Tepat 12 bulan yang lalu hari ini, tank-tank Rusia melintasi perbatasan Ukraina. Peringatan satu tahun peristiwa tersebut tidak luput dari perhatian. Peringatan satu tahun itu telah mengisi berjam-jam waktu di televisi dan banyak kolom di halaman-halaman media.
Baik Presiden Rusia maupun Presiden Amerika Serikat menyampaikan pidato panjang tentang subjek yang sama, meskipun, jika dilihat dari isinya, mereka terlihat berbicara tentang peristiwa yang sangat berbeda.
Dalam pidato kenegaraannya, Putin menyatakan bahwa perang di Ukraina disebabkan oleh tindakan yang disengaja oleh imperialisme AS. Klaim ini dibantah dengan marah oleh media Barat, yang terus mengulang-ulang gagasan bahwa ini adalah “perang Putin” – sebuah perang yang disebabkan oleh kecenderungan megalomaniak Putin, atau bahkan kegilaan.
Menjawab Presiden Rusia, Joe Biden meyakinkan para hadirin yang hadir di Warsawa bahwa NATO bukanlah agresor, melainkan sebuah perkumpulan yang sepenuhnya tidak bersalah dan mencintai perdamaian, yang terdiri dari para pencinta demokrasi yang berhati mulia dan tidak pernah mengancam siapa pun.
“Kami tak punya masalah dengan Rusia,” ia meyakinkan Polandia. Kami bukanlah ancaman bagi mereka, sebagaimana sekelompok anak pramuka yang datang mengetuk pintu Anda dan menawarkan diri untuk membersihkan jendela Anda. Dan seterusnya dan seterusnya dengan cara yang sama.
Tentunya para pramuka pecinta damai ini dipersenjatai dengan segala senjata pemusnah massal, dan ini katanya murni untuk tujuan pertahanan diri. Karena dunia, seperti yang kita ketahui, penuh dengan orang-orang jahat yang selalu mengancam untuk menggulingkan cara hidup demokratis kita.
Pidato yang benar-benar menghangatkan hati yang akan menenangkan saraf teman-teman Polandia Biden. Namun sebelum kita membiarkan diri kita terbuai ke dalam tidur nyenyak, mari kita lihat fakta-fakta yang ada dengan tenang dan rasional.
Perang informasi
Dalam setiap perang, kelas penguasa harus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memobilisasi opini publik untuk mendukung tindakannya. Oleh karena itu, sangat penting untuk menciptakan berbagai macam argumen yang berfungsi untuk menyatukan massa untuk mendukung perang, untuk meyakinkan mereka, dengan segala macam kebohongan dan tipu daya, bahwa ‘kami adalah pihak yang terluka,’ dan bahwa ‘kebenaran dan keadilan ada di pihak kami’ (dan juga Tuhan, yang anehnya selalu mendukung semua pihak yang berperang).
Untuk itu, selalu perlu untuk membuktikan bahwa perang dimulai oleh pihak lain. Hal ini tidak terlalu sulit untuk dilakukan, karena jika tidak ada insiden yang terjadi untuk membenarkan klaim semacam itu, maka insiden tersebut selalu dapat dibuat-buat. Dan kelas penguasa memiliki mesin propaganda yang sangat besar dan kuat, yang segera dimobilisasi untuk tujuan itu.
Faktanya, masalah siapa yang pertama kali menembak, siapa yang menyerang siapa, dan sebagainya adalah masalah yang sekunder, yang sama sekali tidak memberi tahu kita tentang penyebab dan isi konflik yang sebenarnya.
Semua ini berlaku dalam perang informasi saat ini, yang dalam konflik saat ini berbeda dari pendahulunya hanya dalam hal luasnya cakupan dan kebohongan yang dilakukan. Jelas, alasan sebenarnya mengapa perang ini meletus tidak pernah disebutkan.
“Perang Putin”
Selama 12 bulan terakhir, dengan nada yang membosankan, hari demi hari, pesan yang sama terus diulang-ulang oleh “pers bebas” kita. “Ini adalah perangnya Putin”. Pemimpin di Kremlin itu digambarkan entah sebagai seorang tiran haus darah dengan aspirasi untuk menguasai dunia atau seorang pria dengan pikiran tak waras, yang memiliki delusi megalomania dan memerlukan psikiater. Putin sempat disebut “orang gila” yang tidak waras, mengutip bahasa elegan dari menteri pertahanan Inggris, Ben Wallace.
Namun, tak satu pun dari deskripsi ini sesuai dengan kenyataan. Putin sebelumnya digambarkan sebagai seorang Machiavellian yang licik, yang, berangkat dari jabatan KGB, berhasil dalam waktu singkat mengangkat dirinya menjadi pemimpin salah satu negara terkuat di dunia.
Apakah orang benar-benar percaya bahwa Putin bertindak sembarangan dan mempertaruhkan segalanya? Itu sama sekali bukan karakternya. Tidak ada bukti sedikit pun yang mendukung hipotesis bahwa Vladimir Putin secara klinis gila. Label itu akan jauh lebih tepat diberikan kepada beberapa petinggi Inggris, termasuk Tuan Ben Wallace. Namun, kita akan membahasnya di lain waktu.
Apakah Putin ingin mengembalikan Uni Soviet?
Putin juga diduga ingin mengembalikan Kekaisaran Rusia, atau bahkan Uni Soviet. Kita bisa langsung mengabaikan varian kedua karena tidak memiliki konten yang nyata. Uni Soviet adalah apa yang bisa kita sebut sebagai negara buruh yang cacat secara birokrasi.
Terlepas dari kemerosotan yang dideritanya di bawah pemerintahan Stalin, negara ini masih mempertahankan banyak pencapaian terpenting dari Revolusi Oktober, yaitu ekonomi terencana yang dinasionalisasi.
Runtuhnya Uni Soviet, yang disebabkan oleh korupsi, penipuan, dan mismanejemen birokratik oleh kasta pejabat yang berprivilese, menyebabkan runtuhnya ekonomi terencana dan terhapusnya semua pencapaian negara buruh Uni Soviet.
Sebagai gantinya, apa yang kita miliki di Rusia saat ini adalah negara kapitalis di mana alat produksi dimiliki dan dikendalikan oleh oligarki yang 100 kali lebih korup dan busuk daripada birokrasi Stalinis.
Ada beberapa Stalinis tua yang bodoh yang hidup dalam mimpi mereka, dan membayangkan bahwa Putin adalah orang yang akan mengembalikan kejayaan Uni Soviet. Itu adalah omong kosong belaka. Vladimir Putin adalah anak yang lahir dari rezim kapitalis kontra-revolusioner yang muncul dari reruntuhan Uni Soviet, dan dia membela kepentingan kelas kapitalis. Dalam prosesnya, ia menjadi sangat kaya.
Putin adalah seorang Bonapartis borjuis reaksioner, yang kebijakannya tidak dapat memainkan peran progresif, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, baik di masa damai maupun di masa perang. Setiap kebingungan mengenai masalah ini akan mengarah pada hasil yang paling negatif.
