Memasuki tahun yang baru ini, ada serangkaian 3 angka yang dikenal dengan sangat baik oleh banyak buruh; 3 angka yang pengaruhnya akan menentukan kehidupan banyak buruh dalam satu tahun ke depan. Angka 871. Ini bukan seruan aksi tiga angka macam aksi bela Islam 212 atau aksi ‘makar’ 313.Ini adalah besaran kenaikan UMK tahun ini, 8.71%,yang jadi standar kenaikan upah di hampir seluruh propinsi dan wilayah Indonesia.
Sejak ditetapkannya PP 78 pada 2015, besaran kenaikan upah buruh telah dipatok secara sepihak oleh pemerintah dengan formulasi “inflasi plus Produk Domestik Bruto”. Tahun ini, dengan inflasi 3.72% ditambah kenaikan PDB 4.99%, tibalah kita pada angka 8.71%. Sejumlah serikat buruh telah meluncurkan aksi demo menuntut dihapusnya PP 78 dan memperjuangkan kenaikan upah yang lebih tinggi. Tetapi seperti beberapa tahun terakhir, aksi-aksi ini terlalu lemah untuk bisa memukul mundur pemerintah. PP 78 masih tegak berdiri dan sementara jutaan buruh tersungkur.
Ketidakmampuan gerakan buruh untuk mematahkan PP 78 yang drakonian ini adalah manifestasi dari proses kemunduran gerakan buruh yang telah berlangsung selama 4 tahun terakhir. Tidak hanya itu, jumlah anggota serikat juga telah menurun drastis selama beberapa tahun terakhir. Tiga tahun yang lalu, pada 2014, anggota serikat buruh tercatat 3,4 juta. Tahun 2017 tersisa 2,7 juta, yang berarti penurunan sekitar 20%. Walaupun data jumlah pemogokan dan jumlah buruh yang turun aksi tidak tersedia, kita dapat dengan pasti mengatakan dari observasi semata bahwa jumlah ini jelas mengalami penurunan drastis pula.
Setiap buruh yang sadar kelas pun layak bertanya: apa gerangan yang terjadi sampai kita bisa tiba pada situasi yang sulit ini?
Penjelasan paling mudah yang biasa kita dengar adalah buruh tidak ingin berjuang. Mereka sekarang telah jadi penitip nasib. Tetapi penjelasan seperti ini tidak memajukan pengetahuan kita sejengkalpun. Mengapa banyak buruh sekarang tidak ingin berjuang? Dan lalu mengapa pada 2012 mereka ingin berjuang? Faktor apa yang menggembosi semangat perjuangan mereka dari 2012 hingga 2017? Pertanyaan inilah yang harus kita jawab.
Buruh tidak berjuang hanya karena semangat perjuangan saja. Umumnya massa buruh bergerak ketika ia punya keyakinan kalau ia punya peluang yang riil untuk menang. Ia harus secara praktis mempertimbangkan banyak faktor sebelum ia meletakkan alat kerjanya dan mogok: kesiapan organisasi (dana mogok, stratak, program, dsb.), perimbangan kekuatan dengan musuhnya, dan tidak kalah pentingnya keyakinannya akan kepemimpinannya. Dari semua ini, faktor yang menentukan adalah kepemimpinan serikat buruh.
Ketika kita berbicara mengenai kepemimpinan, kita bukan berbicara mengenai karakter pribadi ini atau itu: karisma, kejujuran, atau ketulusan dalam berjuang. Kita berbicara mengenai kepemimpinan ideologis, yakni pemahaman mengena isistem sosio-ekonomik yang ada, yakni kapitalisme, dan kontradiksi-kontradiksi ekonomi, sosial dan politik yang berlaku di bawahnya, dan dengan itu tugas kelas buruh untuk menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi ini. Dalam ranah kepemimpinan ideologis demikian, para pemimpin buruh hari ini hanya nol besar.
