen tidak menentukan IQ atau sifat-sifat lain dari sebuah organisme. Tidak ada korespondensi satu-satu antara gen yang diwarisi dari induk dengan tinggi, berat, tingkat metabolisme, kerawanan terhadap penyakit, kesehatan atau karakter-karakter organik penting lainnya … tiap organisme adalah hasil yang unik dari interaksi antara gen dan lingkungan pada tiap tahap kehidupannya.”[8]
Eugenik
Eugenik adalah sebuah kata yang diciptakan di tahun 1883 oleh Francis Galton, yang merupakan sepupu Darwin. Keinginan untuk “memperbaiki” stok gen manusia sering kali terkait dengan teori-teori pseudo-ilmiah yang diajukan oleh mereka yang ingin menunjukkan “keunggulan” dari satu kelompok tertentu – ras, bangsa, kelas sosial, atau jenis kelamin, dalam hal darah atau “keturunan yang baik”. Omong kosong reaksioner semacam itu biasanya dibungkus dengan atmosfer“ilmiah” untuk memberi kesan keilmiahan pada prasangka-prasangka yang paling irasional dan menjijikkan. Di Amerika, “negeri orang-orang bebas” itu, gerakan eugenik mencatat kemenangan dalam pengesahan berbagai undang-undang pemandulan paksa bagi mereka yang “inferior secara biologis”. Negara bagian Indiana meloloskan Undang-undang Pemandulan di tahun 1907. Praktek ini dapat dijalankan atas mereka yang dianggap gila, imbesil atau idiot, sebagaimana saran dari dewan ahli. Tujuh puluh tahun lalu John Scopes[9] mengajar biologi dengan menggunakan sebuah buku berjudul A Civic Biology, karangan G. W. Hunter, yang mengandung satu kasus terkenal tentang keluarga Juke dan Kallikak[10]. Di bawah judul Paratisitism and Its Cost to Society – the Remedy (Parasitisme dan Kerugiannya terhadap Masyarakat – Pengobatannya), buku itu mengatakan:
“Ratusan keluarga seperti yang digambarkan di atas masih ada sampai hari ini, menyebarkan penyakit, imoralitas dan kejahatan ke segala penjuru negeri ini. Kerugian yang disebabkan oleh keluarga macam ini bagi masyarakat sangatlah besar. Sama seperti beberapa hewan atau tumbuhan menjadi parasit atas tumbuhan atau hewan lainnya, keluarga-keluarga semacam ini menjadi parasit atas masyarakat. Mereka bukan hanya berbuat jahat pada orang lain melalui korupsi, pencurian atau penyebaran penyakit, tapi mereka benar-benar dilindungi dan dijaga oleh negara dengan menggunakan dana publik. Panti-panti dan rumah-rumah penampungan orang miskin sebagian besar didirikan untuk mereka. Mereka sungguh parasit sejati.
“Jika orang-orang semacam ini adalah hewan tingkat rendah, kita mungkin akan dapat membunuh mereka untuk mencegah penyebarannya. Kemanusiaan tidak akan memperbolehkan ini, tapi kita sesungguhnya memiliki obat untuk menyembuhkan penyakit ini, dengan memisahkan kedua jenis kelamin di panti-panti atau institusi-institusi serupa lainnya, dan dengan berbagai cara mencegah mereka kawin dengan orang lain dan mencegah mereka menyebarkan ras yang demikian rendah dan bodoh itu.”
Sampai tahun 1930-an, lebih dari 30 negara bagian di Amerika telah mencanangkan Undang-Undang Pemandulan, memperluas cakupannya ke para alkoholik dan pecandu obat, dan bahkan orang buta dan tuli. Kampanye itu mencapai puncaknya di tahun 1927, ketika Mahkamah Agung, dengan suara 8 lawan 1, membenarkan hukum pemandulan di Virginia dalam kasus Buck vs Bell. Kasus ini melibatkan seorang gadis kulit putih berusia 19 tahun bernama Carrie Buck, yang dipaksa masuk ke dalam State Colony for Epileptics and Feeble-Minded (Koloni untuk Pengidap Epilepsi dan Cacat Mental), dan merupakan orang pertama yang dimandulkan di bawah UU tersebut. Dia dipilih, menurut Harry Laughlin, pengawas Kantor Catatan Eugenik (yang ingin menyingkirkan “sepersepuluh bagian yang paling tidak berharga dari populasi kita”) karena dia, anak perempuannya dan ibunya secara genetik adalah di bawah normal. Informasi ini didapatkan dari tes IQ Stanford-Binet – yang kemudian terbukti keliru. Hakim dalam kasus ini, O. W. Holmes menyatakan “Tiga generasi imbesil sudah cukup.” Saudara perempuan Carrie, Doris, juga diam-diam dimandulkan di bawah UU yang sama. Putri Carrie, Vivian, meninggal di tahun 1932 karena sakit. Para gurunya menggambarkannya sebagai “murid yang sangat cerdas.”
Di bulan Januari 1935, sekitar 20.000 pemandulan paksa untuk tujuan eugenik dijalankan di Amerika Serikat. Laughlin ingin agar jaring itu juga menangkap “para gelandangan, pengangguran dan orang miskin” dan gagasan ini diadopsi dengan sangat bersemangat di Jerman, di bawah Nazi, di mana Erbgesundheitsrechts [harfiah: UU tentang kesehatan keturunan, yaitu, eugenik] memandulkan 375.000 orang, termasuk 4.000 karena buta atau tuli. Di Amerika Serikat, pada akhirnya, 30.000 orang dipaksa menjalani pemandulan. Walaupun eugenik klasik telah dibuktikan keliru, versi barunya, seperti pembedahan psikologis, muncul pula. Yang satu ini memproklamirkan ide bahwa pembedahan otak dapat menyingkirkan masalah sosial, terutama kekerasan. Dua ahli bedah psikologis Amerika, Vernon Mark dan Frank Ervin, bahkan berpendapat bahwa kerusuhan di kota-kota Amerika Serikat disebabkan oleh masalah mental (deranged amygdalas) dan dapat disembuhkan dengan pembedahan otak para pemimpin daerah kumuh. Riset untuk area biologi ini dilakukan dan dibiayaibadan-badan penegak hukum Amerika Serikat.
Dalam mencari calon-calon untuk dibedah otaknya, sebuah surat dari tahun 1971 antara Direktur Penjara, Badan Humas di Sacramento, dan Direktur Rumah Sakit dan Klinik, Pusat Medik Universitas California, menunjukkan mentalitas dari sebagian komunitas “ilmiah”. Direktur Penjara itu minta diberikan narapidana yang cocok “yang telah menunjukkan sikap agresif dan destruktif, yang mungkin disebabkan oleh penyakit syaraf yang parah” untuk dikenai “prosedur pembedahan dan diagnostik… untuk menemukan pusat di otak yang mungkin telah rusak dan yang mungkin dapat menjadi fokus bagi berbagai episode perilaku penuh kekerasan,” untuk diangkat melalui pembedahan.
Jawabannya menyarankan seorang kandidat yang “dipindahkan… karena menunjukkan militansi yang semakin tinggi, kemampuan memimpin dan kebencian terhadap orang kulit putih… ia adalah salah satu pemimpin pemogokan di bulan April 1971…. Juga pada waktu yang kira-kira bersamaan, muncul banyak bahan bacaan yang revolusioner.”Ideologi-ideologi reaksioner inilah yang menjadi latar belakang teoritik dari reaksi-reaksi politik. Di tahun 1980, Dr. K. Nelson, yang waktu itu menjabat direktur Rumah Sakit Lynchburg di mana Carrie Buck dimandulkan, menemukan bahwa lebih dari 4.000 operasi telah dilaksanakan, yang terakhir pada tahun 1972. Tes IQ yang digunakan dalam kasus Buck telah lama terbukti keliru. Ide-ide pemandulan paksa yang reaksioner ini tidak hanya terdapat di masa-masa “Abad Pertengahan yang Gelap”, tapi masih terus hidup sampai sekarang, yang terus disokong oleh teori-teori pseudo-ilmiah, khususnya di Amerika. Sampai sekarang UU Pemandulan masih tercantum dalam Kitab UU di 22 negara bagian Amerika Serikat.
