Dokumen ini menyusuri kembali periode pertama PKI sampai pemberontakan yang kurang persiapannya pada tahun 1926. Yang memuat berbagai pelajaran yang amat berharga bagi pembangunan partai Marxis dewasa ini. Dalam analisis historis ini, ribuan aktivis yang terlibat dalam pengorganisiran kaum buruh, petani, penduduk miskin di kota, pelajar dan mahasiswa akan mencapai pemahaman strategi yang lebih dalam, sekaligus dokumen ini juga merupakan alat yang perlu untuk mencapai sosialisme di Indonesia. Kita selayaknya tidak melulu belajar dari segala kesuksesan yang dicapai pada masa tersebut, melainkan juga memetik pelajaran dari kelemahan-kelemahan fatal yang dilakukan oleh PKI waktu itu. Di dalam dokumen ini disajikan bimbingan yang penting bagi generasi baru angkatan muda Indonesia yang bertekad membangun organisasi yang sosialis Marxis.
Latar Belakang Historis
Kepulauan Indonesia berada di bawah kekuasaan Belanda sejak 1596 sampai 1903. Sekarang jumlah penduduknya adalah 200 juta – di urutan keempat negara yang berpenduduk paling padat – tersebar tersebar di banyak pulau dan terbagi dalam berberapa suku bangsa. Jawa ialah pulau yang paling penting, 75% dari penduduk hidup di pulau ini. Ibukota Jakarta (di jaman penjajahan dikenal dg sebutan Batavia), pusat perindustrian tertua Surabaya, dan pusat tradisional dari politik radikal di Semarang, dan berberapa kota lain yang penting, semuanya berada di Jawa
Sejak dulu, dan hingga sekarang, Indonesia terutama terdiri dari petani. Padi ditanam para petani untuk makanan pokok. Penjajahan Belanda mendirikan pekebunan, dimiliki kapital besar, untuk memproduksi barang ekspor [gula, kopi, teh, kakao, tembakao, karet, dll.). Kemudian minyak diexploitir Royal Dutch Shell, suatu perusahaan kapital Inggris dan Belanda
Indonesia merupakan daerah jajahan Belanda yang terpenting, dan penjajahan atasnya menjadi kunci pembangunan negeri Belanda modern. Perdagangan komoditas Indonesi menjadi sumber untung yang besar bagi kaum kapitalis di Belanda, dan berberapa industri di Belanda (contohnya, pembuatan cerutu, coklat, dll.) berdasar impor dari tanah Indonesia.
Bagaimanakah Belanda, yang jumlah penduduknya hanya seperpuluh Indonesia, berhasil mendirikan rezim yang berkuasa selama tiga abad? Tentulah, alasan yang paling fundamental bagi hal itu ialah perkembangan kekuatan produktif yang jauh lebih tinggi, dengan pemerintah dengan kontrol politik dan militer yang sesuai dengan kemajuan industri. Kekuasaan Belanda tergantung pada tidak adanya persatuan di antara suku-suku bangsa yang mendiami kepulauan Indonesia. Penjajah Belanda menerapkan sistem kekuasaan yang tidak langsung, dengan menggabungkan pemerintahan dengan kaum priyayi pribumi, aristokrasi pra-Islam. “Regen” pribumi menjalankan pemerintahan daerah besama “saudara muda” mereka, wakil regen asal Belanda.
Sekolah administrasi dan kedokteran didirikan oleh Belanda untuk mendidik anak priyayi kecil, dan melibatkannya dalam pemerintahan penjajahan. Meskipun demikian, sekolah-sekolah ini juga menghasilkan banyak pemimpin awal yang nasionalis dan radikal.