Memang benar bahwa Putin pernah menyebut runtuhnya Uni Soviet sebagai “bencana geopolitik terbesar di abad ke-20”. Namun, ia juga pernah berkata: “Siapa pun yang tidak menyesali kehancurannya tidak memiliki hati; siapa pun yang ingin Uni memulihkan Uni Soviet kembali tidak memiliki otak.”
Saya tidak akan mengatakan bahwa mereka yang begitu tekun menyebarkan dongeng tentang rencana rahasia Putin untuk memulihkan Uni Soviet tidak memiliki otak. Mereka tentu saja punya cukup otak untuk menjajakan cerita yang tak berdasar ini, yang sangat menguntungkan NATO. Dan, bagaimanapun juga, mengapa membiarkan fakta merusak cerita yang bagus?
Gagasan bahwa ia ingin mengembalikan Kekaisaran Tsar yang reaksioner sedikit lebih kredibel, tetapi juga didasarkan pada asumsi yang paling lemah dan bodoh. Sebuah referensi sepintas tentang Peter Agung dijadikan ‘bukti’ untuk teori ini.
Teori berlebihan ini telah digunakan sebagai provokasi, tidak hanya di negara-negara Baltik dan Polandia, tetapi juga di Finlandia dan Swedia. “Ukraina hanyalah langkah pertama”, seorang mantan menteri Swedia mengisyaratkan secara gelap kepada The Guardian, “Saya tidak akan terkejut jika, dalam beberapa tahun, Estonia dan Latvia akan menyusul.”
Swedia dan Finlandia yang netral tidak membuang waktu untuk bergabung dengan NATO. Ini benar-benar tidak mengejutkan. Apa yang disebut pasifisme borjuasi Nordik selalu merupakan kedok yang munafik, yang di baliknya tersimpan kepentingan pribadi yang paling sinis.
Memang benar bahwa Swedia adalah negara yang netral dalam perang dunia pertama dan kedua. Namun, sama benarnya bahwa Swedia memperoleh keuntungan besar dari menjual komoditas-komoditas perang ke kedua belah pihak, dan menjadi gemuk dari uang darah tersebut. Di balik kedok seorang pasifis Skandinavia akan kita temui seorang imperialis yang frustrasi.
Gagasan bahwa tindakan Vladimir Putin dimotivasi oleh suatu desain besar untuk memulihkan Kekaisaran Tsar tidak sesuai dengan apa yang kita ketahui tentangnya. Gagasan itu berusaha mengaitkan dirinya dengan romantisme historis delusional yang tidak sesuai dengan apa yang kita ketahui tentang profil psikologisnya.
Putin bukanlah seorang pemimpi dengan visi romantis masa lalu atau masa depan, tetapi dia adalah birokrat profesional yang ambisius, dengan pola pikir yang dingin, sabar, dan penuh perhitungan; seorang yang telah menghabiskan seluruh masa dewasanya dengan sabar menaiki tangga kekuasaan yang licin, selangkah demi selangkah.
The Guardian menarik kesimpulan yang benar dari omong kosong ini ketika mereka menulis:
“Mengesampingkan fakta bahwa militer Rusia sudah kesulitan untuk mencapai keberhasilan kecil di Ukraina, serangan terhadap negara-negara Baltik atau Polandia akan membawa mereka ke dalam konflik langsung dengan NATO, yang merupakan hal terakhir yang diinginkan oleh Moskow (atau Barat).” (The Guardian, 22 Agustus 2022)
Tujuan perang yang dinyatakan Rusia masih cukup moderat: pada dasarnya, untuk mencegah Ukraina bergabung dengan NATO dan menetralisir rezim di Kiev. Apakah Barat bisa menerima hal ini? Tentu saja bisa! Mereka sendiri telah terus-menerus menunda keanggotaan Ukraina, tidak hanya di NATO tapi juga di Uni Eropa.
Selama bertahun-tahun, mereka telah menerima Finlandia sebagai negara netral. Mengapa Ukraina tidak bisa berada di posisi yang sama? Dari sudut pandang Ukraina sendiri, akan ada banyak keuntungan dalam menjaga hubungan persahabatan dengan Rusia dan Barat. Jika Ukraina tidak menerimanya, pasti ada alasannya. Dan ada alasan yang sangat masuk akal.
NATO: Aliansi imperialis yang agresif
NATO bukanlah organisasi pecinta damai yang tujuannya semata-mata membela nilai-nilai demokrasi Barat. Faktanya, NATO adalah aliansi imperialis agresif yang ada secara eksklusif sebagai kedok bagi ambisi Amerika Serikat dan tujuannya untuk mendominasi dunia secara total.
Pada 1980-an, ketika krisis Uni Soviet memaksanya untuk berkompromi dengan imperialisme AS, pemimpin Soviet saat itu, Mikhail Gorbachev, hanya menerima penyatuan kembali Jerman – di mana Uni Soviet memiliki hak veto – karena ia menerima jaminan bahwa NATO tidak akan meluas setelah ia menarik pasukannya dari Eropa Timur.
Para pemimpin Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman memberikan jaminan tegas bahwa keamanan Rusia akan dihormati. Menteri Luar Negeri George H. W. Bush, James Baker, meyakinkan mitranya dari Soviet, Eduard Shevardnadze, bahwa di Eropa pasca-Perang Dingin, NATO tidak akan lagi berperang – “tidak lagi menjadi organisasi militer, tetapi lebih seperti organisasi politik, [sehingga] tidak memerlukan kemampuan independen”. Atau begitulah kata mereka.
Baker lalu menjanjikan Shevardnadze “jaminan pasti bahwa yurisdiksi atau pasukan NATO tidak akan bergerak ke arah timur”. Pada hari yang sama, di Moskow, ia mengatakan kepada Sekretaris Jenderal Uni Soviet bahwa NATO tidak akan bergerak “satu inci pun ke arah timur”.
Pada kenyataannya, dia berbohong. Perjanjian untuk tidak memperluas NATO hanya bertahan hingga tahun 1999, ketika Polandia, Republik Ceko, dan Hongaria diundang ke dalam aliansi ini. Secara keseluruhan, 13 negara Eropa Timur telah menjadi anggota NATO sejak saat itu.
Dan para penegak demokrasi dan kedaulatan bangsa ini mengejar tujuan agresifnya dengan penuh semangat dan kebrutalan. Imperialisme AS memiliki mesin militer yang paling kuat di dunia. Mereka menggunakan kekuatan ini untuk menyerang dan menghancurkan negara-negara yang tidak dapat mereka kendalikan.
Setelah runtuhnya Uni Soviet, Amerika memanfaatkan kekacauan tahun-tahun Yeltsin untuk menegaskan dominasi mereka di seluruh dunia. Mereka mengintervensi wilayah-wilayah yang sebelumnya didominasi oleh Rusia, yang tidak akan pernah berani mereka lakukan di masa Soviet.
Intervensi pertama yang mereka adalah intervensi di Balkan. Mereka dengan sengaja mempercepat perpecahan Yugoslavia. Mereka mengebom Serbia dan mencampuri urusan dalam negerinya untuk membentuk pemerintahan yang pro-Barat. Ini diikuti dengan invasi kriminal ke Irak dan Afghanistan, dan intervensi yang gagal dalam perang saudara Suriah, yang membuat mereka bertikai dengan Rusia.
