Setiap kali kita mempelajari sejarah Komune Paris, kita melihatnya dari aspek yang baru. Dan ini adalah karena pengalaman yang telah kita peroleh dari perjuangan-perjuangan revolusioner sesudahnya dan terutama oleh revolusi-revolusi baru-baru ini, bukan hanya Revolusi Rusia, tetapi juga Revolusi Jerman dan Hungaria. Peperangan Franco-Jerman[1] adalah sebuah ledakan yang berdarah-darah, sang pembawa pembantaian besar. Komune Paris adalah pembawa revolusi proletar dunia.
Komune Paris menunjukkan kepada kita kepahlawanan rakyat pekerja, kemampuan mereka untuk bersatu, keberanian mereka untuk berkorban demi masa depan, tetapi pada saat yang sama Komune Paris menunjukkan kepada kita ketidakmampuan massa untuk memilih jalan mereka, keragu-raguan kepemimpinan gerakannya, kecondongan fatal mereka untuk berhenti setelah keberhasilan-keberhasilan awal, yang oleh karenanya memungkinkan musuhnya untuk mengambil napas dan membangun kembali posisinya.
Komune Paris tiba terlambat. Ia memiliki semua peluang untuk merebut kekuasaan pada 4 September dan ini akan memungkinkan kaum proletariat Paris untuk segera menempatkan diri mereka sebagai pemimpin kaum pekerja seluruh Prancis dalam perjuangan mereka melawan semua kekuatan-kekuatan dari masa lalu, melawan Bismarck[2] dan juga Thiers[3]. Tetapi kekuasaan jatuh ke tangan kaum demokrat yang hanya gemar berpidato. Kaum proletar Paris tidak punya sebuah partai, atau para pemimpin yang telah terikat kuat oleh perjuangan-perjuangan sebelumnya. Para patriot borjuis kecil, yang mengira diri mereka sosialis dan mencari dukungan para buruh, sesungguhnya tidak punya kepercayaan diri. Mereka mengoyahkan kepercayaan diri kaum proletar. Mereka terus mencari para pengacara terkemuka, jurnalis-jurnalis, wakil-wakil parlemen, yang tas-tasnya hanya berisi beberapa frase-frase revolusioner yang tidak jelas, untuk mempercayakan kepemimpinan gerakan pada mereka.
Alasan mengapa Jules Favre, Picard, Gamier-Pages, dan kawan-kawannya merebut kekuasaan di Paris tanggal 4 September adalah sama seperti alasan mengapa Paul-Boncour, A. Varenne, Renaudel, dan banyak lainnya dapat untuk sementara menjadi pemimpin kaum proletar. Para Renaudel dan Boncour, dan bahkan para Longuets dan Pressemanes, dalam hal simpati, kebiasaan intelektual dan tingkah laku mereka, adalah lebih dekat dengan para Jules Fevre dan Jules Ferry dibandingkan dengan kaum proletar revolusioner. Fraseologi sosialisme mereka tidak lain adalah sebuah topeng yang memungkinkan mereka untuk memimpin massa. Dan hanya karena Favre, Simon, Picard dan yang lainnya telah menggunakan dan menyalahgunakan fraseologi liberal-demokratis sehingga anak-anak dan cucu-cucu mereka terpaksa menggunakan fraseologi sosialis. Tetapi anak-anak dan cucu-cucu ini adalah seperti ayah mereka dan meneruskan kerja mereka. Dan ketika diperlukan untuk menentukan bukan masalah komposisi kabinet tetapi masalah yang lebih penting, yakni kelas mana di Prancis yang harus merebut kekuasaan, Renaudel, Varenne, Longuet, dan orang-orang seperti mereka akan ada di kampnya Millerand, yakni kolaborator Galliffet, sang pembantai Komune Paris. Ketika para pengoceh revolusioner di café-café dan parlemen menemukan diri mereka berhadapan dengan revolusi di kehidupan yang nyata, mereka selalu menyangkalnya.
Partai buruh yang sesungguhnya bukanlah sebuah mesin untuk manuver-manuver parlementer. Ia adalah kumpulan pengalaman yang terorganisir dari kaum proletar. Hanya dengan bantuan partai, yang bersandar pada seluruh sejarah masa lalunya, yang dapat melihat ke depan jalan perkembangan perjuangan secara teoritis, semua tahapan-tahapannya, dan yang mengambil darinya formula aksi yang diperlukan, maka kaum proletar dapat membebaskan dirinya dari pengulangan sejarah: keragu-raguannya, kebimbangannya, dan kesalahan-kesalahannya.
