Bab 9. Big Bang
Kosmologi
Bagi banyak orang, yang tidak terbiasa dengan pemikiran dialektik, pandangan tentang ketakberhinggaan atau infiniti pasti sulit diterima. Pandangan ini terlalu jauh bedanya dengan dunia sehari-hari yang terbatas ini. Terlebih lagi, ia sangat berbeda dengan ajaran dari banyak agama utama. Sebagian besar agama-agama kuno memiliki Mitos Penciptaan. Kaum Terpelajar Yahudi di Abad Pertengahan menetapkan hari penciptaan pada tahun 3760 SM, dan nyatanya, kalender Yahudi bermula pada tahun tersebut. Di tahun 1658, Uskup Ussher menetapkan bahwa alam semesta ini diciptakan di tahun 4004 SM. Sepanjang abad ke-18, alam semesta ini dianggap berumur enam atau tujuh ribu tahun.
Tapi – Anda mungkin membantah –sains abad ke-20 tidak memiliki persamaan apapun dengan semua mitos Penciptaan itu! Dengan metode-metode ilmiah modern kita dapat memperoleh satu gambaran yang akurat akan ukuran dan asal-usul alam semesta. Sayangnya, persoalannya tidaklah semudah itu. Pertama, sekalipun ada kemajuan-kemajuan raksasa yang kita capai, jangkauan alam semesta yang dapat kita amati masih sangat terbatas oleh terbatasnya kemampuan informasi dari teleskop, radio-teleskop dan satelit yang paling kuat sekalipun. Kedua, dan merupakan alasan yang lebih serius, cara yang digunakan untuk menginterpretasi hasil-hasil pengamatan ini masih sangat spekulatif, sering kali menyentuh batas-batas mistisisme. Terlalu sering, kita mendapat kesan bahwa kita memang telah mundur ke dunia Mitos Penciptaan (“the Big Bang”), lengkap dengan sahabat karibnya, Hari Penghakiman Terakhir (“the Big Crunch”).
Secara bertahap, dimulai dengan penemuan teleskop, kemajuan teknologi telah mendorong batas-batas alam semesta semakin jauh dan semakin jauh. Lengkung kristal yang sejak jamannya Aristoteles dan Ptolomeus telah tertanam dalam benak manusia, akhirnya dihancurkan, bersama segala macam rintangan yang ditempatkan oleh prasangka-prasangka religius dari Abad Pertengahan untuk menghalangi kemajuan.
Di tahun 1755, Kant mempostulatkan keberadaan kumpulan bintang-bintang yang jauh, yang disebutnya “pulau alam semesta”. Namun, sampai tahun 1924, alam semesta ini masih dianggap hanya berdiameter 200.000 tahun cahaya dan terdiri dari tiga galaksi saja: galaksi kita dan dua tetangga yang lain. Kemudian kosmologis Amerika, Edwin Powell Hubble, dengan menggunakan teleskop 100 inci yang baru di Gunung Wilson, menunjukkan bahwa Nebula Andromeda berada jauh di luar galaksi kita. Lalu galaksi-galaksi lain yang lebih jauh lagi juga ditemukan. Hipotesis “pulau alam semesta” Kant terbukti tepat. Dengan demikian, alam semesta ini “mengembang” dengan cepat – dalam pikiran manusia – dan masih terus mengembang sejak itu, sejalan dengan ditemukannya benda-benda langit yang semakin lama semakin jauh. Bukannya 200.000 tahun cahaya, kini alam semesta dianggap berdiameter puluhan miliar tahun cahaya, dan waktu akan membuktikan bahwa bahkan perhitungan kita yang sekarang sama sekali tidak cukup besar. Karena alam semesta ini, seperti anggapan Nicolas dari Cusa dan lain-lain, adalah infinit. Sebelum Perang Dunia II, usia alam semesta ini dianggap hanya dua miliar tahun. Sedikit lebih baik dari perhitungan Uskup Ussher. Tapi masih juga keliru besar. Sekarang ada perdebatan tajam di antara para pendukung teori Big Bang mengenai usia alam semesta yang semestinya. Kita akan kembali pada hal ini nanti.
Teori Big Bang sebenarnya adalah sebuah mitos Penciptaan (seperti yang dinyatakan oleh Kitab Kejadian). Ia menyatakan bahwa alam semesta mulai ada sekitar 15 miliar tahun lalu. Sebelumnya, menurut teori ini, tidak ada alam semesta, tidak ada materi, tidak ada ruang, dan jika Anda suka, tidak ada waktu juga. Pada waktu itu, semua materi di alam semesta, katanya, terkonsentrasi menjadi satu titik saja. Titik yang tidak kasat mata ini, yang bagi para penganut teori Big Bang disebut singularitas, lalu meledak, dengan kekuatan yang sedemikian rupa sehingga ia tiba-tiba menjadi seluruh alam semesta ini, yang kini terus mengembang sebagai akibat ledakan itu. Inilah saat di mana “waktu dimulai”. Jika Anda berpikir bahwa ini adalah semacam lelucon, buang pikiran itu jauh-jauh. Inilah yang dinyatakan oleh Teori Big Bang.Inilah apa yang kini benar-benar dipercaya oleh sebagian besar profesor di universitas, yang memiliki serangkaian panjang huruf di belakang nama mereka itu. Ada bukti yang sangat jelas mengenai pergeseran ke arah mistisisme di dalam tulisan dari sebagian komunitas ilmuwan. Pada tahun-tahun terakhir, kita telah saksikan banjir buku-buku sains yang, di balik kedok upaya memopulerkan teori-teori alam semesta yang terbaru, berupaya menyelundupkan berbagai jenis pandangan religius, khususnya, dalam hubungannya dengan apa yang disebut teori Big Bang.
The New Scientist (edisi 7 Mei 1994) menerbitkan satu artikel berjudul In the Beginning Was the Bang (Pada Mulanya adalah Ledakan).[1] Penulisnya, Colin Price, yang terlatih dan bekerja sebagai seorang ilmuwan, tapi kini adalah seorang pendeta aliran Congregationalist. Ia mulai dengan satu pertanyaan: “Apakah kisah Big Bang benar-benar sesuai dengan kitab suci? Atau sebaliknya, apakah kisah dalam Kejadian memang benar-benar ilmiah?” Dan ia mengakhiri tulisannya dengan penegasan yang sangat percaya diri: “Tidak seorang pun akan menyepakati teori Big Bang lebih penuh daripada para penulis kedua bab pertama dari Kitab Kejadian.”Ini cukup wajar mengingat filsafat mistik yang berada di balik teori Big Bang.
Efek Doppler
Di tahun 1915, Albert Einstein mengajukan teorinya tentang relativitas umum. Sebelum penemuan ini, pandangan umum tentang alam semesta diturunkan dari model mekanika klasik Newton abad ke-18. Bagi Newton, alam semesta ini nampak seperti mekanisme sebuah jam raksasa, yang mematuhi sejumlah hukum-hukum gerak yang tidak berubah. Alam semesta iniinfinit, tapi pada hakikatnya tidak pernah berubah. Pandangan tentang alam semesta ini mengandung segala macam cacat yang diderita semua teori-teori yang mekanistik, non-dialektis. Ia statis.
Di tahun 1929, Edwin Hubble, dengan menggunakan teleskop baru yang amat kuat, menunjukkan bahwa alam semesta ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan semula. Lebih jauh lagi, ia mencatat satu gejala yang semula tidak teramati. Ketika cahaya mencapai mata kita dari sebuah benda yang bergerak, ia menghasilkan satu pergeseran dalam frekuensi. Hal ini dapat dinyatakan dalam bentuk warna spektrum. Ketika sebuah sumber cahaya berjalan mendekati kita, warnanya bergeser ke arah frekuensi yang lebih tinggi (ungu). Ketika ia menjauh, kita melihat pergeseran warna ke arah frekuensi yang lebih rendah (merah). Teori ini, yang pertama kali dikemukakan oleh fisikawan Austria, Christian Doppler, dikenal sebagai “Efek Doppler”, dan memiliki implikasi-implikasi penting dalam astronomi. Bintang-bintang nampak seperti sebuah pola cahaya dengan latar belakang yang gelap. Melihat bahwa kebanyakan bintang menunjukkan pergeseran ke arah warna merah, pengamatan Hubble memberikan ide bahwa galaksi-galaksi sedang bergerak menjauhi kita dengan kecepatan yang sebanding dengan jarak dari galaksi-galaksi itu. Ini kemudian dikenal sebagai Hukum Hubble, sekalipun Hubble sendiri tidak berpikir bahwa alam semesta ini sedang mengembang.
Hubble mengamati bahwa ada sebuah korelasi antara pergeseran merah dan jarak galaksi, seperti yang terukur oleh terang galaksi. Nampaknya galaksi terjauh yang bisa diamati saat itu sedang bergerak dengan kecepatan 40.000 km/detik. Dengan datangnya teleskop 200 inci yang baru di tahun 1960-an, bahkan benda-benda langit yang semakin jauh bisa terdeteksi, yang bergerak dengan kecepatan 240.000 km/detik. Dari pengamatan ini, hipotesis tentang “alam semesta yang mengembang” dibangun. Di samping itu, “persamaan medan” dari teori relativitas umum Einstein dapat diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga persamaan itu sesuai dengan ide ini. Dari gagasan ini, disimpulkan jika alam semesta ini sedang mengembang, ia pasti lebih kecil di masa lalu. Konsekuensinya adalah hipotesis bahwa alam semestamestinya dimulai dari sebuah inti materi yang padat. Ini bukan gagasan asli Hubble. Ide ini diajukan di tahun 1922 oleh ahli matematika Rusia, Alexander Friedmann. Lalu di tahun 1927, Georges Lemaître pertama kali mengungkapkan idenya tentang “telur kosmis”. Dari sudut pandang materialisme dialektik, ide tentang alam semesta yang tidak pernah berubah dan tertutup, yang dalam keadaan kesetimbangan yang permanen, jelas tidak tepat. Dengan demikian,langkah untuk meninggalkan pandangan ini tentunya adalah sebuah langkah maju.
Teori Friedmann diberi dorongan yang penting oleh pengamatan Hubble dan Wirtz. Penemuan-penemuan ini nampaknya mengindikasikan bahwa alam semesta, atau setidaknya bagian yang dapat kita amati, sedang mengembang. Ini segera diraup oleh Georges Lemaître, seorang pastur Belgia, yang mencoba membuktikan bahwa, jika alam semesta ini memiliki ruang yang finit, ia harus pula finit dalam waktu – ia harus memiliki satu awal. Bergunanya teori tersebut bagi Gereja Katolik tidak dapat diragukan lagi. Ia membuka lebar-lebar satu pintu kepada ide tentang Sang Pencipta, yang, setelah diusir keluar dari alam semesta oleh ilmu pengetahuan, kini sedang bersiap untuk kembali dengan megah sebagai “Cosmic Ju-Ju Man”. “Saya pikir waktu itu,” kata Hannes Alfvén bertahun-tahun kemudian, “bahwa motivasi untuk teori ini adalah kebutuhan Lemaître untuk mendamaikan fisikanya dengan doktrin Gereja tentang penciptaan ex nihilo [dari kekosongan].”[2] Lemaître belakangan mendapatkan hadiah dengan diangkat menjadi direktur Akademi Ilmu Pengetahuan Kepausan.
Bagaimana Teori Ini Berkembang
Sebenarnya tidak tepat kalau kita merujuk pada “satu teori Big Bang”. Nyatanya, setidaknya ada lima teori Big Bang yang sudah diajukan, semuanya telah menemui kesulitan-kesulitan. Yang pertama, seperti yang telah kita lihat, dikemukakan di tahun 1927 oleh Lemaître. Teori ini segera ditolak berdasarkan beberapa hal – kesimpulan yang keliru atas relativitas umum dan termodinamika, teori yang keliru tentang sinar kosmis dan evolusi bintang-bintang, dan lain-lain. Pasca Perang Dunia II, teori yang telah dipermalukan ini dihidupkan lagi oleh George Gamow dan kawan-kawannya dalam bentuk baru. Sejumlah perhitungan dimajukan oleh Gamow dan kawan-kawannya, (bukannya tanpa sejumlah “akuntansi kreatif” ilmiah) untuk menjelaskan berbagai gejala yang akan terjadi akibat Big Bang itu – densitas materi, suhu, tingkat radiasi, dan seterusnya. Gaya penulisan Gamow yang gemilang menjamin teori Big Bang meresap ke dalam imajinasi populer. Sekali lagi teori itu membentur kesulitan-kesulitan yang serius.
Sejumlah ketidakcocokan ditemukan, yang membuktikan keliru bukan saja model Gamow, tapi juga model “alam semesta yang berosilasi” (oscillating universe) yang dikerjakan oleh Robert Dicke dan lain-lain, dalam upaya untuk mengatasi masalah tentang apa yang terjadi sebelum Big Bang, dengan membuat alam semestaberosilasi dalam sebuah siklus yang tanpa akhir. Tapi Gamow telah membuat satu prediksi yang penting – bahwa ledakan yang demikian besar pasti meninggalkan bukti dalam bentuk “radiasi latar belakang”, sejenis gema dari Big Bangdi luar angkasa. Ini digunakan untuk menghidupkan kembali teori Big Bang beberapa tahun kemudian.
Sejak awal, ada oposisi terhadap ide ini. Di tahun 1928 Thomas Gold dan Hermann Bondi mengajukan teori “steady state” (keadaan tetap) sebagai sebuah alternatif, yang kemudian dipopulerkan oleh Fred Hoyle. Walaupun teori itu menerima sebuahalam semesta yang mengembang, ia mencoba menjelaskannya dengan “penciptaan materi dari ketiadaan secara terus-menerus”. Katanya ini terjadi setiap saat, tapi dengan tingkat yang demikian rendah sehingga tidak terdeteksi oleh teknologi masa kini. Ini berarti bahwa alam semesta tidak berubah sepanjang segala abad, dari situlah nama “steady state” didapatkan. Masalahnya bukannya tambah jelas malah tambah kabur berantakan. Dari “telur kosmis” sampai ke“materi yang diciptakan dari ketiadaan”! Kedua teori yang saling bersaing ini berseteru selama beberapa dasawarsa.
Kenyataan bahwa banyak ilmuwan serius bersedia menerima pandangan fantastis Hoyle tentang materi yang diciptakan dari ketiadaan itu sendiri sesungguhnya sangat mengejutkan. Kemudian, teori ini terbukti keliru. Teori steady state mengasumsikan bahwa alam semesta ini homogen dalam ruang dan waktu. Jika alam semesta berada dalam keadaan steady state sepanjang waktu, kepadatan dari benda-benda yang memancarkan gelombang radio seharusnya konstan, karena semakin jauh kita menjenguk ke angkasa luar, kita melihat semakin jauh ke belakang dalam waktu. Akan tetapi, pengamatan menunjukkan bahwa hal ini tidak terjadi. Semakin jauh kita melihat ke angkasa luar, semakin besar intensitas gelombang radio. Ini membuktikan secara meyakinkan bahwa alam semesta berada dalam keadaan perubahan dan evolusi yang konstan. Teori steady state keliru.
Di tahun 1964, teori steady stateditumbangkan oleh dua astronom muda Amerika Serikat, Arnas Penzias dan Robert Wilson, yang menemukan radiasi latar belakang di angkasa luar. Radiasi latar belakang ini segera dianggap sebagai “gema”Big Bang yang diramalkan oleh Gamow. Meski demikian, terdapat berbagai ketidakcocokan. Suhu radiasi itu ternyata hanya 3,5 K, bukan 20 K seperti yang diramalkan Gamow, atau 30 K yang diramalkan penerusnya, P. J. E. Peebles. Hasil ini malah lebih buruk sebenarnya. Karena jumlah energi dalam sebuah medan adalah berbanding lurus dengan pangkat empat dari suhunya, energi dari radiasi yang teramati sebenarnya adalah beberapa ribu kali lebih lemah daripada apa yang diramalkan.
Robert Dicke dan P. J. E. Peebles melanjutkan teori Gamow. Dicke menyadari bahwa ada cara untuk mengatasi masalah tentang apa yang terjadi sebelum Big Bang, jika saja mereka dapat kembali pada ide Einstein tentang alam semesta yang tertutup. Maka dapat dikemukakan bahwa alam semesta akan mengembang untuk beberapa waktu, kemudian runtuh menjadi satu titik tunggal (sebuah “singularitas”), atau hampir mendekati singularitas, lalu kembali mengembang, seperti permainan ping-pong kosmis yang berlangsung selamanya. Masalahnya Gamow telah menghitung energi dan densitasalam semestayang lebih kecil daripada yang dibutuhkan untuk sebuahalam semesta yang tertutup. Densitasnya dihitung sebesar sekitar dua atom per kubik meter ruang angkasa; dan densitasenerginya, yakni prediksi suhu radiasi latar belakang, yang katanya merupakan fosil dari Big Bang, 20 K. Nyatanya, Gamow telah mematok angka-angka ini untuk membuktikan bahwa Big Bang menghasilkan unsur-unsur berat, sesuatu yang tidak seorang pun akan menerimanya sekarang. Maka Dicke tanpa basa-basi membuang semua perhitungan itu, dan memilih beberapa angka yang baru dan sama acaknya, yang akan cocok untuk teori-nya tentang alam semesta yang tertutup.
Dicke dan Peebles memprediksi bahwa alam semesta akan dipenuhi dengan radiasi, terutama gelombang radio, dengan suhu 30 K. Belakangan, Dicke mengklaim bahwa kelompoknya telah memprediksi suhu 10 K, sekalipun prediksi ini tidak pernah muncul sekalipun di dalam tulisan-tulisannya, dan masih melenceng jauh sekali dari hasil pengamatan. Ini menunjukkan bahwa alam semestalebih cair daripada yang diprediksi Gamow, dengan gravitasi yang lebih lemah, yang mengusik satu pertanyaan: dari mana datangnya semuaenergi untuk menghasilkan Big Bang? Seperti yang ditunjukkan oleh Eric Lerner:
“Bukannya membenarkan model Peebles-Dicke, penemuan Penzias-Wilson jelas mencoret model alam semesta yang tertutup dan berosilasi”[3] Maka muncullah versi Big Bang yang ketiga– apa yang dikenal sebagai model standar –yakni alam semesta terbuka yang berada di dalam keadaan ekspansi yang permanen.
Fred Hoyle membuat beberapa perhitungan yang rinci, dan mengumumkan bahwa Big Bang hanya akan menghasilkan unsur-unsur ringan – helium, deuterium, dan lithium (dua yang disebut belakangan sebenarnya unsur yang sangat jarang). Ia menghitung bahwa jika densitasalam semesta adalah sekitar satu atom per delapan meter kubik, jumlah dari ketiga unsur ringan ini akan cukup dekat dengan apa yang teramati. Dengan cara ini, diajukanlah satu versi teori yang baru, yang sama sekali tidak mirip teori-teori sebelumnya. Tidak lagi ada disebut tentang sinar kosmis ala Lemaître, atau unsur berat-nya Gamow. Sebagai gantinya, bukti yang dikemukakan adalah gelombang-mikro latar belakang dan ketiga unsur ringan tadi. Namun, ini belum menjadi bukti meyakinkan bagi teori Big Bang. Satu masalah besar terletak pada keseragaman ekstremdari radiasi gelombang-mikro latar belakang. Apa yang disebut iregularitas di latar belakang ternyata demikian kecil sehingga fluktuasi ini tidak akan pernah mendapat waktu yang cukup untuk berkembang menjadi galaksi – kecuali jika ada lebih banyak materi (dan gravitasi yang lebih kuat sebagai akibatnya) daripada yang sudah terbukti dari pengamatan.
Ada pula persoalan lain. Bagaimana mungkin pecahan-pecahan materi yang beterbangan ke berbagai arah itu semua sanggup mencapai suhu yang sama, dan pada waktu yang sama pula (persoalan “horizon”)? Para pendukung teori ini mengajukan apa-yang-disebut asal-usul alam semesta ini sebagai sebuah model matematika yang sempurna, semuanya teratur sempurna, sebuah“Taman Eden yang berisi simetri, yang karakter-karakternya bersesuaian dengan nalar murni,” seperti komentar Lerner. Tapi alam semesta sama sekali tidak simetri sempurna. Ia tidak beraturan, kontradiktif, “tidak mulus”. Sama sekali bukan seperti persamaan-persamaan yang rapi dari Cambridge!Salah satu persoalannya adalah mengapa Big Bang tidak menghasilkan alam semesta yang seragam? Mengapa materi dan energi awal yang sederhana itu tidak menyebar merata saja sebagai awan debu dan gas yang maha luas? Mengapa alam semesta kita demikian “tidak mulus”? Dari mana datangnya semua galaksi dan bintang-bintang? Jadi bagaimana kita akan melangkah dari A ke B? Bagaimana simetri sempurna alam semesta yang awal itu melahirkan alam semesta yang tidak beraturan seperti yang kita lihat sekarang?