Sepanjang waktu, mereka terus memperluas cengkeraman mereka di Eropa Timur, memperluas NATO dengan memasukkan negara-negara bekas satelit Soviet seperti Polandia dan negara-negara Baltik. Pupus sudah janji yang berulang kali dibuat oleh Barat bahwa NATO tidak akan meluas “satu inci pun” ke timur.
Ini membawa NATO sampai ke perbatasan Federasi Rusia. Imperialisme AS menggunakan berbagai cara untuk mencapai tujuannya, yaitu mendominasi dunia.
Argumen tentang kedaulatan nasional, yang kini sering digunakan untuk mencap Rusia sebagai agresor dalam kasus Ukraina, dengan mudah diabaikan dalam kasus Serbia, Afganistan, dan Irak. Mereka seharusnya adalah negara merdeka yang berdaulat. Namun, ini diabaikan begitu saja oleh imperialisme AS, yang tanpa malu-malu melanggar kedaulatan mereka dan mengebom serta menghancurkannya tanpa ampun.
Rusia dan Amerika Serikat
Rusia lebih dari sekedar kekuatan imperialis regional. Kepemilikannya akan cadangan minyak, gas dan bahan mentah lainnya yang sangat besar; basis industrinya yang kuat dan kompleks industri militernya; bersama dengan tentaranya yang kuat dan persenjataan nuklirnya, semua ini memberinya jangkauan global yang membuatnya berbenturan dengan imperialisme AS.
Washington melihat Rusia sebagai ancaman bagi kepentingan globalnya, terutama di Eropa. Kebencian dan kecurigaan lama terhadap Uni Soviet tidak hilang dengan runtuhnya Uni Soviet. Joe Biden adalah contoh utama dari generasi Russophobia dari tahun-tahun Perang Dingin.
Washington memiliki berbagai macam senjata dalam gudang senjata kontra-revolusionernya. Mereka menggunakan kekayaannya yang sangat besar untuk mencampuri urusan dalam negeri negara lain, secara terang-terangan mendanai dan mendukung partai-partai oposisi, mencurangi pemilihan umum, dan menggulingkan pemerintahan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Apa yang disebut sebagai “revolusi warna” dari tahun 2003 dan seterusnya menyebabkan perubahan rezim di negara-negara bekas blok Soviet, sehingga mengelilingi Rusia dengan semakin banyak negara-negara pro-Washington dan anti-Rusia. Namun, dalam upaya menarik Georgia ke dalam orbit NATO, mereka telah kelewatan. Rusia merasa dipermalukan dan terancam, dan menggunakan kekuatan militer untuk mengembalikan Georgia ke dalam kubunya. Kekalahan militer dari kelompok reaksioner di Tbilisi dimaksudkan untuk menunjukkan kepada Amerika bahwa Rusia telah melenturkan otot-ototnya dan memukul balik imperialisme AS dan NATO. Ini adalah peringatan bagi Amerika. Namun Amerika tetap melanjutkan kebijakan agresifnya. Dan keadaan mencapai titik kritis ketika mereka berusaha menarik Ukraina ke orbit barat.
NATO dan Ukraina
Para politisi Barat menganggap keberatan Rusia sebagai sikap yang paranoid. Mereka menggambarkan NATO sebagai aliansi yang murni ‘defensif’. Mereka mengklaim bahwa keputusan Rusia untuk berperang adalah “agresi tanpa provokasi”. Justru sebaliknya. Penempatan anggota NATO di depan pintu Rusia adalah tindakan agresi yang sangat jelas dan provokasi yang paling terang-terangan dan kurang ajar. Moskow tak pernah bisa menerimanya. Fakta ini sudah diketahui oleh Amerika, yang telah diperingatkan sebelumnya tentang bagaimana Rusia akan merespons.
Ketika masalah ini (bergabungnya Ukraina ke NATO) didiskusikan pada KTT NATO tahun 2008, Bill Burns, (sekarang kepala CIA, yang saat itu menjabat sebagai duta besar AS untuk Moskow) menulis dalam sebuah kabel rahasia ke Gedung Putih: “Masuknya Ukraina ke dalam NATO adalah hal yang paling tidak akan bisa diterima oleh elite Rusia (bukan hanya Putin).”
Dan dia menambahkan: “Dalam lebih dari dua setengah tahun percakapan saya dengan para pemain kunci Rusia, mulai dari orang yang tidak tahu apa-apa di relung gelap Kremlin hingga kritikus liberal paling tajam, saya belum menemukan siapa pun yang melihat Ukraina di NATO sebagai sesuatu yang lain selain tantangan langsung terhadap kepentingan Rusia … Rusia hari ini akan merespons.”
Amerika telah memaksa Putin ke sudut dan memaksanya untuk bereaksi. Putin pun merespons. Pada 2014, ia mencaplok Krimea. Ini terjadi hampir tanpa perlawanan. Ini bisa berhasil karena ia mendapat dukungan dari mayoritas penduduknya, yang mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Rusia. Fakta ini tidak pernah disebutkan dalam ‘pers bebas’ Barat.
Kebijakan anti-Rusia yang kejam yang diterapkan oleh kelompok nasionalis reaksioner di Kiev juga memicu pemberontakan separatis di Donbas. Kemudian, Rusia turun tangan ketika para pemberontak menghadapi serangan gencar dari pasukan Ukraina. Itu adalah awal dari perang yang, pada kenyataannya, terus berlanjut, dengan intensitas yang lebih besar atau lebih kecil, sejak saat itu.
Lelucon Perjanjian Minsk
Perang di Donbas, yang dimulai pada 2014, hampir sepenuhnya diabaikan oleh media Barat. Namun, sejak saat itu, penduduk berbahasa Rusia di wilayah tersebut menjadi sasaran pemboman tanpa ampun oleh divisi Azov yang terang-terangan fasis.
Jumlah total kematian di Donbass hingga 31 Desember 2021 diperkirakan lebih dari 14.000 orang, termasuk korban sipil. Sebagian besar kematian terjadi dalam dua tahun pertama perang antara 2014 dan 2015, ketika pertempuran besar terjadi sebelum perjanjian Minsk. Semua ini dibalas dengan kebisuan di pihak barat.
Perjanjian Minsk seharusnya dapat mengelola krisis Ukraina dan menghindari eskalasi konflik. Namun, lagi perjanjian ini adalah sebuah kebohongan. Seperti yang ditunjukkan oleh The New York Post, Putin merasa dikhianati oleh Barat: “Ternyata tidak ada yang mau mengimplementasikan perjanjian-perjanjian itu,” keluhnya. Dan memang demikianlah yang terjadi.
Barat tidak berniat sedikit pun untuk melaksanakan keputusan tersebut. Mantan Kanselir Jerman Angela Merkel telah mengakui bahwa perjanjian Minsk hanyalah sebuah tipuan sinis. “Perjanjian Minsk 2014 adalah sebuah upaya untuk memberikan waktu kepada Ukraina,” katanya kepada mingguan Die Zeit. “Ukraina juga menggunakan waktu ini untuk menjadi lebih kuat, seperti yang Anda lihat hari ini.” Kendati begitu, mereka justru menuduh Rusia sebagai penghalang utama perdamaian dan stabilitas di Ukraina.