Semisalnya dalam salah satu wawancara dengan Metro TV pada May Day tahun lalu, Andi Gani Nena Wea, Presiden KSPSI, ditanya apa yang akan dilakukan oleh serikat buruh untuk mengatasi masalah pengangguran akibat kemajuan teknologi. Demikian jawaban dari orang tertinggi dari salah satu konfederasi buruh terbesar di Indonesia ini: “Kita [serikat buruh] membentuk tim khusus pelatihan teknik advokasi. Kenapa teknik advokasi? Kita tidak ingin buruh, karena ketidaktahuannya akan cara berunding, kemudian menyandera pengusaha, langsung berbuat anarkis. Ini sudah tidak pernah terjadi lagi.”[1]
Jadi masuknya mesin-mesin mutakhir yang akan menggantikan tenaga buruh akan dihadapi oleh Andi Gani dan perangkat serikat lainnya dengan teknik advokasi, dengan “cara berunding”. Kita hanya bisa bayangkan bagaimana pemimpin buruh mencoba meyakinkan kapitalis supaya tidak menggunakan mesin yang dapat meningkatkan produktivitas pabrik dan laba perusahaan. Penggunaan mesin, dan pemangkasan tenaga kerja, dilakukan oleh kapitalis karena ini akan meningkatkan profitnya, dan peningkatan profit adalah hukum kapitalisme yang paling sakral. Sampai hari ini kita belum menemui teknik advokasi yang bisa merintangi hukum kapitalis ini.
Sejak kelahiran kapitalisme, pemilik modal selalu berusaha memangkas biaya produksi. Ini dilakukannya dengan menekan upah buruh dan memperkenalkan teknik-teknik produksi mutakhir (mekanisasi dan otomatisasi). Tiap-tiap kapitalis harus melakukan ini kalau tidak mereka akan punah, bangkrut, dan dilahap oleh saingannya. Mekanisasi tidak hanya memangkas jumlah buruh yang dibutuhkan dan menciptakan pengangguran, tetapi juga membuat sederhana kerja buruh, sehingga kerja buruh semakin hari menjadi semakin monoton dan mudah digantikan. Tidak lagi dibutuhkan keterampilan tinggi dari buruh, dan dengan demikian upahnya bisa ditekan sampai seminim mungkin, sampai ke tingkatan yang paling minim untuk memberinya pangan, papan dan sandang seadanya.
Yang lebih menarik lagi sebenarnya adalah penekanan Andi Gani mengenai fungsi teknik advokasi, yakni agar buruh “tidak menyandera pengusaha”, agar buruh tidak “langsung berbuat anarkis”. “Menyandera pengusaha” dan “berbuat anarkis” adalah bahasa yang kerap digunakan oleh kapitalis dan media bayaran mereka untuk mencoreng citra gerakan buruh. Buruh mogok dan menutup pabrik, atau menduduki pabrik, sering kali disebut “menyandera perusahaan”. Buruh demo dan menggunakan taktik-taktik militan seperti menutup jalan tol, mengepung balai kota, dan sweeping disebut “berbuat anarkis”. Di televisi nasional, Andi Gani lebih memikirkan bagaimana meyakinkan penguasa bahwa serikat buruh akan menjadi partner berunding yang baik, sopan, dan beradab, alih-alih mengekspos kondisi kerja di pabrik yang jelas-jelas tidak baik dan tidak beradab, dan tabiat manajemen terhadap buruh yang biasanya jauh dari sopan.