Kaum petani menderita akibat penjajahan Belanda dalam banyak segi, yang pertama dan paling berat adalah mereka menedita akibat diterapkannya bentuk perpajakan. Ironisnya, beban pajak menjadi lebih berat pada zaman diterapkannya kebijakan “etis” (liberal), yang diadopsi oleh administrasi kolonial pada pergantian abad ke-20, ketika dibangun infrastruktur yang dibiayi pajak. Kebijakan tanam paksa yang mengharuskan petani menanam tanaman keras merupakan beban lain yang ditanggung petani dan memusnahkan kebebasan petani (kebijakan ini kemudian dihapuskan). Sewaktu itu petani terpaksa menjadikan sepertiga sampai setengah tanah mereka tersedia untuk dipakai perkebunan gula. Karena dipaksa bayar pajak, makin banyak tanah dipakai, dan petani makin terpuruk dalam kemiskinan dan makin tergantung pada sistem kapitalis.
Borjuasi kecil pribumi di perkotaan sangat lemah, sebagian besarnya pedagang (banyak keturunan Tionghoa), dan bagian kecil pegawai. Tanpa industri yang berkembang, kaum buruh kecil sekali. Buruh terpusat di sektor pemerintahan dan transportasi yang dimiliki oleh swasta, yaitu kereta api dan trem.
Dengan tidak adanya oposisi politik yang berarti sebelum perang dunia pertama, kekuasaan Belanda sempat bertindak agak liberal, tetapi bersifat paternalistik, meskipun kebebasan pers dan berorganisasi senantiasa tidak mutlak. Ketika perjuangan mulai timbul di kaum petani, buruh dan kelas menengah, segala kebebasan ini langsung dicabut.
Kemelaratan dan represi politik, hanya dibungkus oleh tabir toleransi liberal yang tipis, merupakan ciri utama rakyat Indonesia pada tahun-tahun awal abad ini. Hampir seluruh rakyat buta huruf, dan berbagai penyakit tersebar luas mayoritas rakyat berada di bawah pengaruh kuat agama (Islam) dan kebudayaan tradisionil. Feodalisme yang ada sebelum penjajahan diidolakan. Bersamaan dengan itu kapitalisme dan pengalaman pejuangan kelas mulai merubah sikap kaum muda, dan khususnya kaum buruh. Pendidikan modern mengajarkan kelas menengah untuk mempersoalkan kekuasaan Belanda
Perang antara Rusia dan Jepang di tahun 1904-05, terlihat sebagai kekalahan satu kekuatan bangsa Eropa oleh suatu negara timur, dan akibatnya memengaruhi suasana politik seluruh kawasan Timur Jauh. Di Indonesia hal itu terutama mempengaruhi kalangan muda yang terpelajar. Kemudian terjadi Perang Dunia Pertama yang mengakibatkan kekurangan pangan, kekacauan, inflasi, dan meningkatnya penderitaan massa, yang pada giliran berikutnya hal itu menyebabkan berberapa gelombang kerusuhan dan militansi di kalangan kaum tani dan buruh. Sejarah gerakan nasionalis modern, termasuk PKI, dimulai pada periode itu.
Makna Penting PKI
PKI didirikan dalam gelombang pertama perjuangan anti Belanda. Pada awal tahun 20-an, dengan adanya perpecahan dalam kepemimpinan kelas menengah yang ada waktu itu, PKI muncul sebagai organisasi terkemuka dalam perjuangan kebangsaan dan kelas. Namun demikian, kelemahan pimpinan PKI dan pergeseran mereka ke politik ultra-kiri, menggiring partai ini menemui kegagalan total pada tahun 1923-26. hal ini memungkinkan para pimpinan kelas menengah nasionalis bercokol di pucuk pimpinan pada perjuangan kemerdekaan di tahun 1940-an.
Pada era awal PKI itu sebenarnya terbuka kemungkinan istimewa u membangun kepemimpinan massa yang Marxis, yang memperjuangan kebebasan nasional dan sosial menurut garis Revolusi Permanen. Hal ini memungkinkan didirikannya republik soviet sebagai hasil kebangkitan di tahun 1940-an, yang, jika ini terjadi, dapat memberi pengaruh krusial pada jalannya revolusi di Cina dan Vietnam. Tetapi karena banyaknya kesalahan pimpinan PKI, terutama tidak ada kader bersifat Bolshevik, jalur tersebut tersedia untuk munculnya rezim bourjuis bonapartis.