Argumen “membela demokrasi”
Presiden Biden mengatakan bahwa kunjungannya ke Kiev akan “menegaskan kembali komitmen kami yang tak tergoyahkan dan tak pernah padam terhadap demokrasi, kedaulatan, dan integritas teritorial Ukraina”. Ini menunjukkan tiga kebohongan terang-terangan dalam satu kalimat. Argumen bahwa Barat “membela demokrasi” di Ukraina adalah kebohongan dan kemunafikan. Uni Eropa telah lama menolak masuknya Ukraina dengan alasan bahwa negara ini mengalami apa yang mereka sebut sebagai “defisit demokrasi”. The Guardian melaporkan hal itu: “Daya tarik Ukraina sebagai model sangat terbatas. Negara ini sangat korup, supremasi hukumnya tidak ada, dan para miliarder oligarki memegang kekuasaan yang tidak proporsional.”
Partai-partai oposisi secara rutin ditekan dan direpresi. Pers diberangus dengan sensor yang ketat. Organisasi-organisasi sayap kanan dan fasis secara terbuka dimasukkan ke dalam aparat negara dan angkatan bersenjata.
Partai Komunis telah dilarang mengikuti pemilihan umum, dan simbol-simbol Komunis dilarang setelah kudeta EuroMaidan 2014. Sementara itu, kritik terhadap organisasi nasionalis Ukraina yang berkolaborasi dengan Nazi selama Perang Dunia II dan melakukan pembersihan etnis terhadap orang Yahudi dan Polandia, telah dilarang, karena mereka dianggap sebagai “pejuang kemerdekaan”.
Dengan dimulainya perang setahun yang lalu, serangkaian partai lain juga dilarang. Surat kabar dan stasiun TV ditutup. Penyensoran dan tindakan anti-demokrasi tidak hanya memengaruhi mereka yang menentang nasionalisme reaksioner Ukraina, tetapi juga para penentang nasionalis borjuis Zelensky.
Pada kenyataannya, isu-isu seperti demokrasi, hak asasi manusia dan kedaulatan nasional tidak menarik sedikit pun bagi kaum imperialis Amerika, kecuali sebagai bahan propaganda murahan. Mereka selalu siap untuk mendukung rezim-rezim yang paling berdarah dan represif, mulai dari kediktatoran Pinochet yang kejam di Chili hingga rezim Arab Saudi yang berlumuran darah.
Alasan mereka tertarik untuk memperpanjang perang, terlepas dari semua penderitaan manusia, tidak ada hubungannya dengan membela demokrasi atau tujuan moral lainnya yang terdengar mulai. Ini sesuai dengan tujuan sinis untuk melemahkan Rusia, dan dengan demikian melayani kepentingan mereka sebagai kekuatan dunia yang dominan.
“Politik dengan cara lain”
Clausewitz mengatakan bahwa perang hanyalah kelanjutan dari politik dengan cara lain. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang isu-isu yang terlibat dan bagaimana mereka berkemban, kita harus memusatkan perhatian kita pada proses-proses fundamental, dan tidak terusik oleh perang informasi yang bising, atau oleh perubahan-perubahan yang tak terelakkan di medan perang.
Poin yang paling penting adalah bahwa ini adalah perang proksi antara Rusia dan imperialisme AS. Rusia tidak memerangi tentara Ukraina, melainkan tentara NATO – yaitu, tentara negara yang secara resmi bukan anggota aliansi tersebut, tetapi dibiayai, dipersenjatai, dilatih, dan diperlengkapi oleh NATO, yang juga menyediakan dukungan logistik dan informasi penting.
Perang saat ini akan berakhir ketika tujuan politik para pemain kunci terpenuhi atau ketika salah satu atau kedua belah pihak kelelahan dan kehilangan keinginan untuk melanjutkan pertempuran. Apakah tujuan-tujuan ini? Tujuan perang Zelensky bukanlah rahasia. Dia mengatakan dia hanya akan puas dengan pengusiran tentara Rusia dari seluruh wilayah Ukraina – termasuk Krimea.
Sudut pandang ini telah didukung dengan antusias oleh kubu garis keras dalam koalisi Barat: Polandia, Swedia, dan para pemimpin negara-negara Baltik – yang memiliki kepentingan mereka sendiri – dan, tentu saja, para sauvinis bodoh dan para penghasut di London, yang membayangkan bahwa Inggris, bahkan dalam kondisi kebangkrutan ekonomi, politik, dan moralnya saat ini, masih merupakan kekuatan besar dunia.
Tuan nyonya ini telah mendorong Ukraina untuk terus berjuang sampai ‘kemenangan akhir’. Mereka ingin tentara Ukraina mengusir Rusia, tidak hanya dari Donbas tapi juga dari Krimea, memprovokasi (mereka berharap) penggulingan Putin dan kekalahan total serta hancurnya Federasi Rusia (meskipun mereka tidak sering membicarakan hal ini di depan umum).
Mereka membuat banyak keributan, namun, tidak ada orang yang serius memperhatikan tingkah laku para politisi di London, Warsawa, dan Vilnius. Sebagai pemimpin negara kelas dua yang tidak memiliki bobot nyata dalam perimbangan politik internasional, mereka tetap menjadi aktor kelas dua yang tidak akan pernah bisa memainkan lebih dari peran pendukung kecil dalam drama besar ini.
AS-lah yang membayar tagihan perang ini dan mendikte semua yang terjadi. Dan setidaknya para ahli strategi imperialisme AS yang lebih waras tahu bahwa semua delirium ini hanyalah omong kosong belaka. Dalam kondisi-kondisi tertentu, negara-negara imperialis yang lebih kecil dapat memainkan peran tertentu, tetapi pada analisis terakhir, Washington-lah yang memutuskan. Tetapi kebijakan A telah menghadapi masalah yang serius.
Sanksi telah gagal
Mark Twain pernah berkata: “Laporan tentang kematian saya sangat dibesar-besarkan”. Hal yang sama juga berlaku untuk berbagai laporan di ‘pers bebas’ Barat tentang runtuhnya ekonomi Rusia.
Sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia setelah menginvasi Ukraina telah menjadi kegagalan yang spektakuler. Faktanya, nilai ekspor Rusia justru tumbuh sejak awal perang. Meskipun volume impor Rusia anjlok akibat sanksi, sejumlah negara (Cina, India, Turki; dan juga beberapa negara yang merupakan bagian dari Uni Eropa, seperti Belgia, Spanyol, dan Belanda) telah meningkatkan perdagangan mereka dengan Rusia.
Selain itu, harga minyak dan gas yang tinggi telah mengimbangi pendapatan Rusia yang hilang akibat sanksi. India dan Cina telah membeli lebih banyak minyak mentah Rusia, meskipun dengan harga diskon. Dengan demikian, pendapatan yang hilang akibat sanksi telah dikompensasi oleh kenaikan harga migas di pasar dunia.
Vladimir Putin terus membiayai tentaranya dengan hasil penjualan minyak, sementara Barat dihadapkan pada prospek ketidakstabilan energi di tahun-tahun mendatang, dengan melonjaknya tagihan energi dan meningkatnya kemarahan publik.
Dukungan untuk perang melemah
Pertanyaannya adalah: pihak mana yang akan lebih dulu lelah dengan perang ini? Jelas bahwa waktu tidak berpihak pada Ukraina, baik dari sudut pandang militer maupun politik. Dan dalam analisis akhir, masalah politik akan menjadi menentukan.
