Alan Woods, di dalam bukunya tentang Revolusi Venezuela, teringat akan percakapannya dengan Hugo Chavez, pemimpin Revolusi Bolivarian. “Saya membaca sebuah buku oleh Plekhanov dahulu kala”, Presiden Chavez berkomentar, “dan buku tersebut memberikan kesan yang kuat kepada saya. Buku tersebut berjudul Peran Individu di dalam Sejarah.” Presiden Chavez merenungkan judul tersebut dan berkata: “Ya, saya tahu bahwa tidak ada seorangpun yang benar-benar tak tergantikan.” Akan tetapi, Alan memotong dan mengoreksi Presiden Chavez pada poin tersebut: “Ada waktunya di dalam sejarah dimana seorang individu dapat membuat perbedaan yang fundamental.” Contohnya adalah Hugo Chavez sendiri.
Hugo Chavez telah menjadi identitas Revolusi Bolivarian yang berkembang di Venezuela. Dia terkait dengan kekuatan-kekuatan yang dilepaskan oleh revolusi tersebut, yaitu kekuatan massa yang tertindas. Chavez mewakili harapan dan aspirasi mereka. Dia mempengaruhi mereka dan mereka mempengaruhi dia. Dia benar-benar terikat dengan mereka. Di mata masyarakat, dia memiliki otoritas yang diperlukan untuk membawa revolusi ini ke garis akhir. Ini adalah contoh yang jelas mengenai peran pemimpin revolusioner di dalam sejarah, seperti yang dijelaskan oleh Plekhanov.
Pada masa lalu, peran individu di dalam sejarah (“faktor subjektif” di dalam terminologi Marxis) sudah menjadi bahan perdebatan yang panas. Banyak sejarahwan borjuis, bahkan sampai hari ini, yang percaya bahwa sejarah dibuat oleh “Pria dan Wanita yang Hebat”, raja dan ratu, negarawan dan politisi. Menurut dugaan para sejarahwan ini, orang-orang hebat tersebut sudah membentuk sejarah melalui kekuatan karakter mereka, sementara massa memainkan peran yang kecil atau tidak sama sekali. Maka dari itu, Hitlerlah yang memulai Perang Dunia Kedua dan pembunuhan Arch Duke Ferdinandlah yang memulai Perang Dunia Pertama. Tidak banyak perhatian diberikan pada kekuatan ekonomi, politik atau sosial yang kebanyakan beroperasi di belakang layar.
Ada juga mereka yang berargumen bahwa individu-individu tidak menentukan apapun, tetapi mereka terhempas oleh kekuatan objektif sejarah yang lebih kuat. Metode berpikir macam ini merepresentasikan fatalisme, dimana individu-individu berperan semata-mata sebagai wayang golek, tali mereka dikendalikan oleh tangan yang tak kelihatan. Ide seperti ini berasal dari doktrin Calvinisme [1] dimana aksi manusia sudah ditakdirkan, seperti halnya gerhana bulan. Ini adalah kerangka pikiran yang diekspresikan oleh kata-kata Luther [2], “Disini saya berdiri, saya tidak dapat melakukan hal yang lain.” Dominasi takdir menyangkal semua ide tentang kebebasan individu dan aktivitas massa yang independen. Kita semua tereduksi ke peran pion-pion catur.
Akan tetapi, ini tidaklah benar. Sejarah dibuat oleh manusia-manusia. Kaum Marxis, tidak seperti kaum fatalis yang dangkal, tidak menyangkal peran individu, inisiatifnya atau keberaniannya (atau kekurangannya), di dalam perjuangan sosial. Adalah tugas Marxisme untuk menemukan hubungan dialektik antara individu (subjektif) dan kekuatan besar (objektif) yang mengatur pergerakan masyarakat. Materialisme sejarah tidak menyangkal peran individu, peran karakter, di dalam sejarah, tetapi melihat peran tersebut di dalam konteks sejarah. Marxisme menjelaskan bahwa tidak ada seorangpun, walaupun dia berbakat, mampu, atau bijak, yang dapat menentukan arah utama dari perkembangan sejarah, yang dibentuk oleh kekuatan objektif. Akan tetapi, di bawah kondisi yang kritikal, peran yang dimainkan individu dapat menjadi penentu, dapat menjadi mata rantai penentu akhir di dalam rantai hubungan sebab akibat. Dalam kondisi tertentu, “faktor subjektif” dapat menjadi faktor yang paling penting di dalam sejarah. Peran Lenin di dalam Revolusi Rusia adalah salah satu contoh tersebut, yang akan kita telusuri nantinya.