Merosotnya Komintern merupakan faktor tambahan dalam proses ini. Sesudah 1926 Stalinisme menjadi rintangan yang amat kuat – akhirnya tidak teratasi – untuk memperbaiki kesalahan masa lalu dan mengembalikan orientasi PKI ke garis Bolshevik.
Walaupun kesempatan ini hilang, pemkembangan awal PKI sangat patut dicatat dan mungkin paling signifikan di antara negara-negara jajahan, temasuk Cina. PKI adalah partai komunis pertama yang didirikan di Asia di luar Uni Soviet dan merintis taktik – terutama blok dalam pejuangan nasionalis – mendahului strategi PK Cina.
Sebaiknya diindahkan, di Cina kaum buruh dan borjuis nasional jauh lebih berkembang daripada di Indonesia. Di sana (Cina) kebijakan “entrisme” dilakukan secara korup oleh Stalinisme (bukan kebijakannya yang salah), mengakibatkan kemusnahan PK Cina pada akhir 20-an.
Tradisi Komunisme yang berakar pada era itu memungkinkan timbulnya PKI baru yang berbasis massa pada tahun 1940-an sebagai organisasi lumrah bagi kaum buruh dan berberapa bagian petani. Namun dengan dihapus tuntasnya Marxisme dari kebijakan-kebijakannya (hal yang amat signifikan, perkembangan partai pra-1920 dihapus dari sejarah resmi partai), PKI mempersiapkan jalan bagi opportunisme dan adventurisme yang berakibat pembunuhan sejuta kaum komunis Indonesia menyusul kup Soeharto 1965.
Semua kesimpulan mendasar yang ditarik oleh Marxisme tentang haluan dan soal pejuangan kolonial, dikukuhkan oleh pengalaman perjuangan di Indonesia. Kesuksesan dan kegagalan PKI, sebagai faktor material dalam proses perjuangan, penuh mengandung pelajaran bagi kita dalam menghadapi tugas-tugas kita di negeri-negeri yang dulu merupakan daerah jajahan.
Asal Mula PKI
Sebelum 1914 tidak ada tanda apapun bahwa dalam beberapa tahun saja di Indonesia akan ada partai komunis berbasis massa yang pertama di dunia kolonial. Kelas buruh tidak mempunyai organisasi politik dan hanya ada beberapa serikat buruh yang semuanya lemah. Gerakan “nasionalis” masih berupa jabang bayi; dan sebetulnya, imbauan nasionalisme belum terdengar di kalangan rakyat. Aslinya gerakan nasionalis dikuasai pemimpin kolot dari kelas menengah yang berdasarkan agama. Jurang yang dalam memisahkan para pemimpin nasionalis ini dengan kondisi sosial yang begitu buruk di kalangan rakyat. Pada era itu juga belum mulai berkembang sayap kiri apapun yang secara potensial bersifat Bolshevik.
Organisasi pertama yang didirikan oleh kaum muda Indonesia kelas ningrat ialah Budi Utomo , berdasarkan gagasan idealis gotong royong tanpa kesadaran politis. Indische Partij, yang berdasarkan golongan indo yang makmur, ialah partai pertama yang menuntut kemerdekaan Indonesia, tetapi tanpa hubungan dengan rakyat Indonesia. Pada tahun 1913 partai ini dilarang karena tuntutan kemerdekaan itu, dan sebagian besar anggotanya berkumpul lagi dalam Serikat Insulinde .
Gerakan pertama yang berbasis massa bertitik berat bukan pada nasionalisme ataupun program politik, melainkan pada agama. Kira-kira 90% penduduk Indonesia menganut Islam, dan Islam merupakan institusi utama dari masyarakat tradisional yang gagal dilembagakan Belanda dalam kontrolnya yang tidak langsung. Oleh karena itu Islam menjadi pusat perlawanan anti pemerintahan asing, walaupun aslinya oposisi ini belum matang dan tanpa bentuk (tidak ada program politik).