Eropa telah dilanda kekurangan gas dan listrik yang serius, yang melemahkan dukungan publik terhadap perang di Ukraina. Cuaca yang lebih hangat dari biasanya telah meringankan situasi, tetapi semakin lama sanksi terus berlanjut masalahnya akan bertambah.
Dukungan Amerika juga tidak bisa dianggap akan bertahan selama-lamanya. Di depan umum, kelas penguasa Amerika tetap mempertahankan dukungan mereka yang tak tergoyahkan untuk Ukraina, tetapi secara pribadi, mereka sama sekali tidak yakin.
Kedua belah pihak tidak berminat untuk menegosiasikan sesuatu yang berarti saat ini. Tapi itu akan berubah. Demagogi Zelensky, yang terus-menerus mengulangi bahwa Ukraina tidak akan pernah menyerahkan sejengkal tanah pun, jelas dirancang untuk memberikan tekanan pada imperialisme NATO dan AS; guna menegaskan bahwa Ukraina akan bertempur hingga akhir, selalu dengan syarat bahwa Barat terus mengirimkan uang dan senjata dalam jumlah besar.
Ya, Biden ingin memperpanjang konflik saat ini untuk melemahkan Rusia. Tetapi hanya dalam batas-batas tertentu. Dan tentu saja mereka akan menghindari bentrokan militer langsung dengan Rusia. Sementara itu, jajak pendapat demi jajak pendapat menunjukkan bahwa dukungan publik di Barat untuk perang di Ukraina perlahan-lahan menurun.
Kelelahan terhadap Perang Ukraina
Pada bulan pertama perang, Ukraina bersedia bernegosiasi dengan Rusia. Sejak saat itu, Zelensky telah menolak negosiasi sama sekali. Dia telah mengatakan berulang kali bahwa Ukraina hanya siap berunding dengan Rusia jika pasukannya meninggalkan seluruh wilayah Ukraina, termasuk Krimea dan wilayah timur Donbas, yang secara de facto dikuasai Rusia sejak 2014, dan jika Rusia yang telah melakukan kejahatan perang diadili.
Zelensky juga menegaskan bahwa ia tidak akan mengadakan negosiasi dengan kepemimpinan Rusia saat ini. Ia bahkan menandatangani sebuah dekrit yang menyatakan bahwa Ukraina hanya akan berunding dengan presiden Rusia baru yang menggantikan Vladimir Putin.
Deklarasi-deklarasi yang berani ini menyebabkan banyak kejengkelan di Washington. The Washington Post mengungkapkan bahwa para pejabat AS telah memperingatkan pemerintah Ukraina secara pribadi bahwa “kelelahan Ukraina” di antara para sekutu dapat memburuk jika Kiev terus tidak bernegosiasi dengan Putin.
Para pejabat telah memperingatkan bahwa posisi Ukraina yang menolak negosiasi ini sudah membuat para sekutunya gusar, karena mereka khawatir akan dampak ekonomi dari perang yang berlarut-larut.
Dalam pidatonya di Kiev dan Warsawa, Biden mengulangi mantra bahwa AS akan mendukung Ukraina “selama yang diperlukan”. Namun, sejumlah sekutu Eropa, belum lagi di Afrika dan Amerika Latin, semakin khawatir dengan dampak perang terhadap harga energi dan makanan serta rantai suplai. “Kelelahan dengan perang Ukraina adalah hal yang nyata bagi beberapa sekutu kami,” kata seorang pejabat AS.
Tentu saja, Amerika tidak dapat secara terbuka mengakui bahwa mereka sedang menekan Zelensky untuk bernegosiasi dengan Rusia. Sebaliknya, mereka mempertahankan penampilan solidaritas yang kuat dengan Kiev. Namun pada kenyataannya, sudah ada ketegangan di bawah permukaan.
Bagi para pemimpin Ukraina, menerima negosiasi akan berarti sebuah kemunduran yang memalukan setelah berbulan-bulan retorika peperangan tentang perlunya kemenangan militer yang menentukan atas Rusia guna mengamankan keamanan Ukraina dalam jangka panjang.
Serangkaian keberhasilan di medan perang pada tahun 2022, pertama di wilayah Kharkiv timur laut dan kemudian dengan perebutan Kherson, mendorong Zelensky untuk percaya pada kemungkinan “kemenangan akhir”. Namun, Amerika memiliki pemahaman yang lebih baik tentang realitas dan mereka tahu betul bahwa waktu belum tentu berpihak pada Ukraina.
Apakah Putin dalam bahaya digulingkan?
Mesin propaganda Barat terus-menerus mengulang-ulang kalimat bahwa Putin akan segera digulingkan oleh rakyat Rusia, yang sudah lelah dengan perang. Namun, itu hanyalah angan-angan belaka. Ini didasarkan pada kesalahpahaman yang mendasar. Saat ini, Putin masih memiliki basis dukungan yang cukup luas. Posisinya aman.
Tak ada gerakan anti-perang yang signifikan di Rusia saat ini, dan yang ada justru dipimpin dan diarahkan oleh elemen-elemen borjuis-liberal. Inilah kelemahan utamanya. Buruh melihat kredensial kaum borjuasi liberal ini, dan langsung berpaling dan mengutuk.
Perang ini mendapat dukungan umum dari mayoritas rakyat Rusia, terutama para pekerja, meskipun tidak banyak yang antusias. Pemberlakuan sanksi dan propaganda anti-Rusia yang terus menerus di Barat, serta fakta bahwa NATO dan Amerika memasok senjata modern ke Ukraina, menegaskan kecurigaan mereka bahwa Rusia memang sedang dikepung oleh musuh-musuhnya.
Satu-satunya tekanan terhadap Putin datang, bukan dari gerakan anti-perang, melainkan dari kaum nasionalis Rusia dan pihak-pihak lain yang menginginkan perang dilanjutkan dengan kekuatan dan tekad yang lebih besar. Namun, jika perang berlarut-larut dalam waktu yang lama tanpa bukti signifikan keberhasilan militer Rusia, situasi bisa berubah.
Gejala yang signifikan adalah protes para ibu dari tentara yang terbunuh di Ukraina. Jumlahnya masih kecil dan sebagian besar terkonsentrasi di republik-republik timur seperti Dagestan, di mana tingkat pengangguran yang tinggi membuat banyak pemuda menjadi sukarelawan untuk menjadi tentara. Jika konflik ini berkepanjangan, jumlah ini dapat berlipat ganda dalam skala yang jauh lebih besar, yang menimbulkan ancaman, tidak hanya bagi keberlangsungan perang, tetapi juga bagi rezim itu sendiri.
Jika jumlah kematian meningkat, kita mungkin akan melihat protes para ibu di Moskow dan Petersburg, yang tak bisa diabaikan oleh Putin dan akan sulit ditumpas. Ini jelas akan menandai perubahan dalam keseluruhan situasi. Namun, ini sekarang belum terwujud.