Kejahatan dan Genetika
Sejak awal 1970-an, proporsi warga negara Amerika yang menghuni penjara telah meningkat lebih dari tiga kali lipat. Di Inggris, mereka yang tinggal di balik jeruji jumlahnya mencapai rekor tertinggi sepanjang segala abad. Penjara-penjara demikian penuh sesak sehingga banyak narapidana kini ditempatkan di kantor-kantor polisi. “Inggris di tahun 1991 memiliki tingkat proporsi populasi penghuni penjara yang lebih tinggi daripada setiap negara yang tergabung dalam Dewan Eropa, kecuali Hungaria,” lapor Financial Times (10 Maret 1994). Sekalipun demikian, tingkat kekerasan masih tetap tinggi di kedua negeri ini. Krisis ini telah menyebabkan berkembangnya ide-ide reaksioner yang berusaha menghubungkan perilaku kriminal dengan faktor-faktor biologis. “Untuk setiap pengurangan tingkat kejahatan sebesar 1%, kita menghemat anggaran negeri ini sebesar $1,2 miliar,” ujar psikolog Amerika Adrian Raine. Berhubungan dengan ini, US Institute of Health telah meningkatkan anggaran untuk penelitian yang berhubungan dengan kekerasan sebesar $58 juta. Dan di bulan Desember 1994 National Science Foundation memulai promosi proposal untuk pembentukan sebuah konsorsium riset lima tahun berbiaya $12 juta. “Dengan kemajuan yang dapat diharapkan, kita akan sanggup mendiagnosa banyak orang yang otaknya secara biologis terdorong untuk melakukan kekerasan,” demikian klaim Stuart Yudofsky, ketua jurusan psikologi di Baylor College of Medicine dalam majalah Scientific American edisi Maret 1995.
Kini telah menjadi mode di lingkaran-lingkaran tertentu untuk melekatkan segala hal pada kecacatan genetik atau biologis, bukannya mengakui bahwa masalah sosial muncul dari kondisi sosial. Aliran determinisme genetik telah menarik segala jenis kesimpulan yang reaksioner, mereduksi segala masalah sosial ke tingkat genetika. Belum lama lalu, sebuah riset katanya mengungkapkan bahwa banyak penjahat bengisyang memiliki kelebihan kromosom Y. Namunstudi-studi yang lebih baru menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang relevan antara kromosom Y dan kriminalitas. Kini bukti akan adanya kekurangan aktivitas di korteks frontal pada otak para pembunuh tengah menarik perhatian sebagai hubungan antara biologi dan kekerasan. Ada proposal untuk memulai Inisiatif Federal untuk Penanganan Kejahatan agar mengidentifikasi setidaknya 100.000 anak dari daerah pemukiman orang miskin“yang diperkirakan memiliki cacat genetik dan biokimia yang akan membuat mereka cenderung melakukan kekerasan di masa mendatang.”
Bahaya dari riset-riset palsu yang berusaha menghubungkan genetika dengan ras atau perilaku kriminal atau anti-sosial selalu ada. Kesimpulan-kesimpulan yang keliru dapat ditarik dari statistik bahwa di Amerika Serikat, di mana 12,4% populasi adalah kulit hitam, dan mereka mencakup 44,8% dari total penangkapan berkenaan kasus kekerasan. Dalam artikel yang sama di Scientific American, kita dapat membaca: “Ada alasan untuk risau bahwa apa yang nampak sebagai telaah biologis objektif ini, yang mengabaikan faktor perbedaan budaya dan sosial, dapat secara kelirumemperkuat stereotip-stereotip rasial.” Karena adanya ancaman ini, telah terjadi boikot-boikot terhadap pengambilan contoh darah dan urine dari ras-ras minoritas. Jadi, menurut Raine, “semua telaah biologis dan genetik yang dilakukan sampai saat ini hanya dilakukan atas orang kulit putih.”
Raine melanjutkan: “Bayangkan bahwa Anda adalah ayah dari seorang anak berusia delapan tahun. Dilema etiknya adalah seperti ini: saya dapat menyatakan pada Anda, ‘Kami telah melakukan berbagai macam pengukuran, dan kami dapat meramalkan dengan keakuratan 80% bahwa anak Anda akan melakukan tindak kekerasan yang parah dalam waktu 20 tahun. Kami dapat menawarkan kepada Anda serangkaian program intervensi biologis, sosial dan kognitif yang akan sangat mengurangi kemungkinan ia menjadi seorang penjahat kejam.’
“Apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda akan menempatkan putra Anda di dalam program itu dan menjalani risiko memberinya stigma sebagai seorang penjahat kejam sekalipun terdapat kemungkinan riil bahwa ia tidak bersalah? Atau Anda akan mengatakan tidak pada program tersebut dan mengambil risiko kemungkinan 80% bahwa anak Anda akan; tumbuh besar untuk (a) merusak hidupnya, (b) merusak hidup Anda, (c) merusak hidup saudara-saudaranya, dan, yang paling penting (d) merusak hidup orang-orang tidak bersalah yang menjadi korbannya?”
Pertama-tama, sama sekali tidak mungkin meramalkan perilaku kriminal seorang anak di masa depan – apalagi dengan akurasi 80%. Dan kedua, ini menimpakan kesalahan tindakan kriminalitas di pundak individu. Argumen yang reaksioner ini gagal melihat bahwa kejahatan, kekerasan, dan masalah-masalah sosial lainnya adalah produk dari masyarakat yang kita diami. Ini adalah masyarakat yang didasarkan pada penghisapan atas manusia dan maksimalisasi keuntungan yang menghasilkan pengangguran massal, gelandangan, kemiskinan, dan kehidupan yang memalukan. Kondisi sosial ini, pada gilirannya, menghasilkan kejahatan, kekerasan dan brutalitas. Ini tidak ada hubungannya dengan gen atau biologi, dan tetapi ada hubungannya dengan barbarisme dari masyarakat kapitalistik.
Para determinis biologi digunakan untuk menyokong ide-ide sosial kaum reaksioner. Bukannya masyarakat yang harus dipersalahkan untuk adanya kejahatan, kemiskinan, pengangguran, dsb., tapi individu, melalui gen atau kondisi biologis mereka yang cacat. Dengan demikian, jawabannya adalah bedah otak atau genetik. Ilmuwan determinis biologi lainnya berusaha mencari tingkat testosteron yang abnormal, atau detak jantung yang lebih lambat sebagai penjelasan atas kekerasan yang dilakukan manusia. Beberapa ilmuwan telah menunjuk pada rendahnya tingkat serotonin, sebuah zat kimia dalam tubuh yang mempengaruhi, di antaranya, kerja otak. Maka, C. R. Jeffry menulis dalam Journal of Criminal Justice Reeducation: “Dengan meningkatkan tingkat serotonin dalam otak, kita akan dapat menurunkan tingkat kekerasan.” Maka, peningkat serotonin, seperti obat antidepresi Prozac disuntikkan pada pasien untuk mengobati agresi mereka. Kekeliruan dari pandangan ini dijelaskan oleh fakta bahwa zat kimia ini dapat naik atau turun di berbagai tempat yang berbeda di dalam otak dan pada waktu yang berbeda-beda pula, dengan efek yang berbeda-beda. Lingkungan dapat juga mempengaruhi tingkat serotonin ini. Namun, “fakta” ini tidak boleh mengganggu orang-orang ini untuk membuat klaim yang luar biasa konyol dalam upaya menegakkan pandangan mereka yang reaksioner itu.
Jeffrey menganjurkan bahwa “Ilmu pengetahuan harus memberitahu kita individu yang mana yang akan menjadi kriminal dan mana yang tidak, individu mana yang akan menjadi korban dan mana yang tidak, dan strategi penegakan hukum macam apa yang akan atau tidak akan berhasil.” Yudofsky memperkuat antusiasme Jeffry dengan pernyataannya: “Kita kini berada di ambang revolusi pengobatan genetik. Masa depan kita adalah untuk memahami genetika yang mengatur penyakit agresif dan mengenali mereka yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk melakukan kekerasan.” Ia percaya bahwa anak yang hiperaktif harus diperiksa dan, jika perlu, diberi obat beta-blocker, anti-epileptik atau lithium. Yudofsky mengatakan bahwa obat-obatan ini “murah” dan merupakan “kesempatan luar biasa untuk industri farmasi.” Tidak sulit untuk mengetahui siapa yang dia layani.