Teori “Inflasi”
Untuk mengatasi masalah ini, dan beberapa masalah lain, Alan Guth, fisikawan Amerika, mengajukan teori“alam semesta yang melembung” [inflationary universe]. (Mungkin bukan kebetulan kalau ide ini diajukan di tahun 1970-an, ketika dunia kapitalis tengah melewati sebuah krisis inflasi!) Menurut teori ini, suhu jatuh demikian rendah sehingga tidak ada waktu bagi berbagai medan untuk memisahkan diri atau untuk terbentuknya berbagai partikel. Diferensiasi baru terjadi kemudian, ketika alam semestaini sudah jauh lebih besar. Inilah versi yang paling baru dari Big Bang. Versi teori ini menyatakan bahwa, pada saat Big Bang, alam semesta mengalami satu ekspansi eksponensial, di mana ia memperbesar dirinya dua kali lipat setiap 10-35 detik (dari sini nama “inflasi”). Sementara versi awal dari “model standar”menyatakan bahwa besar alam semesta adalah sebesar buah anggur, Guth maju lebih jauh lagi. Ia menghitung bahwa alam semesta tidak berawal dari sebesar buah anggur, tapi miliaran kali lebih kecil daripadainti atom hidrogen. Lalu ia kemudian melembung dalam kecepatan luar biasa – berkali lipat kecepatan cahaya, yang 186.000 mil per detik itu – sampai ia mencapai ukuran 1090 kali volume awalnya, yaitu 1 dengan 90 angka nol di belakangnya!
Mari kita periksa implikasi-implikasi dari teori ini. Seperti semua teori Big Bang lainnya, ia berangkat dari hipotesis bahwa semua materi di alam semesta dimulai dengan konsentrasi pada satu titik tunggal. Kesalahan fundamental di sini adalah membayangkan bahwa ‘alam semesta yang riil’ adalah sama dengan ‘alam semesta yang teramati’, dan kita dapat merekonstruksi seluruh sejarah alam semesta, sebagai sebuah proses yang linear, tanpa memperhitungkan berbagai fase, transisi, dan berbagai keadaan yang dilalui oleh materi.
Materialisme dialektik memandang alam semesta sebagai infinit, tapi bukan statis atau dalam keadaan “setimbang” yang permanen, seperti yang dibayangkan Einstein atau Newton. Materi dan energi tidak dapat diciptakan atau dihancurkan, tapi ada dalam proses pergerakan dan perubahan yang terus-menerus, yang melibatkan ledakan berkala, pengembangan dan penyusutan, tarikan dan tolakan, kehidupan dan kematian. Tidak ada yang mustahil secara intrinsik kalau ada satu, atau banyak, ledakan dahsyat. Masalahnya di sini sangatlah berbeda –yakni sebuah interpretasi mistis terhadapfenomena tertentu, seperti pergeseran spektrum Hubble, dan sebuah upaya untuk menyelundupkan ide-ide religius tentang penciptaan alam semesta ke dalam sains melalui pintu belakang.
Pertama, sangatlah tidak terpikirkan bahwa semua materi di alam semesta terkonsentrasi dalam satu titik tunggal “dengan densitasinfinit”. Mari kita perjelas makna pernyataan ini. Pertama, mustahil untuk menempatkan materi dan energi yang infinit pada ruang yang finit. Dengan kita bertanya saja kita sudah menjawabnya. “Ah!” kata para penganut Big Bang, “tapi alam semesta ini bukannya infinit, tapi finit, sesuai dengan teori relativitas umum Einstein.” Dalam bukunya, Eric Lerner menunjukkan alam semesta yang jumlahnya infinit dimungkinkan oleh persamaan Einstein. Friedmann dan Lemaître menunjukkan bahwa banyak persamaan menunjuk pada ekspansialam semesta. Tapi tidak satu pundari persamaan ini yang menunjuk pada keadaan “singularitas”. Kendati demikian, inilah varian yang diajukan secara dogmatis oleh Guth & co.
Bahkan jika kita menerima bahwa alam semesta ini finit, pandangan tentang “singularitas” akan membawa kita pada kesimpulan yang bersifat sangat fantastis. Jika kita menganggap bahwa sudut kecil alam semesta yang dapat kita amati adalah alam semesta itu sendiri – satu asumsi sembarangan yang tidak memiliki basis ilmiah atau logika apapun – maka kita berbicara tentang lebih dari 100 miliar galaksi, yang masing-masing mengandung 100 miliar bintang utama (seperti matahari kita). Menurut Guth, semua materi ini terkonsentrasi dalam sebuah ruang yang lebih kecil daripada sebuah proton.Ketika ia telah hadir selama seperjuta dari sepertriliun dari sepertriliun, dari sepertriliun detik dengan suhu satu miliar miliar miliar derajat, hanya terdapat satu medan dan hanya satu jenis interaksi partikel. Sejalan dengan mengembangnya alam semesta dan jatuhnya suhu, berbagai jenis medan katanya “terkondensasi” dari keadaan awal yang bersahaja ini.
Pertanyaan yang muncul adalah dari mana datangnya energi untuk mendorong ekspansi yang tak ada bandingnya itu. Untuk memecahkan masalah ini, Guth menyandarkan diri pada satu medan gaya (force field) hipotesis yang selalu ada ( “medan Higgs”), yang keberadaannya telah diprediksi oleh beberapa fisikawan teoritik, tapi sampai sekarang tidak ada secuilpun bukti yang membenarkan keberadaannya. “Dalam teori Guth,” komentar Eric Lerner, “medan Higgs yang hadir dalam kehampaan menghasilkan semua energi yang diperlukan dari ketiadaan – ex nihilo. Alam Semesta ini, seperti katanya, adalah satu ‘makan siang gratis’ yang besar, yang dibayari oleh medan Higgs itu.”[4]
Materi-gelap?
Setiap kali teori Big Bang mendapat kesulitan, para pendukungnya bukannya meninggalkannya, melainkan menempatkan garis gawang semakin ke belakang. Mereka membuat asumsi-asumsi yang semakin lama semakin sembarangan untuk mengapungkan terus teori itu. Contohnya, teori itu menuntut sejumlah tertentu materi di alam semesta. Jika alam semesta diciptakan 15 miliar tahun yang lalu, seperti yang diramalkan oleh model itu, tidak akan ada cukup waktu bagi materi yang dapat kita amati untuk dapat menggumpal menjadi galaksi-galaksi seperti Bima Sakti, tanpa bantuan dari “materi-gelap” [dark matter] yang tak kasat mata. Menurut para kosmologis Big Bang, supaya galaksi dapat terbentuk setelah Big Bang, haruslah terdapat cukup materi di alam semestayang dapat menghentikan ekspansinya melalui hukum gravitasi. Ini menuntut adanya densitas kira-kira 10 atom per meter kubik. Kenyataannya, jumlah materi yang ada di alam semesta yang teramati saat ini adalah sekitar satu atom per sepuluh meter kubik ruang – seratus kali lebih kecil dari jumlah yang diprediksi oleh teori itu.
Para kosmologis memutuskan untuk merepresentasikandensitasalam semesta sebagai sebuah perbandingan dari densitas yang dibutuhkan untuk menghentikan ekspansi alam semesta. Mereka menyebut perbandingan ini omega. Maka, jika omega sama dengan 1, ini cukup untuk menghentikan ekspansi. Sayangnya, nilai omega adalah sekitar 0,01 atau 0,02. Kira-kira 99% dari materi yang dibutuhkan telah “hilang”. Bagaimana memecahkan teka-teki ini? Mudah sekali. Karena teori itu menuntut materi itu ada di sana, mereka menetapkan nilai omega pada titik mendekati 1, lalu memulai pencarian atas materi yang hilang itu! Problem pertama yang dihadapi teori Big Bang adalah asal-usul galaksi-galaksi. Bagaimana mungkin satu radiasi latar belakang yang demikian seragam menghasilkan alam semesta yang demikian “tidak seragam”? Apa yang kemudian disebut “riak” (anisotropi) dalam radiasi dianggap sebagai cerminan dari formasi gumpalan-gumpalan materi yang menjadi titik fokal terbentuknya galaksi-galaksi awal. Tapi iregularitas yang teramati terlalu kecil untuk dapat dianggap bertanggung jawab bagi pembentukan galaksi-galaksi, kecuali jika terdapat lebih banyak lagi materi dan, dengan demikian, lebih banyak gravitasi daripada apa yang teramati. Persisnya, diperlukan 99% lebih banyak materi, yang tidak ada di sana.
Di sinilah konsep tentang “materi-gelap dingin” (cold dark matter) memasuki panggung. Sangat penting untuk disadari bahwa tidak seorang pun yang pernah melihat makhluk ini. Keberadaannya diajukan baru sekitar sepuluh tahun lalu, untuk mengisi satu lubang dalam teori itu. Karena hanya, mungkin, sekitar 1 atau 2 persen alam semesta ini yang terlihat oleh kita, sisanya yang 99% itu katanya terdiri dari materi yang tak kasat mata, yang gelap dan dingin, yang tidak memancarkan radiasi apapun. Partikel yang aneh itu, setelah satu dasawarsa dicari-cari, masih belum didapati sampai sekarang. Tapi mereka menempati posisi kunci di dalam teori itu, sekedar karena teori itu menuntut kehadiran mereka di dalamnya.
Untungnya, dimungkinkan bagi kita untuk menghitung secara cukup akurat jumlah materi di alam semesta yang teramati. Nilainya sekitar satu atom tiap sepuluh meter kubik ruang. Ini seratus kali lebih kecil daripada jumlah yang dituntut oleh teori Big Bang. Tapi, seperti ungkapan favorit para wartawan, jangan biarkan fakta merusak sebuah kisah yang bagus! Jika tidak terdapat cukup materi di alam semesta untuk membuat teori tersebut cocok, maka pastilah terdapat sejumlah besar materi di luar sana yang tidak terlihat oleh mata fana kita ini. Seperti yang dikatakan oleh Brent Tully tentangnya, “Ini sangat mengganggu, melihat bahwa ada teori baru setiap kali ada pengamatan baru.”
Pada tahap ini, para pembela teori Big Bang memutuskan untuk memanggil bala bantuan dari Pasukan Kavaleri Ketujuh, dalam bentuk fisika partikel. Misi yang harus mereka lakukan akan membuat John Wayne[5] malu. Hal paling berani yang pernah ia lakukan adalah mencari wanita dan anak-anak yang diculik oleh orang-orang Indian. Tapi, ketika para kosmologis memanggil bantuan rekan-rekan mereka yang sedang sibuk mengorek-ngorek misteri mikrokosmos, permintaan mereka tiga kali lipat lebih ambisius. Mereka meminta rekan-rekan mereka untuk menemukan sisa 99% dari alam semesta ini yang kelihatannya telah “hilang”. Jika mereka tidak menemukan materi yang hilang itu, persamaan mereka tidak akan bekerja, dan teori standar tentang asal-usul alam semesta akan jatuh ke dalam kesulitan besar!
Dalam bukunya The Big Bang Never Happened, Eric Lerner merinci serangkaian pengamatan, yang hasil-hasilnya tidak pernah diterbitkan dalam jurnal-jurnal ilmiah, yang sepenuhnya mematahkan ide tentang materi-gelap. Walau demikian, di hadapan segala bukti yang diajukan, para penganjur teori Big Bang terus saja berperilaku seperti para pastur dan orang terpelajar abad pertengahan yang menolak melihat melalui teleskop untuk menguji kebenaran teori Galileo. Materi-gelap pasti ada – teori kami menuntut demikian!
“Pengujian dari teori-teori ilmiah,” tulis Lerner, “adalah kesesuaian antara prediksi dan pengamatan, dan Big Bang telah gagal. Ia memprediksi bahwa tidak boleh ada benda yang berumur lebih dari 20 miliar tahun dan lebih besar dari 150 juta tahun cahaya dari ujung ke ujung. Namun pada kenyataan ada. Ia memprediksi bahwa alam semesta, pada skala besar, haruslah seragam dan homogen. Tidak demikian. Teori itu memprediksi bahwa, untuk menghasilkan galaksi yang ada di sekitar kita dari fluktuasi super kecil yang teramati pada radiasi latar belakang, haruslah ada materi-gelap seratus kali lebih banyak daripada materi yang kita lihat di sekitar kita. Dan jika tidak ada materi-gelap, teori itu memprediksi tidak akan ada satu pun galaksi yang terbentuk. Walau demikian, kita lihat galaksi-galaksi itu berceceran di angkasa. Kita hidup di dalam salah satunya.”[6]
Alan Guth berhasil menyingkirkan beberapa keberatan atas Big Bang, tapi hanya dengan mengajukan versi teori Big Bang yang paling fantastis dan ngawur yang pernah kita lihat. Ia tidak mengatakan apa yang menyusun “materi-gelap” itu, tapi sekedar menyediakan satu pembenaran teoritik bagi para kosmologis. Signifikansi penting dari versi ini adalah bahwa ia telah membangun satu rantai antara kosmologi dan fisika partikel, yang bertahan sampai sekarang. Masalahnya adalah bahwa terdapat kecenderungan umum di kalangan para fisikawan teoritik, dan juga para kosmologis, untuk semakin hari semakin bersandar para asumsi-asumsi matematika yang apriori untuk membenarkan teori mereka, yang hanya mampu menghasilkan segelintir prediksi yang dapat diuji dalam praktek. Teori yang dihasilkan semakin hari semakin mengandung sifat yang fantastis dan acak, dan sering kali lebih mirip dengan fiksi ilmiah ketimbang teori ilmiah.
Pada kenyataannya, para fisikawan partikel yang berbaris untuk menjalankan misi penyelamatan itu sendiri masih memiliki banyak problem dalam diri mereka sendiri. Alan Guth dan lain-lain sedang berupaya menemukan GUT (Grand Unification Theory – Teori Penyatuan Besar) yang akan menyatukan tiga gaya dasar yang bekerja di alam pada skala kecil – elektromagnetisme, weak force (yang menyebabkan peluruhan radioaktif) dan strong force (yang mengikat inti atom dan bertanggung jawab pada pelepasan energi nuklir). Mereka berharap dapat mengulang kesuksesan Maxwell, seratus tahun sebelumnya, yang telah membuktikan bahwa listrik dan magnet sebenarnya adalah gaya yang satu dan sama. Fisika partikel sangat bergairah untuk membangun aliansi dengan para kosmologis, dalam harapan untuk menemukan di langit apa yang gagal mereka temukan di bumi. Pada kenyataannya, cara pendekatan mereka mirip satu sama lain. Dengan hanya segelintir rujukan pada pengamatan, mereka mendasarkan dirinya pada serangkaian model-model matematika, dan asumsi-asumsi yang sembarangan, yang sering kali sedikit saja bedanya dari spekulasi murni. Teori-teori telah muncul dengan cepat, yang satu lebih dahsyat daripada pendahulunya. Teori “inflasi” tercampur aduk di tengah-tengah lautan teori ini.
Neutrino Datang Menolong!
Keteguhan para pendukung Big Bangsering kali mendorong mereka melakukan jungkir balik yang amat mengagumkan. Setelah pencarian yang sia-sia akan 99% “materi-gelap dingin” yang hilang itu, mereka gagal menemukan apapun yang mendekati kuantitas yang dituntut oleh teori mereka, untuk mencegah alam semesta mengembang selamanya. Pada tanggal 18 Desember 1993, The New Scientist menerbitkan satu artikel berjudul Universe Will Expand Forever(Alam Semesta Akan Mengembang Selamanya). Di sini diakui bahwa “sekelompok galaksi di konstelasi Cepheus mengandung jauh lebih sedikit materi tak kasat mata daripada apa yang diduga beberapa bulan yang lalu,” dan bahwa klaim yang dibuat terdahulu oleh para astronom Amerika “didasarkan pada analisis yang penuh kekeliruan.” Sejumlah besar reputasi ilmiah dipertaruhkan, belum lagi ratusan juta dolar yang dihabiskan dalam dana penelitian. Apakah ini ada hubungannya dengan fanatisme terhadap Big Bang? Seperti biasa, mereka hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Fakta harus disesuaikan dengan teori!
Kenyataan bahwa mereka telah gagal menemukan “materi-gelap dingin”, yang keberadaannya esensial untuk keberlangsungan teori itu, telah menyebabkan keresahan di antara para ilmuwan di dalam komunitas ilmiah yang lebih bisa berpikir. Satu editorial dari The New Scientist, yang diterbitkan pada tanggal 4 Juni 1994 dengan judul yang sugestif A Folly of Our Time? (Kebodohan pada Masa Kita?) membandingkan ide tentang materi-gelap dengan konsep jaman Victoria, yang kini telah disingkirkan, mengenai “ether”, satu medium tak kasat mata, yang katanya merupakan medium di mana cahaya berjalan melintasi ruang:
“Ia tak kasat mata, maha ada, dan, di akhir abad ke-19, tiap fisikawan mempercayai keberadaannya. Ia adalah, tentu saja, aether, medium di mana mereka pikir cahaya melintas, dan terbukti kemudian bahwa itu hanyalah hantu belaka. Cahaya tidak membutuhkan sebuah medium untuk menjalar, tidak seperti suara.
“Kini, menjelang akhir abad ke-20, para fisikawan kembali menemukan diri mereka berada dalam situasi yang sangat mirip dengan rekan-rekan mereka dari jaman Victoria. Sekali lagi mereka menaruh kepercayaan mereka pada sesuatu yang tak kasat mata dan maha ada. Kali ini, makhluk itu adalah materi-gelap.”
Pada titik ini, kita seharusnya berharap bahwa seorang ilmuwan yang serius akan mulai bertanya pada dirinya sendiri apakah memang ada sesuatu yang salah dengan teori mereka. Editorial itu kemudian melanjutkan:
“Dalam kosmologi, parameter-parameter bebas nampaknya sedang meluas seperti kebakaran hutan. Jika pengamatan tidak sesuai dengan teori, para kosmologis kelihatannya cukup puas dengan menambahkan variabel-variabel baru. Dengan terus-menerus menambal teori itu, kita mungkin justru tidak mampu melihat beberapa ide yang benar-benar bagus.”
Sungguh. Tapi, jangan biarkan “fakta” mengganggu perjalanan Anda. Seperti seorang pesulap menarik kelinci dari sebuah topi, mereka tiba-tiba menemukan – neutrino!
Neutrino, yang merupakan satu partikel sub-atomik, digambarkan oleh Hoffmann sebagai “berfluktuasi tanpa kepastian antara keberadaan dan ketiadaan.” Ini sama dengan mengatakan, dalam bahasa dialektik, “ia adalah dirinya dan sekaligus bukan dirinya sendiri”. Bagaimana mungkin gejala ini didamaikan dengan hukum identitas yang secara kategoris menyatakan bahwa suatu hal haruslah dirinya sendiri atau bukan yang lain? Berhadapan dengan dilema ini, yang muncul setiap kali mekanika kuantum berusaha menggambarkan dunia partikel sub-atomik, sering kali ada kecenderungan untuk bersandar pada ide bahwa neutrino adalah sebuah partikel yang tidak memiliki massa maupun muatan. Pendapat awal, yang masih dipegang oleh banyak ilmuwan, adalah bahwa neutrino tidak memiliki massa, dan karena tidak ada muatan listrik yang dapat hadir tanpa massa, kesimpulan yang niscaya adalah bahwa neutrino tidak memiliki muatan apapun.
Neutrino adalah partikel yang berukuran teramat kecil, dan karenanya sangat sulit untuk dideteksi. Keberadaan neutrino pertama kali dipostulatkan untuk menjelaskan ketidakcocokan dalam jumlah energi yang ada dalam partikel-partikel yang dipancarkan dari inti atom. Sejumlah energi kelihatannya hilang, hal yang mustahil. Karena hukum kekekalan energi menyatakan bahwa energi tidak akan dapat diciptakan atau dihancurkan, gejala ini membutuhkan penjelasan lain. Sekalipun kelihatannya fisikawan idealis Niels Bohr di tahun 1930 sudah siap membuang hukum kekekalan energi ke laut, tindakan ini terbukti sedikit prematur! Ketidakcocokan itu terjelaskan dengan penemuan partikel yang sebelumnya tidak diketahui – neutrino.
Neutrino terbentuk di inti matahari pada suhu 15 juta derajat Celcius, bergerak dengan kecepatan cahaya untuk mencapai permukaan matahari dalam tiga detik. Mereka membanjir menerobos alam semesta, menembus benda-benda padat, kelihatannya tanpa berinteraksi sedikit pun dengan mereka. Neutrino demikian kecilnya sehingga mereka dapat menembus langsung bumi dari satu permukaan ke permukaan di sisi lain bumi. Demikian kecilnya dan sulit terdeteksi partikel ini sehingga interaksi mereka dengan materi lain adalah minimal. Mereka dapat menembus bumi, bahkan timbal padat, tanpa meninggalkan bekas sedikit pun. Sungguh, triliunan neutrino sedang menembusi tubuh Anda sementara Anda membaca baris-baris ini. Tapi kemungkinan bahwa salah satu di antaranya akan terjebak dalam tubuh Anda demikian kecilnya sehingga Anda tidak perlu merasa khawatir. Telah diperkirakan bahwa neutrino dapat menembus timbal padat setebal 100 tahun cahaya, dengan kemungkinan terserap hanya 50%. Inilah mengapa ia tak pernah terdeteksi selama berabad-abad. Sungguh, sangat sulit membayangkan bagaimana mungkin sebuah partikel, yang demikian kecil sehingga ia diperkirakan tidak memiliki massa ataupun muatan, dan dapat menembus timbal setebal 100 tahun cahaya, akan dapat terdeteksi. Tapi ia telah berhasil dideteksi.