Tujuan perang Rusia
Tujuan perang yang dinyatakan oleh pemerintahan Rusia adalah untuk mencegah Ukraina bergabung dengan NATO, dan untuk “demiliterisasi dan denazifikasi ” negara tersebut. Selain itu, sejak awal Putin menginginkan pemerintahan yang netral atau pro-Rusia di Kiev.
Putin jelas salah perhitungan pada awalnya, dan Rusia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mencapai tujuan ini. Bahkan tugas untuk mempertahankan perolehan mereka di Donbas terbukti sulit, sebuah fakta yang ditunjukkan dengan jelas oleh serangan Ukraina pada awal September tahun lalu.
Namun, kegagalan di lini depan menjadi stimulus yang diperlukan untuk menyesuaikan kekuatan mereka. Mereka mengambil langkah untuk memobilisasi kekuatan yang diperlukan untuk melakukan apa yang diperlukan. Rusia melakukan mobilisasi besar-besaran. Pengiriman 300.000 tentara Rusia yang baru ke garis depan akan secara dramatis mengubah perimbangan kekuatan.
Argumen yang sering diulang-ulang oleh pers Barat bahwa Rusia kekurangan amunisi adalah kebohongan. Rusia memiliki industri persenjataan yang besar dan kuat. Mereka memiliki stok senjata dan amunisi yang sangat banyak.
Bukan Rusia, melainkan Ukraina dan para pendukung imperialis mereka yang kehabisan amunisi. AS dan sekutunya telah mengirim hampir 50 miliar dolar AS dalam bentuk bantuan dan peralatan kepada militer Ukraina dalam satu tahun terakhir ini. Namun, Ukraina menggunakan persediaan mereka jauh lebih cepat daripada yang bisa digantikan.
Sekretaris NATO Jens Stoltenberg harus mengakui dalam pertemuan NATO baru-baru ini bahwa baik Ukraina maupun NATO terancam kehabisan amunisi dan suku cadang senjata berat. Ia mengatakan bahwa sekutu-sekutu Barat perlu mengisi gudang senjata mereka sendiri sambil memastikan agar Kiev menerima senjata yang dibutuhkan “untuk memenangkan perang ini”:
“Kami tidak melihat tanda-tanda bahwa Presiden Putin sedang mempersiapkan perdamaian,” kata Stoltenberg. “Apa yang kami lihat justru sebaliknya, dia sedang bersiap untuk mengintensifikasi perang, meluncurkan serangan-serangan baru.
“Ini telah menjadi perang atrisi dan oleh karena itu ini juga merupakan pertempuran logistik.
“Sekutu harus berupaya besar untuk benar-benar dapat memasok amunisi, bahan bakar, suku cadang, yang dibutuhkan.”
Pengakuan ini menepis semua propaganda bodoh yang telah diulang-ulang selama berbulan-bulan.
Sementara itu, Rusia terus menggempur target-target di seluruh Ukraina dengan artileri, roket, pesawat tak berawak, dan rudal; menghancurkan pusat-pusat komando militer, pusat-pusat transportasi, dan infrastruktur, yang secara serius akan menghambat pergerakan pasukan dan persenjataan Ukraina ke garis depan.
Hubungan dunia
Perang di Ukraina tidak dapat dilihat secara terisolasi dari situasi global. Orde dunia dengan AS sebagai kekuatan adidaya, yang telah eksis selama 30 tahun terakhir setelah runtuhnya Uni Soviet, kini sudah mulai hampir berakhir. Imperialisme AS berusaha menegaskan perannya sebagai kekuatan dunia yang dominan. Namun, upaya ini mendapat perlawanan. Rusia menentang orde keamanan yang dipimpin AS di Eropa, sementara China menantangnya di Asia.
China juga semakin mendekatkan diri dengan Rusia, karena keduanya bersaing dengan imperialisme AS. Baru-baru ini, China memperingatkan negara-negara Barat agar tidak “menambah bahan bakar ke dalam api” di Ukraina dan mengulangi seruan untuk melakukan perundingan perdamaian menjelang kunjungan diplomat paling senior Beijing, Wang Yi, ke Moskow.
Pernyataan ini ditafsirkan di Washington sebagai ancaman bahwa Tiongkok mungkin akan memasok senjata kepada Rusia. AS mengeluarkan peringatan keras kepada Beijing bahwa ini akan menimbulkan konsekuensi serius. Ini kemudian ditanggapi dengan lebih marah lagi oleh Beijing. Mengapa Amerika dan sekutunya memiliki kebebasan untuk mengirim pasokan senjata dalam jumlah besar ke Ukraina, tetapi melarang Cina untuk mengirim senjata ke Rusia? Pertanyaan yang sangat bagus, yang masih kami tunggu jawabannya.
Transisi geopolitik telah dimulai, seperti pergeseran lempeng tektonik di permukaan bumi. Dan ini akan menghasilkan gempa bumi. Dari reruntuhan orde lama, perimbangan kekuatan baru pada akhirnya akan muncul. Namun, ini akan membutuhkan waktu dan tidak akan tercapai dengan mudah atau secara damai. Sebuah periode baru penuh turbulensi dan pergolakan telah dimulai.
Meskipun perang dunia tidak mungkin terjadi dalam kondisi saat ini, akan ada banyak perang “kecil” dan perang proksi seperti yang terjadi di Ukraina. Ini akan menambah volatilitas secara umum dan menambah bahan bakar ke dalam api kekacauan dunia.
Amerika Serikat dan Eropa
Di Eropa, AS menggunakan konflik di Ukraina untuk mencapai tujuannya, yakni memaksa Eropa memutuskan hubungan dengan Rusia, dan dengan demikian memperkuat cengkeraman imperialisme AS di Eropa. Sebelumnya, kelas penguasa Jerman, pada dasarnya, menggunakan hubungannya dengan Rusia sebagai tuas untuk mengamankan setidaknya kemandirian parsial dari AS. Tuas utama lainnya adalah dominasi de facto Jerman atas Uni Eropa, yang diharapkan dapat dibangun sebagai sebuah blok kekuatan alternatif, yang mampu memenuhi kepentingannya sendiri di panggung global.
Di balik tampilan ‘persatuan barat’, ada ketegangan yang meningkat antara AS dan Eropa, yang sebenarnya telah diperburuk oleh perang ini. Ketegangan ini muncul kembali dalam RUU infrastruktur AS yang proteksionis baru-baru ini, yang semakin menekan industri Uni Eropa.
Ketegangan AS dengan Eropa bukanlah hal yang baru. Ketegangan ini muncul selama Perang Irak, dan baru-baru ini sehubungan dengan Iran. Para pemimpin Prancis dan Jerman selalu mencurigai hubungan dekat Amerika dengan Inggris, yang mereka anggap sebagai Kuda Troya Amerika di dalam kubu Eropa.
Prancis, yang tidak pernah menyembunyikan ambisi mereka untuk mendominasi Eropa, secara tradisional lebih vokal dalam retorika anti-Amerika mereka. Jerman, yang merupakan penguasa Eropa yang sebenarnya, lebih berhati-hati, lebih memilih realitas kekuasaan daripada bualan kosong.
Orang Amerika tidak tertipu. Mereka melihat Jerman, bukan Prancis, sebagai saingan utama mereka, dan Trump khususnya tidak merahasiakan ketidakpercayaan dan ketidaksukaannya terhadap Berlin.