Kaum proletar Paris tidak memiliki partai seperti itu. Kaum sosialis borjuis yang dikelilingi oleh Komune Paris, mengarahkan matanya ke langit untuk menunggu sebuah keajaiban atau sabda Tuhan, dan bimbang. Sementara massa meraba-raba di kegelapan dan kehilangan kepalanya karena kebimbangan dari beberapa orang dan fantasi dari yang lainnya. Akibatnya revolusi meledak terlalu telat, dan Paris terkepung. Enam bulan berlalu sebelum kaum proletar berhasil mempelajari kesalahan-kesalahan dari revolusi-revolusi yang lalu, dari pertempuran-pertempuran sebelumnya, dari pengkhiatan yang berulang kali dilakukan oleh demokrasi – dan mereka akhirnya merebut kekuasaan.
Enam bulan ini ternyata menjadi sebuah kerugian yang tak tergantikan. Bila ada sebuah partai aksi revolusioner yang memimpin kaum proletar Prancis pada September 1870[4], seluruh sejarah Prancis dan dengannya seluruh sejarah manusia akan mengambil arah yang berbeda.
Bila kekuasaan jatuh ke tangan kaum proletar Paris pada 18 Maret[5], ini bukan karena kekuasaan ini telah direbut dengan sengaja, tetapi karena para musuhnya telah mundur dari Paris.
Mereka terus kehilangan dukungan. Buruh membenci mereka. Borjuasi kecil tidak lagi percaya pada mereka, dan borjuasi besar takut kalau mereka sudah tidak bisa lagi mempertahankan Paris. Para serdadu memusuhi para perwira tinggi. Pemerintahan Prancis mengungsi dari Paris supaya mereka bisa mengkonsentrasikan kekuatan mereka di tempat lain. Dan hanya setelah ini kaum Proletar menjadi penguasa.
Tetapi kaum proletar hanya menyadari ini di esok harinya. Revolusi jatuh ke pangkuan mereka tanpa mereka sadari.
Kemenangan yang pertama membuat rakyat pasif. Musuh telah kabur ke Versailles. Bukankah ini adalah sebuah kemenangan? Pada saat itu, para pejabat pemerintahan mestinya dapat diremukkan tanpa menumpahkan darah. Di Paris, semua menteri-menteri, dengan Thiers sebagai pemimpinnya, mestinya dapat ditangkap. Tidak ada seorangpun yang akan membela mereka. Tetapi ini tidak dilakukan. Tidak ada organisasi partai yang terpusat, yang memiliki wawasan luas dan organ-organ khusus untuk merealisasikan keputusan-keputusannya.
Sisa-sisa pasukan infantri tidak ingin mundur ke Versailles. Benang yang mengikat para serdadu dengan perwira-perwira tinggi sangatlah tipis. Dan bila saja ada partai terpusat di Paris, beberapa ratus atau beberapa lusin buruh dapat menginfiltrasi pasukan-pasukan tentara yang mundur, dan buruh-buruh ini dapat diberikan perintah untuk: meningkatkan kekecewaan para serdadu terhadap perwira-perwira tinggi mereka, mengambil keuntungan psikologis untuk memisahkan para serdadu dari para perwira mereka dan membawa mereka ke Paris untuk bersatu dengan rakyat. Ini dapat dengan mudah dilaksanakan, menurut pengakuan para pendukung Thiers sendirinya. Tidak ada yang pernah memikirkan ini. Dan tidak ada yang bisa memikirkan ini. Di tengah peristiwa-peristiwa besar, keputusan-keputusan seperti itu hanya dapat diadopsi oleh sebuah partai revolusioner yang telah mempersiapkan dirinya untuk sebuah revolusi, sebuah partai yang tidak kebingungan ketika revolusi meledak, sebuah partai yang terbiasa memiliki wawasan yang luas dan tidak takut untuk beraksi.
Sebuah partai yang dapat beraksi adalah satu hal yang tidak dimiliki oleh kaum proletar Prancis.
Komite Pusat Milisi Nasional[6] secara efektif adalah Dewan Deputi-Deputi buruh bersenjata dan borjuasi kecil. Dewan semacam ini, yang dipilih secara langsung oleh massa yang telah mengambil jalan revolusioner, merupakan sebuah aparatus aksi yang luar biasa. Tetapi pada saat yang sama, dan karena hubungan dasar dan langsungnya dengan massa yang ada pada tahapan ini, aparatus ini merefleksikan sisi-sisi kuat dan juga sisi-sisi lemah massa. Dan ia merefleksikan sisi lemah ini lebih daripada sisi kuat. Ia memanifestasikan kebimbangan, tendensi untuk tidak beraksi setelah keberhasilan-keberhasilan awal.