“Ada wilayah di mana kita dapat mulai menggunakan pendekatan biologis,” ujar Fishbein. “Kaum remaja nakal harus dinilai secara individual.” Ia melanjutkannya dengan menganjurkan pengobatan paksa bagi kriminal, tapi bila ini juga belum berhasil, “mereka harus dipenjara selamanya.” Masters percaya bahwa “kita kini tahu cukup banyak tentang sistem serotonergik sehingga jika kita melihat seorang anak tidak terlalu berhasil di sekolah, kita harus meneliti tingkat serotonin di otaknya.”
Rasisme dan Genetika
Pada tahun 1900, Albert Beveridge, seorang anggotaSenat Amerika Serikat dari Indiana, mengatakan pada salah satu sesi parlemen bahwa“Tuhan tidak menyiapkan orang-orang berbahasa Inggris dan orang-orang Teutonic[11] selama seribu tahun hanya supaya kita dapat mengagumi diri kita sendiri…. Ia telah membuat kita sanggup membentuk pemerintahan supaya kita boleh mendirikan pemerintahan itu di kalangan orang-orang barbar dan terkebelakang.”[12]
-
Shockley, salah satu penemu transistor, berpendapat bahwa karena orang kulit hitam secara praktis kurang cerdas daripada kulit putih, mereka tidak seharusnya diberi kesempatan yang setara, sebuah pandangan yang juga dimiliki oleh psikolog terkenal Hans J. Eysenck. Sifat alami manusia dilihat sebagai sumber dan penjelasan dari segala penyakit sosial, dengan caramenarik paralel-paralel yang cacat antara kehidupan manusia dan kehidupan hewan-hewan lain. Klaim yang lebih luas dari sosiobiologi adalah bahwa rasisme dan nasionalisme adalah kepanjangan alamiah dari tribalisme [paham kesukuan] yang, pada gilirannya, adalah produk dari “seleksi kekerabatan”. “Nasionalisme dan rasisme,” papar E. O. Wilson, “datang dari tribalisme sederhana yang dipupuk secara budaya.” Ide ini telah pula diajukan oleh Richard Dawkins: “Dengan demikian, prasangka rasis dapat diterjemahkan sebagai generalisasi irasional dari kecenderungan seleksi-kekerabatan untuk merasa dekat dengan individu-individu yang secara fisik mirip dengan kita sendiri dan bersikap tidak-baik pada individu yang berbeda tampilannya.”[13]
Menurut bapak sosiobiologi, E. O. Wilson, “dalam masyarakat berburu-meramu, laki-laki berburu dan perempuan tinggal di rumah. Bias yang kuat ini terus hidup dalam sebagian besar masyarakat pertanian dan industri, dan dengan alasan ini saja kelihatannya bias itu memiliki asal-usul genetik.” Ia mengatakan bahwa laki-laki “secara alamiah” bersifat poligami, sementara perempuan “secara alamiah” monogami. Salah satu fitur dari sosiobiologi adalah perbandingan antara hubungan sosial manusia dengan dunia hewan, sebagai pembenaran untuk dominasi laki-laki dan struktur kelas. “Bias genetik,” kata Wilson, “cukup intensif untuk menyebabkan pembagian kerja yang substansial bahkan dalam masyarakat yang paling bebas dan egalitarian di masa mendatang.” Inilah tema, yang berdasarkan dunia hewan, yang berusaha dipopulerkan oleh ahli ilmu hewan Desmond Morris.
Upaya-upaya baru-baru ini untuk membuktikan bahwa kecerdasan adalah sesuatu yang diwariskan telah berpusat di sekitar tes IQ. The Bell Curve karangan Charles Murraymengulang paham lama bahwa genetika dapat menjelaskan jurang antara rata-rata IQ antara kulit hitam dan kulit putih di Amerika. Argumen-argumen dasar dalam buku ini telah berulang kali dipatahkan. Menurut psikiater Peter Breggin, buku itu adalah sebuah upaya untuk “menghidupkan kembali citra kaum Afro-Amerika sebagai King Kong yang penuh kekerasan dan bodoh.” (The Guardian, 13 Maret 1995) Tapi bukti terkuat yang menunjukkan kekeliruan determinisme genetik datang dari sebuah buku baru berjudul The History and Geography of Human Genes yang ditulis oleh ahli-ahli genetika populasi Luca Cavalli-Sforza, Paolo Menozzi dan Alberto Piazza. Buku ini adalah satu sintesis yang mengagumkan dari lebih dari 50 tahun riset dalam bidang genetika populasi. Buku tersebut adalah uraian terbaik sampai hari ini tentang bagaimana manusia bervariasi pada tingkat kromosom mereka. Kesimpulan kuat dari buku ini adalah bahwa kalau gen-gen untuk tampilan luar manusia seperti warna kulit atau tinggi badan diabaikan, maka apa yang ada di bawah kulit sama persis bagi semua “ras” manusia.Bahwa variasi antara individu jauh lebih besar daripada variasi antar kelompok. Menurut majalah Time, “Kenyataannya, keragaman antar individu demikian besarnya sehingga seluruh konsep tentang ras menjadi tak bermakna pada tingkat genetik. Para penulis menyatakan bahwa ‘tidak ada basis ilmiah’ untuk teori-teori yang mengajukan keunggulan genetik dari satu populasi atas populasi lain.” (16 Januari 1995)
Dalam ulasannya atas buku ini, Time menyatakan: “Sekalipun terdapat berbagai kesulitan, para ilmuwan ini membuat penemuan-penemuan yang mematahkan semua mitos. Salah satunya bahkan dimuat dalam sampul buku itu: sebuah peta berwarna tentang variasi genetik dunia menggambarkan Afrika di satu ujung spektrum dan Australia di ujung yang lain. Karena suku Aborigin Australia dan orang-orang sub-Sahara di Afrika memiliki berbagai ciri-ciri tampilan yang serupa seperti warna kulit dan bentuk tubuh, mereka dianggap berkerabat dekat. Tapi gen mereka mengungkapkan kisah yang berbeda. Dari semua manusia, orang-orang Australia adalah yang paling jauh kekerabatannya dari orang-orang Afrika, dan paling mirip dengan tetangga mereka, orang-orang Asia Tenggara.” Ulasan itu menyimpulkan, “Apa yang dilihat mata sebagai perbedaan rasial – antara orang Eropa dan Afrika, misalnya – hanyalah adaptasi terhadap iklim sejalan dengan pergerakan manusia dari satu benua ke benua lain.” Buku ini juga membenarkan bahwa tempat kelahiran umat manusia, dan juga titik awal migrasi manusia adalah Afrika, dengan demikian menunjukkan bahwa pencabangan dari Afrika adalah yang tertua dari pohon kekerabatan manusia.
Penggunaan teori biologi dan genetika untuk membenarkan politik reaksioner bukanlah sebuah hal yang baru, sekalipun pada dasawarsa lalu ia telah diberi suntikan tenaga baru oleh kecenderungan pemerintah Barat untuk melancarkan ofensif terhadap negara kesejahteraan dan segala kemenangan yang pernah dicapai oleh kelas buruh. Hukum-hukum pasar – yaitu hukum rimba – kembali menjadi mode. Ini termasuk, tentu saja, universitas, di mana selalu saja ada orang yang siap berenang mengikuti arus yang sedang dominan, yang memberi keuntungan paling besar bagi peningkatan karier mereka.