Organisasi berawal dengan pembentukan Serikat Pedagang Islam pada tahun 1911, dan dua tahun kemudian, 1913, di bawah pimpinan Tjokroaminoto, membuang “Pedagang ” dari namanya menjadi Serikat Islam untuk merengkuh dukungan massa. Meski tidak ada gagasan pejuangan nasionalis, tak terelakkan SI memegang peran pemegang kepercayaan perjuangan nasional.
SI tidak mempunyai program politik di luar “melayani kepentingan kaum Islam “, dan keorganisasiannya longgar sekali. Meskipun demikian keanggotaannya tumbuh dengan dahsyat, sampai ratusan ribu pada tahun 1916, dan terutama berpusat di kota. Secara grafikal hal ini mencerminkan pencarian massa buruh untuk menemukan alat perjuangan guna melawan kondisi mereka yang makin memburuk. SI gagal total memenuhi kebutuhan ini; meskipun demikian, karena tidak ada pilihan, kegiatan massa tetap terfokus padanya, jika munculnya PKI tidak memotong perkembangan SI itu.
Apa yang menyebabkan, dalam hanya beberapa tahun dan pula di dalam sebuah negeri yang luar biasa terbelakang, munculnya sebuah PK dengan basis massa yang kemudian merubah situasi politik? Tak dapat disangkal, peran kunci dimainkan oleh Henk Sneevliet, pemimpin sayap kiri Serikat Buruh Kereta Api dan sebelumnya merupakan tokoh sayap kiri gerakan sosialis, yang terpaksa mengunsi ke Indonesia pada tahun 1913 sesudah dimasukkan daftar hitam oleh birokrasi reformis dan kaum majikan. Kesuksenan usaha Sneevliet terutama bukan karena kualitas pribadinya melainkan akibat pengertiaannya atas pembelajaran Marxisme dan cara mengorganisir kaum buruh dan kepemimpinan organisasi kelas buruh. Pengalamannya dalam gerakan buruh yang termaju dan terorganisir di Eropa barat penting sekali. Usahanya menjadi katalis, menyatukan ide-ide Marxisme dan pengalaman itu dengan gerakan kaum buruh Indonesia yang mulai bangkit. Jika ada sesuatu yang dapat mengilustrasikan potensi Marxisme, hal itu adalah pertumbuhan spektakuler PKI, dan keinginannya kaum buruh memeluk pengertian dan senjata politis ini.
Bagaimanapun, sumbangan Sneevliet harus dibatasi dalam dua segi – pertama karena terbatasnya waktu yang dia lewatkan di Indonesia (1914-1918), dan kedua, karena terbatasnya tendensi revolusioner dalam gerakan Sosial-Demokrasi sendiri. Batasan-batasan ini terutama sekali terungkap dalam pemahaman yang tidak lengkap atas tugas-tugas mengenai pembangunan partai revolusioner yang berdasarkan teori Marxis. Keterbatasan ini bahkan terjadi pada tokoh-tokoh terkemuka macam Luxemburg dan Connolly. Pada periode ini kapitalis tumbuh di negeri-negeri imperialis, terjadi ekspansi kelas buruh dan berbagai kondisi yang menguntungkan untuk membangun organisasi kelas. Kepemimpinan diarahkan kepada pembangunan organisasi massa, berpedoman pada analisis umum Marxis mengenai perjuangan kelas, sebagai prakondisi bagi perjuangan berikutnya yang bertujuan mengambil alih kekuasaan pemerintahan. (Sayap kanan, tentu saja, ikut berpartisipasi dalam membangun organisasi-organisasi massa, tetapi perspektifnya sama sekali berbeda).