Kelihatannya beberapa partikel neutrino dapat dihentikan oleh apa yang setara dengan sepersepuluh inci timbal saja. Di tahun 1956, dengan menggunakan percobaan yang benar-benar amat cerdik, para ilmuwan Amerika berhasil menjebak sebuah anti-neutrino. Lalu, di tahun 1968, mereka menemukan neutrino dari matahari, sekalipun hanya sepertiga dari jumlah yang diramalkan oleh teori yang sekarang ada. Tidak diragukan bahwa neutrino memiliki properti-properti yang membuatnya tidak dapat dideteksi dengan segera. Karena ukurannya yang demikian kecil, hal ini tidaklah mengherankan. Tapi ide tentang bentuk materi yang tidak memiliki properti-properti dasar materi jelas adalah sebuah kontradiksi. Kemudian, masalah itu kelihatannya terpecahkan dari dua sumber yang berbeda. Yang pertama, salah satu penemu neutrino, Frederick Reines, mengumumkan di tahun 1980 bahwa ia telah menemukan keberadaan getaran neutrino dalam sebuah eksperimen. Hal ini akan menunjukkan bahwa neutrino memiliki massa, tapi hasil eksperimennya tidak dilihat sebagai hasil yang konklusif.
Namun, para fisikawan Soviet, yang terlibat dalam sebuaheksperimen yang sama sekali terpisah, menunjukkan bahwa neutrino-elektron memiliki massa, yang mungkin sebesar 40 elektron volt. Karena ini hanya1/13000 dari massa elektron, yang pada gilirannya hanyalah 1/2000 dari massa proton, sangat tidak mengherankan bahwa neutrino lama diduga tidak memiliki massa.
Sampai baru-baru ini, pandangan umum dari kalangan ilmuwan adalah bahwa neutrino tidak memiliki massa maupun muatan. Kini, mendadak, mereka mengubah pikiran mereka dan menyatakan bahwa neutrino memiliki massa – dan, mungkin, banyak. Ini adalah salah satu pertobatan yang paling mengagumkan sejak Santo Paulus jatuh dari kudanya dalam perjalanannya ke Damaskus![7] Sungguh, satu pertobatan mendadak semacam itu harus menimbulkan keraguan serius akan motivasinya. Mungkinkah mereka demikian putus asa karena kegagalan mereka menemukan “materi-gelap dingin” sehingga akhirnya mereka memutuskan mengubah pikiran mereka mengenai neutrino? Kita dapat membayangkan apa yang akan dikatakan Sherlock Holmes pada Dokter Watson jika ia berada dalam situasi semacam ini!
Sekalipun terdapat sejumlah besar kemajuan dalam bidang riset partikel, situasinya saat ini demikian membingungkan. Ratusan partikel baru telah ditemukan, tapi masih belum ada satu teori umum yang secara memuaskan dapat memberi satu keteraturan, seperti yang dilakukan Mendeleyev dalam bidang kimia. Pada saat ini, ada sebuah upaya untuk menyatukan berbagai gaya fundamental alam dengan mengelompokkan mereka ke dalam empat judul: gravitasi, elektromagnetisme, “weak force” dan “strong force”, yang masing-masing bekerja dalam level yang berbeda-beda.
Gravitasi bekerja pada skala kosmologis, mengikat bintang-bintang, planet-planet dan galaksi. Elektromagnetisme mengikat atom pada molekul, menghantar foton dari matahari dan bintang-bintang dan memicu simpul-simpul syaraf di otak. Strong forcemengikat proton dan neutron di dalam inti atom. Weak forceterekspresikan dalam transmutasi dari atom-atom yang tidak stabil selama peluruhan radioaktif. Kedua gaya yang disebut terakhir ini hanya bekerja pada jarak yang teramat pendek. Walau demikian, tidak ada alasan untuk menganggap bahwa klasifikasi ini sudah final. Dalam tingkat tertentu, ini adalah klasifikasi yang acak.
Terdapat perbedaan besar antara gaya-gaya ini. Gravitasi mempengaruhi segala bentuk materi dan energi, sementara strong force hanya mempengaruhi satu kelas partikel. Namun gravitasi adalah seratus juta triliuntriliuntriliun kali lebih lemah daripada strong force. Yang lebih penting, tidak jelas mengapa tidak ada satu gaya yang merupakan anti dari gravitasi, sementara elektromagnetisme terwujud baik dalam muatan yang positif maupun negatif. Problem ini, yang penyelesaiannya telah dicoba oleh Einstein, masih perlu ditemukan jawabannya, dan memiliki makna yang sangat penting bagi seluruh perbincangan mengenai alam semesta. Tiap gaya diperhitungkan melalui persamaan yang berbeda-beda, yang masing-masing melibatkan sekitar duapuluh parameter. Persamaan-persamaan ini ada hasilnya, tapi tidak seorang pun yang tahu mengapa.
Apa yang disebut GUT mengajukan ide bahwa materi itu sendiri mungkin adalah sebuah fase saja dalam evolusi alam semesta. Namun, prediksi yang dibuat oleh GUT bahwa proton mengalami peluruhan belum terbukti, dengan demikian melumpuhkan setidaknya versi GUT yang paling sederhana. Dalam upaya untuk membuat masuk akal penemuan mereka sendiri, beberapa fisikawan telah terjerat dalam teori-teori yang semakin lama semakin aneh dan menakjubkan, seperti apa yang dikenal sebagai teori “supersimetri” (SUSY), yang mengklaim bahwa alam semesta ini pada awalnya memiliki lebih dari empat dimensi. Menurut konsep ini, alam semesta ini boleh jadi mulai dengan, katakanlah, sepuluh dimensi, sayangnya semua dimensi (selain empat yang tinggal) itu runtuh selama Big Bang terjadi, dan kini menjadi terlalu kecil untuk dapat dideteksi.
Nampaknya objek-objek ini adalah partikel-partikel sub-atomik itu sendiri yang katanya adalah kuanta materi dan energi yang dikondensasikan murni dari ruang. Demikianlah mereka tertatih-tatih dari spekulasi metafisik yang satu ke spekulasi yang lain dalam upaya sia-sia untuk menjelaskan fenomena-fenomena fundamental dari alam semesta. Supersimetri mempostulatkan bahwa alam semesta pada awalnya berada pada keadaan mutlak sempurna. Mengutip Stephen Hawking, “alam semestaawal adalah bersahaja, dan jauh lebih mengagumkan, karena ia jauh lebih bersahaja.” Beberapa ilmuwan bahkan mencoba membenarkan spekulasi mistis ini berdasarkan estetika. Simetri mutlak katanya adalah indah. Maka kembalilah kita idealisme Plato.
Pada kenyataannya, alam bukanlah sebuah simetri mutlak. Sebaliknya, ia penuh dengan kontradiksi, ketidakteraturan, bencana dan patahan-patahan mendadak pada kontinuitas. Kehidupan itu sendiri adalah bukti dari konsep ini. Dalam organisme apapun, kesetimbangan mutlak berarti kematian. Kontradiksi yang kita amati di sini sudah berumur setua sejarah pemikiran manusia itu sendiri. Ia adalah kontradiksi antara abstraksi “sempurna” dari pikiran dengan ketidakteraturan dan “ketidaksempurnaan” dunia material nyata. Seluruh masalah ini lahir dari fakta bahwa rumusan abstrak matematika, yang boleh dianggap indah atau jelek, pastilah tidak mungkin mewakili sepenuhnya dunia alam yang nyata. Anggapan bahwa matematika dapat mewakili dunia nyata adalah sebuah kesalahan metodologis tingkat pamungkas, dan pasti membawa kita pada penarikan kesimpulan-kesimpulan yang sangat keliru.
Masalah Hubble
Sekarang adaperdebatan tajam di antara para pendukung Big Bang mengenai umur alam semesta. Nyatanya, keseluruhan “model standar” sedang dalam krisis. Kita disajikan sebuah pemandangan di mana para pemuka ilmu pengetahuan saling menyerang di depan publik dengan bahasa yang sama sekali tidak gentleman. Dan semua ini berkenaan dengan apa yang dikenal sebagai konstanta Hubble. Ini adalah rumus yang mengatur kecepatan benda-benda langit. Konstanta ini sangat penting bagi mereka yang ingin mengukur umur dan ukuran alam semesta ini. Kesulitannya adalah: tidak seorang pun yang tahu berapa nilainya!
Edwin Hubble menyatakan bahwa galaksi-galaksi saling bergerak menjauh dengan kecepatan yang berbanding lurus dengan jarak mereka dengan kita – semakin jauh jaraknya semakin cepat ia bergerak. Hal ini dinyatakannya dalam apa yang dikenal sebagai Hukum Hubble – v (kecepatan) = H x d (jarak). Dalam persamaan ini, H dikenal sebagai konstanta Hubble. Untuk mengukur nilainya, kita harus mengetahui dua hal: kecepatan dan jarak dari satu galaksi tertentu. Kecepatan dapat dihitung dari pergeseran spektrum merah (redshift). Tapi jarak antar galaksi tidak dapat diukur dengan penggaris apapun. Nyatanya, kita tidak memiliki satu pun alat yang dapat mengukur dengan akurat jarak yang demikian besar. Inilah akar masalahnya! Para pakar sama sekali tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai nilai Konstanta Hubble, seperti yang digambarkan secara sinis dalam program Channel Four T. V. baru-baru ini:
“Michael Pierce mengatakan bahwa, tanpa diragukan lagi, nilai Konstanta Hubble adalah 85, Gustav Tamman mengatakan bahwa nilainya 50, George Jacoby 80, Brian Schmidt 70, Michael Rowan Robinson 50, dan John Torry 80. Perbedaan antara 50 dan 80 kelihatannya remeh-temeh saja,” tulis Channel Four dalam bookletnya, “tapi maknanya sangat krusial bagi penentuan umur alam semesta. Jika nilai konstanta Hubble besar, para astronom mungkin sedang menjalani satu proses untuk menghancurkan sendiri teori mereka yang paling penting.”
Artinya, semakin tinggi nilai konstanta Hubble, semakin cepat benda-benda langit itu bergerak, dan jarak kita dengan Big Bang harus pula semakin pendek. Di tahun-tahun terakhir, teknik-teknik baru untuk mengukur kecepatan pergerakan galaksi telah pula diterapkan, yang membawa para astronom untuk mengubah dengan drastis perhitungan-perhitungan awal mereka. Ini telah menumbuhkan kengerian di kalangan ilmuwan, karena nilai konstanta Hubble semakin hari semakin naik saja. Perhitungan paling mutakhir menetapkan bahwa usia alam semesta adalah 8 miliar tahun saja. Artinya, ada bintang-bintang yang usianya lebih tua dari alam semesta itu sendiri! Ini adalah kontradiksi yang begitu mencolok – bukan kontradiksi yang dialektis, tapi yang tidak masuk nalar.
“Well,” komentar Carlos Frank, yang dikutip dalam booklet Channel Four tadi, “jika ternyata umur bintang-bintang lebih tua dari umur alam semesta, seperti yang disimpulkan dari pengukuran konstanta Hubble dan pengukuran densitasalam semesta, maka ada krisis yang besar. Anda hanya memiliki satu pilihan: Anda harus meninggalkan asumsi dasar yang Anda gunakan untuk mendasari model alam semesta. Dalam hal ini, Anda harus meninggalkan sebagian, mungkin semua, asumsi dasar yang mendasari teori Big Bang.”[8]
Tidak ada bukti empirik sama sekali untuk mendukung teori Big Bang. Kebanyakan karya yang ditulis untuk mendukungnya mengandung sifat yang murni teoritik, bersandar sepenuhnya pada rumus-rumus matematika yang abstrak dan esoterik. Kontradiksi yang segunung antara skema “Big Bang” dengan bukti-bukti yang teramati telah ditutupi dengan terus membuat asumsi baru untuk mempertahankan, dengan segala cara, sebuah teori yang telah menjadi sandaran reputasi akademik demikian banyak orang.
Menurut teori ini, tidak boleh ada sesuatu pun di alam semesta ini yang lebih tua usianya dari 15 miliar tahun. Tapi telah terdapat bukti yang bertentangan dengan ramalan ini. Di tahun 1986, Brent Tully dari Universitas Hawaii menemukan sekumpulan galaksi yang maha besar (“supercluster”) sekitar semiliar tahun cahaya panjangnya, tiga ratus juta tahun cahaya lebarnya dan seratus juta tahun cahaya tebalnya. Untuk membentuk objek sebesar itu, diperkirakan dibutuhkan waktu antara delapan puluh sampai seratus miliar tahun, empat atau lima kali lebih lama dari apa yang diizinkan oleh para pendukung Big Bang. Sejak penemuan itu, telah terdapat banyak lagi bukti lain yang cenderung membenarkan pengamatan ini.
The New Scientist (edisi 5 Februari 1994) memuat sebuah laporan mengenai penemuan sebuah kluster galaksi oleh Charles Steidel dari Massachusetts Institute of Technology dan Donald Hamilton dari California Institute of Technology di Pasadena; penemuan yang mengandung implikasi besar terhadap teori Big Bang:
“Penemuan cluster semacam ini adalah masalah bagi teori materi-gelap dingin, yang menganggap bahwa sebagian besar massa di alam semesta ini terdiri dari materi yang gelap dan dingin seperti planet atau lubang hitam. Teori itu memprediksikan bahwa materi di masa-masa awal alam semesta ini mulai berkumpul “dari bawah ke atas”, jadi galaksi-galaksi terbentuk dahulu, baru kemudian membentuk cluster.”
Seperti biasa, reaksi para astronom adalah dengan “memindahkan tiang gawang”, mengubah teori untuk mengatasi fakta-fakta yang mengganggu. Mauro Giavalisco dari Baltimore Space Telescope Science Institute “percaya bahwa masih mungkin menjelaskan fakta bahwa kluster terbentuk lebih dahulu pada red shift 3,4 dengan mengatur kembali teori materi-gelap dingin. Tapi ia kemudian menambahkan satu peringatan, ‘Jika Anda menemukan sepuluh kluster dengan red shift 3,5 maka teori materi-gelap dingin akan mati.’“
Kita boleh memastikan bahwa bukan hanya sepuluh tapi sejumlah besar kluster semacam ini benar-benar ada dan akan ditemukan kelak. Dan ini, pada gilirannya, hanya akan merupakan bagian yang teramat kecil dari seluruh materi yang terbentang jauh di luar alam semesta yang teramati, materi yang terentang tanpa batas. Semua upaya untuk memberi batasan pada dunia materi pasti akan menemui kegagalan. Materi tidak berbatas, baik dalam tingkat sub-atomik, juga dalam ruang dan waktu.
Big Crunch dan Superbrain
“Dies irae, dies illa
Solvet saeclum in favilla.”
(Thomas dari Celano, Dies Irae)
(“Hari itu, hari pembalasan,
jadi debu alam semesta akan dihancurkan.”
– doa pemakaman dari Gereja abad pertengahan)
Seperti kegagalan mereka untuk bersepakat mengenai asal-usul alam semesta, demikian pula mereka gagal bersepakat mengenai bagaimana alam semesta seharusnya berakhir – kecuali kesepakatan mereka bahwa alam semesta ini akan berakhir dalam kehancuran! Menurut salah satu aliran pemikiran, alam semesta yang berkembang ini akhirnya akan dihentikan oleh kekuatan gravitasi, kala mana seluruh alam semesta ini akan runtuh ke dalam, yang akan berakhir dalam sebuah “Remukan Besar” (Big Crunch), di mana kita akan berakhir tepat di mana kita mulai, dalam sebuah telur kosmis. Tidak demikian! ujar penganut Big Bang lainnya. Gravitasi tidak akan cukup kuat untuk melakukan hal ini. Alam Semesta ini akan berkembang semakin lama semakin besar, tak terhenti, semakin lama semakin tipis densitasnya, dan akhirnya mencair menjadi kehampaan yang hitam pekat.
Beberapa dasawarsa lalu, Ted Grant, dengan menggunakan metode materialisme dialektik, menunjukkan kegamangan baik dari teori Big Bang tentang asal-usul alam semesta, maupun teori steady state yang dikemukakan oleh Fred Hoyle dan H. Bundi. Selanjutnya, teori steady state, yang didasarkan pada penciptaan materi (dari ketiadaan) secara terus-menerus, telah terbukti keliru. Teori Big Bang menang “secara otomatis”, karena pilihannya cuma dua, dan masih terus dipertahankan oleh mayoritas ilmuwan. Dari sudut pandang Materialisme yang Dialektik, pembicaraan tentang “awal waktu” atau “penciptaan materi” merupakan satu hal yang tidak masuk nalar. Waktu, ruang dan gerak adalah mode eksistensi dari materi, yang tidak dapat diciptakan maupun dihancurkan. Alam Semesta ini telah hadir sepanjang jaman, sebagai materi dan (dalam bentuk lainnya) energi yang terus-menerus berubah, bergerak, ber-evolusi. Semua upaya untuk menemukan “awal” atau “akhir” dari alam semesta material ini niscaya akan gagal. Tapi bagaimana kita akan menjelaskan kemunduran ke pandangan Abad Pertengahan mengenai takdir alam semesta ini?
Walaupun sia-sia jika kita mencari hubungan langsung antara proses yang bekerja dalam masyarakat, politik dan ekonomi, terhadap proses perkembangan sains (hubungannya tidaklah bersifat otomatis atau langsung, tapi jauh lebih halus), tetap saja sulit bagi kita untuk menolak kesimpulan bahwa pandangan yang pesimistis dari beberapa ilmuwan tentang nasib alam semesta ini bukanlah kebetulan belaka, melainkan memiliki hubungan dengan perasaan umum bahwa sistem masyarakat yang sekarang telah mencapai jalan buntu. Kiamat sudah dekat. Ini bukan sebuah fenomena yang baru. Pandangan yang penuh dengan prediksi suram seperti ini hadir juga dalam masa-masa menjelang runtuhnya Kekaisaran Romawi dan menjelang akhir Abad Pertengahan. Pada kedua kasus ini, ide bahwa dunia ini sedang menuju akhirnya ternyata mencerminkan fakta bahwa sistem tertentu dalam masyarakat telah kelelahan dan hampir punah. Apa yang benar-benar terjadi bukanlah kiamat tapi keruntuhan masyarakat perbudakan dan feodalisme.
Ambillah kutipan berikut, dari The First Three Minutes, karya pemenang Hadiah Nobel Steven Winberg:
“Kita manusia hampir-hampir tidak dapat menahan godaan untuk percaya bahwa kita memiliki sejenis hubungan khusus dengan alam semesta, bahwa kehidupan manusia bukanlah sekedar produk dari serangkaian kebetulan yang terjadi sejak tiga menit yang pertama, tapi bahwa keberadaan kita memang diniatkan sejak awal. Sementara saya menulis ini saya kebetulan berada di sebuah pesawat 30.000 kaki di atas bumi, terbang di atas Wyoming dalam perjalanan pulang dari San Francisco melewati Boston. Di bawah, bumi terlihat sangat lembut dan nyaman – awan selembut kapas di sana-sini, salju yang berubah kedaduan ditimpa sinar surya yang sedang tenggelam, jalan raya yang membentang melintas negeri dari satu kota ke kota lain. sangat sulit untuk menyadari bahwa ini hanyalah bagian yang teramat kecil dari sebuah alam semesta yang teramat ganas. Lebih sulit lagi untuk menyadari bahwa alam semesta yang sekarang ini ada telah ber-evolusi dari satu kondisi awal yang sangat tidak kita kenal, dan di masa depan akan menuju kiamat berupa kebekuan tanpa ujung atau panas yang tak tertanggungkan. Semakin alam semesta ini terasa dapat dipahami, semakin tidak bermakna jadinya alam semesta itu.”[9]
Kita telah melihat bagaimana teori Big Bang membuka pintu bagi agama dan segala macam ide mistis. Pengaburan batasan antara sains dan agama ini sama dengan kembali ke masa 400 tahun lalu. Ini adalah cerminan dari mood masyarakat hari ini yang irasional. Mood semacam ini niscaya membawa kita pada kesimpulan-kesimpulan yang seluruhnya reaksioner. Mari kita angkat satu masalah saja: “Apakah proton meluruh?” Seperti yang telah kami perlihatkan, ini adalah salah satu prediksi dari salah satu cabang fisika partikel yang dikenal sebagai GUT. Segala macam eksperimen canggih telah dilakukan untuk menguji persoalan ini. Semuanya berakhir dalam kegagalan total. Namun demikian, mereka tetap saja ngotot untuk mengajukan ide itu.
Di sini kami sajikan satu contoh literatur yang diterbitkan oleh para penganjur teori Remukan Besar:
“Di saat terakhir, gravitasi menjadi kekuatan yang mutlak dominan, tanpa ampun meremukkan materi dan ruang. Lengkung ruang-waktu meningkat semakin cepat. Semakin besar wilayah ruang yang dipadatkan menjadi volume yang semakin lama semakin kecil. Menurut teori konvensional, pengerutan ini akan menjadi mahakuat, meremukkan semua keberadaan materi dan menghapuskan segala benda fisik, termasuk ruang dan waktu itu sendiri, pada sebuah titik singularitas ruang-waktu.”
Inilah akhir segalanya.