Tulisan Plekhanov yang cermelang tentang peran individu di dalam sejarah merupakan polemik terhadap kaum Narodnik Rusia [3], yang menggambarkan pahlawan individu, yang biasanya dipersenjatai dengan bom, sebagai pembuat sejarah. Massa Rusia dilihat hanya sebagai penonton. Plekhanov menulis bahwa subjektivis ini “yang bertujuan untuk memberkati ‘individu’ dengan peran terbesar di dalam sejarah telah menolak untuk mengakui sejarah perkembangan umat manusia sebagai proses yang ditentukan oleh hukum (baca hukum sosial – catatan penerjemah).”
Walaupun individu di dalam sejarah dapat dilihat telah memainkan peran yang penting, peran tersebut hanya dapat dimainkan di dalam kondisi sosial tertentu. Contohnya adalah Revolusi Prancis tahun 1789, jelas Plekhanov. “Di dalam analisa terakhir, susunan kekuatan-kekuatan tersebutlah yang merupakan faktor yang menentukan sifat raja Louis XV dan perubahan mendadak kekasih simpanannya, yang memberikan pengaruh yang sangat buruk terhadap nasib negara Prancis…Jelas-jelas, sebab utama dari masalah ini bukan karena kelemahan tertentu dari seseorang, tetapi karena posisi sosialnya.” Dalam kata lain, sebab dari Revolusi Prancis terletak di dalam sifat hubungan sosial. Kualitas pribadi dari individu-individu pemimpin memainkan peran mereka, tetapi hanya di dalam konteks yang umum, dan berada di bawah kendali arus sejarah yang lebih luas.
“Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa individu dapat mempengaruhi nasib masyarakat melalui ciri-ciri tertentu dari sifat mereka”, lanjut Plekhanov. “Pengaruh mereka kadang-kadang sangat besar, akan tetapi kemungkinan pengaruh tersebut dapat dilaksanakan dan besarnya pengaruh tersebut ditentukan oleh susunan masyarakat dan susunan kekuatan-kekuatan di dalam masyarakat. Karakter individu merupakan ‘faktor’ di dalam perkembangan sosial hanya bila hubungan-hubungan sosial mengijinkannya.”
Dalam kata lain, ada batasan tertentu di dalam peran individu. “Tidak ada manusia hebat yang bisa memaksakan ke masyarakat sebuah hubungan sosial yang sudah tidak sesuai dengan kondisi kekuatan-kekuatan sosial atau yang belum sesuai dengan kondisi kekuatan-kekuatan sosial. Di dalam pengertian ini, dia tidak dapat membuat sejarah, dan di dalam pengertian ini, dalam kesia-siaan dia akan mencoba menggeser jarum jamnya; dia tidak akan mempercepat arus waktu atau memutar balik waktu.”
Mendekati akhir hidupnya, Friedrich Engels memberikan kepada kita sebuah ringkasan materialisme sejarah, dimana dia membahas individu di dalam sejarah. “Manusia membuat sejarahnya sendiri,” tulis Engels pada bulan Januari 1894, “tetapi bukan dengan kehendak kolektif yang berdasarkan rencana kolektif atau bahkan masyarakat dengan batasan tertentu. Aspirasi-aspirasi mereka berbenturan, dan oleh karena itu semua masyarakat diatur oleh suatu keharusan, pelengkap dan bentuk penampilannya adalah kebetulan. Keharusan tersebut, yang menegaskan dirinya di seberang semua kebetulan, pada akhirnya adalah keharusan ekonomi. Disinilah yang kerap disebut orang hebat tersebut memainkan perannya. Kalau orang seperti ini atau itu menampakkan dirinya pada waktu tertentu dan di negara tertentu adalah, tentu saja, kebetulan. Tetapi hilangkan dia dan maka akan ada permintaan untuk penggantinya, dan pengganti ini akan ditemukan, baik atau buruk, tetapi pada akhirnya dia akan ditemukan.” Engels lalu memberikan kita contoh-contoh fenomena ini. “Adalah sebuah kebetulan kalau Napoleon, seorang Corsican [4], menjadi diktatur militer yang diperlukan oleh Prancis yang sudah kecapaian oleh perperangannya; tetapi, bila Napoleon tidak ada, orang lain akan menggantikannya, ini dibuktikan oleh fakta bahwa orang tersebut selalu ditemukan segera setelah dia diperlukan: Caesar, Augustus, Cromwell, dll.” (Koresponden Marx dan Engels, hlm 467-68)
Walaupun materialisme sejarah memberikan peran utama kepada faktor objektif di dalam sejarah, contohnya seperti tingkat kekuatan produksi dan hubungan kelas saat itu, faktor subjektif dapat memainkan sebuah peran yang penting. Akan tetapi, hubungan antara kedua faktor tersebut tidak berhenti disana. Divisi fenomena sejarah antara “objektif” dan “subjektif” tidaklah absolut dan tergantung pada hubungan antara mereka yang relevan. Contohnya, pasar dunia merupakan faktor objektif setiap negara yang merupakan bagian dari pasar tersebut. Setiap negara berada di bawah kendali pasar dunia dan secara tak terelakkan terkait dengannya. Sementara, negara merupakan faktor objektif kelas-kelas yang merupakan bagian dari susunan sosialnya. Dan juga, kelas penguasa merupakan faktor objektif kelas buruh, dan kelas merupakan faktor objektif partainya. Individu mempunyai posisi subjektif di dalam semua faktor-faktor tersebut.