Di sisi lain, Lenin, memgambil kesimpulan dari situasi di Rusia di mana tugas-tugas revolusioner tampak jelas, menerangkan perlunya kelompok kader yang terdiri dari kaum revolusionaris profesional, beda dengan kelompok propagandis seperti yang dimiliki oleh Sosial Demokrat dan serikat-serikat buruh. Tanpa kader-kader yang digembleng pemikiran-pemikiran dan metode Marxisme, partai-partai buruh tidak akan dapat mempersatukan diri saat menghadapi kekalahan, apalagi mempersiapkan diri untuk pengambil-alihan kekuasaan.
Tugas “pembangunan partai” diakui penting oleh semua pihak dalam International Kedua, berlawanan dengan posisi tugas itu di masa kini, tetapi tugas pembangunan itu diartikan lain oleh berbagai tendensi yang ada di dalam Internasional Kedua itu. Sneevliet membawa pikiran dan metode sayap kiri ke Indonesia, tetapi bukan pemahaman Leninis mengenai pembangunan kader. Kontribus Sneevliet yang terutama terletak pada orientasi kelas yang konsisten yang ia bawa ke dalam perjuangan bangsa Indonesia, mengaitan antara perjuangan kemerdekaan nasional dan perjuangan kelas buruh mengikuti garis yang secara ilmiah dijelaskan oleh Trotsky, dan ia menemukan konklusi ini secara independen terlepas dari Trotsky.
Jelas diskusi dan pendidikan politik diadakan di dalam gerakan bangsa Indonesia tetapi nampaknya hal itu diadakan dengan cara yang “rutin”, tanpa kesadaran vital mengenai pentingnya persiapan kader yang revolusioner sebagai prakondisi bagi pertumbuhan basis massa. Dengan majunya pejuangan buruh internasional – dan situasi hukum dari penjajahan Belanda saat itu belum cukup jelas – kebutuhan akan pondasi teoritik yang kukuh dan kuat menahan goncangan sosial belum tampak sejelas dan semendesak kebutuhan itu tampak di periode yang penuh “tikungan tajam dan perubahan mendadak” yang baru muncul belakangan. Para pemimpin buruh dan petani dengan mudah menjadi pemimpin-pemimpin partai, tanpa pengembangan politis yang memadai untuk mengemban tanggungjawab yang terkandung dalam posisinya, dan partainya sendiri tidak kuat menahan disiplin pada saat saat yang kritis.
Singkatnya, pertumbuhan organisasional yang melampaui pertumbuhan politis, adalah dikarenakan adanya angapan remeh tentang pentingnya pendidikan politis. Kekurangan ini melatarbelakangi ditempuhnya jalan ultra kiri yang diambil PKI pada pertengahan tahun 1920-an. Selain itu hal ini juga menyebabkan kemerosotan politik Sneevliet sendiri mulai pertengahan 1920-an, dan kemudian menimbulkan perpecahannya dengan Trotsky. Karena wawasan dan metodenya kurang, dan tidak siap menghadapi kekalahan dari Stalinisme dan fasisme, Sneevliet tetap memakai slogan periode sebelumnya yang usang, lebih mencari pengikut massa yang sudah “jadi” untuk mengemban slogan-slogan revolusioner. Diarenakan kelompok-kelompok yang aktif di dalam kelas buruh makin tenggelam dalam keputusasaan dan menjadi pasif, metode tadi menggiring terjadinya berbagai adaptasi oportunis dan kemunduran ke arah sentrisme.
Dengan cara ini seluruh angkatan pemimpin buruh yang militan, yang telah memberi kontribusi luar biasa besar pada pembangunan gerakan dan juga kepada Komintern selama tahun-tahun revolusionernya, menjadi tak dapat menguasai periode babakan sejarah yang baru, dan tidak mampu memahami tunutan jaman serta tak dapat lagi memberi kontribusi lebih jauh.