Komite Pusat Milisi Nasional harus dipimpin. Betul-betul diperlukan sebuah organisasi yang mewujudkan pengalaman politik kaum proletar dan selalu ada tidak hanya di dalam Komite Pusat, tetapi juga di dalam legiun-legiun, di dalam batalyon-batalyon, di dalam sektor-sektor terdalam kaum proletar Prancis. Melalui Dewan Deputi-Deputi – di dalam kasus ini mereka adalah Milisi Nasional – partai ini dapat terus berhubungan dengan massa dan mengetahui alam pikiran mereka. Kepemimpinan pusatnya tiap-tiap hari dapat menyerukan sebuah slogan yang, melalui kader-kader militannya, dapat mempenetrasi massa, menyatukan pikiran dan kehendak mereka.
Baru saja pemerintahan Thiers mundur ke Versailles, dan Milisi Nasional buru-buru berusaha melepaskan tanggung jawabnya, justru pada saat ketika tanggungjawabnya luar biasa besar. Komite Pusat ini membayangkan pemilu-pemilu “legal” untuk Komune. Ia bernegosiasi dengan para gubernur Paris untuk melindungi dirinya, dari sisi Kanan, dengan “legalitas”.
Bila saja sebuah serangan sedang dipersiapkan untuk menyerang Versailles pada saat yang sama, maka negosiasi dengan para gubernur adalah sebuah tipu muslihat yang sepenuhnya dapat dibenarkan dari sudut pandang militer dan sesuai dengan tujuan. Namun pada kenyataannya, negosiasi-negosiasi ini dilakukan hanya untuk menghindari pertempuran dengan mengharapkan suatu mukjizat. Kaum radikal borjuis kecil dan kaum sosialis idealis, yang menghormati “legalitas” dan tuan-tuan yang mewakili legalitas ini – para anggota parlemen, para gubernur, dsbnya – berharap sungguh-sungguh dari lubuk hati mereka bahwa Thiers akan berhenti menyerang Paris bila mereka beroleh Komune yang “legal”.
Kepasifan dan kebimbangan juga didukung oleh prinsip suci federasi dan otonomi. Menurut prinsip ini, Paris hanyalah satu komune di antara banyak komune; Paris tidak ingin memaksakan apapun kepada siapapun; Paris tidak berjuang demi kediktaturan, kecuali “kediktaturan teladan”.
Pada akhirnya, ini tidak lain adalah sebuah usaha untuk menggantikan revolusi proletarian, yang sedang berkembang, dengan reformasi borjuis kecil, yakni otonomi komunal. Tugas revolusioner yang sesungguhnya adalah memastikan kaum proletar dapat merebut kekuasaan di seluruh Prancis. Paris harus menjadi basisnya, dukungannya, bentengnya. Dan untuk mencapai ini, Versailles harus segera ditaklukkan tanpa kehilangan waktu, dan para agitator, organiser, dan tentara harus dikirim ke seluruh penjuru Prancis. Kita harus menjalin komunikasi dengan para simpatisan, meyakinkan orang-orang yang ragu, dan menghancurkan para musuh. Alih-alih kebijakan ofensif ini, yang merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan situasi, para pemimpin Paris justru mengisolasi diri mereka dalam otonomi komunal mereka; mereka tidak akan menyerang kota yang lain bila mereka tidak diserang; setiap kota punya hak memerintah diri sendiri yang sakral. Omong-kosong idealis ini – yang sama dengan anarkisme – pada kenyataannya menutupi kepengecutan para pemimpin ini untuk mengambil aksi revolusioner, yang seharusnya dilaksanakan terus hingga akhir, karena jika tidak revolusi seharusnya tidak boleh dimulai.
Kebencian terhadap organisasi kapitalis – yang merupakan warisan dari lokalisme dan otonomisme borjuis kecil – tak diragukan lagi adalah sisi lemah dari sebagian proletar Prancis. Otonomi distrik, daerah, batalyon, kota, adalah jaminan mutlak untuk aktivitas dan kemandirian beberapa kaum revolusionis tertentu. Tetapi ini adalah sebuah kesalahan besar yang harus dibayar mahal oleh kaum proletar Prancis.