Ada banyak akademisi yang jujur, yang mendekati subjek mereka dengan cara yang tidak emosional. Tapi tentu akan menjadi naif jika kita percaya bahwa serangkaian huruf di belakang nama seseorang akan membuat orang itu kebal dari tekanan masyarakat di mana mereka hidup, tidak peduli apakah mereka sadar akan tekanan itu atau tidak. Di tahun 1949, N. Pastore melakukan satu telaah atas pendapat dari 24 psikolog, ahli biologi dan sosiolog berkenaan dengan masalah nature-nurture (alam-lingkungan) [masalah apakah yang lebih dominan faktor alami atau lingkungan]. Dari 12 orang yang mengaku “liberal atau radikal”, 11 mengatakan bahwa lingkungan lebih penting dari hereditas, dan 1 menyatakan sebaliknya. Di kubu konservatif, hasilnya persis kebalikan –11 menyatakan hereditas lebih penting dan hanya 1 yang menyatakan lingkungan lebih penting! Dobzhansky menganggap hasil ini “menggundahkan”. Bagi kami, ini tidak mengherankan.
Roger Scruton, seorang profesor filsafat dari Inggris, menarik pelajaran sosial dari pengamatan ini: “Para ahli bioekonomi mengatakan bahwa program pemerintah yang memaksa individu untuk menjadi kurang kompetitif dan egois daripada apa yang telah diprogramkan alam pada mereka secara genetik pastilah ditakdirkan gagal.” Ini cocok benar dengan kemunculan kembali determinisme genetik di Amerika, dan bukti-bukti yang mereka ajukan bahwa orang kulit hitam lebih inferior daripada kulit putih, dan bahwa kelas buruh lebih inferior daripada kelas menengah dan kelas atas. Dukungan ilmiah untuk kepalsuan-kepalsuan macam ini digunakan untuk menciptakan aura “objektivitas”.
The Selfish Gene
Richard Dawkins, yang menjadi terkenal dengan bukunya yang diberi judul kontroversial The Selfish Gene (Gen yang Egois), telah menjadi pusat dari polemik yang panas tentang genetika. Para ahli biologi molekuler telah mengidentifikasi pentingnya gen dalam mereplikasi salinan molekul DNA. Gen mengandung perintah-perintah sandi yang menghasilkan batu-batu penyusun kehidupan, asam amino. Zat-zat ini menyusun protein yang membentuk sel dan organ. Karena ini, beberapa ahli biologi molekuler dan juga sosiobiologi telah menyatakan bahwa seluruh seleksi alam, pada akhirnya, berlaku pada tingkat DNA. Ini telah menyebabkan sejumlah ilmuwan untuk menjadi terobsesi dengan sifat menakjubkan dari gen, sehingga tidak sedikit yang gagal membedakan kayu dari pohon. Beberapa orang telah melekatkan sifat-sifat mistik pada gen, yang lalu melahirkan kesimpulan-kesimpulan reaksioner. Ide bahwa ciri-ciri fisik, mental dan moral merupakan warisan dari gen yang tak berubah dan tak dapat diubah jelas tidak didukung oleh fakta-fakta ilmu genetika. Namun ide ini terus muncul lagi dan lagi dalam literatur dan telah menimbulkan dampak yang serius pada kebijakan sosial sepanjang abad ke-20.
Gen meneruskan pengaruh dari induk pada turunannya. Ia hanya dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara sejumlah gen yang saling berbeda (disebut alel) yang mempengaruhi satu hal tertentu (misal, warna mata dipengaruhi oleh alel untuk warna biru ataucokelat). Perbedaan ini ditemukan melalui pengujian/pengamatan biokimia, fisiologis, struktural atau prilaku (setelah sumber variasi lainnya, seperti lingkungan, diabaikan).
Sayangnya, banyak ilmuwan dan orang-orang lain yang menggunakan penyederhanaan yang menyesatkan dari definisi di atas. Khususnya, bahwa sebuah gen yang berkontribusi pada sifat hewan yang berbeda dari yang lainnya kemudian dianggap sebagai gen yang menentukan perilaku khasnya tersebut. Dawkins bukan satu-satunya ilmuwan yang jatuh ke dalam jebakan ini. Di tahun 1970-an banyak orang yang berbicara tentang kode genetik untuk ciri-ciri fisik dan perilaku. Juga bahwa sebuah gen harus diperbandingkan dengan gen lain untuk ciri-ciri yang sama. Gen bukanlah satu entitas yang dapat berdiri sendiri. Seperti yang ditunjukkan dengan tepat oleh J. B. S Haldane, genetika adalah ilmu tentang perbedaan bukan kesamaan. Sederhananya, Anda dan saya boleh jadi sama-sama egois – tetapi perbedaan antara kita berdua tidak.Kita tidak boleh menerapkan ciri personal dalam perbandingan. Dalam bukunya The Selfish Gene, Dawkins melompat-lompat dari satu definisi [berkontribusi] ke definisi yang lain [menentukan], sambil mengklaim bahwa keduanya dapat dipertukarkan – padahal tidak. Hasilnya adalah dukungan terhadap determinisme biologis. Satu generasi penuh orang Amerika dan para ilmuwannya tumbuh besar dengan kebingungan semacam ini.
Riset ilmiah ke dalam genetika menunjukkan kemungkinan untuk ilmu kedokteran, di mana penyakit-penyakit genetik seperti Huntington’s chorea, Duchene muscular dystrophy, dan lain-lain telah dikenali. Namun, ada pernyataan yang menyebar luas bahwa dengan cara tertentu gen juga bertanggung jawab atas segala hal lainnya, seperti homoseksualitas dan kriminalitas. Determinisme genetik mereduksi segala masalah sosial ke tingkat genetika. Di bulan Februari 1995, satu konferensi tentang Genetika Perilaku Kriminal dan Anti-Sosial diadakan di London. Sepuluh dari tigabelas pembicara adalah dari Amerika Serikat di mana seminar serupa diadakan di tahun 1992, di mana tekanan publik berhasil menyingkirkan nada rasis dari pertemuan itu. Sekalipun ketua konferensi, Sir Michael Rutter dari London Institute of Psychiatry menyatakan “tidak ada itu yang namanya gen untuk kriminalitas,” peserta lain seperti Dr. Gregory Carey dari Institute of Behavioural Genetics, University of Colorado, bertahan bahwa faktor genetik secara keseluruhan bertanggung jawab untuk 40-50% tindak kejahatan dengan kekerasan. Sekalipun ia mengatakan bahwa akan menjadi tidak praktis untuk “mengobati”kriminalitas dengan rekayasa genetik, yang lain mengatakan bahwa ada prospek yang baik untuk mengembangkan obat-obatan untuk mengendalikan agresi yang berlebihan kalau kita bisa menemukan gen yang bertanggung jawab untuk perilaku itu. Walau demikian, ia menyarankan bahwa aborsi harus dipertimbangkan ketika pemeriksaan pra-kelahiran menunjukkan bahwa seorang anak memiliki kemungkinan dilahirkan dengan gen yang akan mendorong perilaku agresif atau antisosial. Pandangan ini didukung oleh Dr. David Goldman dari Laboratory of Neurogenetics di US National Institute of Health. “Keluarga-keluarga harus diberi informasi dan harus diberi keleluasaan untuk menentukan secara pribadi bagaimana menggunakan informasi itu.” (The Independent, 14 Februari 1995)
Menurut Profesor Hans Bruner dari Nijmegen University Hospital di Belanda, para lelaki dari keluarga yang mewarisi abnormalitas genetik tertentu dari kromosom X yang menyebabkan defisiensi enzim yang berhubungan dengan pesan-pesan di otak, telah menunjukkan “agresi impulsif” termasuk arson (pembakaran rumah) dan percobaan perkosaan. Dr. David Goldman dari NIH Laboratory of Neurogenetic di Maryland, dan Profesor Matti Virkkunen dari University of Helsinky mengatakan mereka telah menemukan variasi genetik dalam proses kimia otak yang mengarah pada agresi. “Perusahaan-perusahaan farmasi telah menyatakan minat mereka dalam penemuan kami,” kata Virkkunen. (The Financial Times, 14 Februari 1995)
Steven Rose menggambarkan konferensi itu sebagai “bermasalah,merisaukandan tidak seimbang.” Konferensi itu dikecamdi dalamsebuah surat oleh 15 orang ilmuwan. Dr. Zakari Erzinclioglu, direktur dari Centre for Forensic Science pada Durham University, menyebutnya sebagai “sangat merisaukan, terbelakang dan berniat jahat.” Ashley Montague menunjuk bahwa “bukan ‘gen kriminal’ yang membuat orang menjadi kriminal, tapi dalam sebagian besar kasus adalah ‘kondisi sosial yang kriminal’.”