Untuk mengamankan kemandirian mereka dari Washington, para kapitalis Jerman menjalin hubungan dekat dengan Moskow. Ini membuat ‘sekutu’ Jerman di seberang Lautan Atlantik marah, tetapi memberi Jerman keuntungan besar dalam bentuk pasokan migas yang murah dan berlimpah.
Kehilangan pasokan ini adalah harga yang sangat mahal yang harus dibayar untuk membuat Amerika senang. Di bawah Angela Merkel, Jerman dengan cemburu mempertahankan peran independennya. Dibutuhkan perang di Ukraina untuk membuat Jerman tunduk, setidaknya untuk saat ini.
Untuk saat ini, AS telah berhasil menggunakan perang untuk memperketat cengkeramannya di Eropa. Namun, sama sekali tidak jelas berapa lama kesabaran Jerman dan negara-negara Eropa lainnya akan bertahan. Kontradiksi yang ditimbulkan oleh situasi ini hanya akan menjadi jelas ketika urusan Ukraina selesai.
Kemenangan apa?
Dalam perang saat ini, di atas segalanya, adalah sebuah kesalahan untuk membicarakan kemenangan Rusia atau Ukraina. Pertama-tama, kita harus mendefinisikan apa arti kemenangan.
Dari sisi Ukraina, jawabannya sederhana: untuk membuat Rusia kalah secara militer dan memaksa penarikan pasukan Rusia dari semua wilayah yang diduduki, termasuk Krimea. Namun, meski terlihat sederhana, sebagian besar pakar militer sepakat bahwa itu adalah tujuan yang sangat mustahil.
Bagi Rusia, segalanya lebih sederhana. Secara teori, Putin dapat mengklaim kemenangan jika Rusia berhasil menguasai seluruh wilayah Donbas dan jembatan darat menuju Krimea. Namun, ia tentu menginginkan lebih, misalnya, merebut Odesa dan pantai Laut Hitam. Ini akan mencekik Ukraina secara ekonomi, dan mereduksinya menjadi negara vasal. Ini akan menjadi pukulan telak bagi NATO dan akan mengekspos limit kekuatan AS. Tentu saja, Amerika akan melakukan segala cara untuk mencegahnya. Namun, masih jauh dari pasti bahwa mereka akan berhasil.
Biden baru saja mengumumkan lebih banyak bantuan untuk Ukraina. Namun, ini tidak akan cukup untuk membalikkan arus perang, yang kini mengalir ke arah Rusia. Apa yang diinginkan Washington adalah terus memasok senjata yang cukup untuk menjaga konflik di Ukraina terus berlanjut, dan dengan demikian melemahkan Rusia.
Terlepas dari semua pertunjukan keberanian di depan umum, bagaimanapun, para ahli strategi militer yang serius telah memahami bahwa tidak mungkin bagi Ukraina untuk mengalahkan Rusia. Jenderal Mark A. Milley adalah Ketua Kepala Staf Gabungan ke-20, perwira militer tertinggi di AS. Oleh karena itu, pendapatnya harus ditanggapi dengan sangat serius ketika dia mengatakannya:
“Jadi, dalam hal probabilitas, probabilitas kemenangan militer Ukraina yang didefinisikan sebagai menendang Rusia keluar dari seluruh Ukraina, termasuk apa yang mereka definisikan atau apa yang mereka klaim sebagai Krimea, maka probabilitas ini dalam waktu dekat tidak tinggi, secara militer.”
Kaum imperialis terus memainkan permainan mengerikan mereka. Mereka menyulut api perang, cukup untuk membuatnya tetap menyala, tetapi tanpa menyediakan Ukraina dengan kemampuan yang diperlukan untuk menang. Mereka tidak peduli kalau ini berarti kehancuran, kesengsaraan, kematian, dan penderitaan yang paling mengerikan bagi banyak orang. Namun, semua hal ada batasnya.
Tidak seperti kaum imperialis yang munafik, kelas buruh di Barat merasakan simpati yang tulus terhadap penderitaan yang mengerikan dari jutaan rakyat miskin di Ukraina. Mereka menyumbangkan uang, pakaian, dan makanan untuk membantu para korban perang. Mereka dengan mudah membuka rumah mereka dan membagikan apa pun yang mereka miliki kepada para pengungsi yang tidak memiliki tempat tinggal. Dan ini patut diapresiasi. Namun, menyatakan solidaritas terhadap para korban perang adalah satu hal. Dan mendukung, secara langsung atau tidak langsung, kebijakan sinis imperialisme, yang mengeksploitasi kesengsaraan jutaan pria, wanita, dan anak-anak untuk secara sengaja memperpanjang konflik demi kepentingannya sendiri yang egois, adalah hal yang sama sekali berbeda.
Perang nuklir?
Satu hal yang benar-benar baru dalam pidato Putin baru-baru ini adalah pengumumannya tentang penangguhan partisipasi Rusia dalam perundingan tentang perjanjian pengendalian senjata nuklir. Dia juga mengumumkan bahwa sistem strategis baru telah dioperasikan siap tempur, dan mengancam akan melanjutkan uji coba nuklir jika AS memulainya terlebih dahulu.
Isyarat Putin bahwa ia mungkin mempertimbangkan untuk menggunakan senjata nuklir hampir pasti merupakan gertakan, namun kata-katanya segera memicu alarm di Washington dan Brussel. Wajah Stoltenberg, pria Norwegia berwajah batu yang suka menyebut dirinya Sekretaris Jenderal NATO, untuk sekali ini menunjukkan sedikit emosi atas pernyataan Putin.
Apa pun niat Amerika, mereka tidak ingin berperang langsung dengan AS. Konfrontasi langsung antara NATO dan Rusia, dengan segala implikasi nuklirnya, akan dihindari oleh kedua belah pihak dengan segala cara. Amerika tidak berniat membiarkan perang ini berada di luar kendali. Persis karena alasan inilah Amerika memiliki beberapa saluran komunikasi yang terbuka dengan Rusia, untuk menghindari kemungkinan terjadinya peristiwa yang tidak terkendali yang dapat menyebabkan perkembangan yang tidak diinginkan.
Semua ini akan memberikan bobot tambahan pada upaya orang-orang seperti Ketua Kepala Staf Gabungan Jenderal Mark Milley untuk menekan Zelensky untuk memulai berunding dengan Rusia. Tetapi ini tidak akan diterima oleh Ukraina. “Bila ada kesempatan untuk bernegosiasi, bila perdamaian dapat dicapai, raihlah,” kata Milley. “Rebutlah momen itu.” Namun jika negosiasi tidak pernah terwujud atau gagal, Milley mengatakan bahwa Amerika Serikat akan terus mempersenjatai Ukraina, bahkan bila kemenangan militer secara langsung bagi kedua belah pihak terlihat semakin tidak mungkin.
“Harus ada pengakuan bersama bahwa kemenangan militer mungkin tidak dapat dicapai melalui cara-cara militer, dan oleh karena itu kita harus beralih ke cara-cara lain,” katanya. Ini adalah peringatan yang jelas bagi Zelensky bahwa imperialisme AS tidak akan selamanya mendukung Ukraina. Dan inilah yang pada akhirnya akan menentukan nasib Ukraina, bukan retorika Biden di Kiev dan Warsawa.
