Lenin dalam bukunya Negara dan Revolusi mengatakan, “Marx memahami esensi demokrasi kapitalis ini dengan sangat baik ketika, dalam menganalisis pengalaman Komune, ia mengatakan bahwa kaum tertindas diperbolehkan setiap beberapa tahun sekali untuk memilih perwakilan kelas penindas mana yang akan mewakili dan menindas mereka di parlemen!” Demikian pemilu kali ini, seperti halnya pemilu-pemilu sebelumnya.
Hasil resmi sudah diumumkan beberapa minggu yang lalu dan Prabowo akan menjadi presiden Indonesia berikutnya pada Oktober mendatang. Sementara hasil pileg tidak membawa perubahan berarti dalam perimbangan kekuatan parpol-parpol yang ada. Setelah suara bising karnaval demokrasi yang memekakkan telinga ini reda, sayup-sayup penderitaan rakyat pekerja terdengar kembali. Harga beras melejit dan memaksa jutaan rakyat mengurangi porsi makan mereka, dan siapapun yang menang jelas tidak akan mengubah kondisi ini.
Dalam pemilu yang oleh banyak pakar dinilai sebagai pemilu paling kotor, “Jenderal Kehormatan” kita menang telak dengan 58% suara. Prabowo mencalonkan dirinya sebagai penerus langsung Jokowi dan berjanji akan melanjutkan kebijakannya. Ia tidak akan memenangkan pemilu ini tanpa dukungan langsung dari Jokowi, yang mengirim anaknya sebagai perwakilannya.
Pasar bereaksi positif terhadap kabar kemenangan Prabowo dalam satu putaran. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 1,3% setelah penghitungan cepat tidak resmi menempatkan Prabowo jauh di depan para pesaingnya. Pasar tidak terlalu peduli dengan keluh kesah dari kelompok liberal bahwa kemenangan Prabowo dinodai oleh kecurangan. Selama Prabowo berjanji untuk melanjutkan kebijakan-kebijakan Jokowi yang menguntungkan kaum kapitalis, demokrasi bisa dikesampingkan dan hanya dianggap sebagai ketidaknyamanan kecil.
Sejak hari pertama, pemilu ini bukannya tanpa skandal dan kontroversi. Begitu Jokowi pisah dari patronnya Megawati Sukarnoputri dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan memetakan karier politiknya sendiri, dia menjadi pusat perhatian selama pemilu meskipun tidak dapat lagi mencalonkan diri. Dengan 80 persen dukungan rakyat, Jokowi benar-benar menjadi kingmaker dalam pemilu kali ini, dan dia memastikan semua orang mengetahuinya. Dukungannya akan menjamin kemenangan bagi kandidat mana pun, dan kemenangan Prabowo telah membuktikannya. Di sejumlah basis PDI-P, Ganjar kalah telak, sementara Prabowo mengantungi suara mayoritas besar.
Sepuluh tahun yang lalu, ketika Jokowi pertama kali terpilih, Megawati secara terbuka mengingatkan Jokowi bahwa dia tidak lebih dari petugas partai yang melayani Megawati: “Saya mengangkat Anda sebagai calon presiden. Tapi Anda harus ingat bahwa Anda adalah petugas partai, yang memiliki tugas melaksanakan program dan ideologi partai [baca: melaksanakan perintah saya].” Namun selang waktu 10 tahun ini berlalu dengan tidak sia-sia bagi Jokowi. Jokowi dengan lihai membangun dinasti politiknya sendiri sehingga mampu melepaskan dirinya dari ketiak Megawati. Dengan menggunakan posisinya sebagai presiden, ia mengumpulkan di sekelilingnya sepasukan punggawa setia yang menempati posisi-posisi strategis pemerintahan dari atas sampai bawah, para birokrat dan pejabat yang berhutang budi padanya untuk posisi empuk dan basah yang mereka terima.
Jokowi juga mendorong anggota-anggota keluarganya menduduki posisi berpengaruh: putra bungsunya Kaesang sebagai ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI); putra sulungnya Gibran sebagai walikota Surakarta dan kemudian menjadi wakil presiden; menantunya Bobby Nasution sebagai Wali Kota Medan, kota terbesar di Sumatera; iparnya Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Yang terakhir ini sangat berperan dalam memungkinkan Gibran untuk ikut serta dalam pemilu. Dalam keputusan yang kontroversial, Mahkamah Konstitusi mengubah persyaratan usia minimum 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden, sehingga membuka jalan bagi Gibran yang berusia 36 tahun untuk menjadi pasangan calon wakil presiden Prabowo. Hukum itu memang hanya secarik kertas yang bisa ditulis ulang oleh yang empunya kuasa.