Akan tetapi, pengaruh seorang individu di dalam proses sejarah dapat mencangkup dari pengaruh yang sepele sampai pengaruh yang sangatlah menentukan. Tingkat pengaruh tersebut akan tergantung pada tingkat perkembangan kondisi sejarah, korelasi kekuatan-kekuatan sosial, dan peran individu tersebut di dalam kekuatan-kekuatan tersebut. Sering kali dalam jangka waktu yang panjang bahkan orang yang paling bijak pun tidak akan mempengaruhi arus sejarah. Sebaliknya, dalam waktu tertentu, di bawah kondisi yang kritikal, peran seorang individu dapat menjadi hal yang menentukan. Dalam kata lain, kekuatan-kekuatan sosial apa dan kepentingan kelas manakah yang berada di belakang individu tersebut, dan sebaik apa dia mewakili kekuatan-kekuatan tersebut?
Helvetius [5] pernah berkata bahwa setiap era memanggil ke depan seseorang dengan kedudukan yang memadai, dan bila orang-oranag tersebut tidak dapat ditemui, maka era tersebut akan menciptakan mereka. Mengenai Wellington [6], Engels berkomentar, “Dia adalah seorang yang hebat di dalam caranya sendiri, sehebat yang seseorang mampu tanpa berhenti menjadi seorang yang sedang-sedang.” Deskripsi seperti ini dapat dengan mudah diterapkan pada Stalin, yang kepribadian dangkalnya sungguh meninggalkan impresi pada karakter politik konter-revolusi di Uni Soviet.
Sementara Trotsky mewakili periode kebangkitan revolusioner, Stalin mewakili periode kemunduran dan konter-revolusi. Dia menjadi simbol dari reaksi birokratik di dalam Uni Soviet. Seperti yang dijelaskan oleh Trotsky mengenai Stalin: “Dan, secara keseluruhan, dia tetap merupakan orang yang sedang-sedang saja. Dia tidak mempunyai kemampuan generalisasi ataupun kemampuan untuk melihat ke depan. Kecerdasan Stalin tidak memiliki semangat dan kemampuan untuk bangkit dari kegagalan, dan tidak cocok untuk berpikir secara logis. Setiap kalimat dari pidatonya mempunyai sebuah tujuan akhir yang praktikal; tidak pernah ada pidato yang mencapai level sebuah konstruksi yang logis. Kelemahan ini merupakan kekuatannya. Ada tugas-tugas sejarah yang hanya bisa dilaksanakan bila seseorang menolak generalisasi; ada periode-periode dimana generalisasi dan kemampuan melihat ke depan merupakan halangan untuk keberhasilan yang segera; periode-periode tersebut adalah periode kemunduran dan kegagalan, dan reaksi.” (Kumpulan Tulisan Trotsky, 1936-7, hlm. 69)
Mengenai pentingnya kepemimpinan yang menentukan di dalam revolusi sosialis, peran Lenin pada tahun 1917 menonjol sebagai peran yang menentukan. Adakah pemimpin Bolshevik lainnya, termasuk Trotsky, yang bisa menggantikan peran Lenin? Trotsky percaya bahwa tidak ada pemimpin Bolshevik lainnya yang bisa menggantikan Lenin. Mengingat kondisi konkrit saat itu, dimana Partai Bolshevik harus dipersenjatai kembali (dengan ide dan perspektif – catatan penerjemah) pada bulan April 1917 untuk revolusi sosialis, hanya Lenin yang mempunyai otoritas yang diperlukan di dalam partai. Tanpa Lenin, tekanan-tekanan konservatif dari pemimpin-pemimpin yang lain akan menjadi terlalu besar pengaruhnya. Dalam kata lain, pentingnya faktor subjektif yang sadar menonjol dengan kekuatan yang lebih besar dari pada sebelumnya. Peran Lenin tidaklah bisa diduplikasi. Ini bukan semata-mata karena kualitas pribadinya, akan tetapi karena kedudukannya yang luar biasa di dalam Partai Bolshevik. Sementara Bolshevik memimpin buruh dan tani, Lenin memimpin Partai Bolshevik. Dia adalah pemimpin dari pemimpin.