Pada kenyataannya, AS tidak akan terus bersedia menanggung biaya perang yang mahal ini. Ada limitnya. Washington selalu enggan untuk memasok Kiev dengan persenjataan canggih yang diminta oleh Zelensky. Ini dimaksudkan untuk mengirim sinyal ke Moskow bahwa AS tidak mau menyediakan senjata yang dapat mengeskalasi konflik dan menciptakan potensi bentrokan militer langsung antara Rusia dan NATO. Ini menggarisbawahi bahaya yang tersirat jika perang dibiarkan berlanjut. Ada terlalu banyak elemen tak terkendali, yang dapat menimbulkan semacam spiral ke bawah yang dapat menyebabkan perang langsung antara NATO dan Rusia.
Bahaya semacam itu digarisbawahi pada November 2022, ketika dunia dikejutkan dengan pernyataan presiden Polandia bahwa negaranya telah dihantam oleh rudal buatan Rusia, dengan media barat mengklaim bahwa Rusia berada di baliknya. Kebohongan itu segera terbongkar ketika Pentagon sendiri mengungkapkan bahwa rudal yang menghantam fasilitas pertanian Polandia di sebuah peternakan dekat desa Przewodow, dekat perbatasan dengan Ukraina, ditembakkan oleh tentara Ukraina.
NATO dan Polandia buru-buru menjelaskan bahwa itu semua adalah “kecelakaan yang disesalkan”. Namun, meskipun rudal itu adalah rudal anti-udara S-300 dengan jangkauan yang sangat terbatas, yang hampir tidak mungkin ditembakkan dari Rusia, Zelensky secara terang-terangan berbohong dan bersikeras bahwa itu adalah serangan yang disengaja dari Rusia. Dia berharap ini dapat memberinya tuas yang kuat untuk menuntut lebih banyak senjata dan uang. Dan dalam skenario terbaik (dari sudut pandangnya), ini mungkin mendorong NATO untuk mengambil tindakan pembalasan terhadap Rusia, dengan konsekuensi yang menarik. Jika insiden itu berhasil mendorong NATO untuk bertindak melawan Rusia, ini dapat memicu rangkaian peristiwa yang tak terbendung yang mungkin mengarah pada perang terbuka. Tak diragukan lagi, Zelensky akan sangat senang melihat NATO memasuki perang dan dengan demikian dia bisa menyelamatkan dirinya.
Perang besar di Eropa secara umum akan menjadi mimpi buruk bagi jutaan orang. Namun bagi Zelensky dan kelompoknya, ini merupakan jawaban atas semua doa mereka. Bila perang ini meletus, Amerika tidak mungkin berpangku tangan. Pasukan Amerika akan diturunkan ke lapangan. Ini adalah berita baik dari sudut pandang rezim Kiev, tapi sama sekali tidak dari sudut pandang Gedung Putih dan Pentagon. Ini bukan skenario mereka.
Prospek serangan baru Rusia membuat para politikus Kiev khawatir. Ini menjelaskan intensifikasi serangan diplomatik Zelensky baru-baru ini: perjalanan mendadak ke London dan Washington, dan penampilan melodramatis Biden di Kiev dan Warsawa. Zelensky adalah seorang yang putus asa. Dan orang yang putus asa akan melakukan hal-hal yang putus asa. Jelas ada elemen-elemen dalam tentara dan dinas rahasia Ukraina yang mencari alasan untuk melakukan provokasi yang mereka harapkan pada akhirnya akan menyeret NATO ke dalam partisipasi langsung dalam perang. Insiden penembakan rudal ke wilayah Polandia oleh unit tentara Ukraina adalah contohnya. Ada banyak alasan untuk percaya bahwa provokasi baru, dan bahkan lebih serius, sedang direncanakan di Kiev saat ini.
Kemarin, Rusia mengklaim bahwa Ukraina sedang bersiap untuk menginvasi Transnistria, wilayah separatis Moldova yang didukung Moskow, dan berjanji akan memberikan “tanggapan.” Ini sangat mungkin terjadi. Bagaimanapun, akan ada provokasi baru.
Apa selanjutnya?
Napoleon mengatakan, perang adalah persamaan yang paling rumit. Ini masih berlaku. Perang adalah gambar bergerak dengan banyak varian yang tak terduga dan skenario yang mungkin terjadi. Varian yang dengan penuh percaya diri dikemukakan oleh mesin propaganda Barat sejak dimulainya perang ini tampaknya divalidasi oleh keberhasilan serangan Ukraina pada September 2022, dan kemudian oleh mundurnya Rusia dari bagian barat Kherson. Namun, kita harus waspada terhadap kesimpulan impresionistik dari sejumlah peristiwa yang terbatas. Hasil perang jarang ditentukan oleh satu pertempuran, atau bahkan oleh beberapa pertempuran.
Pertanyaannya adalah: apakah kemenangan ini, atau kemajuan itu, secara material mengubah perimbangan kekuatan, yang dapat menentukan hasil akhir? Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini masih belum dapat ditentukan. Hasil yang berbeda mungkin saja terjadi, tergantung pada bagaimana kondisi berkembang di Rusia di satu sisi, dan Ukraina serta negara-negara Barat di sisi lain.
Rusia telah membangun kekuatannya di timur, memperkuat posisi militernya di Belarus, dan mengintensifkan pengeboman udara baik terhadap target militer maupun infrastruktur Ukraina yang sudah melemah. Sejauh ini, Ukraina telah menunjukkan tingkat ketahanan yang luar biasa. Namun, sampai kapan moral penduduk sipil dan tentara di garis depan dapat dipertahankan masih belum jelas.
Namun, satu hal yang jelas. Serangan Rusia berikutnya tidak akan seperti serangan sebelumnya yang gagal secara memalukan. Rusia akan menyerang dengan semua kekuatan militer yang mereka miliki. Dan tampaknya sangat tidak mungkin bahwa Ukraina, yang sudah sangat lemah karena kerugian besar dan kehancuran infrastruktur mereka, akan mampu melawan.
Namun, ini bukan berarti perang akan berakhir. Untuk mengamankan kemenangan total, Rusia harus melangkah lebih jauh, sampai mereka benar-benar melemahkan kapasitas tempur tentara Ukraina. Apakah ini mungkin? Ya, ini mungkin saja. Rusia memiliki cadangan kekuatan militer yang cukup besar yang belum digunakan, dan tidak dimiliki oleh Ukraina. Namun, kemenangan ini tidak akan mudah dan tidak akan cepat diraih.
Berita kekalahan yang serius di garis depan akan berdampak pada moral. Pada akhirnya, perpecahan akan terjadi di antara kepemimpinan Kiev, di antara kaum nasionalis sayap kanan, yang ingin berjuang sampai akhir, dan elemen-elemen yang lebih pragmatis, yang melihat bahwa perlawanan lebih lanjut hanya akan mengarah pada kehancuran total Ukraina dan bahwa semacam negosiasi adalah satu-satunya jalan keluar.
Apa pun hasilnya, status quo tidak akan kembali di Eropa. Sebuah periode baru yang penuh dengan ketidakstabilan yang ekstrem, perang, perang saudara, revolusi, dan kontra-revolusi telah lahir.
24 Februari 2023