Ketika Jokowi pertama kali muncul di kancah politik nasional, ada euforia besar karena ia dipandang sebagai seseorang yang jauh dari koridor kekuasaan yang amis dan busuk. Dengan latar belakang sederhana dan rekam jejak yang bersih, Jokowi dipuji sebagai sosok reformis progresif yang program “Revolusi Mental”nya akan membersihkan pemerintah dari korupsi, kolusi, dan nepotisme serta memperbaharui demokrasi.
Kelompok liberal sangat jatuh cinta pada Jokowi, namun kemudian menyadari bahwa cinta mereka bertepuk sebelah tangan. Alih-alih menjadi mercusuar demokrasi, Jokowi malah memberikan pukulan telak terhadap demokrasi, dengan mengesahkan serangkaian undang-undang yang membungkam kebebasan berekspresi. Ratusan aktivis buruh, petani, dan lingkungan dikriminalisasi di bawah pemerintahannya.
Belum lama ini, pemerintah mensahkan KUHP baru yang akan menghukum seseorang bila tidak menghormati presiden, parlemen, atau lembaga peradilan. Selain itu, KUHP yang baru ini juga semakin melarang komunisme dan Marxisme.
Jokowi juga telah melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara signifikan, menjadikan negara ini lebih korup dibandingkan ketika ia pindah ke istana presiden satu dekade sebelumnya. Menurut Transparansi Internasional, Indonesia kini berada di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei. Pada tahun 2014 ketika ia mulai menjabat, Indonesia berada di peringkat 107. “Revolusi Mental” yang diusungnya terbukti menjadi janji kosong elektoral untuk menidurkan massa. Kenyataannya, korupsi tidak bisa dipisahkan dari kapitalisme Indonesia dan negaranya. KPK dibentuk pada tahun 2003 setelah Revolusi 1998 yang menggulingkan Soeharto dan akibat dari tekanan massa seputar isu korupsi. Namun sejak itu, KPK semakin melemah dari tahun ke tahun hingga nyaris ompong. Korupsi masih mewabah di semua tingkat pemerintahan. Dalam melemahkan KPK, Jokowi hanya melanjutkan apa yang telah dilakukan para pendahulunya. Faktanya, ia melemahkan pengawasan terhadap pemerintah dan praktik bisnis untuk mempercepat proyek-proyek besar dan investasi yang diperlukan untuk memastikan pertumbuhan ekonomi tinggi yang ia janjikan.
Terakhir, disahkannya Omnibus Law tahun 2021 yang menjadi salah satu pencapaian utama pemerintahan Jokowi. Omnibus Law secara radikal merevisi puluhan undang-undang untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik bagi para kapitalis, yang berarti upah yang lebih rendah, tergerusnya jaminan kerja bagi pekerja, melemahnya perlindungan lingkungan, dan lebih banyak keringanan pajak bagi perusahaan. Sama seperti presiden borjuis lainnya, kesetiaan Jokowi adalah pada modal, bukan “demokrasi” atau ide-ide progresif abstrak lainnya yang diimpikan kaum liberal.
Dalam dua pemilu sebelumnya, kaum demokrat liberal dan banyak aktivis kiri lainnya, bahkan mereka yang menyebut diri mereka sosialis dan Marxis, mendukung Jokowi sebagai sosok yang lebih bersih dibandingkan dengan kubu ‘fasis’ Prabowo. Namun politik minus malum ini telah menghadirkan kejahatan yang lebih besar dalam diri Jokowi sendiri. Pertama, Jokowi-lah yang telah melakukan apa yang ditakutkan oleh kaum liberal jika ia terpilih. Kedua, setelah pemilu tahun 2019, Jokowi langsung merangkul Prabowo dan mengangkatnya ke posisi menteri pertahanan. Dengan semakin dekatnya pemilu, terlihat jelas bahwa Jokowi sedang mempersiapkan Prabowo untuk menggantikannya. Prabowo sang ‘fasis’ tidak akan mampu memenangkan pemilu ini tanpa dukungan dari Jokowi sang ‘demokrat’. Dengan memanfaatkan posisinya, Jokowi mengerahkan aparatur negara, mulai dari kepala desa hingga menteri kabinet, untuk mengkampanyekan Prabowo.
Kalangan sayap kiri yang mendukung Jokowi mengeluh karena dikecewakan oleh Jokowi. Faktanya, mereka membiarkan diri mereka dikecewakan dan ditipu. Selama mereka menerima kapitalisme, mau tidak mau mereka membatasi diri untuk memilih antara merek kapitalisme ini atau itu, yang pada kenyataannya merupakan pilihan palsu, yang intinya mempertahankan status quo.