Buku Richard Dawkins The Selfish Gene yang edisi pertamanya muncul di tahun 1976 membuat beberapa pernyataan yang mengejutkan. “Kita dilahirkan egois,” kata Dawkins. Sekalipun ia mengatakan bahwa “gen tidak memiliki kemampuan meramal” dan “tidak merencanakan sejak awal”Dawkinsmemberikan gen sebuah kesadaran dan identitas “egois”. Gen berusaha mereplikasi dirinya sendiri, seakan-akan mereka dengan sadar merencanakan bagaimana hal ini dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya:
“Tentunya secara prinsip, dan juga dalam fakta, gen mengulurkan tangannya melalui dinding tubuh individu dan merekayasa objek-objek di dunia luar, beberapa tidak hidup, beberapa adalah makhluk hidup lain, beberapa terletak jauh sekali dari mereka. Dengan sedikit imajinasi kita dapat melihat gen duduk di pusat sebuah jaring-jaring kekuatan fenotip yang jauh jangkauannya. Dan sebuah objek di dunia adalah pusat dari bersatunya segala jaring-jaring pengaruh dari banyak gen yang duduk di dalam banyak organisme. Jangkauan jauh dari gen tidak mengenal batas.”[14] Karena bagi Dawkins organisme individual tidak bertahan dari satu generasi ke generasi yang lain, tapi gen bertahan, maka pastilah seleksi alam bekerja pada apa yang bertahan, yaitu, gen. Maka, segala seleksi pastilah pada akhirnya bekerja di tingkat DNA. Pada saat bersamaan, tiap gen berkompetisi satu dengan lainnya untuk mereproduksi dirinya dalam generasi berikutnya. “Apa yang sebenarnya demikian unik tentang gen? Jawabannya adalah bahwa mereka semua adalah replikator.”
Dalam pandangan ini, replikator kehidupan adalah gen; maka organisme adalah sekedar kendaraan bagi gen (“mesin untuk bertahan hidup – kendaraan robot yang diprogram secara buta untuk memelihara molekul-molekul egois yang dikenal sebagai gen” … “mereka berkerumun dalam koloni-koloni raksasa, aman di dalam robot raksasa yang canggung itu”). Ini adalah pengulangan pepatah Butler yang terkenal bahwa ayam hanyalah sekedar cara bagi sebutir telur untuk menghasilkan butir telur yang lain. Seekor hewan, bagi Dawkins, hanyalah cara dari DNA untuk membuat lebih banyak DNA. Ia memberikan gen semacam kualitas mistik tertentu, yang pada hakikatnya bersifat teleologis.
“Saya curiga,” kata Dawkins dalam pembelaannya, “bahwa Rose dan Gould adalah determinis karena mereka percaya bahwa setiap tindakan kita punya basis fisik dan materialistik. Begitu juga saya… pandangan apapun yang kita ambil tentang persoalan determinisme, dimasukkannya kata ‘genetik’ tidak akan mengubah sesuatu pun.” Ia kemudian menambahkan, “jika Anda memiliki darah determinis Anda akan percaya bahwa segala tindakan Anda ditentukan oleh sebab-sebab fisik di masa lalu… Apa bedanya kalau salah satu sebab fisik itu adalah genetik? Mengapa determinisme genetik dianggap lebih niscaya, atau lebih merupakan satu pembenaran, daripada ‘determinisme lingkungan’?”[15]
Segala hal di alam ini memiliki sebab dan akibat, di mana sebuah akibat pada gilirannya menjadi sebab. Dawkins mencampuradukkan determinisme dan fatalisme: “Satu organisme adalah alat bagi DNA.” Determinisme genetik memiliki definisi yang jelas, di mana gen dikatakan sebagai “menentukan” sifat fenotip. Tidak ada keraguan bahwa gen memiliki dampak yang kuat terhadap bentuk organisme, tapi entitasnya akan secara menentukan dipengaruhi oleh lingkungannya. Contohnya, jika dua kembar identik ditempatkan pada dua lingkungan yang sama sekali berbeda, akan ada dua karakter yang berbeda. Seperti yang dijelaskan Rose, “Pada kenyataannya, seleksi harus bekerja pada berbagai tingkat. Serangkaian DNA boleh atau boleh tidak diseleksi, tapi DNA itu terekspresikan dengan latar belakang seluruh genotip; serangkaian gen-gen tertentu atau seluruh genotip pastilah mewakili satu tingkatan seleksi yang berbeda. Lebih jauh lagi, genotip eksis dalam fenotip, dan apakah fenotip ini dapat bertahan atau tidak bergantung pada interaksinya dengan fenotip-fenotip lain. Maka ia hanya akan diseleksi dengan latar belakang populasi di mana ia muncul.”[16]
Dawkins dipaksa untuk menarik mundur sejumlah pernyataannya, di mana dia memperbaiki argumen-argumennya pada edisi-edisi berikut The Selfish Gene (1989) dan dalam The Extended Phenotype (1982). Ia mengatakan bahwa bahasanya yang flamboyan telah membuat dirinya mudah disalahartikan dan disalahpahami: “Terlalu mudah untuk terhanyut, dan mengizinkan gen memiliki kebijaksanaan kognitif dan kemampuan merencanakan ‘strategi’ mereka.” Namun ia tetap mempertahankan argumen dasarnya dan memandang kehidupan “dalam makna replikator genetik yang memelihara dirinya melalui fenotip-fenotip mereka.” Dan bahwa “seleksi alam adalah kemampuan bertahan diferensial dari gen-gen.”Dawkins kini mengatakan “gen dapat memodifikasi dampak dari gen lain, dan dapat memodifikasi dampak dari lingkungannya. Peristiwa-peristiwa lingkungan, baik internal maupun eksternal, dapat memodifikasi dampak dari gen, dan dapat memodifikasi dampak dari peristiwa-peristiwa lingkungan lainnya.” Tapi, di luar konsesi ini, tesis utama Dawkins tidak berubah.
Misalnya, ia mengatakan:
“Kontrasepsi adalah sesuatu yang diserang sebagai ‘tidak alamiah’. Demikianlah ia adanya, sangat tidak alamiah. Masalahnya, begitu juga negara kesejahteraan. Saya pikir kebanyakan dari kita percaya bahwa negara kesejahteraan adalah hal yang sangat baik. Tapi Anda tidak dapat memiliki negara kesejahteraan yang tidak alami, kecuali jika Anda juga memiliki sistem keluarga berencana yang tidak alamiah, jika tidak demikian maka hasil akhirnya pastilah kesengsaraan yang jauh lebih besar daripada apa yang dapat kita temui di alam.”
Ia melanjutkan:
“Negara kesejahteraan mungkin adalah sistem altruistik yang paling besar yang pernah dikenal oleh dunia hewan. Tapi tiap sistem altruistik memiliki ketidakstabilan internal, karena ia terbuka untuk disalahgunakan oleh individu yang egois, yang siap mengeksploitasinya. Seorang yang memiliki lebih banyak anak daripada yang dapat diberinya makan mungkin terlalu bodoh, dalam sebagian besar kasus, untuk dituduh sengaja melakukan eksploitasi yang jahat.”
Menurut Dawkins pengadopsian anak berlawanan dengan naluri dan kepentingan “gen yang egois”.
“Dalam kebanyakan kasus kita harus menganggap pengadopsian anak, bagaimanapun menyentuhnya hal itu, sebagai sebuah kegagalan dalam aturan yang inheren dalam diri kita. Ini karena perempuan yang baik itu tidak melakukan hal yang terbaik bagi gennya sendiri dengan memelihara anak yatim piatu. Ia membuang waktu dan energi yang seharusnya ditanamkannya pada kehidupan kerabatnya sendiri, khususnya anak-anaknya di masa depan. Mungkin ini adalah sesuatu yang terjadi terlalu jarang, sehingga seleksi alam ‘tidak mau repot-repot’ mengubah aturan dengan membuat naluri keibuan dapat menjadi lebih selektif.”