“’Remukan Besar’, sejauh kami pahami, bukanlah sekedar akhir dari materi. Ia adalah akhir dari segalanya. Karena waktu sendiri berhenti berputar pada titik Remukan Besar, pertanyaan tentang apa yang terjadi sesudahnya tidak akan memiliki makna sama sekali, sama tidak bermaknanya dengan pertanyaan tentang apa yang terjadi sebelum Big Bang. Tidak ada kejadian apapun ‘setelah itu’ –bahkan tidak ada waktu untuk kesenggangan, atau ruang untuk kekosongan. Sebuahalam semesta yang datang dari ketiadaan pada saat Big Bang akan kembali pada ketiadaan pada saat Remukan Besar, di manamasa hidupnya selama beberapa ziliun tahun yang gemilang itu akan lenyap bahkan dari ingatan.”
Pertanyaan yang tanpa sadar kemudian muncul dari rasa humor klasik kita: “Apakah kita perlu khawatir akan prospek semacam itu?” Paul Davies bertanya, barangkali dia mengharapkan satu jawaban yang serius! Ia lalu mencoba menghibur kita dengan berspekulasi tentang berbagai cara di mana umat manusia dapat meloloskan diri dari kehancuran itu. Dalam sekejap kita telah sampai pada dunia antah-berantah yang terletak di antara agama dan fiksi ilmiah.
“Kita mungkin berpikir apakah jika ada satu makhluk super yang menghuni alam semesta yang sedang runtuh itu, pada saat sekaratnya, akan dapat memiliki pemikiran dan pengalaman yang jumlahnya tak berhingga, yang dikumpulkan dalam keberadaannya selama waktu terbatas yang tersedia baginya.”
Jadi, sebelum tiga menit terakhir habis, umat manusia menanggalkan jasad material kasarnya dan menjadi jiwa murni, yang sanggup mengatasi kiamat dengan mengubah dirinya menjadi sebuah Superbrain.
“Suatu Superbrain [Otak-Super] haruslah dapat berpikir dengan sangat cepat dan memindahkan komunikasi dari arah yang satu ke arah yang lain sejalan dengan semakin cepatnya keruntuhan yang disebabkan oleh osilasi ke arah yang satu atau ke arah yang lain. Jika makhluk itu dapat mencapai kecepatan yang cukup, osilasi itu sendiri akan menyediakan energi yang diperlukan untuk mendorong proses berpikir. Lebih jauh lagi, dalam satu model matematika yang sederhana, kelihatannya ada satu jumlah pergetaran yang infinit di dalam waktu finit yang akan berpuncak pada Remukan Besar. Hal ini menyediakan basis bagi pengolahan informasi yang jumlahnya infinit, maka, dengan hipotesa, ada waktu subjektif yang infinit bagi superbeing itu. Maka, dunia mental tidak akan pernah berakhir, sekalipun dunia fisik telah sampai pada penghentian mendadak pada titik Remukan Besar.”[10]
Kita benar-benar membutuhkan sebuah Otak-Super sekarang untuk dapat memahami apa maksud semua ini! Mungkin akan lebih enak kalau kita berpikir bahwa sang penulis kalimat-kalimat di atas sedang bercanda. Sayangnya, kita telah melihat terlalu banyak kutipan semacam itu sehingga kita tidak dapat menganggapnya sedang bercanda. Jika Remukan Besar menandai “akhir dari segalanya”, bagaimana dengan Otak-Super itu? Hanya seorang idealis saja yang dapat membayangkan adanya otak tanpa tubuh. Tentu saja, kita di sini berhadapan bukan dengan sebuah otak yang biasa saja, tapi sebuah otak super. Tapi, walau demikian, kita dapat mengasumsikan bahwa ia akan menggunakan sejenis urat syaraf dan sistem syaraf untuk berfungsi; sistem semacam itu tentu saja akan membutuhkan sejenis jasad, dan sebuah jasad (bahkan sebuah Superbody) membutuhkan sumber energi tertentu, khususnya karena otak dikenal sangat rakus, dan menyerap sebagian besar dari kalori total yang dikonsumsi bahkan oleh makhluk fana. Sebuah Otak-Super akan secara logis memiliki selera makan super! Sedihnya, karena Remukan Besar adalah akhir dari segalanya, Otak-Super kita yang malang itu niscaya akan berada dalam keadaan di mana ia akan diharuskan melakukan diet yang ketat sepanjang segala abad. Kita hanya dapat berharap bahwa, karena ia demikian cerdiknya, ia akan dapat mencuri kesempatan untuk menimbun makanan sebelum tiga menit terakhir itu habis. Dengan pemikiran yang menghibur hati ini, kita dapat meninggalkan kawan kita si Otak-Super itu untuk kembali kepada realitas.
Tidakkah mengejutkan bahwa, setelah dua ribu tahun kemajuan kebudayaan dan ilmu pengetahuan manusia, kita menemukan diri kita kembali ke jamanBuku Wahyu? Engels telah memperingatkan seratus tahun lalu bahwa, dengan meninggalkan filsafat, para ilmuwan niscaya akan berakhir pada “dunia spiritual”. Sayangnya, ramalan Engels ini terbukti terlalu akurat.
Satu “Alam Semesta Plasma”?
Model standar tentang alam semesta ini telah membawa kita pada kebuntuan sains, filsafat dan moral. Teori itu sendiri telah compang-camping. Tapi ia masih dapat berdiri tegak, sekalipun dengan susah-payah, hanya karena kita tidak memiliki pilihan lain. Walau demikian, ada sesuatu yang sedang bergolak di dunia sains. Ide-ide baru sedang mewujud, ide-ide yang bukan hanya menolak Big Bang, tapi juga berangkat dari ide tentang alam semesta yang tidak berbatas dan terus-menerus berubah. Masih terlalu dini untuk mengatakan yang mana dari teori-teori ini yang akan terbukti. Salah satu hipotesis yang sangat menarik, yang dikenal sebagai “alam semesta plasma”, telah dikemukakan oleh fisikawan pemenang Hadiah Nobel dari Swedia, Hannes Alfén. Walaupun kami tidak dapat menjelaskan panjang lebar mengenai teorinya di sini, kami rasa sangat penting untuk mengemukakan beberapa ide pokok yang dikemukakan Alfén.
Alfén bergerak dari penyelidikan atas plasma di laboratorium ke telaah tentang bagaimana alam semesta ini ber-evolusi. Plasma terdiri dari gas-gas yang panas dan konduktif terhadap listrik. Sekarang ini diketahui bahwa 99% dari materi yang ada di alam semesta terdiri dari plasma. Sementara di dalam gas-gas normal, elektron diikat pada atom dan tidak dapat bergerak dengan leluasa, dalam plasma, elektron-elektron dilucuti dari atom oleh panas yang demikian tinggi, memberi mereka kesempatan untuk bergerak bebas. Para kosmolog plasma menggambarkan sebuah alam semesta yang “direncah oleh medan magnet maha kuat dan arus listrik maha besar, yang diatur oleh persinggungan kosmis antara elektromagnetisme dan gravitasi.”[11] Di tahun 1970-an, pesawat ruang angkasa Pioneer dan Voyager mendeteksi kehadiran arus listrik dan medan magnet yang terisi dengan benang-benang plasma di sekitar Yupiter, Saturnus dan Uranus.
Para ilmuwan seperti Alfén, Anthony Peratt dan lain-lain, telah mengembangkan sebuah model alam semesta yang dinamik dan tidak statis, dan yang tidak membutuhkan satu awalan. Fenomena ekspansi Hubble membutuhkan satu penjelasan. Tapi teori Big Bang tidak harus menjadi penjelasan yang paling tepat untuk itu. Sebuah Big Bang niscaya akan menghasilkan sebuah ekspansi, tapi sebuah ekspansi tidak harus memerlukan sebuah Big Bang. Seperti yang diungkapkan Alfén: “Ini seperti mengatakan bahwa karena semua anjing adalah binatang, maka semua binatang adalah anjing.” Masalahnya bukan terletak pada ide tentang ledakan, yang pada satu titik melahirkan ekspansi pada satu bidang alam semesta. Tidak ada yang mustahil secara intrinsik dalam hal ini. Masalahnya terletak pada ide bahwa semua materi di alam semesta ini pernah terkonsentrasi pada satu titik tunggal, dan bahwa alam semesta dan waktu itu sendiri dilahirkan pada satu saat tertentu yang disebut Big Bang.
Model alternatif yang diajukan oleh Hannes Alfén dan Oskar Klein menerima bahwa mungkin memang ada sebuah ledakan, yang disebabkan oleh penggabungan sejumlah besar materi dan anti-materi pada satu sudut dari alam semesta teramati ini, yang menghasilkan kualitas raksasa dari elektron dan positron yang energik. Karena terjebak dalam medan magnet, partikel-partikel ini mendorong plasma untuk saling menjauh selama ratusan juta tahun. “Ledakan dalam epos ini, sekitar 10-20 miliar tahun lalu, mendorong plasma yang kemudian terkondensasi menjadi galaksi-galaksi itu mengembang ke luar – dalam ekspansi Hubble. Tapi ini sama sekali bukan Big Bang yang menciptakan materi, ruang dan waktu. Ia adalah sekedar ledakan besar biasa, satu ledakan di satu sudut alam semesta. Alfén adalahorang yang pertama mengakui bahwa penjelasan ini bukanlah satu-satunya penjelasan yang mungkin. ‘Poin pentingnya adalah,’ tegasnya, ‘bahwa ada alternatif untuk teori Big Bang.’“
Pada waktu di mana hampir semua ilmuwan percaya bahwa ruang adalah kehampaan mutlak, Alfén menunjukkan bahwa tidak demikian halnya. Alfén menunjukkan bahwa seluruh alam semesta ini dipenuhi oleh aliran plasma dan medan magnet. Alfén melakukan penelitian pelopor dalam bidangbintik matahari (sunspots) dan medan magnet. Belakangan, Alfén membuktikan di laboratorium bahwa ketika sebuah aliran listrik mengalir melalui plasma, ia akan mengambil bentuk benang atau filamen untuk mengalir melalui garis-garis medan magnetik. Berangkat dari pengamatan ini, ia lalu menyimpulkan bahwa gejala yang sama terjadi pada plasma di angkasa. Ini adalah properti umum plasma di seluruh alam semesta. Maka, kita akan menemuialiran-aliran listrik maha besar yang mengalir melalui benang plasma alamiah, yang merencah seluruh alam semesta ini.
“Dengan membentuk struktur-strukturfilamen yang teramati pada skala terkecil dan terbesar, materi dan energi dapat dipadatkan dalam ruang. Tapi jelas bahwa energi dapat pula dipadatkan dalam waktu –alam semesta ini dipenuhi dengan berbagai pelepasan energi yang mendadak dan eksplosif. Satu contoh yang akrab dengan Alfén adalah ledakan matahari, satu pelepasan energi mendadak di permukaan matahari, yang menghasilkan arus partikel yang menghasilkan badai magnetik di bumi. Model gejala kosmologinya, yang disebut “generator”, menunjukkan bagaimana energi dapat dihasilkan secara bertahap, layaknya dalam pembangkit listrik yang bekerja normal, tapi bukan dalam ledakan-ledakan, seperti dalam ledakan matahari. Pemahaman terhadap pelepasan energi yang mendadak adalah kunci untuk pemahaman dinamika kosmos.”
Alfén telah membuktikan ketepatan dari Hipotesa Nebular Kant-Laplace. Kini, jika bintang-bintang dan planet-planet dapat dibentuk oleh aksi yang dilakukan oleh aliran-aliran benang plasma raksasa, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa tata surya tidak mungkin terbentuk dengan cara yang sama.
“Lagi-lagi, prosesnya sangat mirip, tapi kali ini jauh lebih besar: benang-benang plasma yang menyapu satu nebula proto-galaktik, menjepit plasma menjadi material penyusun matahari dan bintang-bintang lain. Sekali material itu benar-benar terjepit, gravitasi akan menarik beberapa di antaranya untuk menjadi satu, terutama debu dan partikel es yang bergerak lebih lambat, yang kemudian akan menjadi benih untuk tumbuhnya satu inti benda langit. Lebih jauh lagi, gerakan vorteks dari benang plasma akan menyediakan momentum angular bagi tiap aglomerasi kecil di dalam inti tersebut, menghasilkan himpunan arus listrik baru yang lebih kecil, yang membawa benang plasma dan satu siklus kompresi baru yang kemudian menghasilkan sebuah tata surya. (Di tahun 1989, hipotesis ini telah diterima luas, telah dibuktikan secara meyakinkan ketika para ilmuwan mengamati bahwa rotasi sumbu dari semua bintang dalam satu nebula tertentu tersusun sesuai dengan medan magnetik nebula tersebut – yang jelas menunjukkan pembentukan bintang yang dikendalikan oleh medan magnetik.)”
Walau demikian, teori Alfén masih terus ditolak oleh para kosmologis, karena ia tidak hanya menentang model standar, tapi juga mempertanyakan keberadaan lubang hitam, yang masih terus diributkan itu. Ia telah dengan tepat menjelaskan sinar-sinar kosmis, bukan sebagai fosil dari Big Bang, tapi sebagai produk dari percepatan elektromagnetik.
“Maka, dalam skenario Alfén dan Klein, hanya sebagian kecil alam semesta– yaitu yang dapat kita lihat – yang akan runtuh dan kemudian meledak. Bukannya datang dari sebuah titik singularitas, ledakan itu datang dari sebuah wilayah besar yang lebarnya ratusan juta tahun cahaya dan memerlukan ratusan juta tahun untuk berkembang – kita tidak lagi perlu ‘asal-usul alam semesta’.”[12]
Apakah teori ini kelak akan terbukti tepat, hanya waktu yang dapat menyatakannya. Hal yang penting adalah, seperti yang dikatakan Alfén sendiri, bahwa hipotesis alternatif terhadap Big Bang adalah satu hal yang mungkin. Apapun yang terjadi, kami yakin bahwa model alam semesta yang akhirnya akan dikonfirmasi oleh sains tidak akan ada kemiripannya dengan model alam semesta tertutup yang dimulai oleh Big Bang dan diakhiri oleh Remukan Besar. Penemuan teleskop di tahun 1609 adalah titik balik yang menentukan dalam sejarah astronomi. Sejak itu, cakrawala alam semesta ini telah didorong semakin hari semakin jauh. Kini, teleskop radio yang kuat telah menjelajah semakin jauh ke angkasa. Sepanjang waktu objek-objek baru terus ditemukan, semakin besar dan semakin jauh, tanpa kemungkinan batas akhir. Walau demikian, obsesi manusia akan keterbatasan telah menghasilkan desakan yang kuat untuk menempatkan satu “batasan terakhir” pada segala sesuatu. Kita melihat fenomena ini terulang berkali-kali dalam sejarah astronomi.
Adalah satu hal yang ironis, di kala teknologi memungkinkan kita untuk menembus semakin dalam angkasa ini, kita menyaksikan satu kemunduran psikologis ke dunia Abad Pertengahan di mana alam semesta ini dianggap terbatas luasnya, yang dimulai dengan Penciptaan dan berakhir dalam kehancuran ruang, waktu dan materi. Sebuah garis tak terseberangi telah ditarik pada titik ini,di mana umat manusia tidak diperkenankan melintasinya, karena “kita tidak dapat memahami” apa yang ada di luar sana. Ini sama dengan peta dunia yang dulu digambar di Abad Pertengahan, ketika bumi masih dianggap datar,di manapinggiran akhir bumi ditandai dengan peringatan keras, “Di sini tinggal monster-monster!”
Einstein dan Big Bang
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, sebuah prasangka telah tertanam dalam-dalam, prasangka yang menyatakan bahwa ilmu-ilmu “murni”, terutama fisika, adalah hasil dari pemikiran abstrak dan kesimpulan matematika belaka. Seperti yang diungkapkan oleh Eric Lerner, Einstein turut pula bertanggung jawab untuk kecenderungan ini. Tidak seperti teori-teori terdahulu, seperti hukum elektromagnetisme Maxwell atau hukum gravitasi Newton, yang sepenuhnya berdasarkan eksperimen, dan yang segera terkonfirmasi oleh ratusan ribu pengamatan yang terpisah, teori-teori Einstein pada awalnya hanya dibenarkan oleh dua pengamatan – pembelokan cahaya bintang oleh medan gravitasi matahari dan penyimpangan kecil dalam orbit Merkurius.
Fakta bahwa teori relativitas kemudian dibuktikan ketepatannya telah mendorong orang lain, yang mungkin tidak dapat menandingi tingkat kejeniusan Einstein, untuk menganggap bahwa cara Einstein adalah cara yang benar. Mengapa perlu repot-repot mengadakan eksperimen yang makan waktu dan mengadakan pengamatan yang membosankan? Sungguh, mengapa pula perlu bergantung pada kesaksian dari indera kita, sementara kita dapat langsung mencari kebenaran melalui metode deduksi murni?
Semakin hari kita semakin melihat kecenderungan ke pendekatan teoritik yang murni abstrak terhadap kosmologi, yang bersandar hampir sepenuhnya pada perhitungan matematika dan teori relativitas. “Jumlah artikel-artikel kosmologi yang diterbitkan tiap tahun melejit dari lima puluh di tahun 1965 menjadi lebih dari 500 di tahun 1980, walau pertumbuhan ini semata adalah pertumbuhan dari karya-karya teoritik: sampai tahun 1980, kira-kira 95 persen dari artikel ini didedikasikan untuk berbagai model matematika, seperti ‘alam semesta Bianchi type XI’. Sampai 1970-an, keyakinan para kosmolog demikian tingginya sehingga mereka merasa sanggup menggambarkan dengan terperinci apa yang terjadi pada masa seperseratus detik pertama usia alam semesta ini, beberapa miliar tahun yang lalu. Teori semakin mengambil watak mitos – pengetahuan yang mutlak dan pasti tentang kejadian-kejadian di masa yang telah lama silam, tapi dengan pemahaman yang semakin kabur tentang bagaimana kejadian-kejadian itu dapat menentukan bentuk alam semesta yang kita kenal saat ini, dan semakin teguhnya orang menolak hasil-hasil pengamatan.”
Titik lemah dari alam semesta Einstein yang statis dan tertutup itu adalah bahwa ia niscaya akan runtuh ke dalam dirinya sendiri karena kekuatan gravitasi. Untuk mengatasi masalah ini, ia mengajukan satu hipotesis tentang “konstanta kosmologi”, satu kekuatan penolak yang akan melawan kekuatan gravitasi, dengan demikian mencegah alam semesta runtuh ke dalam. Selama beberapa waktu ide tentang alam semesta yang statis, yang terentang selamanya dalam ekuilibrium, oleh kekuatan kembar gravitasi dan “konstanta kosmologi” mendapatkan dukungan – setidaknya dari segelintir ilmuwan yang mengklaim bahwa mereka memahami teori Einstein yang sangat abstrak dan rumit itu.
Di tahun 1970, dalam sebuah artikel di jurnalScience, Gerard de Vaucouleur menunjukkan bahwa, sejalan dengan semakin besarnya benda-benda di alam semesta, densitas mereka semakin kecil. Sebuah objek yang sepuluh kali lebih besar, misalnya, densitas akan turun 100 kali lipat. Ini adalah satu hal yang memiliki akibat serius pada upaya-upaya untuk menetapkan densitas rata-rata alam semesta, hal yang perlu untuk menetapkan apakah memang ada cukup gravitasi untuk menghentikan Ekspansi Hubble. Jika densitas rata-rata jatuh berbanding lurus peningkatan ukuran, mustahillah menetapkan densitas rata-rata alam semesta secara keseluruhan. Jika De Vaucouleur benar, densitasalam semesta akan jauh lebih kecil daripada perhitungan selama ini, dan nilai omega dapat menjadi 0,0002. Dalam sebuah alam semesta yang memiliki materi demikian sedikitnya, efek gravitasi akan menjadi demikian lemah sehingga perbedaan antara relativitas umum dan gravitasi Newton akan menjadi demikian tidak penting, dan dengan demikian, “untuk semua keperluan praktis, relativitas umum, landasan bagi semua kosmologi konvensional, dapat diabaikan!” Lerner melanjutkan: “Penemuan Vaucouleur menunjukkan bahwa tidak ada tempat di alam semesta ini – kecuali mungkin di dekat beberapa bintang neutron yang ultra-padat – di mana relativitas umum dapat menjadi lebih dari sekedar koreksi kecil.”[13]
Sangat sulit untuk memahami“apa yang sesungguhnya dimaksudkan”oleh Einstein. Ada sebuah cerita: ketika beberapa jurnalis bertanya pada ilmuwan Inggris, Eddington, orang kedua setelah Einstein yang dianggap paham tentang relativitas, apakah memang benar bahwa hanya tiga orang di dunia ini yang memahami relativitas, ia menjawab, “Oh, benarkah? Dan siapa orang ketiga itu?” Namun demikian, ahli matematika Rusia Alexander Friedmann di awal 1920-an menunjukkan bahwa model alam semesta Einstein hanyalah salah satu dari sekian banyak, mungkin tak berhingga, model kosmologis yang dimungkinkan oleh teorinya, beberapa mengerut, yang lain mengembang, tergantung dari nilai konstanta kosmologis, dan “kondisi awal”alam semesta itu. Ini adalah hasil yang murni matematika, yang diturunkan dari persamaan Einstein. Makna penting dari karya Friedmann adalah bahwa ia mempertanyakan ide tentang alam semesta yang statis dan tertutup, dan menunjukkan bahwa model-model lainnya juga dimungkinkan.