Setelah menyaksikan bencana di bawah kepemimpinan Jokowi, mereka berseru bersama: “Jangan lagi! Kami akan lebih bijaksana lain kali.” Namun alih-alih mendulang pelajaran dari kekeliruan politik minus malum, kaum kiri yang tidak bertobat ini justru mengarahkan politik “memilih terbaik dari yang terburuk” mereka ke kandidat borjuis yang lain. Kini, Jokowi dan Prabowo adalah pihak yang lebih jahat, dan mereka mendapati diri mereka mendukung kandidat borjuis Anies dan Ganjar sebagai kubu yang lebih baik.
Memilih terbaik dari yang terburuk, baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak lain hanyalah pembelaan terhadap status quo kapitalis. Faktanya, tidak ada perbedaan mendasar antara seluruh kandidat. Mereka mewakili kepentingan yang sama, yaitu kepentingan kaum borjuis. Tidak ada yang lebih demokratis dari yang lain, karena demokrasi borjuis yang kita jalani tetap merupakan demokrasi bagi kaum minoritas yang mengeksploitasi, bagi kaum kaya.
Setelah pemilu, kedua kandidat yang kalah mengeluhkan kecurangan pemilu. Namun kecil kemungkinannya mereka akan mengajukan gugatan serius ke pengadilan, karena mereka sendiri juga melakukan praktik kotor yang sama di setiap pemilu. Massa dapat melihat kemunafikan mereka dan tampaknya tidak memiliki keinginan untuk dijadikan alat untuk menantang hasil pemilu. Ada sikap apatis dan sinis di kalangan pemilih terkait dengan kecurangan pemilu ini. Kepercayaan masyarakat pada demokrasi sungguh tipis. Mereka sadar sepenuhnya bahwa semua politisi dan pejabat negara, mulai dari kepala desa hingga hakim agung, adalah korup. Kecurangan pemilu bukan lagi hal yang mengejutkan. Ini adalah keadaan yang sangat berbahaya bagi kelas penguasa, karena sikap apatis dan sinisisme ini bisa dengan cepat berubah menjadi pemberontakan terbuka.
Ketika para politisi membuat pernyataan muluk-muluk bahwa mereka akan mempertahankan kesucian demokrasi dalam pemilu, di balik layar semua partai borjuis yang bersaing telah mulai melobi satu sama lain mengenai cara terbaik untuk membagi-bagi kue kekuasaan. Usai pemilu, Presiden Jokowi tak menyia-nyiakan waktu untuk bertemu dengan ketua Partai Nasdem Surya Paloh untuk membawa partainya bergabung dalam koalisi besar pemerintahan Prabowo. Memang tidak ada teman atau musuh yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi, yaitu kepentingan bersama kelas kapitalis. Kita perlu mengingat apa yang dikatakan Marx tentang negara borjuis, bahwa negara borjuis “tidak lain adalah komite untuk mengelola masalah bersama seluruh borjuasi.” Komite ini mungkin dipimpin oleh partai ini atau itu, oleh individu ini atau itu, tetapi komite ini tetaplah komite kaum borjuis.
Saat ini, kaum borjuis menuntut kesinambungan dan “komite” yang stabil agar mampu menghadapi perekonomian dunia yang semakin dipenuhi ketidakpastian. Lobi-lobi kini tengah berlangsung untuk memastikan Prabowo dapat membentuk koalisi pemerintahan yang menguasai mayoritas di parlemen. Tampaknya sangat mungkin bahwa Prabowo, dengan bantuan Jokowi sebagai mediator, akan mampu membentuk koalisi besar yang akan mencakup banyak lawan-lawannya. Ini akan menjadi pelajaran mengenai demokrasi borjuis bagi massa, bahwa tidak peduli partai politik mana pun yang mereka pilih, partai-partai tersebut hanya akan mengurus “masalah bersama seluruh borjuasi”.
Meskipun pemerintahan Jokowi telah mengecewakan banyak orang yang memilihnya, karena ia telah mengkhianati banyak janji-janji pemilunya, ia masihlah presiden paling populer dalam beberapa tahun terakhir. Dalam sebagian besar jajak pendapat, ia memperoleh 70-80% dukungan. Ketersediaan uang murah pada periode sebelumnya – yang telah berakhir – dan booming ekspor bahan mentah saat ini, khususnya nikel, batu bara, dan minyak sawit, telah berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan relatif baik selama masa jabatan Jokowi di tengah pertumbuhan lesu global, yang pada gilirannya memungkinkan dia untuk tetap populer dalam jajak pendapat. Selain itu, inersia politik borjuis dan tidak adanya alternatif kelas buruh juga menjelaskan tingginya tingkat dukungan terhadap Jokowi meskipun dia tidak memenuhi harapan euforia satu dekade sebelumnya.