Ia menyatakan bahwa “jika seorang perempuan diberi bukti-bukti yang kuat bahwa akan terjadi kelaparan, dia punya kepentingan diri sendiri yang egois untuk mengurangi tingkat kelahirannya sendiri.” Dawkins juga percaya bahwa seleksi alam akan memilih anak yang menipu, berbohong, licik dan mengeksploitasi dan bahwa “ketika kita melihat populasi hewan liar kita boleh berharap untuk melihat penipuan dan keegoisan di dalam keluarga. Frase ‘anak harus menipu’ berarti bahwa gen yang cenderung membuat anak menipu memiliki keuntungan dalam populasi gen.”[17] Ia menyimpulkan bahwa organisme adalah alat dari DNA, bukannya sebaliknya.
Komentar-komentar ini menarik bukan karena apa yang mereka katakan pada kita tentang gen, tapi karena apa yang mereka ungkap tentang keadaan masyarakat dalam dekade terakhir abad ke-20 ini. Dalam masyarakat tertentu, otot yang kuat atau kemampuan untuk berlari cepat dapat membawa keuntungan genetik. Jika keuntungan serupa dilekatkan pada kecenderungan untuk berbohong, menipu dan mengeksploitasi, artinya ciri-ciri semacam itu adalah kualitas yang paling penting dalam masyarakat modern, dan hal ini tentu saja sepenuhnya benar dari sudut pandang “nilai-nilai pasar”. Walaupun sangatlah dapat dipertanyakan apakah kualitas semacam itu dapat, pada kenyataannya, diteruskan melalui mekanisme genetik, jelas bahwa mereka adalah ciri-ciri paling hakiki dari egoisme borjuasi. “Perang semua melawan semua”, seperti yang diungkapkan si tua Hobbes, adalah sudut pandang dasar dari masyarakat borjuis.
Benarkah bahwa mentalitas semacam itu adalah bagian yang terkondisi secara genetik dari “sifat alami manusia”? Mari kita ingatkan lagi diri kita bahwa kapitalisme dan nilai-nilainya baru ada selama 200 tahun terakhir dari sekitar 5.000 tahun sejak kita mengenal tulisan, dan 100.000 tahun yang telah berlalu sejak nenek moyang kita mulai menjadi manusia. Masyarakat manusia, pada sebagian besar waktu keberadaannya, telah didasarkan pada prinsip kerja sama. Sungguh, manusia tidak akan pernah mengangkat dirinya di atas tingkatan hewani tanpa hal ini. Kompetisi sama sekali bukan sebuah komponen esensial dari cara berpikir manusia. Kompetisi adalah fenomena yang baru saja muncul, satu cerminan dari sebuah masyarakat yang didasarkan pada produksi komoditi, yang memuntir dan merusak sifat manusia ke dalam pola perilaku yang pasti akan dianggap menjijikkan dan tidak alami di masa lalu.
Terlalu mudah untuk menyalahkan fenomena yang misterius seperti “gen kita” untuk memahami moralitas egoisme dari perekonomian pasar. Lebih jauh lagi, ini bukan masalah kehewanan, tapi masalah kelas sosial. Individu kapitalis bersaing satu dengan lainnya dan tidak ragu untuk menggunakan segala macam cara untuk menggulingkan pesaingnya – berbohong, menipu, spionase industri, insider dealing, pencaplokan predatoris–semua ini dianggap praktek dagang yang normal. Dari sudut pandang kelas buruh, segalanya sangat berbeda. Ini bukan persoalan moralitas individu, tapi masalahbagaimana kelas sosial dapat bertahan (persoalan sosial yang sejajar dengan “survival of the fittest”). Satu-satunya kekuatan yang dimiliki kelas buruh untuk melawan para majikan adalah kekuatan persatuan, yakni kerja sama.
Tanpa organisasi, yang dimulai dari tingkat serikat buruh, kelas buruh hanyalah bahan mentah untuk dieksploitasi. Kebutuhan kaum buruh untuk bersatuguna mempertahankan kepentingan-kepentingannya adalah sebuah pelajaran yang harus dipelajari lagi dan lagi. Egoisme dan “individualisme” (dalam pemaknaan borjuasi) berarti kekalahan bagi kelas buruh. Tiap orang yang menyabot pemogokan selalu dipuja-puji sebagai pembela agung dari “kebebasan individu” oleh pers milik para milyuner karena merupakan kepentingan para majikan untuk memecah-mecah kelas buruh, untuk mereduksinya menjadi komponen-komponen yang terpisah-pisah, yang masing-masing berada dalam cengkeraman Modal. Di sini juga, hukum dialektika berlaku bahwa keseluruhan pastilah lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya. Sadar atau tidak, mereka yang mengajukan keegoisan sebagai hal yang ideal, atau setidaknya sebagai “sifat alami manusia” telah mengambil posisi yang jelas dalam hubungannya dengan perjuangan antara kelas pekerja upahan dan Modal, dan tidak boleh mengeluh ketika mereka dikritik telah menyediakan pelumas bagi gerinda yang dijalankan tanpa ampun oleh Nyonya Thatcher.
Dawkins melihat evolusi bukan sebagai hasil dari perjuangan organisme tapi sebagai sebuah perjuangan antar gen untuk rebutan menyalin dirinya sendiri. Tubuh yang mereka diami adalah sekunder. Ia membuang prinsip Darwin bahwa individu adalah unit seleksi. Ini adalah ide yang keliru secara fundamental. Seleksi alam bekerja atas organisme, atas tubuh. Ia memilih bentuk tubuh tertentu karena mereka lebih cocok dengan lingkungan tertentu. Gen adalah sepotong DNA yang terkandung di dalam inti sel, sejumlah besar dari mereka berperan dalam perkembangan sebagian besar bagian tubuh. Ini pada gilirannya dipengaruhi oleh serangkaian faktor lingkungan, internal maupun eksternal. Seleksi tidaklah terjadi langsung atas bagian per bagian. Seleksi alam terjadi atas tubuh karena mereka dengan cara tertentu “lebih cocok”, yaitu, lebih kuat, lebih ganas, lebih hangat, dan sebagainya. Jika memang ada gen khusus untuk kekuatan atau ciri-ciri lainnya, maka Dawkins mungkin benar. Tapi tidak demikian halnya. Misalnya, perintah untuk pembentukan telinga dikandung dalam beberapa gen yang terpisah, separuh datang dari ayah, separuh dari ibu.
Seperti yang dijelaskan oleh Stephen Jay Gould:
“Seleksi alam menerima atau menolak seluruh organisme karena sekumpulan bagian tubuh, yang berinteraksi dengan cara yang kompleks, membawa keuntungan tertentu…. Organisme jauh lebih berharga daripada sekedar amalgamasi gen. Mereka punya sejarah yang bermakna; bagian-bagian mereka berinteraksi dalam cara yang kompleks. Organisme dibangun dari gen-gen yang bertindak dalam sebuah konserto, dipengaruhi oleh lingkungan, diterjemahkan menjadi bagian-bagian yang dilihat maupun yang tak terlihat oleh seleksi. Molekul-molekul yang menentukan sifat-sifat air adalah analogi yang buruk bagi gen dan tubuh.”[18]
Analisa ini telah didukung oleh Steven Rose dalam kritiknya atas Dawkins:
Pada kenyataannya, seleksi harus bekerja pada berbagai tingkat. Serangkaian DNA boleh atau boleh tidak diseleksi, tapi DNA itu terekspresikan dengan latar belakang seluruh genotip; serangkaian gen-gen tertentu atau seluruh genotip pastilah mewakili satu tingkatan seleksi yang berbeda. Lebih jauh lagi, genotip eksis dalam fenotip, dan apakah fenotip ini dapat bertahan atau tidak bergantung pada interaksinya dengan fenotip-fenotip lain. Maka ia hanya akan diseleksi dengan latar belakang populasi di mana ia muncul.”[19]
Metode Dawkins membawanya tercebur ke dalam lumpur idealisme, ketika ia mencoba berpendapat bahwa kebudayaan manusia dapat direduksi menjadi unit yang disebutnya memes, yang kelihatannya, seperti gen, bersifat mereplikasi diri sendiri dan berkompetisi untuk bertahan hidup. Ini jelas keliru. Kebudayaan manusia diteruskan dari generasi ke generasi, bukan melalui memes, tapi melalui pendidikan, dalam maknanya yang terluas. Keragaman budaya tidak terkait dengan gen tapi dengan sejarah sosial. Pendekatan Dawkins pada hakikatnya adalah reduksionis.
