Editorial: Selamat Hari Buruh
Tiap tahunnya kita buruh terus turun ke jalan pada tanggal 1 Mei untuk merayakan Hari Buruh.
Tiap tahunnya kita buruh terus turun ke jalan pada tanggal 1 Mei untuk merayakan Hari Buruh.
Beberapa hari lalu saya mengunjungi sebuah desa. Dinding rumah-rumah warganya terlihat kusam. Seperti dinding istana Kremlin menjelang kematian Stalin. Yach, hanya beberapa saja yang tampak terang dengan cat warna-warni. Hanya beberapa saja. Tidak banyak. Sekitar tiga atau empat.
Jutaan orang yang mendiami daerah pedesaan memiliki seribu satu masalah dalam kehidupan. Masalah pertama dan paling utama yang ingin kita tunjukkan di sini adalah masalah mendapatkan pekerjaan. Penyediaan pekerjaan layak bagi masyarakat miskin pedesaan sepanjang tahun — entah mungkin dari tanah pertanian atau dari jenis pekerjaan lain — merupakan hal yang paling menonjol yang dihadapi dalam kehidupan pedesaan. Kita tahu bahwa pendistribusian tanah adalah hal yang penting, tetapi ini bukanlah masalah utama. Karena mengingat jumlah minimum tanah yang harus dialokasikan untuk sebuah keluarga — untuk bisa bertahan hidup dan memenuhi biaya lain — ada kelangkaan lahan yang dibutuhkan untuk distribusi di antara seluruh penduduk desa di Indonesia hari ini. Artinya penyelesaian masalah pedesaan saat ini adalah bukan dengan hanya melakukan tugas mendistribusikan tanah kepada massa pedesaan tetapi juga mengakhiri kemiskinan dari buruh tani, petani tak bertanah dan miskin di desa-desa. Ini tidak berarti bahwa dengan menyatakan ini kita mengabaikan kebutuhan atau mencoba untuk meremehkan pentingnya mendukung gerakan petani yang menyerukan pemulihan dan pendistribusian tanah di antara buruh tani, petani tak bertanah dan miskin.
Sekali kita berbicara tentang petani dan menghubungkannya dengan revolusi sosialis, saat itu juga kita menyadari betapa kompleksnya persoalan yang kita hadapi. Betapa tidak! “Klas” yang kita namakan “petani” tidak mempunyai posisi yang sama dalam hubungannya dengan alat-alat produksi. Dalam kaitan dengan sisa-sisa feodalisme, kita menjumpai para tuan tanah di satu pihak dan petani penggarap di pihak lain. Dalam kaitan dengan kapitalisme, kita menjumpai kapitalis pertanian di satu sisi dan buruh tani (istilah Tan Malaka: proletar tanah) di sisi lain. Di samping itu kita juga berjumpa dengan lapisan burjuis kecil di kalangan petani, yakni petani gurem dan petani menengah.
Kelas buruh adalah satu-satunya kelas yang mampu memimpin perjuangan rakyat menuju sosialisme.
Demo kita harus “tidak tertib” kalau kita ingin memaksa – bukan memohon – pemerintahan ini untuk membatalkan rencana kenaikan BBM.
Demonstrasi yang terjadi hari ini adalah gejala umum dari krisis kapitalisme. Krisis ini akan menjadi lebih dalam. Dan kaum borjuis tidak memiliki jalan keluar. Setiap usaha untuk mengembalikan keseimbangan ekonomi hanya untuk merusak keseimbangan sosial dan politik. Gejolak baru sedang disiapkan. Besok atau lusa akan ada gejolak baru.
Dalam masyarakat kapitalis ini, dua kelas paling dominan adalah pemilik modal dan buruh. Kelas-kelas dan sektor-sektor tertindas lain, seperti tani, nelayan, dan miskin kota, walaupun eksis dan bahkan jumlahnya lebih besar daripada kelas buruh, tidaklah memiliki posisi sosial dan ekonomi yang menentukan dalam masyarakat seperti halnya buruh. Sejarah pun telah menunjukkan bahwa dalam beberapa kesempatan, buruhlah yang memimpin penumbangan kapitalisme. Kelas dan sektor tertindas lain dapat memainkan peran besar dalam melawan kapitalisme, tetapi yang akhirnya dapat menuntaskan perlawanan ini adalah buruh.
Kita meyakini bahwa klas buruh adalah klas revolusioner.
Antonio Gramsci, seorang Marxis dan pendiri Partai Komunis Italia, berkata-kata tentang hegemoni sebagai “perangkat lunak” yang dimiliki klas penguasa untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Hegemoni, menurut Gramsci, adalah “kepemimpinan moral dan intelektual”. Melalui agama, pendidikan, surat kabar, dan sebagainya, para produsen ideologis klas penguasa membentuk sentimen moral dan cara berpikir klas yang dikuasai.