Bintang Neutron
Bertentangan dengan ide jaman Kuno bahwa bintang-bintang bersifat abadi dan tidak dapat berubah, astronomi modern telah menunjukkan bahwa bintang-bintang dan benda-benda langit lain memiliki sejarah, kelahiran, kehidupan dan kematian – berukuran raksasa, dengan kepadatan rendah dan berwarna merah di masa muda; biru, panas dan gemilang di usia pertengahan; mengerut, kepadatan tinggi dan kembali berwarna merah di masa tuanya. Sejumlah besar informasi telah dikumpulkan dari pengamatan-pengamatan astronomi yang menggunakan teleskop yang luar biasa kuat. Di Harvard saja, seperempat juta bintang telah disusun dalam empat puluh kelas sebelum Perang Dunia II melalui karya Annie J. Cannon. Kini jauh lebih banyak lagi yang telah diketahui sebagai hasil dari penggunaan teleskop radio dan penjelajahan antariksa.
Astronom Inggris, Fred Hoyle, telah melakukan penyelidikan yang rinci tentang kehidupan dan kematian bintang-bintang. Bintang-bintang dihidupi oleh proses fusi hidrogen menjadi helium di intinya. Sebuah bintang pada tahap awalnya hanya berubah sedikit saja dalam ukuran maupun suhunya. Inilah matahari kita yang sekarang. Namun, cepat atau lambat, hidrogen yang dikonsumsi di inti bintang ini berubah menjadi helium. Helium ini terakumulasi di dalam inti sampai ketika ia mencapai ukuran tertentu, kuantitas lantas berubah menjadi kualitas. Sebuah perubahan yang dramatis terjadi, yang menyebabkan perubahan mendadak dalam ukuran dan suhu. Bintang itu akan mengembang ke ukuran raksasa, sementara permukaannya kehilangan panas. Ia menjadi bintang raksasa merah (red giant).
Menurut teori ini, inti helium berkontraksi, meningkatkan suhu pada titik di mana inti helium akan berfusi untuk membentuk karbon, sambil melepaskan energi baru. Sementara terus bertambah panas, kontraksi ini berlangsung lebih jauh. Pada tahap ini, masa hidup bintang semakin pendek, karena energi yang dihasilkan oleh fusi helium jauh lebih kecil daripada yang dihasilkan oleh fusi hidrogen. Pada titik tertentu, energi yang dibutuhkan untuk menjaga ekspansi bintang dari tarikan gaya gravitasinya sendiri mulai tidak tercukupi lagi. Bintang itu akan berkontraksi dengan cepat, runtuh ke dalam dirinya sendiri dan menjadi bintang kerdil putih (white dwarf), yang dilingkupi oleh lingkaran awan gas, sisa dari lapisan luar yang dihembus keluar oleh panasnya kontraksi. Ini adalah basis dari nebula planeter. Bintang-bintang dapat tinggal dalam keadaan ini dalam waktu yang sangat lama, mendingin perlahan-lahan, sampai ia tidak lagi memiliki panas yang cukup untuk bersinar. Mereka akhirnya mati dan menjadi bintang kerdil hitam (black dwarf).
Akan tetapi, proses ini akan terlihat begitu damai dan tenang kalau dibandingkan dengan skenario yang dijabarkan Hoyle untuk bintang-bintang yang lebih besar. Ketika sebuah bintang besar mencapai tahap akhir perkembangannya, di mana suhu internalnya mencapai 3-4 juta derajat, besi mulai terbentuk pada intinya. Pada tahap tertentu, suhunya mencapai sebuah titik di mana atom-atom besi dipecah menjadi helium. Pada titik ini, bintang itu runtuh ke dalam dirinya sendiri dalam waktu sekitar satu detik. Keruntuhan yang demikian dahsyat akan menimbulkan ledakan yang sangat dahsyat, yang melemparkan semua lapisan luarnya jauh-jauh dari inti bintang itu. Ledakan ini dikenal sebagai supernova, seperti yang mengejutkan para astronom Cina pada abad ke-11.
Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apa yang akan terjadi jika sebuah bintang besar terus runtuh ke dalam karena tekanan dari gravitasinya sendiri. Gaya gravitasi yang tak terkira besarnya akan memeras elektron ke dalam ruang yang telah ditempati oleh proton. Menurut hukum mekanika kuantum yang dikenal sebagai Prinsip Pengecualian Pauli, tidak ada dua elektron yang boleh menempati posisi energi yang sama dalam sebuah atom. Prinsip ini, yang bekerja dalam neutron, mencegah keruntuhan lebih lanjut. Pada tahap ini, bintang itu kini akan terdiri dari neutron, inilah asal-usul namanya. Bintang semacam itu memiliki radius yang amat kecil, mungkin hanya 10 kilometer, atau sekitar 1/700 dari radius bintang kerdil putih, dan dengan densitas lebih dari 100 juta kali lipat daripadanya, padahal kerapatan bintang kerdil putih sudah demikian tinggi. Satu kotak korek api yang diisi dengan material dari bintang neutron akan memiliki bobot seberat sebuah asteroid yang berdiameter satu mil.
Dengan konsentrasi massa yang demikian tinggi, tarikan gravitasi dari sebuah bintang neutron akan menyerap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Keberadaan bintang semacam ini telah diprediksikan secara teoritik oleh fisikawan Soviet, Lev Landau, dan kemudian ditelaah secara rinci oleh J. R. Oppenheimer dan kawan-kawan. Pada waktu itu diragukan apakah bintang semacam itu memang benar-benar ada. Namun, di tahun 1967, penemuan pulsar di dalam sisa-sisa supernova seperti Crab Nebula memunculkan teori bahwa pulsar sesungguhnya adalah bintang neutron. Tidak ada sesuatu pun di dalamnya yang tidak bersesuaian dengan prinsip-prinsip materialisme.
Pulsar adalah sebuah bintang yang berdenyut, yang memberikanledakanenergi yang cepat dengan interval yang reguler. Diperkirakan bahwa mungkin terdapat 100.000 pulsar di galaksi kita sendiri saja, ratusan di antaranya telah ditemukan. Sumber dari gelombang radio maha kuat ini diperkirakan datang dari bintang-bintang neutron. Menurut teori, ia semestinya memiliki medan magnetik maha dahsyat. Dalam cengkeraman medan gravitasi dari sebuah bintang neutron, elektron hanya akan dapat muncul dari kutub-kutub magnetnya, melepaskan energinya dalam bentuk gelombang radio dalam proses ini. Letupan-letupan singkat gelombang radio ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa bintang neutron harus berotasi. Di tahun 1969, ditemukan bahwa sebuah cahaya dari bintang pudar di Crab Nebula ternyata berkedip dengan teratur sejalan dengan denyutan gelombang mikronya. Ini adalah penampakan pertama sebuah bintang neutron. Lalu, di tahun 1982, sebuah pulsar yang bergerak cepat telah ditemukan, dengan denyutan 20 kali lebih cepat daripada apa yang ada di Crab Nebula – 642 kali per detik.Di tahun 1960-an, objek-objek baru telah ditemukan dengan teleskop radio: kuasar. Di akhir dekade 1960, ada 150 yang ditemukan – beberapa di antaranya diperkirakan sembilan juta tahun cahaya dari bumi, jika perhitungan redshift-nya benar. Supaya dapat terlihat dari jarak yang demikian jauh, bintang itu haruslah 30 sampai 100 kali lebih cemerlang dari sebuah galaksi yang normal. Namun mereka tetap nampak kecil. Hal ini benar-benar menimbulkan kesulitan, sehingga beberapa astronom menolak menerima bahwa mereka benar-benar berada sejauh itu dari bumi.
Penemuan kuasar memberi satu dorongan baru bagi teori Big Bang. Keberadaan bintang yang runtuh dengan medan gravitasi sekuat itu menghadirkan masalah yang tidak dapat dipecahkan melalui pengamatan langsung. Fakta ini membuka gerbang bagi banjir spekulasi, termasuk beberapa interpretasi paling aneh dari teori relativitas umum Einstein. Seperti yang ditunjukkan Eric Lerner:
“Glamor dari kuasar yang misterius dengan cepat menarik perhatian para peneliti muda kekalkulasi-kalkulasi yang rumit dari relativitas umum dan juga pada masalah-masalah kosmologi, terutama yang bersifat matematika. Setelah 1964 jumlah artikel yang diterbitkan dalam bidang kosmologi melompat jauh, tapi pertumbuhannya kebanyakan datang dari karya-karya teoritik – perhitungan matematika akan beberapa masalah dalam relativitas umum, yang sama sekali tidak mencoba menyesuaikan perhitungan mereka dengan hasil dari pengamatan. Di tahun 1964 saja, mungkin empat dari lima artikel tentang kosmologi bersifat teoritik, pada dekade sebelumnya hanya satu dari tiga.”[14]
Kita harus membedakan lubang hitam (black hole), yang keberadaannya datang dari interpretasi tertentu atas teori relativitas umum, dan bintang neutron, yang keberadaannya telah benar-benar diamati. Ide tentang lubang hitam telah menangkap imajinasi jutaan orang berkat tulisan Stephen Hawking. Namun keberadaan lubang hitam ini masih belum diterima secara umum, juga belum dibuktikan secara benar-benar meyakinkan.
Roger Penrose, dalam satu esai yang didasarkan pada kuliah di Radio BBC tahun 1973, menggambarkan teori lubang hitam sebagai berikut:
“Apa itu lubang hitam? Untuk keperluan astronomi, ia berperilaku seperti sebuah “benda” yang kecil berwarna hitam dengan tingkat densitas amat tinggi. Tapi ia bukan sebuah benda material dalam makna yang biasa. Ia tidak memiliki permukaan. Sebuah lubang hitam adalah wilayah ruang kosong (sekalipun yang terpuntir secara aneh) yang berlaku sebagai sebuah pusat tarikan gravitasi. Sebelumnya sebuah benda material pernah ada di sana. Tapi benda itu runtuh ke dalam di bawah tarikan gravitasinya sendiri. Semakin benda itu terpusat ke intinya, semakin kuat medan gravitasinya dan semakin kurang kemampuan benda itu untuk mencegah keruntuhannya lebih jauh. Pada satu tahap, ia melewati titik baliknya. Dan benda itu akan mencapai batasan “horizon-peristiwa mutlak” [absolute event horizon]-nya.
“Saya akan bicara lebih lanjut tentang hal ini nanti, tapi bagi keperluan kita yang sekarang, horizon-peristiwa mutlak inilah yang bertindak sebagai permukaan yang membatasi lubang hitam ini. Permukaan ini tidaklah material. Ia hanyalah satu garis demarkasi yang ditarik di ruang angkasa untuk memisahkan wilayah dalam dan luar. Wilayah dalam – tempat di mana benda itu telah runtuh – didefinisikan dengan fakta bahwa tidak ada materi, cahaya atau sinyal apapun yang dapat meloloskan diri daripadanya, sementara wilayah luar adalah di mana masih dimungkinkan lolosnya sinyal atau partikel materi ke dunia luar. Materi yang telah runtuh ke dalam lubang hitam telah jatuh demikian dalam sehingga mencapai densitas yang luar biasa, sehingga bahkan nampaknya dihancurkan keberadaannya setelah ia mencapai apa yang dikenal sebagai ‘singularitas ruang-waktu’ – satu tempat di mana hukum-hukum fisika, seperti yang dipahami kini, harus berhenti bekerja.”[15]
Stephen Hawking
Di tahun 1970, Stephen Hawking mengajukan ide bahwa energi yang mengisi sebuah lubang hitam kadangkala akan menciptakan sepasang partikel sub-atomik, yang salah satunya akan dapat meloloskan diri. Hal ini berarti bahwa sebuah lubang hitam dapat menguap, sekalipun ini akan membutuhkan waktu yang demikian lama sehingga tak akan terbayangkan. Pada akhirnya, menurut teori ini, ia akan meledak dan menghasilkan sejumlah besar sinar gamma. Teori Hawking telah menarik perhatian banyak orang. Buku best seller-nya, A Brief History of Time, From Big Bang to Black Holes, yang ditulis dengan apik itu, mungkin adalah buku yang paling menarik perhatian banyak orang akan teori-teori baru kosmologi. Gaya penulisannya yang gemilang membuat ide-ide yang rumit terlihat sederhana dan menarik. Ia adalah sebuah buku yang sangat menarik untuk dibaca, tapi demikian pula halnya dengan semua buku fiksi ilmiah. Sayangnya, kelihatannya telah menjadi kebiasaan bagi para penulis buku populer tentang kosmologi untuk membuat karyanya kedengaran semistis mungkin, dan mengajukan teori-teori yang paling tidak masuk nalar, mendasarkan diri pada sebanyak mungkin spekulasi dan sesedikit mungkin fakta. Model-model matematika telah hampir sepenuhnya menggantikanpengamatan. Filsafat sentral dari aliran pemikiran ini disimpulkan oleh slogan Stephen Hawking “kita tidak dapat benar-benar beradu argumen dengan teorema matematika.”
Hawking mengklaim bahwa dia dan Roger Penrose telah membuktikan (secara matematika) bahwa teori relativitas umum “mengimplikasikan bahwa alam semesta ini harus memiliki satu awal dan, mungkin, satu akhir.” Dasar bagi semua ini adalah bahwa teori relativitas umum dianggap mutlak benar. Namun, paradoksnya, pada titik Big Bang, teori relativitas tiba-tiba menjadi tidak relevan. Ia berhenti bekerja, seperti halnya semua hukum fisika lain juga berhenti bekerja, sehingga tidak ada sesuatu pun yang dapat kita katakan tentangnya. Tidak ada, kecuali spekulasi metafisik dari jenis yang paling buruk. Tapi kita akan kembali pada hal ini di belakang.
Menurut teori ini, waktu dan ruang tidak ada sebelum Big Bang, ketika semua materi di alam semesta ini katanya terpusat pada sebuah titik tunggal yang tidak berhingga kecilnya, yang dikenal oleh para ahli matematika sebagai singularitas. Hawking sendiri menunjukkan dimensi-dimensi yang terlibat dalam transaksi kosmologis yang mengesankan ini:
“Kita kini tahu bahwa galaksi kita hanyalah salah satu dari beberapa ratus ribu juta yang dapat dilihat menggunakan teleskop modern, tiap galaksi itu sendiri mengandung beberapa ratus ribu juta bintang…. Kita hidup dalam sebuah galaksi yang besarnya dari ujung ke ujung sekitar seratus ribu tahun cahaya dan berputar perlahan; bintang-bintang di lengan spiralnya mengorbit mengelilingi pusatnya sekitar sekali setiap beberapa ratus juta tahun. Bintang kita hanyalah bintang kuning biasa, yang berukuran sedang-sedang saja, dekat bagian dalam dari salah satu lengan spiralnya. Kita sungguh telah melangkah jauh sekali dari jaman Aristoteles dan Ptolomeus, ketika kita mengira bahwa bumi adalah pusat alam semesta!”[16]
Nyatanya, kuantitas materi yang demikian besar seperti yang disebutkan di atas sama sekali tidak memberi gambaran tentang jumlah materi di alam semesta. Galaksi-galaksi dan supercluster baru terus ditemukan sepanjang waktu, dan tidak ada akhir bagi proses ini. Kita telah berjalan jauh sekali dari jaman Aristoteles dalam beberapa aspek. Tapi, dalam aspek-aspek lainnya, kelihatannya kita justru mundur jauh sekali daripadanya. Aristoteles tidak mungkin membuat kesalahan dengan berbicara tentang masa sebelum waktu diciptakan, atau mengklaim bahwa seluruh alam semesta, nyatanya, diciptakan dari ketiadaan. Untuk menemukan gagasan seperti ini, kita harus mundur beberapa ribu tahun ke dunia Mitos Penciptaan Yahudi-Babilonia.
Setiap kali seseorang mencoba memprotes arak-arakan ini, ia segera akan dihadapkan dengan sang mahaguru Albert Einstein, sebagaimana seorang murid nakal dipanggil ke kantor kepala sekolah, dan diberi pelajaran keras mengenai perlunya menunjukkan rasa hormat pada teori relativitas umum, diberi tahu bahwa dia tak boleh beradu argumen dengan teorema matematika, dan dipulangkan dengan tidak hormat. Perbedaan utamanya adalah bahwa kebanyakan kepala sekolah masih hidup dan Einstein sudah mati, dan dengan demikian tidak dapat memberi komentar terhadap interpretasi semacam itu atas teorinya. Nyatanya, sia-sialah kita mencoba mencari dalam tulisan Einstein satu pun rujukan tentang Big Bang, lubang hitam, dan lain-lain sejenisnya. Einstein sendiri, sekalipun ia awalnya cenderung berfilsafat idealisme, secara tegas menentang mistisisme dalam sains. Ia menghabiskan dasawarsa terakhir hidupnya berjuang melawan pandangan-pandangan idealis subjektif dari Heisenberg dan Bohr dan, nyatanya, bergerak mendekat ke posisi materialis. Ia tentu akan ngeri melihat kesimpulan-kesimpulan mistik yang ditarik dari teorinya. Yang berikut ini adalah contoh yang baik:
“Semua solusi Friedmann memiliki fitur bahwa pada satu waktu di masa lalu (sekitar 10 sampai 20miliar tahun yang lalu) jarak antar galaksi haruslah nol. Pada saat itu, yang kita kenal sebagai Big Bang, densitasalam semesta dan lengkung ruang-waktu pastilah besar tak berhingga atau infinit. Karena matematika tidak dapat menangani angka-angka infinit, ini berarti bahwa teori relativitas umum (di mana solusi-solusi Friedmann didasarkan) meramalkan bahwa ada satu titik dalam alam semesta di mana teori itu sendiri runtuh. Titik semacam itu adalah apa yang disebut para ahli matematika sebagai singularitas. Nyatanya, semua teori kita tentang ilmu pengetahuan dirumuskan berdasarkan asumsi bahwa ruang-waktu adalah halus dan hampir-hampir datar, jadi mereka juga runtuh pada singularitas Big Bang, ketika lengkung ruang-waktu besar tak berhingga. Hal ini berarti bahwa sekalipun ada peristiwa yang terjadi sebelum Big Bang, kita tidak dapat menggunakannya untuk menentukan apa yang akan terjadi setelahnya, karena kemampuan prediksi kita akan runtuh pada saat Big Bang. Sejalan dengan itu, jika, seperti halnya demikian, kita hanya mengetahui apa yang telah terjadi setelah Big Bang, kita tidak akan dapat mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Sejauh menyangkut diri kita sendiri, kejadian-kejadian sebelum Big Bang tidak dapat memiliki konsekuensi apapun, sehingga mereka harus dibuang dari model kita dan kita dapat menyatakan bahwa waktu dimulai pada saat Big Bang.”
Kutipan seperti di atas sangat mengingatkan kita pada aksi akrobat intelektual dari Kaum Terpelajar Abad Pertengahan, yang berdebat mengenai berapa jumlah malaikat yang dapat berdansa di atas pentul sebuah jarum. Kita tidak bermaksud menghina. Jika kesahihan sebuah argumen hanya ditentukan oleh konsistensi internalnya, maka argumen Kaum Terpelajar Abad Pertengahan adalah sama sahihnya dengan argumen di atas. Mereka bukanlah orang-orang tolol, melainkan ahli-ahli logika dan matematika yang terampil, yang mendirikan konstruksi logika mereka dengan kerumitan dan kesempurnaan setara dengan yang mereka tunjukkan ketika membangun katedral-katedral. Yang perlu kita lakukan tinggal menerima premis-premis mereka, dan segalanya akan jatuh tepat di tempat yang seharusnya. Persoalannya terletak pada kesahihan dari premis awal mereka. Ini adalah masalah umum dengan semua matematika, dan kelemahan utamanya. Dan seluruh teori ini bersandar sepenuhnya pada matematika.
“Pada waktu yang kita sebut Big Bang…” Tapi jika tidak ada waktu, bagaimana mungkin kita menyebutnya sebagai “pada waktu itu”? Katanya waktu justru dimulai pada titik itu. Jadi, apa yang ada di sana sebelum adanya waktu? Pada waktu di mana tidak ada waktu! Jelaslah bahwa argumen itu mengkontradiksi dirinya sendiri. Waktu dan ruang adalah cara mengada materi. Jika tidak ada waktu, maupun ruang, maupun materi, apa yang ada di sana? Energi? Tapi energi, seperti penjelasan Einstein, juga hanyalah satu perwujudan materi. Sebuah medan-gaya? Tapi medan-gaya adalah juga energi, jadi kesulitan itu tetap ada di sana. Satu-satunya cara untuk menghilangkan waktu, adalah jika sebelum Big Bang– tidak ada segala sesuatu pun.
Masalahnya adalah: bagaimana menciptakan sesuatu dari ketiadaan? Jika kita berpikir religius, tidak ada masalah di sini; Tuhan menciptakan alam semesta dari ketiadaan. Inilah doktrin dari Gereja Katolik, doktrin tentang Penciptaan ex nihilo. Hawking merasa tidak nyaman dengan fakta ini, seperti yang dikemukakan olehnya pada baris-baris berikut:
“Banyak orang tidak menyukai ide bahwa waktu memiliki satu awal, boleh jadi karena hal itu berbau campur tangan ilahi. (Gereja Katolik, di pihak lain, telah menerima model Big Bang dan di tahun 1951 dengan resmi mengumumkannya sebagai sesuai dengan Injil.)”