Masyarakat dipecah menjadi organisme, organisme menjadi sel, sel menjadi molekul, dan molekul menjadi atom. Bagi Dawkins, sifat dan motivasi manusia haruslah dipahami dengan menganalisa DNA-nya. Sama persis dengan James Watson (yang bersama Crick dan Franklin menemukan double helix) yang menyatakan “Apa lagi selain atom?” Mereka tidak pernah menganggap penting berbagai tingkat analisis, atau cara determinasi yang kompleks dan bertingkat-tingkat. Mereka mengabaikan hubungan hakiki antara sel dan organisme sebagai sebuah keseluruhan. Metode empirik ini, yang muncul bersama dengan revolusi ilmiah di tengah kelahiran kapitalisme, bersifat progresif pada masanya, tapi kini telah menjadi belenggu atas perkembangan ilmu pengetahuan dan pemahaman atas alam.
Masa Depan Genetika
“Sampai baru-baru ini, satu-satunya akses pada gen yang membentuk dunia natural ini adalah melalui perubahan atas lingkungan. Kini gen-gen itu dapat direkayasa secara langsung. Ini membuat perubahan menjadi mudah, segera dan dapat dipahami; teknologi yang memungkinkan rekayasa genetika langsung juga membuka pintu untuk memeriksa aktivitas gen. Tapi pada saat bersamaan ia membuat perubahan menjadi sesuatu yang acak, karena gen yang tidak akan dikembangkan secara spontan oleh hewan apapun kini menjadi mungkin. Teknik-teknik baru ini akan memberi umat manusia satu kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya untuk mengubah dunia – dan untuk mengubah dirinya sendiri.” (The Economist, 25 Februari 1995.)
Selama tiga dasawarsa terakhir, kemajuan-kemajuan raksasa telah dibuat dalam bidang genetika molekuler. Di tahun 1972, gen pertama telah diisolasi dan direproduksi (“kloning”) di laboratorium. Konsekuensi dari hal ini sangatlah mengkhawatirkan sehingga para ilmuwan bersepakat untuk secara sukarela menghentikan upaya rekombinasi gen-gen hasil klon ke dalam DNA organisme lain. Tapi kini dimasukkannya gen hasil klon ke dalam DNA manusia sudah hampir menjadi hal yang rutin. Pada dasawarsa pertama dari abad ke-21, para ilmuwan akan mengetahui semua protein dalam tubuh manusia. Pengetahuan semacam ini memiliki implikasi yang luar biasa bagi masa datang – baik maupun buruk.
Sampai baru-baru ini, gen masih dilingkupi misteri, seperti Benda-dalam-dirinya-sendiri-nya Kant. Gen dianggap sebagai tuan yang kejam dari nasib manusia, yang keras kepala, tidak dapat diubah, dan tidak dapat diraba dalamnya. Berbicara tentang gen bukan hanya bicara tentang pewarisan. Ini satu pembicaraan tentang nasib kita. Dan nasib adalah sebuah mahkamah pengadilan yang tidak memiliki banding. Tapi kini, untuk pertama kalinya dalam sejarah kehidupan di planet ini, hadir satu kemungkinan bagi umat manusia untuk mengendalikan nasibnya sendiri, pada tingkatan yang terdalam. Bertentangan dengan segala omong kosong dari para reaksioner genetik, tidak pernah benar bahwa gen menentukan sepenuhnya evolusi manusia. Sekalipun mereka memainkan peran yang besar pada kehidupan manusia, gen tidak mengendalikannya. Paling-paling, mereka menetapkan parameter tertentu untuk membatasi atau mengizinkan. Tapi kini genotip itu sendiri, untuk pertama kalinya, ditempatkan di bawah kendali. Ini adalah perkembangan yang revolusioner, yang penuh berisi berbagai konsekuensi yang besar bagi masa depan umat manusia.
Kemunculan kehidupan dari materi anorganik adalah lompatan evolusioner raksasa. Setelah serangkaian transformasi, perkembangan dari otak yang dapat berpikir sebagai hasil dari kehidupan sosial dan kerja kolektif adalah langkah raksasa berikutnya. Kini, untuk pertama kalinya selama empat miliar tahun, umat manusia sedang berada dalam proses untuk menguasai rahasia evolusinya sendiri. Seleksi alam tidak lagi menjadi kekuatan misterius yang buta. Genotip yang maha kuasa itu dapat ditundukkan ke bawah kendali fenotip. Umat manusia memiliki potensi untuk menentukan nasibnya sendiri, dan memodifikasi seleksi alam yang tanpa ampun itu.
“Seperti juga organisme adalah interpretasi dari informasi genetik di dalam lingkungan tertentu,” tulis Oliver Morton, “demikian pula penggunaan pengetahuan genetik ini akan tergantung pada lingkungannya – ekonomi dan etik, personal dan politik – di mana penggunaan itu dilakukan. Penggunaan itu, baik atau jahat, pasti akan terjadi. Gen yang tadinya dengan ketat membatasi dan mengatur kini ditundukkan ke bawah kehendak manusia; batasan-batasan akan digeser dan dilonggarkan. Gen tidak pernah menjadi tuan seutuhnya atas nasib manusia, tapi juga mereka tidak pernah menjadi pembantu bagi umat manusia. Sampai saat ini.” (The Economist, 25 Februari 1995)
Percuma kita meratapi penemuan ini, seperti halnya percuma saja sekelompok buruh yang putus asa menghancurkan mesin-mesin pada pada awal Revolusi Industri. Penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian yang vital bagi perkembangan masyarakat, yang memungkinkan umat manusia untuk mendapatkan kendali yang lebih besar atas batasan-batasan yang dipaksakan oleh alam. Hanya dengan cara inilah umat manusia akan benar-benar bebas. Masalahnya bukan terletak pada apa yang ditemukan oleh pemikiran manusia. Masalahnya adalah bagaimana penemuan itu digunakan. Perkembangan ilmu pengetahuan membuka satu cakrawala baru yang menggemparkan dari perkembangan umat manusia yang tak terbatas itu sendiri. Tapi ada satu sisi yang lebih gelap dari semua ini. Abad ke-20 membawa pesan yang buruk tentang kengerian macam apa yang dapat datang dari kapitalisme yang berada dalam epos kemunduran historisnya. Teknik rekayasa genetik di tangan perusahaan-perusahaan monopoli yang tidak terkontrol, yang hanya berminat pada keuntungan besar, merupakan sebuah ancaman yang mendirikan bulu roma.
Seluruh perkembangan teknologi, yang terus-menerus meruntuhkan segala rintangan yang menghadangnya, dan menyatukan dunia dengan cara yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, adalah sebuah argumen yang berpihak pada perekonomian dunia yang terencana. Bukan seperti karikatur mengerikan yang digambar oleh Stalinisme, tapi sebuah masyarakat yang dijalankan secara demokratis, di mana manusia akan meraih kendali sadar atas kehidupan dan takdir mereka. Berdasarkan perekonomian yang ditata secara harmonis, yang menyatukan sumberdaya dari seluruh planet, sebuah cakrawala perkembangan yang tak terbatas terbuka lebar. Di satu pihak kita memiliki tugas menjagabumi kita, membuatnya cocok bagi umat manusia, memperbaiki kerusakan-kerusakan yang telah disebabkan oleh kerakusan perusahaan-perusahaan multinasional. Di pihak lain, kita melihat di hadapan kita satu tantangan terbesar yang pernah dihadapi oleh spesies kita – penjelajahan antariksa, yang terkait dengan masalah kemampuan umat manusia untuk bertahan hidup di masa datang. Ilmu rekayasa genetik, yang kini masih pada tahap janin, mungkin kelak akan terkait dengan tuntutan perjalanan panjang menjelajah antariksa. Pada saat ini, semua ini masih berada di alam spekulasi. Namun sejarah seratus tahun terakhir telah memperlihatkan betapa cepatnya ide yang kelihatannya demikian fantastik sekalipun untuk segera menjadi kenyataan.