Massa yang mengikuti karnaval demokrasi ini tidak terlalu antusias. Namun tersembunyi di balik ketidakpedulian ini adalah rasa jijik yang mendalam terhadap keseluruhan sistem. Yang kurang adalah partai massa kelas buruh yang bisa memberikan ekspresi politik terhadap kemarahan massa yang tersembunyi ini.
Pada pemilu tahun ini, ada Partai Buruh yang berlaga. Namun PB hanya berhasil mengumpulkan sekitar 0,6% suara. Diprakarsai pada 2021 terutama oleh FSPMI, Partai Buruh gagal membangkitkan antusiasme di kalangan buruh dan pemuda secara luas. Faktanya, di setiap langkah, mereka menerapkan kebijakan oportunis dan kolaborasi kelas.
Partai Buruh dibentuk bukan pada saat gerakan buruh sedang maju, melainkan pada saat gerakan buruh sedang mengalami kemunduran. Ini menentukan dinamika Partai Buruh. Tanpa adanya gerakan massa yang melatarbelakanginya, maka tidak ada keterlibatan aktif massa dalam partai ini. Akibatnya, Partai Buruh pada akhirnya hanyalah kelanjutan dari dinamika serikat buruh reformis yang membangunnya. Partai ini diisi dan dikendalikan oleh para pemimpin konservatif dan birokrat yang kurang lebih sama, yang bertanggung jawab atas kekalahan gerakan buruh pada periode sebelumnya.
Sejak awal, kepemimpinan telah mendorong partai untuk mendukung salah satu calon presiden borjuis. Said Iqbal, ketua umum partai, mencoba membenarkan hal ini dengan mengatakan: “Kami butuh pengusaha yang baik, Jangan berhadap-hadapan walaupun kami kelas pekerja. Seperti Lula, dia sayap Kiri tengah, tetapi wakil presidennya adalah sayap kanan. Lula berkompromi juga.” Pendekatan kolaborasi kelas seperti itu tidak menarik bagi buruh dan pemuda yang sadar kelas, dan justru membuat mereka menjauhi PB.
Meskipun ada beberapa organisasi kiri dan serikat buruh di partai tersebut, aktivis reformis kiri ini dengan setia membuntuti sayap kanan, yang pada gilirannya membuntuti kaum borjuis. Mereka menentang sikap yang terlalu radikal demi menjaga kesatuan partai dan menjamin keberhasilan partai dalam pemilu. Mereka berpikir bahwa dengan menyembunyikan sosialisme mereka, mereka dapat memenangkan massa. Pada akhirnya, mereka tidak memenangkan siapa pun di partai tersebut, sebagaimana dibuktikan oleh hasil pemilu.
Ketika kapitalisme berada dalam krisis yang mendalam, satu-satunya program yang dapat diajukan oleh pimpinan Partai Buruh adalah program yang didasarkan pada gagasan “negara kesejahteraan” yang sudah ketinggalan zaman itu. Dengan kepemimpinan yang tidak memiliki keberanian dan imajinasi, Partai Buruh gugur dalam kandungan. Partai ini berpotensi menjadi partai massa alternatif yang selama ini dicari-cari kaum buruh, namun potensi ini disia-siakan.
Satu-satunya cara agar Partai Buruh dapat mengubah dirinya menjadi partai buruh massa adalah dengan mengadopsi program sosialis yang revolusioner dan konsisten. Tidak mungkin ada negara kesejahteraan di bawah kapitalisme. Partai perlu mewujudkan slogan “we are the working class” yang sering diulang-ulang itu dengan mengakhiri metode kolaborasi kelas yang kini menjangkiti kepemimpinan. Inilah satu-satunya program dan metode yang dapat menginspirasi dan menarik generasi muda dan buruh yang semakin kecewa terhadap para politisi korup dan kapitalisme.
Prabowo telah berjanji kepada pasar bahwa pemerintahannya akan mempertahankan kebijakan Jokowi terkait belanja infrastruktur besar-besaran, ekspor komoditas, dan penciptaan iklim investasi yang baik. Dia menyebut dirinya sebagai penerus Jokowi. Selama masa jabatan Jokowi, perekonomian berhasil tumbuh sekitar 5 persen setiap tahun selama pandemi dan Prabowo berupaya untuk melanjutkan perekonomian dengan pertumbuhan tinggi ini. Namun prestasi ini kemungkinan akan sulit dicapai.