Di bawah panji “perjuangan melawan sentralisme yang despotik” dan melawan kedisiplinan yang “mencekik”, berbagai kelompok dan sub-kelompok kelas pekerja berjuang untuk mempertahankan dirinya, mempertahankan kepentingan-kepentingan remeh-temeh mereka, dengan para pemimpin lokal mereka yang picik. Dengan sebuah aparatus yang terpusat dan terikat oleh disiplin baja, seluruh kelas pekerja dapat beraksi secara terorganisir dan teguh sambil mempertahankan keunikan budaya dan perbedaan-perbedaan politik mereka. Tendensi partikularisme, apapun bentuk yang diambilnya, adalah warisan dari masa lalu yang sudah mati. Semakin cepat kaum sosialis, komunis, dan sindikalis Prancis membebaskan dirinya dari masa lalu itu, maka semakin baik ini untuk revolusi proletar.
***
Partai tidak menciptakan revolusi seenak-hatinya. Partai tidak dapat memilih waktu untuk merebut kekuasaan sesuai kehendaknya. Namun partai secara aktif mengintervensi dalam peristiwa-peristiwa, dan setiap saat mempenetrasi jalan pikiran massa revolusioner dan mengevaluasi kekuatan perlawanan musuhnya, dan dari sini partai menentukan waktu yang paling baik untuk aksi penentuan. Inilah tugas yang paling sulit. Partai tidak punya keputusan yang valid untuk setiap kasus. Yang dibutuhkan adalah sebuah teori yang tepat, hubungan yang intim dengan massa, pemahaman situasi, persepsi revolusioner, dan keteguhan yang besar. Semakin dalam sebuah partai revolusioner mempenetrasi semua medan perjuangan proletar, semakin tersatukan ia oleh kesatuan tujuan dan disiplin, maka semakin cepat dan semakin baik partai ini dalam menyelesaikan tugasnya.
Kesulitannya adalah membentuk organisasi partai yang tersentralisasi ini, yang tersatukan secara internal oleh sebuah disiplin baja dan terhubungkan secara intim dengan rakyat, dengan pasang naik dan surutnya. Perebutan kekuasaan tidak akan dapat tercapai kecuali di bawah kondisi tekanan revolusioner yang kuat dari rakyat pekerja. Tetapi dalam aksi ini, elemen persiapan adalah sesuatu yang tak terelakkan. Semakin baik partai dalam memahami situasi dan waktu, semakin baik persiapan basis perlawanannya, semakin baik distribusi kekuatan dan peran-perannya, maka semakin terjamin keberhasilannya dan semakin sedikit korban yang akan jatuh. Korelasi antara aksi yang disiapkan secara seksama dan gerakan massa adalah tugas politik-strategis dari perebutan kekuasaan.
Perbandingan antara 18 Maret, 1871, dengan 7 November, 1917, adalah sangat berguna dalam hal ini. Di Paris, sungguh ada kekurangan inisiatif untuk beraksi dari para pemimpin revolusi. Kaum proletar, yang dipersenjatai oleh pemerintahan borjuis, pada kenyataannya adalah penguasa kota Paris. Mereka memiliki semua instrumen kekuasaan – meriam dan senapan – di tangan mereka, tetapi mereka tidak menyadarinya. Kaum borjuasi mencoba untuk merebut kembali senjata-senjata ini, mereka ingin mencuri meriam kaum proletar[7]. Usaha ini gagal. Pemerintah lari kalang kabut dari Paris ke Versailles. Medan perang sudah bersih. Tetapi baru esok harinya kaum proletar mengerti bahwa merekalah penguasa Paris. Para “pemimpin” tertinggal di belakang peristiwa-peristiwa. Mereka mencatat perisitwa-peristiwa ini setelah mereka sudah terjadi, dan mereka melakukan segalanya untuk menumpulkan pisau revolusioner.
Di Petrograd, peristiwa berlangsung dengan berbeda. Partai bergerak dengan pasti dan teguh, untuk merebut kekuasaan. Anggota-anggotanya ada dimana-mana, mengkonsolidasikan setiap posisi, memperluas setiap jurang antara buruh dan tentara di satu sisi dan pemerintahan di sisi lain.