Hawking sendiri tidak ingin menerima kesimpulan ini. Tapi ini tak terelakkan. Seluruh kerumitan ini muncul dari konsepsi filsafat yang tidak tepat tentang waktu. Einstein harus turut bertanggung jawab akan hal ini, karena ia nampaknya memasukkan unsur subjektif dengan mengaburkan pengukuran waktu dengan waktu itu sendiri. Di sini lagi-lagi kita melihat bagaimana reaksi terhadap fisika mekanik Newton telah dibawa sampai satu titik ekstrem. Persoalannya bukanlah apakah waktu itu “relatif” atau “mutlak”. Persoalan sentral yang harus dibahas adalah apakah waktu itu subjektif atau objektif; apakah waktu merupakan mode eksistensi dari materi atau hanya sekedar sebuah konsep yang sepenuhnya subjektif dan hanya hadir dalam pikiran dan ditentukan oleh pengamatnya. Hawking jelas menerima pandangan subjektif tentang waktu, ketika ia menulis:
“Hukum gerak Newton telah mengakhiri ide tentang posisi absolut dalam ruang. Teori relativitas menyingkirkan keabsolutan waktu. Bayangkan sepasang anak kembar. Jika salah satu dari mereka tinggal di puncak gunung sementara yang lain tinggal di tepi pantai. Yang pertama akan menua lebih cepat dari yang pertama, perbedaan umurnya akan sangat kecil, tapi perbedaan itu akan menjadi jauh lebih besar jika salah satu dari mereka bepergian jauh dalam sebuah pesawat angkasa dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Ketika ia kembali, ia akan menjadi jauh lebih muda daripada yang satunya, yang tinggal di bumi. Ini dikenal sebagai paradoks kembar, tapi ia hanya akan menjadi paradoks ketika seseorang memiliki ide tentang waktu absolut di pikirannya. Dalam teori relativitas tidak ada pengukuran yang unik dan mutlak atas waktu yang tergantung pada di mana sang pengamat berada dan berapa cepat ia bergerak.”[17]
Bahwa terdapat unsur subjektif dalam pengukuran waktu, itu tidak dapat diperdebatkan lagi. Kita mengukur waktu menurut satu kerangka rujukan tertentu, yang dapat, dan pasti, berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Waktu di London berbeda dengan waktu di Sydney atau New York. Tapi ini tidak berarti bahwa waktu adalah sepenuhnya subjektif. Proses objektif di alam semesta berlangsung dan tidak tergantung dari apakah kita dapat mengukurnya atau tidak. Waktu, ruang, dan gerak adalah objektif bagi materi, tidak memiliki awal maupun akhir.
Inilah catatan menarik dari Engels mengenai hal itu:
“Mari kita lanjutkan. Jadi waktu memiliki awal. Apa yang terjadi sebelum awal ini? Alam semesta, yang waktu itu berada dalam keadaan yang tetap dan tidak berubah. Dan karena tidak ada perubahan susul-menyusul dalam keadaan ini, ide yang khusus tentang waktu mengubah dirinya menjadi ide umum tentang keberadaan. Pertama-tama, kita sama sekali tidak berminat dengan konsep perubahan di kepala Herr Dühring. Persoalan yang sedang dibahas bukanlah konsepsi tentang waktu, tapi waktu riil, yang tidak mungkin dapat disingkirkan begitu saja oleh Herr Dühring. Kedua, bagaimanapun konsepsi waktu dapat diubah menjadi ide tentang keberadaan yang umum, ini sama sekali tidak membawa kita melangkah setapakpun. Satu bentuk dasar dari segala keberadaan adalah ruang dan waktu, dan konsep ‘ada di luar waktu’ adalah sama absurdnya dengan konsep ‘ada di luar ruang’.
“’Keberadaan pada waktu yang teramat lampau’ dari Hegel atau ‘keberadaan yang tidak diciptakan’ dari kaum neo-Schellingian adalah ide-ide yang rasional dibandingkan dengan konsep ‘di luar waktu’ ini. Untuk alasan ini, Herr Dühring telah bekerja keras dengan sangat teliti; tentu saja ini adalah waktu, tapi dari jenis tertentu yang tidak dapat kita sebut waktu; waktu itu sendiri tidaklah terdiri dari bagian-bagian yang riil, dan hanya terbagi-bagi seturut pemahaman kita tentangnya – hanya satu pengisian aktual atas waktu oleh fakta-fakta yang dapat dibedakan satu sama lain yang dapat kita hitung – apa makna dari akumulasi durasi kosong sama sekali tidak dapat kita bayangkan. Apa yang seharusnya dimaksudkan oleh akumulasi semacam ini tidaklah material di sini; persoalannya adalah apakah dunia, dalam keadaannya yang sekarang, memiliki durasi, melewati satu durasi waktu tertentu. Kita telah lama tahu bahwa kita tidak akan mendapatkan apa-apa dengan mengukur durasi yang tidak ada isinya, seperti halnya kita tidak akan mendapatkan apa-apa dengan mengukur tanpa arah atau tujuan dalam kekosongan ruang; dan Hegel menyebut ketakberhinggaan atau infiniti ini sebagai sesuatu yang buruk karena pengulangan yang membosankan dari prosedur ini.”[18]
Apakah Singularitas Benar-benar Ada?
Sebuah lubang hitam tidaklah sama dengan sebuah singularitas. Tidak ada sesuatu yang secara prinsipil mengecualikan kemungkinan adanya lubang hitam, dalam makna sebuah bintang ultra-masif yang telah runtuh di mana gaya gravitasi demikian kuatnya sehingga bahkan cahayapun tidak dapat lolos dari permukaannya. Bahkan ide ini bukanlah sebuah ide yang baru. Ia telah diramalkan di abad ke-18 oleh John Mitchell yang menunjukkan bahwa sebuah bintang yang cukup masif akan dapat menjebak cahaya. Ia sampai pada kesimpulan ini berdasarkan teori gravitasi klasik Newton. Relativitas umum sama sekali tidak masuk dalam perhitungannya.
Namun, teori yang diajukan oleh Hawking dan Penrose melangkah jauh keluar dari fakta-fakta yang teramati, dan, seperti yang telah kita lihat, menarik kesimpulan-kesimpulan yang mengundang segala macam mistisisme, bahkan kalaupun hal ini bukanlah apa yang mereka inginkan. Eric Lerner menganggap argumen adanya lubang hitam super-masif di pusat galaksi sebagai argumen yang lemah. Bersama Anthony Peratt, ia telah menunjukkan bagaimana semua fitur yang berhubungan dengan lubang hitam super-masif, kuasar, dsb., dapat dijelaskan dengan lebih memuaskan oleh fenomena elektromagnetik. Walau demikian, ia percaya bahwa bahwa bukti-bukti yang ada lebih kuat menunjuk pada keberadaan lubang hitam seukuran bintang karena ia bersandar pada pendeteksian sumber-sumber sinar-X yang sangat kuat, yang terlalu besar bagi bintang neutron. Bahkan di sinipun pengamatan masih jauh dari pembuktian.
Abstraksi matematika adalah alat yang berguna untuk memahami alam semesta, dengan satu syarat: bahwa kita tidak melupakan bahwa model matematika yang terbaik sekalipun hanyalah satu pendekatan kasar atas realitas. Masalahnya dimulai ketika orang mulai mengaburkan mana yang model, mana yang asli. Hawking sendiri tanpa sadar mengungkapkan kelemahan metode ini dalam kutipan-kutipan di atas. Ia menganggap bahwa densitasalam semesta pada titik Big Bang adalah infinit, tanpa memberi alasan untuk hal ini, dan kemudian menambahkan satu argumen yang sangat aneh, bahwa “karena matematika tidak dapat menangani angka infinit” maka teori relativitas runtuh pada titik ini. Pada argumen ini, perlulah ditambahkan, “dan semua teori fisika yang kita ketahui,” karena bukan hanya teori relativitas umum yang runtuh pada saat Big Bang, tapi semua ilmu pengetahuan. Bukan hanya kita tidak tahu apa yang terjadi sebelum ledakan ini terjadi. Tapi kita tidak mungkin tahu.
Ini berarti kembali pada teori Kant tentang Thing-in-Itself(sesuatu dalam dirinya sendiri) yang tidak mungkin diketahui itu. Di masa lalu, peran untuk menempatkan batasan bagi pemahaman manusia dimainkan oleh agama dan beberapa filsuf idealis seperti Hume dan Kant. Sains hanya diperbolehkan melangkah dalam batasan tertentu, dan tidak boleh lebih dari itu. Pada titik di mana pemahaman manusia tidak diperbolehkan menjelajah lebih jauh, mistisisme, agama dan irasionalitas mulai berlaku. Namun seluruh sejarah sains adalah kisah bagaimana rintangan-rintangan ini dirobohkan susul-menyusul. Apa yang dianggap tidak mungkin diketahui bagi satu generasi menjadi hal yang merupakan pengetahuan sehari-hari bagi generasi berikutnya. Seluruh sains didasarkan pada paham bahwa alam semesta ini dapat dipahami. Kini, untuk pertama kalinya, para ilmuwan turut menempatkan batasan bagi sains, sebuahsituasi yang luar biasa dan komentar yang menyedihkan atas situasi yang sekarang berlaku pada bidang kosmologi dan fisika teoritik.
Pertimbangkanlah implikasi dari kutipan di atas: a) karena hukum-hukum sains, termasuk relativitas umum (yang dianggap menyediakan landasan bagi seluruh teori) runtuh pada saat Big Bang, mustahil bagi kita untuk mengetahui apa, jika ada, yang terjadi sebelumnya, b) bahkan jika memang ada kejadian sebelum Big Bang, mereka tidak memiliki hubungan dengan apa yang terjadi sesudahnya; c) mustahil kita memahami apapun tentangnya dan, dengan demikian; d) kita seharusnya “membuangnya dari model itu dan mengatakan bahwa waktu dimulai pada saat Big Bang.”
Sungguh luar biasa bagaimana pernyataan-pernyataan ini diajukan dengan begitu penuh keyakinan diri.Kita diminta untuk menerima sebuah batas mutlak dari kemampuan kita untuk memahami masalah paling mendasar dari kosmologi, bahkan, untuk tidak mempermasalahkannya (karena segala pertanyaan tentang waktu sebelum adanya waktu tidaklah memiliki makna apapun) dan bahwa kita seharusnya menerima saja tanpa banyak ribut bahwa waktu dimulai pada saat Big Bang.Dengan cara ini, Hawking mengasumsikan begitu saja apa yang seharusnya dibuktikan. Begitu juga para teolog menyatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, dan ketika ditanya siapa yang menciptakan Tuhan, menjawab begitu saja bahwa jawabannya tidak akan pernah dapat dipahami oleh makhluk fana manapun. Dengan satu hal kami dapat bersepakat, bahwa seluruh hal ini “sangat berbau campur tangan ilahi”. Lebih dari itu, “campur tangan ilahi” adalah apa yang diimplikasikan oleh semua ini.
Dalam polemiknya melawan Dühring, Engels menunjukkan bahwa mustahillah gerak datang dari diam, bahwa sesuatu dapat lahir dari ketiadaan. “Tanpa Penciptaan, mustahil kita mendapatkan sesuatu dari ketiadaan, bahkan jika sesuatu itu sesederhana diferensial matematika.”[19] Pembelaan prinsipil Hawking adalah bahwa teori alternatif terhadap Big Bang, yang diajukan oleh Fred Hoyle, Thomas Gould dan Hermann Bondi – apa yang disebut teori Steady State – telah terbukti keliru. Dari sudut pandang materialisme dialektik, tidak ada yang bisa dipilih dari keduanya. Yang satu sama buruknya dengan yang lain. Sesungguhnya, teori Steady State, yang menyatakan bahwa materi diciptakan terus menerus di luar angkasa dari ketiadaan, adalah, jika memang dimungkinkan, bersifat jauh lebih mistis daripada teori saingannya. Kenyataan bahwa ide semacam itu dapat diterima secara serius oleh para ilmuwan adalah sendirinya sebuah pertanda yang sangat buruk tentang kebingungan filsafati yang telah meracuni sainsbegitu lama.
Orang-orang jaman dulu telah memahami bahwa “dari ketiadaan akan muncul ketiadaan”. Fakta ini ternyatakan dalam salah satu hukum fisika yang paling mendasar, hukum kekekalan energi. Klaim Hoyle bahwa hanya kecil sekali jumlah yang terlibat dalam penciptaan baru itu bukan satu hal yang dapat diterima. Ini seperti seorang gadis muda yang naif, yang berusaha menenangkan ayahnya yang kalut karena ia telah mengandung seorang bayi dengan mengatakan bahwa bayi itu “cuma kecil saja”. Tidak sedikit pun partikel materi (atau energi, yang merupakan kesetaraannya) dapat diciptakan atau dihancurkan, dan dengan demikian, sejak awalnya, teori Steady State sudah ditakdirkan gagal.
Teori “singularitas” Penrosepada awalnya sebenarnya tidak memiliki kaitan apapun dengan asal-usul alam semesta. Ia hanya meramalkan bahwa sebuah bintang yang runtuh karena gravitasinya sendiri akan terjebak dalam sebuah wilayah di mana permukaannya akhirnya akan mengerut sampai ukuran nol. Namun, di tahun 1970, ia dan Hawking menghasilkan sebuah artikel bersama di mana mereka mengklaim bahwa Big Bang itu sendiri adalah sebuah “singularitas”, asalkan “teori relativitas umum benar dan alam semesta mengandung materi sebanyak yang kita amati.”
“Terdapat banyak oposisi terhadap karya kami, sebagian dari orang-orang Rusia karena kepercayaan Marxis mereka tentang determinisme ilmiah, dan sebagian dari orang-orang yang merasa bahwa seluruh ide tentang singularitas sangat buruk dan merusak keindahan teori Einstein. Walau demikian,sungguh kita tidak dapat beradu argumen dengan teorema matematika. Jadi, akhirnya karya kami diterima secara umum dan kini hampir setiap orang mengasumsikan bahwa alam semesta dimulai dengan sebuah singularitas Big Bang.”
Relativitas umum telah terbukti sebagai alat yang sangat berguna, tapi setiap teori memiliki keterbatasannya sendiri, dan kita mendapat kesan bahwa teori itu sudahdidorong sampai batas kemampuannya. Berapa lama lagi sebelum ia digantikan oleh teori-teori yang lebih luas dan lebih komprehensif, kita tidak tahu, tapi jelas bahwa penerapan ini telah membawa kita pada jalan buntu. Sejauh menyangkut jumlah materi di alam semesta, jumlah totalnya tidak akan pernah diketahui karena memang tidak ada batasannya. Mereka terlalu terbelit dalam persamaan-persamaan matematika sehingga mereka melupakan realitas. Dalam praktek, persamaan matematika telah dipaksa menggantikan realitas.
Setelah berhasil meyakinkan banyak orang, berdasarkan bahwa “sungguh kita tidak dapat beradu argumen dengan teorema matematika”, Hawking kemudian malah menjadi ragu: “Mungkin ironis,” katanya, “bahwa, setelah saya meralat pikiran saya, saya sekarang berusaha meyakinkan fisikawan lain bahwa tidak mungkin ada satu singularitas pada awal alam semesta– seperti yang akan kita lihat berikutnya, ia dapat menghilang kalau kita memperhitungkan efek kuantum.” Sifat sembarang dari seluruh metode yang digunakan di sini terlihat dalam perubahan luar biasa dalam pemikiran Hawking. Kini ia menyatakan bahwa tidak ada singularitas dalam Big Bang. Mengapa? Apa yang telah berubah? Tidak ada bukti lain yang dapat ditambahkan. Semua puntiran dan putaran ini terjadi dalam dunia abstraksi matematika belaka.
Teori Hawking tentang lubang hitam merupakan perluasan dari ide tentang singularitas pada bagian alam semesta tertentu. Teori ini sangat penuh dengan unsur-unsur yang kontradiktif dan mistis. Ambillah kutipan berikut, yang menggambarkan sebuah skenario luar biasa di manaseorang astronot terjatuh ke dalam lubang hitam:
“Karya saya dan Roger Penrose sekitar 1965 dan 1970 menunjukkan bahwa, menurut relativitas umum, bahwa harus ada satu singularitas yang terdiri dari densitas dan lengkung ruang-waktu yang infinit di dalam lubang hitam. Ini agak mirip dengan Big Bang pada awal waktu, hanya saja sekarang ia akan menjadi akhir waktu bagi benda yang jatuh ke dalamnya, demikian juga bagi si astronot. Pada titik singularitas, hukum-hukum sains dan kemampuan kita untuk memprediksi masa depan akan runtuh. Namun, pengamat manapun yang tinggal di luar lubang hitam tidak akan terpengaruh oleh kegagalan kemampuan prediksi ini, karena tidak ada cahaya maupun sinyal lainnya yang dapat mencapainya dari titik singularitas. Fakta yang mengagumkan ini membawa Roger Penrose untuk mengusulkan sebuah hipotesis sensor kosmik, yang dapat dinyatakan sebagai ‘Tuhan membenci singularitas yang telanjang’. Dengan kata lain, singularitas yang dihasilkan oleh keruntuhan gravitasi terjadi hanya di tempat-tempat, seperti dalam lubang hitam, di mana mereka tersembunyi rapat dari pandangan orang luar melalui horizon-peristiwa. Tegasnya, ini adalah apa yang dikenal sebagai hipotesis sensor kosmik lemah: ia melindungi pengamat yang tinggal di luar lubang hitam dari konsekuensi keruntuhan kemampuan prediksi yang terjadi pada titik singularitas. Tapi ia tidak melakukan apa-apa untuk menyelamatkan sang astronot sial malang yang terjatuh ke dalam lubang itu.”[20]
Apa yang dapat kita tarik dari uraian itu? Tidak puas dengan awal (dan akhir) waktu untuk seluruh alam semesta, Penrose dan Hawking kini menemukan bahwa di berbagai tempat di alam semesta ini waktu telah berhenti! Sekalipun bukti-bukti tentang keberadaan lubang hitam masih sangat kabur, kelihatannya sangat mungkin bahwa fenomena semacam itu memang ada, dalam bentuk bintang-bintang yang runtuh ke dalam dengan konsentrasi materi dan gravitasi yang maha dahsyat. Tapi sangat diragukan bahwa keruntuhan gravitasi ini akan dapat mencapai titik singularitas, apalagi jika ia berada dalam keadaan itu selama-lamanya. Jauh sebelum keadaan ini tercapai, konsentrasi materi dan energi yang demikian dahsyat haruslah menghasilkan satu ledakan yang maha masif.
Seluruh alam semesta adalah bukti bahwa proses perubahan tidaklah pernah berhenti, pada tiap tingkatannya. Bagian-bagian yang besar dari alam semesta ini mungkin mengembang, sementara yang lain mengerut. Masa-masa panjang kesetimbangan akan dirusak oleh ledakan-ledakan yang dahsyat, seperti supernova, yang pada gilirannya akan menyediakan bahan mentah untuk pembentukan galaksi-galaksi baru, yang terus berlangsung sepanjang waktu. Tidak ada pelenyapan atau penciptaan materi, tapi hanya perubahannya yang terus-menerus dan tanpa henti dari satu keadaan ke keadaan lainnya. Maka tidak mungkin ada sesuatu yang dapat disebut “akhir waktu” di dalam lubang hitam, atau di manapun juga.
Sebuah Abstraksi Kosong
Seluruh paham mistis ini diturunkan dari interpretasi subjektivis atas waktu, yang membuatnya tergantung (atau relatif) pada seorang pengamat. Tapi waktu adalah fenomena yang objektif, yang tidak tergantung dari pengamat manapun. Kebutuhan untuk memasukkan si astronot malang itu ke dalam teori tidaklah muncul dari kebutuhan ilmiah, tapi sebagai hasil dari sudut pandang filsafati tertentu, yang diseludupkan di bawah panji-panji “teori relativitas”. Anda lihat, supaya waktu dapat menjadi “riil”, ia membutuhkan seorang pengamat, yang kemudian dapat menginterpretasikannya dari sudut pandangnya sendiri. Asumsinya, jika tidak ada seorang pun pengamat, tidak ada waktu! Dalam argumentasi yang teramat aneh, pengamat ini dilindungi dari pengaruh buruk lubang hitam oleh sebuah hipotetis yang diambil sembarangan, sebuah “sensor kosmik lemah”, apapun artinya itu. Walau demikian, di dalam lubang itu, waktu tidak ada. Jadi, di luarnya, waktu ada, tapi sejengkal di muka, waktu tidak ada. Sebagai batas antara dua keadaan ini, kita mendapati horizon-peristiwa yang misterius itu, yang wataknya tidak jelas.