Solusi terhadap mekanisasi juga bukan dengan berpasrah seperti yang dituturkan oleh Said Iqbal, ketua FSPMI dan KSPI: “Soal penggunaan mesin atau mekanisasi memang tak bisa dihindari oleh industri padat karya … Dampaknya memang banyak buruh yang akan dikurangi, tapi solusinya mereka bisa masuk ke industri komponen otomotif yang sekarang terus berkembang. … Soal skill itu bisa disiasati dengan menggalakkan Balai Latihan Kerja, meng-upgrade skill.”[2]
Said Iqbal menyerahkan masalah mekanisasi ini ke pasar bebas, dengan solusi “mereka [buruh yang dipecat] bisa masuk ke industri komponen otomotif yang sekarang terus berkembang”. Pertama, siapa yang akan menjamin industri komponen otomotif akan terus berkembang dan menyerap tenaga buruh? Dan bukankah proses mekanisasi juga berlangsung di industri ini (dan semua industri lainnya)? Kedua, sementara buruh kehilangan pekerjaannya dan harus meng-upgrade skillnya, siapa yang akan menanggung biaya sekolah anaknya sementara ia menunggu dilatih kembali dan menunggu industri komponen otomotif mempekerjakannya? Pemerintah? Pemerintah yang sama yang meloloskan PP 78?
Tidak disangka oleh Said Iqbal, argumen pintarnya di atas adalah argumennya kaum kapitalis, yang mengatakan serahkan saja semua pada kuasa pasar. Buruh hanya bisa menunduk, menghela dan berdoa: “Kuserahkan semuanya pada kuasaMu Tuhan”. Bila pasar dan Tuhan saja sudah cukup, maka serikat buruh tidak lagi dibutuhkan.
Satu hal lagi yang “tidak disangka” oleh Said Iqbal adalah pelanggaran kontrak politik yang ditekennya — bersama-sama dengan banyak pemimpin buruh lainnya — dengan Anies-Sandi selama kampanye Pilkada DKI tahun lalu. Ketika Anies-Sandi mengingkari janjinya untuk menaikkan UMP DKI Jakarta lebih tinggi dari ketetapan PP 78, kita hanya bisa bertanya: kepemimpinan macam apa yang bisa ditipu begitu mudah? Para pemimpin buruh kita ini bukanlah anak yang baru lahir kemarin sore. Mereka tahu jelas bagaimana politik dimainkan di Indonesia. Said Iqbal mengatakan, “Anies-Sandi harus dihukum karena berbohong,”[3] tetapi para pemimpin buruh inilah yang seharusnya dihukum karena membiarkan dirinya dibohongi, atau lebih tepatnya membiarkan jutaan buruh dibohongi.
Demikianlah cara berpikir dan mentalitas dari kebanyakan pemimpin buruh. Andi Gani dan Said Iqbal bukanlah pengecualian. Dengan kepemimpinan macam ini, apa tidak heran kalau buruh tidak punya niat bergabung dengan serikat buruh? Apa tidak heran kalau buruh tidak siap berjuang melawan PP 78? Bukan buruh yang menjadi penitip nasib, tetapi para pemimpin buruhlah yang telah menitipkan nasib buruh pada pasar, pada hukum kapitalisme, dan dalam kasus Pilkada DKI Jakarta, pada Anies-Sandi.
Mekanisasi dan dampak-dampak negatifnya harus dilawan dengan perjuangan yang militan dan program yang tepat. Di bawah kapitalisme dan sistem profit, mekanisasi berarti pemangkasan tenaga buruh, lewat pemecatan atau pengurangan jam kerja. Tetapi tidak harus demikian. Justru sebaliknya mekanisasi seharusnya memberikan lebih banyak waktu istirahat bagi buruh, karena dengan mesin buruh menjadi lebih produktif. Katakanlah kalau dengan mesin canggih sekarang buruh bisa memproduksi 200 pasang sepatu per jam, dibandingkan sebelumnya yang hanya 100 pasang per jam, maka kapitalis telah meningkatkan labanya pula. Dengan demikian, buruh berhak akan upah yang lebih tinggi atau jam kerja yang lebih pendek (dengan upah yang sama). Intinya, kemajuan teknologi digunakan kapitalis untuk meraup lebih banyak laba dengan mengorbankan buruh, namun pada esensinya seharusnya kemajuan teknologi bisa menyejahterakan buruh banyak. Inilah kontradiksi kapitalisme. Alih-alih berpasrah pada pasar, gerakan buruh tidak akan menerima alasan mekanisasi sebagai pembenaran PHK, tetapi justru menuntut balik upah yang lebih tinggi tanpa pemecatan. Perjuangan ini tidak akan bisa dimenangkan dengan teknik advokasi atau berunding, tetapi dengan aksi massa yang tegas dan berani, yang tidak kompromis, dengan kesiapan untuk mogok, dengan tidak menggubris fitnah “berbuat anarkis” yang sering dilemparkan ke buruh yang beraksi.
