Dalam Bharatayudha Jayabinangun, dua pihak berhadap-hadapan. Pandawa kontra Kurawa. Yang haq berhadapan dengan yang bathil. Perang kosmis, yang bertujuan membersihkan dunia dari kejahatan, sekaligus mendatangkan ganjaran mulia bagi kaum penjunjung tinggi kebenaran. Syahdan, Kurawa binasa, Pandawa sentosa. Yang luput dari perhatian, jutaan orang dari kedua belah pihak tenggelam dalam lautan darah. Redemptive violence, kekerasan yang konon berdaya penebusan, lazimnya mengorbankan wong cilik sebagai pion-pion tak bernama.
Di negeri yang pernah disanjung para penyair sebagai “pulau melati pujaan bangsa,” rakyatnya sedang disuguhi pertarungan di antara faksi-faksi kelas borjuis. Dengan aneka kepentingan, faksi-faksi tersebut berhimpun di sekitar dua kubu yang saling berhadapan. Kubu yang satu mengklaim diri sebagai yang haq dan menuding yang lain sebagai yang bathil, vice versa.
Tidak saja diajak menonton “hura-hura para binatang” (meminjam ungkapan Iwan Fals dalam salah satu lagunya, “Dunia Politik”), tapi juga dikondisikan untuk mengidentifikasikan diri dengan salah satu pihak: entah kubu borjuis bercitra nasionalis, konstitusional, dan bersih, atau kubu borjuis bercitra agamis yang ingin mendirikan pulau melati yang bersyariah.
Lebih jauh, wong cilik dikondisikan untuk memilih, wong cilik dikondisikan untuk saling berhadap-hadapan – dalam sebuah perang kosmik, bharatayudha jayabinangun, dan kekerasan yang diyakini berdaya penebusan. Atas nama yang haq, siap mati demi salah satu kubu borjuis. Demi menumpas yang bathil, siap menumpas habis salah satu kubu borjuis. Saat kubu-kubu borjuis menggelar perang kosmis, wong cilik diadu dengan wong cilik.
Dalam pertarungan faksi-faksi borjuis memperebutkan mahkota mayangkara atau puncak kekuasaan politik, yang sudah barang tentu memprasuposisikan kepentingan ekonomi, agama tampil sebagai faktor yang mempersatukan sekaligus membelah wong cilik. Kubu yang bercitra nasionalis, konstitusional, dan bersih, mengusung agama dengan citra sebagai komponen yang memperkuat citra modernnya. Sebaliknya, kubu yang bercitra agamis yang ingin mendirikan “pulau melati yang bersyariah”, mengusung agama dengan citra sebagai pembela Yang Suci yang tak kenal pengampunan.
Wong cilik, yang teralienasi dalam hubungan-hubungan produksi kapitalis, sebagian mendapati agama yang berwajah damai sebagai pelabuhan untuk menambatkan jangkar hati yang lelah karena hingar-bingar kehidupan yang makin tidak manusiawi, dan sebagian lagi mendapati agama yang berwajah kekerasan sebagai jalan untuk mengungkapkan rasa marah dan frustrasi karena menjadi “orang-orang kalah” (meminjam ungkapan alm. WS Rendra dalam “Orang Kalah”).
Dalam pada itu, wong cilik disuguhi gambaran terbalik dari realitas, meski masing-masing menawarkan pola-pola tanggapan yang bertolak belakang terhadap realitas. Kapitalisme membentuk agama (-agama) untuk memungkinkan rakyat pekerja memberikan reaksi yang berbeda-beda terhadap realitas sejauh reaksi-reaksi tersebut tidak mengancam keselamatan kapitalisme itu sendiri.
Dalam “perang kosmik” yang terpampang di media massa dan media sosial terjadilah paradoks-paradoks yang nyaris bernilai ketidaksengajaan. Kebusukan yang dibungkus dengan kata-kata suci terkuak lewat pembalikan-pembalikan logika, penyangkalan-penyangkalan fakta, sumpah-sumpah suci, dan kata-kata beracun bersalut madu. Demi Yang Suci! Semuanya demi agama yang suci! Tak ada kaitan sama sekali dengan politik! Sementara itu, mesin uang milik bos-bos kapitalis terus memompakan uang haram untuk merengkuh kekuasaan dengan jalan membeli jiwa-jiwa para pemuka agama yang telah menggadaikan diri kepada sosok yang silih berganti tampil sebagai yang ilahi dan yang setani.
Faksi-faksi kapitalis dengan kepentingan-kepentingan masing-masing tidak layak dibela. Kubu-kubu kapitalis yang bertarung untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan tidak layak diperjuangkan. Wong cilik, rakyat pekerja, wabil khusus kaum buruh, tidak perlu memilih mana yang akan dibela dan mana yang akan dilawan.
Alih-alih, mereka harus bersatu, sementara menonton perseteruan itu hingga borjuasi sebagai kelas tidak mampu lagi mengelola negara sebagai alat kekuasaannya; dan sementara menonton, wong cilik, di bawah pimpinan kelas buruh, harus bersiap diri untuk mengambil alih kekuasaan politik guna mengakhiri kapitalisme dan membangun sosialisme yang tak lain dari demokrasi yang sesungguh-sungguhnya.
Untuk itu, adalah niscaya keberadaan sebuah partai pelopor revolusioner. Sebuah partai yang sanggup memberikan arah dan pimpinan kepada rakyat pekerja, melucuti ilusi-ilusi mereka, dan mengalirkan potensi revolusioner mereka kepada saluran-saluran yang tepat: penggulingan kapitalisme dan pembangunan sosialisme!
Itulah perang kosmik yang sesungguhnya bagi wong cilik, rakyat pekerja. Bharatayudha jayabinangun bagi rakyat pekerja dan bagi umat manusia – bukan bagi salah satu pihak atau kubu di antara kelas penguasa yang dari masa ke masa senantiasa menumbalkan mereka! ***
Lutherstadt, 7-9 Januari 2017