Demonstrasi bersenjata pada Hari-Hari Juli[8] adalah sebuah pemeriksaan yang dilakukan oleh partai untuk mengukur kekuatan massa dan musuhnya. Pemeriksaan ini berubah menjadi pertempuran untuk merebut pos-pos. Kami terlempar mundur, tetapi pada saat yang sama aksi demonstrasi ini membentuk sebuah hubungan antara partai dengan rakyat. Bulan-bulan Agustus, September, dan Oktober menyaksikan sebuah gejolak revolusioner yang besar. Partai meraih keuntungan darinya dan meningkatkan titik-titik dukungannya di antara kelas pekerja dan garisun-garisun tentara. Kemudian, harmoni antara persiapan-persiapan dan aksi massa terjadi hampir secara otomatis. Kongres Soviet Kedua ditetapkan pada bulan November. Semua agitasi kami ditujukan untuk perebutan kekuasaan oleh Kongres Soviet. Oleh karenanya penggulingan pemerintahan ditetapkan jauh hari sebelum 7 November. Fakta ini diketahui dan dipahami dengan baik oleh para musuh. Kerensky dan para penasehatnya melakukan segala upaya untuk mengkonsolidasikan diri mereka di Petrograd – walaupun capaian mereka kecil – untuk menghadapi momen yang menentukan itu. Juga, mereka berusaha mengirim garisun tentara yang paling revolusioner ke luar dari ibu kota. Kami menggunakan usaha Kerensky ini untuk keuntungan kami, dengan membuatnya sebagai sumber konflik baru yang penting. Kami secara terbuka menuduh pemerintahan Kerensky – yang mana tuduhan kami lalu menemukan konfirmasinya di dalam sebuah dokumen resmi – telah merencanakan penyingkiran sepertiga garisun Petrograd bukan untuk tujuan militer tetapi untuk tujuan konter-revolusioner. Konflik ini membuat kami lebih dekat dengan garisun Petrograd, dan ini memberikan mereka sebuah tugas yang jelas: mendukung Kongres Soviet yang direncanakan pada 7 November. Dan karena pemerintah memaksa – walaupun dengan lemah – pengiriman garisun Petrograd, kami membentuk Komite Perang Revolusioner di Soviet Petrograd – yang sudah ada di tangan kami – dengan dalih untuk memverifikasi alasan militer dari rencana pemerintah tersebut.
Dengan ini kami memiliki sebuah organ militer murni, yang memimpin garisun Petrograd, yang sesungguhnya adalah sebuah organ pemberontakan senjata yang legal. Pada saat yang sama, kami mengirim komisar-komisar komunis ke seluruh unit militer, ke seluruh barak militer, dll. Organisasi militer bawah tanah memenuhi tugas-tugas teknis yang spesifik dan melengkapi Komite Perang Revolusioner dengan militan-miltan terpercaya untuk tugas-tugas militer penting. Kerja penting yang berhubungan dengan persiapan dan pelaksanaan pemberontakan bersenjata berlangsung dengan terbuka, dan begitu metodis dan wajar sehingga kaum borjuasi, yang dipimpin oleh Kerensky, tidak paham jelas apa yang sedang terjadi di bawah pelupuk mata mereka. (Di Paris, kaum proletar hanya paham esok harinya kalau mereka sudah benar-benar menang – sebuah kemenangan yang mereka tidak dapatkan dengan sengaja – dan bahwa mereka adalah penguasa sekarang. Di Petrograd, justru sebaliknya. Partai kami, yang mendasarkan dirinya pada kaum buruh dan tentara, telah merebut kekuasaan, dan kaum borjuasi melewati malam yang cukup tenang dan hanya mempelajari esok paginya bahwa kendali negara sudah ada di tangan penggali liang kuburnya.)
Mengenai strategi, banyak perbedaan pendapat di dalam partai kami.
Sebagian Komite Pusat, seperti yang sudah diketahui, menentang perebutan kekuasaan. Mereka percaya bahwa saatnya belumlah tiba, bahwa Petrograd masih terpisah dari seluruh Rusia, bahwa kaum proletar masih terpisah dari kaum tani, dsbnya.