Selain itu kita juga harus menjelaskan kepada buruh kekonyolan kapitalisme ini. Selama kapitalisme masih bercokol, selama motif laba dan pasar masih mendominasi, maka mekanisasi akan selalu jadi momok buruh. Ini tidak harus demikian. Mekanisasi dan kemajuan teknologi seharusnya menjadi teman buruh, tetapi hanya ketika alat-alat produksi, pabrik, perbankan, ada di tangan kaum buruh, dijalankan secara demokratis demi kepentingan buruh dan bukan kepentingan laba segelintir pemilik modal. Inilah sosialisme, satu-satunya masa depan bagi kelas buruh.
Hanya dengan pendekatan seperti ini maka buruh bisa yakin akan kekuatannya sendiri, bisa yakin pada organisasinya, bisa yakin pada kepemimpinannya. Para pemimpin buruh yang menggantungkan harapannya pada pasar, pada kapitalisme, pada teknik advokasi, merekalah yang bertanggung jawab hari ini atas kemunduran gerakan buruh selama beberapa tahun terakhir.
Tahun 2017 telah kita tutup, dan tahun 2018 dibuka dengan kenyataan pahit implementasi PP 78 sekali lagi. Kenaikan upah 8,71% yang tidak layak ini, yang jauh dari apa yang dibutuhkan untuk bisa hidup secara manusiawi, akan jadi pengingat bagi seluruh buruh diseantero Indonesia bahwa masa depannya tidak bisa lagi disandarkan pada para pemimpin yang tidak punya perspektif untuk melampaui kapitalisme. Yah, perjuangan kelas menemui pasang naik dan pasang surutnya, tetapi dari fluktuasi ini kaum buruh harus belajar, sehingga perjuangan kelas bisa mencapai garis akhir sosialisme. Kaum buruh harus belajar bahwa tidak ada akan ada kesejahteraan bagi buruh selama pemilik modal masih berkuasa, selama pasar bebas kapitalisme masih mendominasi. Kaum buruh harus belajar membangun kepemimpinan dari dirinya sendiri, kepemimpinan yang tertempa dengan ideologi sosialisme, kepemimpinan yang tidak kompromis pada penguasa, yang tegas dalam menghadapi kapitalisme. Kaum buruh harus belajar bahwa mencampakkan cita-cita sosialisme berarti mencampakkan nasib buruh pada absurditas kapitalisme, absurditas pasar bebas.
Mari kita songsong 2018 dengan pelajaran-pelajaran ini. Hanya dengan mengambil makna dari pengalaman kekalahan sebelumnya maka gerakan buruh bisa bangkit kembali.
______________________________
[1]“Ini Kata Menaker Soal Turunnya Jumlah Anggota Serikat Buruh.” Metro TV News, 1 Mei 2017, http://video.metrotvnews.com/prime-talk/ybDR1aZK-ini-kata-menaker-soal-turunnya-jumlah-anggota-serikat-buruh. Di akses pada 4 Januari 2018.
[2]“Pengusaha Ancam Ganti Tenaga Manusia dengan Mesin, Ini Tanggapan Buruh.” Detik.com, 20 Agustus 2013,https://finance.detik.com/ekonomi-bisnis/2335086/pengusaha-ancam-ganti-tenaga-manusia-dengan-mesin-ini-tanggapan-buruh. Diakses pada 4 Januari 2018.
[3]“Serikat Buruh KSPI Ungkap 4 Kebohongan Anies-Sandi.” Tempo, 8 November 2017,https://metro.tempo.co/read/1031960/serikat-buruh-kspi-ungkap-4-kebohongan-anies-sandi. Diakses pada 4 Januari 2018.