Bendera One Piece membawa ketakutan bagi kelas penguasa. Mereka merepresi, mengancam dan menangkapi mereka yang mengibarkan bendera ini. Mengapa mereka melakukan ini? Itu karena kelas penguasa sadar ada gemuruh revolusi di bawah kaki mereka. Krisis kapitalisme telah meradikalisasi kaum muda dan pekerja. Mereka mencari hal yang dapat menangkap imajinasi mereka, dan mereka menemukannya dalam One Piece.
Lebih dari sepertiga penduduk dunia mengkonsumsi manga dan anime. Ini adalah fenomena budaya khas zaman kita. Sebagaimana dinyatakan dalam Manifesto Komunis: “karya intelektual suatu bangsa akan menjadi milik bersama.” Perkembangan kapitalisme mendekatkan kelas proletariat secara global. Ini berlaku juga dalam ranah budaya.
Pada tahun 2000-an, anime menjadi budaya integral di internet. Meluasnya budaya anime ini terkait erat dengan perkembangan sarana komunikasi baru. Namun, fenomena budaya ini tidak dapat dijelaskan hanya lewat teknologi baru. Ada pula faktor kesadaran yang penting. Jika anime tertentu beresonansi dengan anak muda di seluruh dunia, itu karena anime tersebut mengandung ide-ide yang beresonansi pula di kehidupan mereka. Ciri khas seni lebih dari apapun adalah ia dapat mengungkapkan bahkan kecenderungan paling halus dalam kesadaran massa.
One Piece karya Eiichiro Oda, yang telah terjual lebih dari 500 juta eksemplar, menempati posisi yang unik. Karya ini lebih dari kisah petualangan bajak laut. Jika kita amati lebih dalam terungkap bahwa cerita ini sebenarnya cukup revolusioner karena ia menceritakan perjuangan melawan penindasan. Tokoh utamanya, Luffy, digandrungi jutaan kaum muda di seluruh dunia karena di balik tokoh tersebut tersirat idealisme perjuangan untuk pembebasan. Dan kini di Indonesia, idealisme Luffy telah menjadi manifestasi nyata perjuangan kaum muda dalam melawan rejim dan sistem yang menindas.
One Piece merupakan kritik sosial yang tajam namun tersamar dalam cerita petualangan. Pemerintah dunia dalam cerita ini adalah lambang kekuasaan absolut yang menyembunyikan sejarah, menyensor kebenaran dan menindas. Hal yang paling jelas dari ini adalah Enies Lobby arc dimana Robin diburu seumur hidup karena mencari sejarah sejati dunia, yang tidak berbeda jauh dari kelas penguasa Indonesia yang mati-matian menyembunyikan sejarah 1965 dan ingin mengaburkan sejarah 1998. Atau Dressrosa arc yang menunjukkan bagaimana penguasa seperti Doflamingo menindas rakyatnya demi mempertahankan kekuasaan.
Kaum muda yang mulai menyadari ketidakadilan di dunia nyata, dari tingginya tingkat pengangguran, kesenjangan antara yang kaya dan miskin, hingga sensor informasi, merasa bahwa One Piece berbicara langsung kepada mereka. Luffy mungkin adalah tokoh fiksi, tetapi semangatnya ada di benak banyak kaum muda. Dia memiliki impian mengubah dunia. Dia mengatakan: “Pilih jalanmu sendiri, meskipun penuh bahaya!”
Jika karya ini dapat diringkas satu kalimat, kalimat itu adalah: perjuangan untuk kebebasan! Tidak heran karya yang penuh harapan dan optimisme revolusioner ini begitu memikat generasi kita yang hidup dalam krisis kapitalisme.
Seni tidak jatuh dari langit, dan “One Piece” tak lain adalah sebuah ekspresi proses molekular revolusi dalam ranah budaya. Bukan kebetulan bahwa karya yang paling banyak dibaca dalam dua dekade terakhir adalah kisah bajak laut yang menghajar bangsawan dan polisi! Tak heran jika bendera One Piece hari ini menjadi simbol perlawanan terhadap kelas penguasa. Jika Luffy hidup di dunia kita, dia pasti berjuang mati-matian untuk menumbangkan kapitalisme dan menegakkan sosialisme!