Kamerad-kamerad yang lain berpendapat bahwa kita tidak cukup memberikan perhatian pada elemen plot militer. Salah satu anggota Komite Pusat menuntut pengepungan Teater Alexandrine pada bulan Oktober ketika Konferensi Demokratik sedang berlangsung, dan memproklamirkan kediktaturan Komite Pusat partai kita. Dia mengatakan: dengan mengkonsentrasikan agitasi kita dan juga persiapan militer kita untuk Kongres Soviet Kedua, kita mengekspos rencana kita kepada musuh dan memberikan mereka peluang untuk mempersiapkan diri mereka dan bahkan menyerang kita terlebih dahulu. Tetapi tidak diragukan kalau usaha plot militer dan pengepungan Teater Alexandrine akan menjadi sebuah fakta yang terlalu asing bagi perkembangan gerakan, bahwa pengepungan ini akan menjadi sebuah peristiwa yang meresahkan massa. Bahkan di Soviet Petrograd, ketika faksi kami mendominasi, usaha seperti itu akan menyebabkan keresahan besar saat itu, terutama di antara garisun yang masih ragu dan resimen-resimen yang belum sepenuhnya percaya kepada kita, terutama resime kavaleri. Akan lebih mudah bagi Kerensky untuk menghancurkan sebuah plot militer yang tidak diduga oleh rakyat daripada menyerang garisun yang sedang mengkonsolidasikan dirinya untuk Kongres Soviet. Oleh karenanya mayoritas Komite Pusat menolak rencana pengepungan Konferensi Demokratik, dan keputusan ini benar. Situasi itu dipertimbangkan dengan sangat bak. Pemberontakan bersenjata, yang berlangsung hampir tanpa pertumpahan darah, berhasil pada hari itu juga, yang sudah ditentukan jauh hari dan secara terbuka, untuk diselenggarakannya Kongres Soviet Kedua.
Akan tetapi, strategi ini tidak dapat menjadi sebuah aturan umum. Ini membutuhkan kondisi-kondisi tertentu. Tidak ada seorangpun yang percaya lagi pada peperangan melawan Jerman, dan para serdadu yang kurang revolusioner tidak ingin meninggalkan Petrograd untuk pergi ke garis depan. Dan bahkan bila garisun tentara secara keseluruhan ada di pihak buruh karena alasan ini, ia menjadi lebih kuat ketika rencana Kerensky terungkap. Tetapi mood garisun Petrograd memiliki alasan yang lebih dalam, yakni di dalam situasi kelas tani dan perkembangan peperangan imperialis. Bila saja terjadi perpecahan di garisun dan Kerensky memperoleh dukungan dari beberapa resimen, rencana kami akan gagal. Elemen-elemen plot militer murni (konspirasi dan kecepatan beraksi) akan menang. Tentu saja kita harus memilih waktu yang lain untuk pemberontakan.
Komune Paris juga memiliki peluang untuk memenangkan resimen-resimen tani, karena mereka telah kehilangan kepercayaan dan rasa hormat pada komando militer. Namun Komune Paris tidak melakukan apapun. Kesalahan di sini terletak bukan di dalam hubungan antara kelas tani dan kelas buruh, tetapi pada strategi revolusioner.
Dalam hal ini apa situasi di negara-negara Eropa pada epos sekarang ini? Tidaklah mudah untuk meramal apapun dalam hal ini. Namun, dengan peristiwa-peristiwa yang berjalan lambat dan pemerintah-pemerintah borjuis mengerahkan semua kekuatannya untuk menggunakan pengalaman-pengalaman masa lalu, kita dapat memprediksikan bahwa kaum proletar, untuk menarik simpati para serdadu, harus menghadapi perlawanan yang besar dan sangat terorganisir pada saat ini. Sebuah serangan yang cerdik dan tepat waktu dari pihak revolusi menjadi diperlukan. Inilah mengapa revolusi harus mempertahankan dan mengembangkan karakter organisasi yang tersentralisasi, yang secara terbuka memandu gerakan revolusioner massa dan pada saat yang sama sebuah aparatus pemberontakan bersenjata klandestin.
***
Masalah pemilihan komandan militer adalah salah satu alasan konflik antara Milisi Nasional dan Thiers. Paris menolak menerima para komandan militer yang ditunjuk oleh Thiers. Varlin lalu memformulasikan bahwa para komandan Milisi Nasional, dari atas sampai bawah, harus dipilih oleh serdadu sendiri. Dari sinilah Komite Pusat Milisi Nasional mendapatkan dukungannya.
Permasalahan ini harus dilihat dari dua sisi: dari sisi politik dan militer, yang saling bertautan tetapi harus dibedakan. Tugas politik kita adalah untuk membersihkan Milisi Nasional dari para komandan yang konter revolusioner. Pemilihan secara penuh adalah satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini, karena mayoritas Milisi Nasional terdiri dari buruh dan borjuis kecil revolusioner. Dan selain itu, dengan moto “pemilihan komandan” yang juga diperluas ke infantri, Thiers – dengan satu pukulan – akan kehilangan seluruh senjata pentingnya: perwira-perwira konter-revolusioner. Untuk merealisasikan rencana ini, dibutuhkan sebuah partai, dengan anggota-anggotanya di semua unit militer. Dalam kata lain, pemilihan dalam hal ini memiliki tugas bukan untuk menyediakan komandan-komandan yang baik untuk batalyon-batalyon ini, tetapi untuk membebaskan batalyon-batalyon ini dari para komandan yang berbakti pada kaum borjuasi. Pemilihan berfungsi sebagai tuas untuk memecahkan angkatan bersenjata di sepanjang garis kelas. Inilah yang terjadi pada masa Kerensky sebelum Revolusi Oktober.