Setidaknya, kelihatannya kita harus mencampakkan semua harapan untuk kelak memahami apa yang terjadi di dalamhorizon-peristiwa, karena, mengutip Hawking, ia “dengan rapi disembunyikan dari pandangan kita.” Di sini, kita dapati Thing-in-Itself-nya Kant abad ke-20. Dan, seperti Thing-in-Itself, ternyata ia sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dimengerti. Apa yang kita dapati di sini adalahsebuah pandangan idealis dan mistik atas waktu dan ruang, yang dijejalkan ke dalam model matematika, dan disalahpahami sebagai sesuatu yang nyata ada.
Waktu dan ruang adalah dua properti materi yang paling mendasar. Lebih tepatnya, mereka adalah mode eksistensi dari materi. Kant telah menunjukkan bahwa, jika kita menanggalkan seluruh properti fisik materi, kita akan mendapati waktu dan ruang. Tapi ini, nyatanya, adalah sebuah abstraksi kosong. Waktu dan ruang tidak dapat hadir tanpa properti-properti fisik materi. Orang telah melontarkan tuduhan kepada Marx, tanpa bukti sedikit pun, bahwa ia memandang Sejarah sebagai berjalan tanpa peran-serta sadar dari manusia di dalamnya, semata sebagai hasil dari Kekuatan Ekonomi, atau hal-hal tidak masuk nalar lainnya. Nyatanya, Marx menyatakan dengan jelas bahwa Sejarah tidak dapat berbuat apa-apa, dan manusia menulis sendiri sejarahnya, sekalipun mereka tidak melakukan hal itu sepenuhnya atas “kehendak bebas” mereka.
Hawking, Penrose dan banyak lagi yang lainnya bersalah karena kesalahan yang dituduhkan kepada Marx. Sebagai ganti abstraksi kosong atas Sejarah, yang pada kenyataannya sangat mewujud dan memiliki kehidupan dan kehendaknya sendiri, kita di sini mendapati sebuah abstraksi Waktu yang sama kosongnya, yang dilihat sebagai entitas yang independen, yang mengalami kelahiran dan kematian, dan yang umumnya melahirkan segala macam sulapan, bersama dengan kawan karibnya, sang Ruang, yang bangkit dan runtuh dan melengkung, layaknya seorang pemabuk kosmik, dan akhirnya menelan seorang astronot malang ke dalam lubang hitam.
Hal seperti ini akan sangat bagus untuk sebuah cerita fiksi ilmiah, tapi tidak terlalu berguna sebagai alat untuk memahami alam semesta. Jelas, terdapat berbagai kesulitan praktis dalam mendapatkan informasi yang akurat mengenai, katakanlah, bintang-bintang neutron. Dalam makna tertentu, dalam hubungannya dengan alam semesta, kita mendapati diri kita di posisi yang sama sepertinenek moyang manusia ketika mereka berhadapan dengan fenomena-fenomena alam. Karena kurangnya informasi, kita mencari penjelasan yang rasional atas hal-hal yang sulit dan kabur itu. Kita akhirnya terlempar kembali pada sumberdaya kita sendiri –yakni pikiran dan imajinasi. Segala hal akan terasa misterius ketika mereka tidak dipahami. Untuk dapat memahami, kita perlu membuat hipotesis. Beberapa di antaranya akan terbukti keliru. Ini sendiri bukanlah masalah. Seluruh sejarah ilmu pengetahuan dipenuhi dengan contoh-contoh di mana upaya pembuktian sebuah hipotesis yang keliru ternyata membawa orang kepada penemuan-penemuan penting.
Walau demikian, kita memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa hipotesis-hipotesis itu memiliki sifat yang cukup rasional. Di sini telaah filsafat menjadi hal yang wajib. Apakah kita memang harus kembali pada mitos-mitos primitif dan agama untuk memahami alam semesta? Apakah kita perlu menghidupkan kembali paham idealisme yang telah terbukti keliru itu, yang, pada kenyataannya, sangat dekat dengan segala macam mitos dan agama? Apakah memang perlu untuk mengulang kesalahan yang lalu? “Sungguh kita tidak dapat beradu argumen dengan teorema matematika.” Mungkin tidak. Tapi tentunya kita dapat beradu argumen dengan premis-premis filsafat yang keliru, dan interpretasi idealis tentang waktu, yang membawa kita pada kesimpulan seperti berikut:
“Ada beberapa solusiuntuk persamaan relativitas umum di mana dimungkinkan bagi astronot kita untuk melihat singularitas secara telanjang: ia mungkin dapat menghindaritumbukan dengan singularitas dan justru jatuh ke dalam sebuah ‘wormhole’ (lubang cacing) dan muncul di bagian lain alam semesta ini. Ini akan membuka kemungkinan besar untuk perjalanan melintasi ruang dan waktu, tapi sayang kelihatannya solusi ini sangat tidak stabil; gangguan sekecil apapun, seperti kehadiran astronot itu sendiri, dapat mengubahnya sehingga astronot itu gagal melihat singularitas itu sampai ia menabraknya dan waktu berakhir baginya. Dengan kata lain, singularitas akan selalu terletak di masa depannya, bukan di masa silamnya. Versi kuat dari sensor kosmik menyatakan bahwa dalam sebuah solusi yang realistik, singularitas akan selalu terletak selamanya di masa depan (seperti singularitas dari keruntuhan gravitasi) atau selamanya di masa lalu (seperti Big Bang). Kami sangat mengharapkan bahwa beberapa hipotesis sensor kosmik benar karena dekat sebuah singularitas yang telanjang terletak kemungkinan untuk bepergian ke masa lalu. Sementara ini bagus untuk para penulis fiksi ilmiah, ini juga berarti bahwa tidak ada seorang pun yang aman: seseorang mungkin akan pergi ke masa lalu dan membunuh ayah atau ibu Anda sebelum Anda dilahirkan!”[21]
“Perjalanan-waktu”ditemukan di halaman-halaman buku fiksi ilmiah, di mana ia dapat menjadi sumber hiburan yang tidak berbahaya. Tapi kami yakin bahwa tidak ada orang yang perlu takut kalau keberadaan mereka mungkin akan terancam karena beberapa pelancong-waktu yang ceroboh membunuh nenek mereka. Jujur saja, kita cuma perlu bertanya untuk membuat orang menyadari absurditas pernyataan di atas. Waktu hanya berjalan searah, dan tidak dapat diputar balik. Apapun yang kawan kita si astronot itu temukan di dasar lubang hitam, ia tidak akan menemukan bahwa waktu telah diputar balik, atau “diam tak bergerak” (kecuali dalam artian bahwa, karena ia akan segera dirobek-robek oleh gaya gravitasi, waktu akan berhenti baginya, bersamaan dengan seluruh kehidupannya).
Kita telah berkomentar tentang kecenderungan mencampuradukkan sains dengan fiksi-ilmiah. Juga dapat dilihat bahwa banyak fiksi ilmiah dipenuhi dengan pandangan semi-religius, mistik dan idealis. Jauh-jauh hari, Engels telah menunjukkan bahwa para ilmuwan yang mengabaikan filsafat akan sering kali menjadi korban dari segala macam mistisisme. Ia menulis sebuah artikel tentang hal itu, yang diberinya judul Natural Science and the Spirit World, dari mana kutipan berikut diambil:
“Mazhab ini merajalela di Inggris. Pendirinya, sang Francis Bacon yang ternama, telah menyatakan bahwa metode barunya yang empirik dan induktif harus dipelajari untuk, terutama, mencapai: usia yang lebih panjang, peremajaan – sampai tahap tertentu, perubahan tinggi dan postur tubuh, transformasi dari satu tubuh ke tubuh yang lain, penciptaan spesies baru, kuasa atas udara dan kemampuan menciptakan badai. Ia mengeluh bahwa penyelidikan semacam itu telah ditinggalkan, dan dalam bukunya tentang sejarah alam, ia memberi resep-resep pasti untuk membuat emas dan mewujudkan berbagai mukjizat. Isaac Newton juga dalam usia tuanya menyibukkan diri dengan upaya menjelaskan Kitab Wahyu. Jadi tidak perlu diherankan jika di tahun-tahun terakhir empirisme Inggris, lewat beberapa perwakilannya – bukan yang terburuk dari mereka – telah menjadi korban tak berdaya dari upacara-upacara pemanggilan arwah yang diimpor dari Amerika.”[22]
Tidak diragukan lagi bahwa Stephen Hawking dan Roger Penrose adalah ilmuwan dan ahli matematika yang cemerlang. Masalahnya adalah bahwa, jika Anda mulai dengan premis yang salah, niscaya Anda akan menarik kesimpulan yang salah pula. Hawking jelas merasa tidak nyaman dengan ide bahwa kesimpulan-kesimpulan yang religius dapat ditarik dari teorinya. Ia bercerita, di tahun 1981, ketika ia menghadiri sebuah konferensi tentang kosmologi di Vatikan, yang diorganisir oleh para Jesuit, dan berkomentar:
“Gereja Katolik telah membuat sebuah kesalahan besar terhadap Galileo ketika mereka berusaha menetapkan hukum tentang masalah sains, dan menyatakan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Kini, berabad-abad kemudian, mereka telah memutuskan untuk mengundang sejumlah ilmuwan untuk memberi mereka nasihat mengenai kosmologi. Pada akhir konferensi para peserta diundang untuk bertemu Paus. Ia menyatakan bahwa kita boleh mempelajari evolusi alam semesta setelah Big Bang, tapi kita tidak boleh mencoba menelaah Big Bang itu sendiri karena itulah saat Penciptaan dan, maka dari itu, adalah karya Tuhan. Saya merasa lega saat itu karena ia tidak mengetahui perihal yang saya bicarakan pada saat konferensi – kemungkinan bahwa ruang-waktu adalah finit, tapi tidak memiliki garis batas, yang berarti bahwa ruang-waktu tidak memiliki satu awal, tidak memiliki satu saat Penciptaan. Saya tidak ingin turut mengalami nasib seperti Galileo, orang yang saya rasa sangat dekat dengan saya, sebagian karena kebetulan saya dilahirkan tepat 300 tahun setelah kematiannya!”[23]
Jelas, Hawking ingin menarik garis pembatas antara dirinya dengan para penganut Penciptaan atau Kreasionis. Tapi upaya itu tidaklah terlalu berhasil. Bagaimana mungkin alam semesta ini dapat memiliki ukuran yang finit, sementara tidak memiliki garis batas? Dalam matematika, dimungkinkan untuk mendapat serangkaian bilangan yang jumlahnya infinit, yang dimulai dari satu. Tapi pada kenyataannya, ide tentang infiniti tidaklah dimulai dengan satu, atau angka yang lain. Infiniti bukanlah konsep matematika. Ia tidak dapat dihitung. “Infiniti” yang sepihak ini adalah apa yang disebut Hegel sebagai infiniti yang buruk. Engels menangani masalah ini dalam polemiknya dengan Dühring:
“Tapi bagaimana dengan kontradiksi ‘deret bilangan infinit yang terhitung’? Kita akan berada dalam posisi yang baik untuk memeriksa hal ini lebih dekat segera setelah Herr Dühring membuktikan kecerdasannya dengan melakukan penghitungan itu bagi kita. Ketika ia telah menyelesaikan tugas menghitung dari minus infiniti sampai nol, mari kita undang dia untuk melakukannya lagi. Sangat jelas bahwa, dari manapun ia mulai menghitung, ia akan mendapati sebuah deret yang infinit dan, bersamanya, satu tugas yang harus dipenuhinya. Mari biarkan dia membalikkan deret angka infinit ini dari 1+2+3+4 … dan mencoba menghitung dari infinit sampai satu; hal ini tentunya hanya akan dicoba oleh orang yang tidak memiliki bayangan sedikit pun tentang apa yang dihadapinya. Lebih jauh lagi, ketika Herr Dühring menyatakan bahwa deret infinit dari waktu yang telah lewat telah dihitung, maka ia menyatakan bahwa waktu memiliki satu awal; kalau tidak demikian, ia tidak dapat mulai ‘menghitung’ sama sekali. Maka, sekali lagi ia menyelundupkan sebuah premis ke dalam argumen itu, sebuah premis yang seharusnya ia buktikan terlebih dahulu. Ide tentang serangkaian angka infinit yang telah dihitung, dengan kata lain, Hukum Dühring tentang Bilangan Tertentu (Law of Determinate Number) yang amat komprehensif itu, oleh karenanya adalah sebuahcontradiction in adjecto, atau mengandung kontradiksi di dalam dirinya sendiri, dan sungguh sebuah kontradiksi yang absurd.
“Jelaslah bahwa sebuah infiniti yang memiliki sebuah akhir tanpa sebuah awal bukanlah infiniti seperti halnya infiniti dengan sebuah awal tapi tanpa akhir. Pemahaman yang sedikit-dikitnya tentang dialektika seharusnya sudah membuat Herr Dühring paham bahwa awal dan akhir adalah dua hal yang sama, seperti Kutub Utara dan Kutub Selatan, dan bahwa jika ujung akhir dihilangkan, yang awal akan menjadi yang akhir – satu-satunya akhir yang dimiliki oleh deret itu; dan sebaliknya. Seluruh penipuan ini akan nampak mustahil kecuali untuk penggunaan matematika ketika bekerja dengan deret angkainfinit. Karena dalam matematika sangat perlu untuk mulai dari titik tertentu, yang finit, untuk sampai kepada infiniti, semua deret matematika, positif atau negatif, harus mulai dengan bilangan 1, atau deret itu tidak dapat digunakan untuk perhitungan. Tapi kebutuhan logis dari para ahli matematika ini sama sekali bukan hukum wajib bagi dunia nyata.”[24]
Stephen Hawking membawa spekulasi relativistik inike titik ekstrem dengan karyanya tentang lubang hitam, yang membawa kita ke dunia fiksi ilmiah. Dalam upaya untuk mengatasi pertanyaan yang tidak menyenangkan tentang apa yang terjadi sebelum Big Bang, diajukanlah ide tentang “alam semesta-alam semesta bayi”, yang lahir sepanjang waktu, dan dihubungkan oleh apa-yang-disebut“lubang-cacing”. Seperti komentar ironis yang dilontarkan Lerner: “Itu adalah sebuah visi yang kelihatannya membutuhkan sejenis kontrasepsi kosmik.”[25] Sangat mengherankan bahwa banyak ilmuwan yang waras menganggap ide yang ajaib ini sebagai sebuah ide yang baik.
Ide tentang sebuah “alam semesta yang berhingga tapi tanpa garis batas” lagi-lagi adalah sebuah hasil dari abstraksi matematika, yang tidak ada hubungannya dengan realitas dari alam semesta yang kekal dan infinit, yang terus-menerus berubah. Sekali kita mengambil sudut pandang ini, tidak perlu ada spekulasi-spekulasi mistik tentang “lubang-cacing”, singularitas, superstring, dan segala yang lainnya. Sebuahalam semesta yang infinit tidak memaksa kita untuk mencari sebuah awal atau sebuah akhir, kita hanya perlu menelusuri proses pergerakan, perubahan dan perkembangan. Pandangan dialektik tidak menyisakan ruang untuk Surga atau Neraka, Tuhan atau Setan, Penciptaan atau Penghakiman Terakhir. Ini tidak berlaku bagi Hawking yang, tidak mengherankan, akhirnya mencoba untuk “memahami jalan pikiran Tuhan”.
Kaum reaksioner bertepuk tangan melihat tontonan ini, dan menggunakan kecenderungan mistis yang sedang merajalela di dunia ilmiah ini untuk kepentingan mereka sendiri. William Rees-Mogg, konsultan bisnis besar itu, menulis:
“Kami berpikir bahwa kemungkinan besar gerakan-gerakan keagamaan yang kini kitasaksikan bekerja di banyak masyarakat di seluruh dunia akan menjadi semakin kuat jika kita mengalami masa-masa sulit dalam perekonomian. Agama akan diperkuat karena laju sains saat ini tidak lagi menggerogoti pandangan agama tentang realitas. Sungguh, untuk pertama kalinya selama berabad-abad, ilmu sains justru memperkuatnya.”[26]
Pikiran di dalam Kehampaan
“Wah, kadang, saya telah mempercayai sebanyak enam hal mustahil sebelum saya sarapan.”
(Lewis Carroll, dalam Alice in Wonderland)
“Bagi manusia hal ini tidak mungkin; tapi bagi Allah segala sesuatu mungkin.”
(Injil Matius 19:26)
“Tidak ada yang dapat diciptakan dari ketiadaan.”
(Lucretius)
Sejenak sebelum menyelesaikan penulisan buku ini, kami mendapati sebuah tulisan terbaru tentang kosmologi Big Bang, yang muncul dalam majalahThe New Scientist pada tanggal 25 Februari 1995. Dalam sebuah artikel dari Robert Matthew yang berjudul Nothing like a Vacuum, kami membaca baris-baris berikut ini:
“Ia ada di sekitar Anda, tapi Anda tidak akan merasakannya. Ia adalah sumber segala sesuatu, namun ia adalah ketiadaan.”
Apakah hal yang mengagumkan ini? Sebuah kehampaan. Apa itu kehampaan? Kata Latin vacuus, yang merupakan akar kata vakum, berarti kosong. Kamus mendefinisikannya sebagai “ruang yang kosong, atau dilucuti dari segala materi atau isi; ruang apapun yang tidak ditempati atau tidak diisi; kekosongan, blangko.” Seperti inilah pemahaman orang sampai sekarang. Tapi tidak lagi. Kehampaan yang bersahaja itu, mengutip Tuan Matthew, telah menjadi “salah satu dari topik paling panas yang dibicarakan dalam fisika kontemporer.”
“Ia ternyata adalah sebuah taman ajaib yang dipenuhi dengan efek-efek yang magis: medan gaya yang muncul begitu saja, partikel-partikel yang muncul mengada kemudian menghilang lagi dan letupan-letupan energi yang tidak nampak sumber tenaganya.”
Berkat Heisenberg dan Einstein (Einstein yang malang!), kita kini memiliki “pemahaman yang mengagumkan bahwa di sekitar kita partikel-partikel sub-atomik ‘virtual’ terus-menerus muncul begitu saja dari ketiadaan, dan menghilang lagi dalam sekitar 10-23 detik. Maka ‘ruang hampa’ tidaklah kosong sama sekali, tapi merupakan sebuah laut mendidih dengan aktivitas yang mengisi seluruh Alam Semesta.” Pernyataan ini benar dan sekaligus juga keliru. Benar bahwa seluruh alam semesta dipenuhi oleh materi dan energi, dan bahwa “ruang hampa” ini tidaklah benar-benar kosong, melainkan penuh dengan partikel, radiasi dan medan gaya. Benar bahwa partikel-partikel terus-menerus berubah, dan bahwa beberapa di antaranya berusia sangat singkat sehingga mereka disebut partikel “virtual”. Sama sekali sekali tidak ada yang “menakjubkan” tentang ide-ide ini. Akan tetapi akan sangat keliru jika mengatakan bahwa mereka “muncul begitu saja dari ketiadaan”. Kita telah membahas kesalahan pandangan di atas dan tidak perlu mengulang apa yang telah dibicarakan sebelumnya.
Seperti kaset yang diputar berulang-ulang, mereka yang ingin memasukkan idealisme ke dalam fisika terus-menerus memainkan ide bahwa kita dapat memperoleh sesuatu dari ketiadaan. Ide ini bertentangan dengan segala hukum fisika yang diketahui, termasuk fisika kuantum. Namun masih juga kita temui paham luar biasa ini di manaenergi dapat diperoleh benar-benar dari ketiadaan! Ini persis seperti upaya menemukan mesin gerak abadi, sebuah ide yang diolok-olok di masa lalu.
Fisika modern dimulai dengan penolakan terhadap ide kuno tentang ether, sebuah medium universal yang tak kasat matadi mana cahaya merambat. Teori relativitas khusus Einstein membuktikan bahwa cahaya dapat berjalan melalui ruang hampa, dan tidak membutuhkan medium khusus apapun. Ajaibnya, setelah mengutip Einstein sebagai otoritas (hal ini merupakan kewajiban dalam fisika seperti kewajiban orang untuk membuat tanda salib sebelum memasuki atau meninggalkan gereja, dan kira-kira sama maknanya) Tuan Matthew meneruskan dengan menyelundupkan ether kembali ke dalam fisika:
“Hal ini tidak berarti bahwa fluida universal tidak mungkin ada, tapi ia memang berarti bahwa fluida semacam itu haruslah bersesuaian dengan apa yang didiktekan oleh relativitas khusus. Ruang hampa tidak harus hanya menjadi satu fluktuasi kuantum di seputar sebuah keadaan rata-rata kehampaan sejati. Ia dapat menjadi sebuah sumber energi yang permanen dan bukan nol di alam semesta.”
Sekarang, apa yang mungkin ia maksudkan dengan pernyataan itu? Sejauh ini kita telah diberi tahu tentang berbagai perkembangan “menakjubkan” dalam fisika, “taman ajaib” berisi berbagai partikel dan telah diyakinkan bahwa ruang hampa memiliki cukup energi untuk memenuhi segala kebutuhan kita. Tapi informasi yang diberikan oleh artikel itu tidaklah memberikan sesuatu yang baru bagi kita. Artikel ini mengandung pernyataan-pernyataan yang panjang, tapi sangat sedikit mengandung fakta. Mungkin memang niat sang penulis untuk mengatasi sedikitnya fakta itu dengan membuat kalimat-kalimat yang kabur. Apa yang dimaksudkan dengan “sumber energi yang permanen dan bukan nol”, mari kita coba menerkanya. Dan apa pula yang dimaksud dengan “keadaan rata-rata kehampaan sejati”? Jika yang dimaksudkan adalah sebuah kehampaan sejati, mungkin lebih baik menggunakan dua kata yang jelas ketimbang menggunakan empat kata yang tidak jelas. Pengaburan yang disengaja seperti ini biasanya digunakan untuk menutupi pemikiran yang kacau, khususnya dalam bidang ini. Mengapa tidak bicara dalam bahasa yang lurus-lurus saja? Kecuali, tentu, jika yang dimaksudkan adalah “kehampaan sejati” dari tulisan itu sendiri.