Jokowi mampu menjaga pertumbuhan ekonomi karena sejumlah faktor: suku bunga rendah dan meningkatnya permintaan akan teknologi energi hijau. Selama sekitar satu dekade terakhir, tingkat suku bunga rendah memungkinkan masuknya uang murah ke perekonomian Indonesia. Namun rezim bunga rendah ini telah berakhir. Satu-satunya cara agar rezim ini dapat mempertahankan daya saing Indonesia sebagai salah satu pasar investasi paling menarik di dunia adalah dengan melakukan kontra-reforma terhadap undang-undang ketenagakerjaan dan undang-undang lingkungan hidup, dan memberikan keringanan pajak pada korporasi, yang berarti lebih banyak pemotongan program sosial. Semua serangan ini merupakan resep bagi ledakan perjuangan kelas.
Boom ekspor nikel, yang sebagian besar didorong oleh boom energi hijau, juga berperan sebagai pendorong pertumbuhan yang penting, sehingga menghasilkan surplus perdagangan untuk pertama kalinya dalam satu dekade pada tahun 2021. Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Ekspor nikel melonjak dari hanya $1,4 miliar pada tahun 2014 menjadi hampir $22 miliar pada tahun 2022. Ini juga mendorong investasi asing. Perusahaan seperti Ford, Hyundai, dan BYD, produsen kendaraan listrik terbesar di dunia, telah menyatakan komitmen investasi miliaran dolar. Pada tahun 2023, investasi asing tumbuh mencapai angka tertinggi, sebesar $47,3 miliar, setelah melonjak 46,6 persen pada tahun 2022. Sekitar sepertiganya berasal dari Tiongkok dan masuk ke industri logam dan pertambangan.
Namun ada tanda-tanda bahwa boom mobil listrik tengah mendekati puncaknya. Sudah ada overkapasitas (lebih tepatnya, overproduksi) yang mengkhawatirkan di industri kendaraan listrik Tiongkok. Financial Times melaporkan, “Overkapasitas masih menghantui industri kendaraan listrik Tiongkok. Dalam empat bulan pertama tahun 2023, pemanfaatan kapasitas dari 10 penjual teratas berada di bawah 70 persen. Perang harga terus berlanjut sehingga menekan keuntungan.” Tiongkok telah berusaha membuang kelebihan kendaraan listriknya ke Eropa, sehingga mendorong UE untuk meluncurkan penyelidikan anti-dumping “proteksionis” terhadap industri kendaraan listrik Tiongkok yang mengancam kelangsungan hidup produsen mobilnya. Pada gilirannya, harga nikel telah anjlok dari puncaknya sebesar $50.000 pada tahun 2022 menjadi hanya $16.400 per ton pada Februari 2024, karena kelebihan pasokan dari Indonesia, yang sebagian besar berasal dari tambang yang dimiliki dan dioperasikan oleh Tiongkok. Boom nikel yang menopang perekonomian Indonesia sudah berakhir.
Saat Prabowo (dan Jokowi) merayakan kemenangannya, harga beras mencapai titik tertinggi baru, Rp 14.000 per kilogram, naik dari Rp 10.000. Di seluruh penjuru negeri, ratusan ibu rumah tangga harus antre berjam-jam untuk membeli beras subsidi. Harga telur, cabai, dan kebutuhan pokok lainnya juga meningkat. Ini telah menciptakan situasi yang tidak tertahankan bagi rakyat miskin. Tangan tak-terlihat pasar sedang mempermainkan kehidupan mereka, seperti yang dikomentari oleh salah satu pedagang kaki lima mengenai melonjaknya harga: “Dibilang masuk akal ya aneh, tidak masuk akal tapi nyatanya juga begitu. Bagaimana ya… enggak tahu juga.” Krisis kapitalisme mendorong semakin banyak orang mempertanyakan rasionalitas sistem ini.
Prabowo mungkin bisa meraih kemenangan telak yang akan meningkatkan kepercayaan pasar bahwa Indonesia akan melaju mulus ke periode berikutnya. Namun masa depan masih penuh dengan gejolak dan ketidakpastian. Sejauh ini Indonesia telah terhindar dari gejolak sosial dan politik serius yang mengguncang banyak negeri di seluruh dunia, namun sangatlah bodoh jika kita berpikir bahwa Indonesia akan selamanya kebal terhadap krisis kapitalisme. Ketika krisis ini akhirnya menyentuh Indonesia, tidak ada pemerintahan borjuis yang dapat menyelesaikannya dan panggung akan dipersiapkan untuk ledakan perjuangan kelas.