Tetapi pembebasan angkatan bersenjata dari aparatus kepemimpinan yang lama secara tak terelakkan akan melemahkan kohesi organisasi dan kekuatan perang. Umumnya, para komandan yang terpilih cukup lemah dalam hal teknik militer dan dalam hal menjaga keterbitan dan disiplin. Oleh karenanya, saat ketika angkatan bersenjata membebaskan dirinya dari kepemimpinan militer lama yang konter-revolusioner, sebuah masalah mencuat: bagaimana memberikannya sebuah kepemimpinan revolusioner yang mampu memenuhi misinya. Dan masalah ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan pemilihan saja. Sebelum massa tentara luas bisa memperoleh pengalaman untuk memilih para komandan dengan baik, revolusi ini akan dihancurkan oleh musuh yang dapat menunjuk para komandannya dengan pengalaman berabad-abad. Metode-metode demokrasi tak berbentuk (pemilihan sederhana) harus disertai dan pada tingkatan tertentu digantikan dengan kebijakan-kebijakan penunjukkan dari atas. Revolusi harus menciptakan sebuah organisasi yang berisikan organiser-organiser yang berpengalaman dan dapat diandalkan dan dipercaya, dan memberikannya otoritas penuh untuk memilih, menunjuk, dan melatih para komandan militer. Bila partikularisme dan otonomisme demokratis adalah elemen-elemen yang sangat berbahaya bagi revolusi proletar secara umum, maka mereka bahkan sepuluh kali lebih berbahaya di dalam angkatan bersenjata. Kita sudah saksikan ini dalam pengalaman tragis Komune Paris.
Komite Pusat Milisi Nasional memperoleh otoritasnya dari pemilihan demokratis. Pada saat yang sama ketika Komite Pusat harus mengembangkan secara maksimum inisiatif ofensifnya, karena tidak ada kepemimpinan partai proletar, mereka kebingungan, dan terburu-buru mentransfer otoritasnya ke wakil-wakil Komune yang membutuhkan basis demokratis yang luas. Bermain-main dengan demokrasi pada periode tersebut adalah sebuah kesalahan besar. Tetapi setelah pemilihan telah terlaksana dan Komune terbentuk, segala hal harus dikonsentrasikan ke Komune ini dan memberikannya tugas untuk membentuk sebuah organ yang punya kuasa untuk mereorganisasi Milisi Nasional. Tetapi ini tidak terjadi. Di sisi Komune yang terpilih masih ada Komite Pusat Milisi Nasional; yang karena terpilih juga memiliki otoritas politik dan bersaing dengan Komune. Tetapi, pada saat yang sama, ini juga melemahkannya dalam masalah militer. Pemilihan dan metode-metode demokratik hanyalah salah satu instrumen di tangan kaum proletar dan partainya. Pemilihan tidak boleh menjadi sebuah fetis dan obat mujarab untuk semua penyakit. Metode pemilihan harus dikombinasikan dengan metode penunjukan. Kekuasaan Komune datang dari Milisi Nasional yang terpilih. Tetapi setelah terbentuk, Komune harus mengorganisasi ulang Milisi Nasional dengan tangan besi, dari atas hingga bawah, memberikannya pemimpin-pemimpin handal dan membentuk sistem kedisplinan yang ketat. Akan tetapi Komune Paris tidak melakukan ini, karena dirinya sendiri tidak punya satu pusat kepemimpinan revolusioner yang kuat. Komune Paris akhirnya takluk.