Salah satu alasan fundamental dari peran kepemimpinan yang kritikal ini atau faktor subjektif di era kita, datang dari kenyataan bahwa semua kondisi objektif utama untuk menggulingkan kapitalisme sudahlah sangat matang (integrasi ekonomi dunia, ketidakmampuan kapitalisme untuk memajukan masyarakat, ketidakstabilan yang kronis dan kebuntuan sistem ini, elemen barbarisme yang bermunculan, keberadaan pengangguran massa, dll). Kekalahan dari banyak revolusi semenjak Revolusi Oktober 1917 adalah karena kegagalan dari kepemimipinan organisasi-organisasi massa, yang berhaluan sosial demokrat ataupun Stalinis. Untuk kesuksesan revolusi sosialis, diperlukan sebuah partai massa dengan kepemimpinan revolusioner yang disekolahi dengan ide Marxisme (“memori kelas buruh”). Bolshevik di bawah kepemimpinan Lenin dan Trotsky mampu menyediakan hal tersebut. Mereka menyediakan kesatuan dialektik antara faktor-faktor objektif dan subjektif.
Seperti yang dijelaskan oleh Hugo Chavez: pilihan yang dihadapi oleh umat manusia adalah Sosialisme atau Barbarisme. Tugas hari ini adalah untuk mengembangkan kader-kader, individu-individu dengan pengetahuan dan pengalaman Marxisme yang dibutuhkan, yang, dalam basis peristiwa, dapat menyediakan faktor subjektif yang diperlukan untuk mengantar tugas sejarah ini ke garis akhir. Dalam kata-kata Trotsky, untuk membuat sadar perjuangan yang tidak sadar, tendensi-tendensi organik, dari kelas buruh untuk menggulingkan kapitalisme. Dalam proses ini, peran individu dapat menjadi penentu.
——————–
Catatan Penerjemah:
[1] Calvinisme adalah sebuah teologi Kristen yang dikembangkan oleh John Calvin (1509-1564) dimana dipercaya bahwa umat manusia tidak bisa mencapai keselamatan dengan usahanya sendiri, kecuali bila sudah ditakdirkan atau dikehendaki oleh Tuhan.
[2] Martin Luther (1483-1546) adalah salah satu pendeta yang mempelopori Reformasi Protestan, sebuah gerakan pada abad ke-16 yang bertujuan untuk mereformasi gereja Katolik. Dalam pembelaannya dari exkomunikasi di Worm, dia mengutarakan “Disini saya berdiri, saya tidak dapat melakukan hal yang lain.”
[3] Narodnik adalah nama yang ditujukan kepada kaum revolusioner Rusia pada tahun 1860an dan 1870an. Mereka terbentuk sebagai respon dari konflik-konflik antara kaum tani dan kulak (petani kaya). Mereka percaya bahwa kaum tani adalah kelas revolusioner yang akan menumbangkan monarki, akan tetapi mereka tidak percaya bahwa kaum tani bisa mencapai revolusi dengan usahanya sendiri. Sebaliknya, mereka percaya bahwa sejarah hanya dapat dibuat oleh pahlawan-pahlawan yang akan memimpin kaum tani yang pasif menuju revolusi.
[4] Napoleon Bonaparte lahir di Corsica.
[5] Claude Adrien Helvetius (1715-1771) adalah seorang filsuf dari Prancis.
[6] Arthur Wellesley (1769-1852), atau lebih dikenal sebagai Duke of Wellington Pertama, adalah seorang figur militer dan politik besar di Inggris. Terkenal karena kemenangannya melawan pasukan Napoleon di perang Waterloo, dia menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris dari tahun 1928-1930.