Apa yang kita lihat pada saat ini adalah sebuah potensi raksasa. Dalam konteks perekonomian yang demokratik dan direncanakan secara harmonis, di mana manusiasecara bebas dan dengan sadar menentukan takdirnya sendiri, ilmu sains genetika akan berhenti menjadi penghambat kemajuan manusia dan akan menempati kedudukannya yang sebenarnya, di dalam telaah dan transformasi atas kehidupan itu sendiri. Ini bukanlah satu khayalan. Mengutip Oliver Morton:
“Kemungkinan dari biologi ini hampir-hampir tak berbatas. Dunia alam, termasuk tubuh dan pikiran manusia, akan menjadi dapat dibentuk. Organ-organ yang dicangkok mungkin akan membentuk kembali otak manusia, virus yang dirancang khusus akan membangun kembali jaringan tubuh yang telah mengalami penuaan. Organ manusia yang ditumbuhkan pada hewan untuk cangkok kini telah mulai dikerjakan. Berbagai jenis makhluk baru mungkin akan muncul, makhluk-makhluk yang boleh menjadi pusat kekaguman kita. Jika umat manusia tidak dapat menemukan kawan di antara bintang-bintang, ia dapat menciptakan makhluk cerdas baru di bumi. Perbedaan genetik antara manusia dan simpanse sangatlah kecil; spesies cerdas yang baru bukanlah satu kemustahilan.
“Semua ini akan dimungkinkan oleh genetika. Tapi, pada saat bersamaan, kejayaan gen akan pudar. Gen telah kehilangan posisi istimewanya sebagai pembawa informasi. Informasi biologis akan disimpan dalam pikiran dan komputer, selain dalam gen, dan gen hanya akan menjadi salah satu cara untuk merekayasa dunia ini, cocok untuk satu hal dan tidak cocok untuk hal lainnya, seperti protein terapeutik….
“Apa yang semula unik pada gen kini berada dalam genggaman umat manusia. Genggaman itu kelak akan segera memiliki semua kuasa yang pada satu waktu pernah dilekatkan pada gen dan lain-lain. Kecerdasan yang sama akan dapat membentuk gen dan lingkungan, yang selama ini bekerja sama untuk membuat semua organisme seperti adanya. Kendali atas informasi biologis pada skala ini – atas data mentah dan cara pengolahannya – berarti kendali atas biologi, kendali atas kehidupan itu sendiri.” (The Economist, 25 Februari 1995.)
________________
Catatan Kaki
[1] Dobzhansky 21.
[2] Dogma Immaculata Conceptio atau Dikandung Tanpa Noda adalah dogma sentral gereja Katolik Roma bahwa Maria, ibu Yesus Kristus, dikandung tanpa noda.Dogma ini menyatakan bahwa sejak lahir, Maria telah bebas dari segala macam dosa. Dogma ini sering disalah artikan dengan kelahiran Yesus dari Maria yang masih perawan (Catatan Editor).
[3] E. O. Wilson, Sociobiology—The New Synthesis, hal. 575.
[4] Dobzhansky 264.
[5] Dari tahun 1944 hinggal awal 1970an, anak-anak Inggris yang tidak lolos tes ujian “Eleven Plus” dimasukkan ke dalam sekolah “Secondary Modern”. Mereka yang tidak lolos ujian dianggap tidak cocok untuk pendidikan akademis dan teknik, dan dimasukkan ke sekolah “Secondary Modern” untuk diajarkan hal-hal praktis (kerja kayu, kerja domestik, dsb). Yang lolos ujian dimasukkan ke dalam “Grammar School”.Anak-anak sekolah “Secondary Modern” biasanya datang dari kelas pekerja, sementara “Grammar School” dari kelas atas. Sekolah “Secondary Modern” juga menerima anggaran pendidikan yang lebih kecil.
[6]Penyakit Wilson adalah penyakit turunan dimana metal tembaga terakumulasi di organ-organ tubuh, terutama di hati dan otak, dan bila tidak diobati akan menyebabkan gagal hati atau penyakit syaraf. Gejala-gejala penyakit ini dapat diobati dengan diet makanan yang rendah kadar tembaganya, atau dengan obat-obatan yang membantu menurunkan kadar tembaga dari tubuh pasien. (Catatan Penerjemah)
[7] Penemuan Piltdown Man adalah salah satu skandal terbesar dalam sejarah ilmu pengetahuan, di mana beberapa orang ilmuwan, untuk keperluan membuktikan teori penciptaan, merekayasa fosil palsu di Piltdown. Setelah ditemukannya teknik penentuan usia geologis melalui pengukuran isotop radioaktif, terbukti bahwa fosil itu adalah palsu. Namun fosil-fosil palsu itu telah terlanjur melahirkan berbagai buku setelah selama puluhan tahun dianggap sebagai pembenaran yang paling meyakinkan atas teori Penciptaan. (Catatan Penerjemah)
[8] See S. Rose, L. Kamin dan R. Lewontin, Not in our Genes, hal. 84, 86, 87, 96, 116 dan 95.
[9] John Scopes (1900-1970) adalah seorang guru di Tennessee, Amerika. Pada 1925, dia diadili oleh pengadilan negara bagian Tennessee karena mengajarkan teori evolusi di kelasnya. Pada saat itu di Tennessee ada hukum yang melarang pengajaran teori evolusi di sekolah. Kasus ini dikenal luas sebagai Pengadilan Scopes.
[10] Pada tahun 1912, seorang psikolog dan eugenis terkenal dari Amerika, Henry G. Goddard menerbitkan buku berjudul “The Kallikak Family: A Study in the Heredity of Feeble-Mindedness”. Buku ini mengandung studinya mengenai heritabilitas dari catat mental (sakit jiwa, kedunguan, kesulitan belajar, dll). Nama Kallikak adalah nama keluarga palsu yang digunakan di buku ini, yang berasal dari bahasa Yunani: kallos yang berarti cantik, dan kakos yang berarti buruk.
Buku ini mengikuti seorang pasien dari institusi anak-anak cacat mentalnya, yang bernama Deborah Kallikak. Silsilah Deborah dipelajari, dan ditemukan bahwa kakek buyutnya, Martin Kallikak, pernah bersenggama dengan seorang perempuan cacat mental. Kakek buyutnya lalu menikah dengan perempuan lain yang normal, sehingga ia punya dua garis keturunan. Garis keturunan dari perempuan yang cacat mental, menurut klaim Goddard, semuanya lahir dengan berbagai cacat mental (miskin, gila, kriminal, bodoh, dll.) Sementara garis keturunan dengan perempuan yang normal semuanya adalah orang-orang yang baik, terhormat, dan makmur.
Dengan pengamatan ini, Goddard mengklaim bahwa ia telah menemukan bahwa kecerdasan, moralitas, dan kriminalitas adalah sesuatu yang diwariskan lewat keturunan. Sebagai kesimpulannya, dia menganjurkan kebijakan memisahkan orang-orang yang dianggapnya cacat mental dari yang normal,mencegah perkawinan antar mereka dan juga pemandulan.
Studi yang serupa di New York dengan keluarga Juke. Sejak itu, istilah Kallikak dan Juke adalah representasi dari kepercayaan bahwa ada gen-gen moralitas dan kriminalitas yang diturunkan, yang digabungkan dengan kepercayaan reliji mengenai dosa ayah dan gagasan eugenik yang pseudo-ilmiah.
[11] Ras Teutonic adalah ras Germanic, yang pada masa modern ini meliputi orang-orang Inggris, Norwegia, Denmark, Swedia, Jerman, Austria, Belanda, Flemish.
[12] America’s Destiny, 1900. Albert Beveridge.
[13] Dawkins, The Selfish Gene, hal. 108.
[14] Dawkins, The Selfish Gene, hal. 3 dan 265-6.
[15] Dawkins, The Extended Phenotype, hal. 10-11.
[16] S. Rose, Molecules dan Minds, hal. 64-5.
[17] Dawkins, The Selfish Gene, hal. 126, 109, 129 dan 150.
[18] Gould, The Panda’s Thumb, hal. 77-8.
[19] Rose, Molecules dan Mind, hal. 64-5.