Kita dapat membaca seluruh sejarah Komune Paris, lembar demi lembar, dan kita akan menemukan di dalamnya satu pelajaran tunggal: sebuah kepemimpinan partai yang kuat dibutuhkan. Demi revolusi, kaum proletar Prancis telah membuat pengorbanan yang jauh lebih besar dibandingkan kaum proletar lainnya. Tetapi juga mereka juga tertipu jauh lebih banyak. Berulang kali kaum borjuasi mempesonanya dengan warna-warni republikanisme, radikalisme, sosialisme, supaya bisa mengikat mereka ke kapitalisme. Melalui agen-agennya, para pengacaranya dan para jurnalisnya, kaum borjuasi memasukkan formula-formula demokratik, parlementerisme, dan otonomisme yang tidak lain adalah beban di kaki kaum proletar, yang mencegahnya untuk maju ke depan.
Temperamen kaum proletar Prancis adalah temperamen lava revolusioner. Tetapi lava ini sekarang terkubur oleh abu skeptisisme akibat penipuan-penipuan dan kekecewaan-kekecewaan yang terlampau banyak. Juga, kaum proletar revolusioner Prancis harus lebih keras terhadap partai mereka dan membongkar segala ketidaksesuaian antara kata dengan aksi. Kaum buruh Prancis membutuhkan sebuah organisasi, yang kuat seperti baja, dengan pemimpin-pemimpin yang dikendalikan oleh massa di setiap tahapan gerakan revolusioner.
Berapa banyak waktu yang akan diberikan oleh sejarah untuk mempersiapkan diri kita? Kita tidak tahu. Selama lima puluh tahun kaum borjuasi Prancis mempertahankan kekuasaan di tangannya setelah memilih Republik Ketiga di atas tulang belulang kaum Komune Paris. Para pejuang 1871 ini tidak kekurangan semangat kepahlawanan. Yang tidak mereka miliki adalah metode yang jelas dan sebuah organisasi kepemimpinan yang terpusat. Inilah mengapa mereka dibantai. Setengah abad berlalu sebelum kaum proletar Prancis dapat membalas dendam kematian kaum Komune. Tetapi kali ini, aksinya akan lebih teguh, lebih terkonsentrasi. Pewaris Thiers harus membayar hutang sejarahnya dengan penuh.
Catatan:
[1] Peperangan Franco-Jerman atau Franco-Prussia adalah konflik antara Kerajaan Prancis Kedua dan Kerajaan Prussia pada tahun 1870. Setelah Prancis kalah dalam peperangan ini, rakyat Prancis bangkit memberontak dan lahirnya peristiwa bersejarah Komune Paris 1871.
[2] Otto von Bismarck (1815-1898) adalah Presiden Kerajaan Prussia pada saat peperangan Franco-Prussia. Di bawahnya, setelah perang tersebut, Jerman menjadi satu.
[3] Adolphe Thiers (1797-1877) adalah Perdana Menteri Prancis pada tahun 1836 dan 1840. Pada saat Komune Paris, dialah yang memimpin penumpasan pemberontakan Komune Paris dan memerintahkan pembantaian lebih dari 80 ribu rakyat pekerja Paris.
[4] Pada tanggal 19 September 1870, tentara Prussia (Jerman) menyerang kota Paris dalam peperangan Franco-Prussia yang dimulai oleh Napoleon III pada Juli 1870. Peperangan ini membuat rakyat pekerja Paris geram dan akhirnya memicu Komune Paris pada April 1871.
[5] Pada tanggal 18 Maret 1871, Thiers memerintahkan tentaranya untuk menyita meriam-meriam yang dimiliki oleh Milisi Nasional. Tentara Thiers yang moralnya sudah rendah justru menyebrang ke sisi Milisi Nasional yang lalu memberontak. Thiers segera mengevakuasikan pemerintahannya ke Versailles, dan secara efektif Komite Pusat Milisi Nasional menjadi pemerintah di kota Paris.
[6] Milisi Nasional atau La Garde Nationale adalah milisi bersenjata yang dibentuk oleh rakyat Paris yang mengangkat senjata pada saat Komune Paris. Unit-unit milisi ini memilih perwira-perwira mereka.
[7] Pada tanggal 18 Maret, Thiers memerintahkan tentara untuk merebut kembali meriam-meriam Milisi Nasional, tetapi ia gagal. Rakyat melawan dan dia terpaksa mengungsi ke Versailles.
[8] Pada bulan Juli 1917, kaum buruh Petrograd melakukan demonstrasi besar untuk menumbangkan Pemerintahan Provisional, namun mereka belumlah siap dan demonstrasi ini mengalami kegagalan dan kaum Bolshevik diserang dan partainya dilarang. Namun kemunduran ini tidak berlangsung lama. Pada bulan September kaum Bolshevik dapat bangkit kembali dan merebut kekuasaan pada bulan Oktober 1917.
_______________________________________