Seluruh tujuan dari artikel ini adalah untuk menunjukkan bahwa sebuah ruang hampa menghasilkan kuantitas energi yang tak berhingga dari ketiadaan. Satu-satunya “bukti” untuk hal ini adalah sepasang rujukan pada teori relativitas umum dan khusus, yang secara teratur digunakan sebagai paku untuk menggantungkan segala hipotesis ngawur. “Relativitas khusus menuntut bahwa sifat-sifat ruang hampa harus nampak sama bagi semua pengamat, berapapun kecepatan mereka. Agar hal ini benar, ternyata bahwa tekanan dari ‘laut’ kehampaan itu harus persis berlawanan dengan densitasnya. Ini adalah keadaan yang kedengarannya sangat biasa-biasa saja, tapi ia memiliki konsekuensi yang menakjubkan. Ia berarti, misalnya, bahwa satu wilayah energi ruang hampa tertentumempertahankan tingkat densitasenergi yang sama, seberapapun kita mengembangkan wilayah itu. Ini aneh. Bandingkanlah dengan perilaku gas biasa, yang densitasenerginya turun berbanding lurus dengan peningkatan volumenya. Sepertinya sebuah ruang hampa dapat menarik tenaga dari sebuah sumber yang tak pernah kering.”
Pertama, “fluida universal” yang awalnya hanya merupakan hipotesis beberapa kalimat sebelumnya kini telah diubah menjadi sebuah “laut” kehampaan yang nyata, walaupun dari mana “air”-nya datang, tidak ada yang benar-benar yakin. Ini aneh. Tapi, biarkanlah. Mari kita, seperti sang penulis, mengasumsikan apa seharusnya dibuktikan, dan menerima keberadaan laut kehampaan maha luas ini sebagai sesuatu yang nyata. Ternyata bahwa “ketiadaan” ini bukan hanya sesuatu, tapi merupakan “sesuatu” yang sangat substansial. Seperti sihir, ia terisi dengan energi“dari sumber yang tak pernah kering.” Ini seperti mitos cornucopia, yakni “mangkuk kelimpahan” dari mitologi Yunani dan Irlandia, sebuah mangkuk minuman misterius yang tidak pernah kering seberapapun kita minum darinya. Ini adalah hadiah dari para dewa. Kini Tuan Matthew menyajikan pada kita sesuatu yang akan membuat hadiah para dewa ini seakan mainan anak-anak saja.
Jika energi memasuki ruang hampa, ia harus datang dari satu tempat di luar kehampaan itu. Ini sangat jelas, karena sebuah ruang hampa tidak dapat hadir terisolasi dari segala materi dan energi. Ide tentang ruang kosong tanpa materi adalah sama tidak masuk nalarnya dengan ide tentang materi tanpa ruang. Tidak ada ruang yang mutlak hampa di bumi. Hal yang paling dekat dengan kehampaan sempurna adalah ruang angkasa. Tapi kenyataannya, ruang angkasa juga tidak kosong. Beberapa dasawarsa lalu, Hannes Alfén menunjukkan bahwa ruang angkasa dipenuhi dengan jaring-jaring arus listrik dan medan magnet yang terisi dengan benang-benang plasma. Ini bukan hasil dari spekulasi atau permohonan terhadap teori relativitas, tapi telah dibuktikan melalui pengamatan, termasuk oleh pesawat ulang-alik Voyager dan Pioneer yang telah mendeteksi keberadaan arus listrik dan benang-benang plasma itu di sekitar Yupiter, Saturnus dan Uranus.
Jadi memang terdapat cukup banyak energi di dalam ruang. Tapi bukan energiseperti yang dibicarakan Tuan Matthew. Sama sekali tidak mirip. Setelah membangun “laut kehampaan”-nya ia bermaksud mendapatkan energinya langsung dari kehampaan itu sendiri. Tidak sedikit pun materi yang diperlukan! Ini jauh lebih baik dari seorang pesulap yang menarik kelinci dari topi. Bagaimanapun, kita semua tahu bahwa kelinci itu datang dari satu tempat. Energi ini datang tidak dari mana-mana. Ia datang dari sebuah kehampaan, atas izin teori relativitas umum. “Salah satu fitur kunci dari teori relativitas umum Einstein adalah bahwa massa bukanlah satu-satunya sumber gravitasi. Secara khusus, tekanan, baik positif maupun negatif juga dapat menimbulkan efek gravitasi.”
Sampai titik ini, para pembaca akan kebingungan. Kini, semua menjadi (hampir) jelas. “Fitur dari kehampaan ini,” kita diberi tahu, “terletak di jantung dari konsep baru yang mungkin paling penting dalam kosmologi sepuluh tahun belakangan ini: yakni gagasan inflasi kosmik. Ide ini, yang menyatakan bahwa inflasi kosmik muncul dari asumsi bahwa janin alam semesta ini dipadati dengan energi kehampaan yang tidak stabil, yang efek ‘anti-gravitasional’-nya melembungkan alam semesta dengan faktor kira-kira 1050 dalam waktu hanya sekitar 10-32 detik. Energi kehampaan mati, meninggalkan fluktuasi acak yang energinya berubah menjadi panas. Karena energi dan materi dapat saling dipertukarkan, hasilnya adalah penciptaan materi dari apa yang kini kita sebut Big Bang.”
Jadi begitu! Seluruh konstruksi ini ternyata dimaksudkan untuk memberi dukungan terhadap teori inflasi kosmik dari Big Bang. Seperti biasa, mereka terus memindahkan tiang gawang, untuk tetap mengapungkan hipotesis mereka dengan menghalalkan segala cara. Agak mirip dengan para pendukung teori Aristoteles-Ptolomeus bahwa langit adalah sebuah lengkung kristal, yang terus mereka perbaharui, semakin hari semakin rumit, untuk terus membuka ruang untuk menjejalkan fakta-fakta baru ke sana. Seperti yang telah kita lihat, teori ini sedang mengalami hari-hari buruk belakangan ini, dengan “materi-gelap dingin” yang hilang, dan kekacauan besar tentang konstanta Hubble. Demikian butuhnya mereka akan dukungan sekecil apapun, para pendukungnya pasti telah berkeliling mencari penjelasan atas salah satu masalah sentral dari teori itu – dari mana datangnya semua energi yang diperlukan untuk mendorong terjadinya Big Bang. “Makan siang gratis yang paling besar sepanjang jaman,” Alan Guth menyebutnya demikian. Kini mereka ingin membebankan rekening itu pada orang lain, atau sesuatu yang lain, dan mereka mendapati – ruang hampa. Kami meragukan apakah rekening yang satu ini akan pernah dibayar. Dan, di dunia nyata, orang yang tidak membayar rekeningnya pasti dilempar keluar dari restoran, bahkan kalaupun mereka mencoba memakai teori relativitas umum sebagai ganti uang tunai yang harus dibayarkan.
“Dari ketiadaan, melalui ketiadaan, menuju ketiadaan,” kata Hegel. Ini adalah ukiran batu nisan yang cocok untuk teori inflasi kosmik. Sesungguhnya hanya ada satu cara untuk mendapat sesuatu dari ketiadaan – dengan Penciptaan. Dan ini hanya mungkin jika ada seorang Pencipta. Silakan mencoba dengan cara apapun, para pendukung Big Bang pasti akan menemukan bahwa langkah mereka akan selalu dibimbing ke arah ini. Beberapa di antara mereka akan berjalan dengan senang hati, yang lain memprotes bahwa mereka bukan orang yang religius “dalam makna yang konvensional”. Tapi gerakan kembali pada mistisisme ini adalah keniscayaan bagi mitos Penciptaan modern ini. Untungnya, semakin harisemakin banyak orang yang tidak puas dengan keadaan ini. Cepat atau lambat, sebuah terobosan akan terjadi pada tingkat pengamatan, terobosan yang akan memungkinkan lahirnya teori baru, dan akhirnya kita dapat membiarkan teori Big Bang beristirahat dengan tenang di peraduan terakhirnya. Semakin cepat teori baru ini muncul semakin baik.
Asal-Muasal Tata Surya
Ruang angkasa tidaklah sepenuhnya kosong. Satu kehampaan sempurna tidak ada di alam. Ruang angkasa diisi dengan gas yang tipis – “gas antar-bintang” (interstellar gas) yang pertama kali dideteksi oleh Hartmann di tahun 1904. Konsentrasi gas dan debu menjadi semakin besar dan padat di daerah seputar galaksi-galaksi, yang dikelilingi oleh semacam “kabut”, yang kebanyakan terdiri dari atom hidrogen, yang terionisasi oleh radiasi dari bintang-bintang. Bahkan materi ini tidaklah diam dan mati, tapi dipecah-pecah ke dalam berbagai partikel sub-atomik bermuatan listrik, yang terpengaruh oleh segala macam gerak, proses dan perubahan. Atom-atom ini kadangkala bertumbukan dan dengan demikian mengubah tingkat energinya. Walau tiap atom tunggal mungkin hanya bertumbukan sekali selama 11 juta tahun, karena jumlah atom begitu besar, tumbukan ini cukup untuk terus melahirkan satu pancaran yang kontinu dan dapat dideteksi, yakni “nyanyian hidrogen”, yang pertama dideteksi pada tahun 1951.
Hampir semua dari gas ini adalah hidrogen, tapi terdapat juga deuterium, bentuk hidrogen yang lebih kompleks, oksigen dan helium. Kelihatannya mustahil bahwa kombinasi yang lebih rumit dapat terjadi, karena distribusi unsur-unsur ini demikian cair. Tapi penggabungan itu benar-benar terjadi, dan dengan tingkat kompleksitas yang cukup tinggi pula. Molekul air (H2O), telah ditemukan di antariksa, demikian pula dengan amonia (NH3), disusul oleh formaldehid (H2CO) dan molekul-molekul lain yang semakin kompleks, yang kemudian mendorong lahirnya satu cabang ilmu baru – astrokimia. Akhirnya, telah dibuktikan bahwa molekul dasar penyusun kehidupan – asam amino – terdapat juga di antariksa.
Kant (1755) dan kemudian Laplace (1796) mula-mula meluncurkan sebuah hipotesis nebular mengenai pembentukan tata surya. Menurut hipotesis ini, matahari dan planet-planet terbentuk dari kondensasi awan materi yang maha besar. Ini tampaknya sesuai dengan fakta dan, ketika Engels menulis The Dialectics of Nature, teori ini telah diterima secara luas. Namun, di tahun 1905, Chamberlain dan Moulton mengajukan teori alternatif – hipotesis planetesimal. Ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Jeans dan Jeffrey, yang mengajukan hipotesis pasang-surut di tahun 1918. Hipotesis ini menyatakan bahwa tata surya berasal dari tubrukan dua bintang. Masalah dengan teori ini adalah bahwa, jika ia benar, sistem planet akan menjadi gejala yang sangat jarang terjadi. Jarak maha besar yang memisahkan bintang-bintang berarti tubrukan ini akan terjadi 10.000 kali lebih jarang dari supernova – yang sendirinya merupakan gejala yang amat jarang. Sekali lagi kita lihat bahwa upaya untuk mengatasi sebuah masalah dengan mengandalkan pada kekuatan eksternal yang kebetulan, seperti bintang tersasar, niscaya akan menimbulkan lebih banyak masalah daripada yang dipecahkan.
Akhirnya, teori yang katanya dibuat untuk menggantikan model Kant-Laplace terbukti tidak kokoh secara matematika. Upaya-upaya lain, seperti “tumbukan tiga-bintang” (Littleton) dan teori supernova Hoyle, juga terbukti keliru di tahun 1939, ketika terbukti bahwa material yang ditarik dari bintang-bintang dengan cara demikian akan menjadi terlalu panas untuk dapat berkondensasi menjadi planet. Ia hanya akan mengembang menjadi awan gas tipis. Dengan demikian, teori musibah-planetesimal telah digulingkan. Hipotesis nebular telah dinaikkan kembali ke atas tahta, tapi pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya. Ia bukan lagi sekedar pengulangan dari ide-ide Kant dan Laplace. Misalnya, sekarang dipahami bahwa awan gas dan debu yang digambarkan dalam model itu haruslah jauh lebih besar dari yang diperhitungkan semula. Pada tingkat yang demikian besar, awan itu akan mengalami turbulensi, menghasilkan pusaran-pusaran maha besar, yang kemudian akan berkondensasi menjadi sistem-sistem yang terpisah. Model yang sepenuhnya dialektik ini dikembangkan di tahun 1944 oleh astronom Jerman, Carl F. von Weizsäcker, dan disempurnakan oleh astro-fisikawan Swedia, Hannes Alfén.
Weizsäcker menghitung bahwa akan terdapat jumlah materi yang cukup dalam pusaran galaktik itu untuk menghasilkan galaksi-galaksi dalam proses kontraksi turbulen, yang menghasilkan pusaran-pusaran lain yang lebih kecil. Tiap pusaran ini dapat menghasilkan tata surya dan planet-planet. Hannes Alfén membuat telaah khusus mengenai medan magnet matahari. Pada tahap awalnya, matahari berputar dengan kecepatan tinggi, tapi akhirnya dilambatkan oleh medan magnetnya sendiri. Perlambatan ini memindahkan momentum putarnya ke planet-planet. Versi baru dari teori Kant-Laplace, yang dikembangkan oleh Alfén dan Weizsäcker, kini diterima umum sebagai versi yang paling memungkinkan bagi asal-muasal tata surya.
Kelahiran dan kematian bintang-bintang adalah satu contoh lebih lanjut dari kerja alam yang dialektik. Sebelum kehabisan bahan bakar nuklirnya, bintang-bintang mengalami satu masa evolusi berkepanjangan yang tenang dan damai selama berjuta-juta tahun. Tapi ketika mereka mencapai titik kritisnya, mereka mengalami sebuah akhir yang penuh gejolak, runtuh ke dalam karena beratnya sendiri dalam waktu kurang dari satu detik. Dalam proses ini, ia memancarkan jumlah energi yang tak terkira dalam bentuk cahaya, memancarkan lebih banyak energi dalam waktu beberapa bulan ketimbang yang telah dipancarkannya selama kehidupannya yang miliaran tahun itu. Namun pancaran cahaya ini hanya mewakili sebagian kecil saja dari jumlah energi yang terlibat dalam sebuah supernova. Energi kinetik dari ledakan itu sepuluh kali lebih besar lagi. Mungkin sepuluh kali lipat lagi dari energi kinetik itu terbawa dalam bentuk neutrino, yang dipancarkan dalam ledakan yang berlangsung kurang dari satu detik. Sebagian besar massa bintang akan terlempar ke angkasa. Ledakan supernova semacam ini yang berlangsung di pinggiran Bima Sakti melemparkan massanya, yang tereduksi menjadi debu nuklir, yang mengandung berbagai macam unsur. Bumi dan segala isinya, termasuk kita, seluruhnya dibangun dari pengolahan ulang limbah debu bintang ini. Zat besi di dalam darah kita adalah salah satu sampel tipikal dari limbah kosmik yang telah didaur ulang ini.
Revolusi-revolusi kosmik ini, seperti halnya revolusi di bumi, adalah kejadian yang jarang. Di galaksi kita sendiri, hanya tiga supernova yang telah tercatat dalam waktu 1000 tahun terakhir. Yang paling cemerlang dari ketiganya, tercatat oleh para astronom Cina di tahun 1054, menghasilkan Crab Nebula. Lebih jauh lagi, klasifikasi bintang-bintang telah membawa kita pada kesimpulan bahwa tidak ada jenis materi baru di alam semesta ini. Materi yang sama hadir di mana-mana. Ciri utama dari spektrum bintang-bintang memperlihatkan keberadaan unsur-unsur yang juga hadir di bumi. Perkembangan astronomi infra-merah telah menyediakan alat untuk menjelajahi interior dari awan gelap interstellar (antar-bintang), di mana mungkin kebanyakan bintang-bintang baru sedang terbentuk. Astronomi radio telah mulai mengungkap komposisi dari awan-awan ini – kebanyakan adalah hidrogen dan debu, tapi dengan campuran dari berbagai molekul dengan kompleksitas yang mengejutkan, banyak di antaranya adalah molekul organik.
Kelahiran tata surya kita sekitar 4,6 miliar tahun lalu berawal ceceran debu yang berasal dari sebuah bintang yang kini telah punah. Matahari kita yang sekarang menggumpal di pusat awan datar yang berputar, sementara planet-planet menggumpal pada berbagai titik di seputar matahari. Dipercayai bahwa planet-planet luar – Yupiter, Saturnus, Uranus dan Pluto – adalah satu sampel dari awan asli itu: hidrogen, helium, metana, amonia dan air. Planet-planet dalam yang lebih kecil – Merkurius, Venus, Bumi dan Mars – lebih kaya akan unsur-unsur yang lebih berat dan lebih miskin dalam gas-gas semacam helium dan neon, yang sanggup meloloskan diri dari gravitasi mereka yang relatif lebih lemah.
Aristoteles mengira bahwa segala yang ada di bumi adalah fana, tapi apa yang ada di langit tidak berubah dan kekal. Kini kita tahu bahwa tidak demikian halnya. Ketika kita memandang kekelaman langit malam yang teramat luas, kita tahu bahwa setiap benda langit yang menyinari kegelapan itu satu hari akan pudar dan padam. Bukan hanya manusia yang fana, tapi bintang-bintang itu sendiri, yang menyandang nama-nama dewa-dewi, akan pula mengalami penderitaan dan kegairahan dari perubahan, kelahiran dan kematian. Dan, dengan cara yang aneh, pengetahuan ini justru membawa kita lebih dekat pada alam semesta, dari mana kita datang dan ke mana kita kelak akan kembali. Matahari kita pada saat ini masih memiliki cukup hidrogen untuk bersinar miliaran tahun lagi dalam keadaannya yang sekarang. Walau demikian, akhirnya, suhunya akan meningkat sampai di mana kehidupan di bumi akan menjadi mustahil. Semua makhluk harus musnah, tapi keragaman yang menakjubkan dari alam semesta material dalam segala perwujudannya adalah kekal dan tak termusnahkan. Kehidupan lahir, mati, dan lahir lagi dan lagi. Demikianlah telah terjadi sebelumnya. Demikianlah ia akan terjadi selama-lamanya.
_______________
Catatan Kaki
[1] Yohanes 1:1, “Inthe beginning was the Word” atau “Pada mulanya adalah Firman”.
[2]Dikutip oleh Lerner, The Big Bang Never Happened, hal. 214.
[3]Lerner, The Big Bang Never Happened, hal. 152.
[4] Lerner 158.
[5] John Wayne (1907-1979) adalah aktor Amerika yang terkenal memainkan tokoh protagonis yang maskulin dan macho dalam film-film koboi.
[6]Lerner, The Big Bang Never Happened, hal. 39-40.
[7] Dalam Kitab Perjanjian Baru, diceritakan bagaimana Paulus bertobat. Paulus, yang sebelum pertobatannya bernama Saulus, awalnya adalah orang yang menindas para pengikut Yesus dari Narareth. Dia ditugaskan untuk menghancurkan gereja Kristen awal. Satu hari, ketika dalam perjalanan ke Damaskus, dia jatuh dari kudanya dan mendapat penglihatan di mana Tuhan berbicara padanya. Tiga hari tiga malam dia menjadi buta, dan tidak bisa makan dan minum. Hamba Tuhan, Ananias, diberi sabda untuk menemui Saulus dan menyembuhkannya. Saulus kemudian bertobat, mengganti namanya menjadi Paulus, dan menjadi penyebar Firman Tuhan yang paling terkemuka.
[8] The Rubber Universe, hal. 11 dan 14
[9] Dikutip dari Lerner, The Big Bang Never Happened, hal. 164-5.
[10] Davies, The Last Three Minutes, hal. 123, 124-5 dan 126.
[11]Lerner, The Big Bang Never Happened, hal. 14.
[12] Lerner, The Big Bang Never Happened. hal. 52, 196, 209 dan 217-8.
[13] Lerner, The Big Bang Never Happened, hal. 153-4, 221 dan 222.
[14] Lerner 149.
[15] Ferris 204.
[16] S. W. Hawking, A Brief History of Time, From the Big Bang to Black Holes, hal. 34.
[17] Hawking 46-7 dan 33.
[18] Engels, Anti-Dühring, hal. 64-5.
[19] Engels, Anti-Dühring, hal. 68.
[20] Hawking 50 dan 88-9.
[21] Hawking 89.
[22] Engels, The Dialectics of Nature, hal. 68-9.
[23] Hawking 116.
[24] Engels, Anti-Dühring, hal. 62-3.
[25] Lerner 161.
[26]W. Rees-Mogg dan J. Davidson 447.