Walaupun demikian, tidaklah lantas jika Sneevliet mengembangkan suatu pendekatan Leninis maka dengan sendirinya akan mampu dalam waktu singkat membangun kader-kader yang cukup kuat untuk memimpin massa dan menolak kekalahan yang dialami tahun 1920-an. Namun, jika ada suatu organisasi kader yang kecil saja yang selamat dari periode kekalahan itu, dan mengembangkan diri di atas basis pemahaman yang cermat mengenai ikhwal kejadian yang berlangsung, organisasi ini akan mampu bertransformasi menjadi organisasi massa di tahun 1940-an dan merubah sejarah Indonesia dan dunia. Perspektif inilah yang sebaiknya dipakai kalau mau belajar sejarah PKI.
1914-19: Pembangunan Basis Massa
Usaha Sneevliet di Indonesia, yang meletakkan pondasi bagi PKI, ada tiga segi: membentuk nukleus kaum sosialis (dimulai dari para pekerja asing berkebangsaan Belanda); membangun gerakan serikat buruh, dan melakukan intervensi ke dalam gerakan nasionalis.
Atas prakarsa Sneevliet pada tahun 1914 didirikan Persatuan Sosial Demokrat Indonesia (ISDV), yang pada awalnya terdiri dari 85 anggota dua partai sosialis Belanda (Partai Buruh Sosial Demokrat yang berbasis massa di bawah kepemimpinan reformis, dan Partai Sosial Demokrat yang merupakan cikal bakal Partai Komunis, terbentuk setelah perpecahan politik dengan SDAP di tahun 1909)
Sejak mulanya tendensi revolusioner mengendalikan ISDV, sikapnya militan terhadap isu-isu lokal (misalnya, kampanye mendukung seorang jurnalis Indonesia yang diadili karena melanggar hukum pengendalian pers, dan juga mengadakan rapat umum menentang persiapan perang yang dilakukan oleh pemerintah Belanda) dan selain itu ISDV juga melibatkan diri dalam pergerakan nasional. Pada tahap itu orang Eropa anggota ISDV Belanda boleh masuk Insulinde sebagai anggota individual. Pimpinan Insulinde dan Sarekat Islam bersifat kelas menengah, tetapi senang dan bersyukur menerima bantuan dari ISDV, dan hanya kaum sosialis siap membantu pada saat itu.
Namun demikian, tak terelakkan konflik mulai timbul antara kepemimpinan ISDV dan Insulinde, dan juga di dalam ISDV sendiri. ISDV menegaskan bahwa pejuangan melawan penjajahan Belanda harus didukung kaum sosialis, dan menyatakan bahwa hal ini mencakup perjuangan melawan sistem kaptialis. Pimpinan kelas menegah Insulinde (seperti para pemimpin SI kemudian) secara naluriah menolak dengan keras pikiran itu, dan mengedepankan “teori dua tahapan”. Dalam ISDV sendiri aliran refomis meninggalkan partai itu di tahun 1916 dan mendirikan Partai Sosial Demokrat Indonesia (ISDP), yang dalam waktu singkat langsung dekat dengan pemimpin kelas menengah nasionalis. Di sisi lain, ISDV makin digemari dan dihormati kaum militan Indonesia karena berani dan berprinsip dalam hal politik lokal. Walaupun diserang para pemimpin nasionalis karena banyak yang berketurunan Belanda, hal ini tidak merupakan rintangan dalam perjuangan membangun organisasi revolusioner, dan merebut dukungan massal.
Banyak masalah sulit yang dihadapi oleh ISDV di periode awal bangkitnya gerakan politik massa ini. Pada 1915-18 penguasa Belanda menanggapi gerakan massa yang tumbuh dengan mendirikan semacam “Volksraad” yang bertujuan membendung militansi massa. ISDV – berlawanan dengan pimpinan nasionalis dan ISDP – pada mulanya memboikot badan ini, tetapi kemudian membatalkan keputusan itu ketika mulai jelas bahwa Volksraad itu dapat dimanfaatkan sebagai medan propaganda revolusioner.
Sneevliet juga memegang peran penting dalam Serikat Staf Kereta Api dan Trem (VSTP), pada saat itu kecil saja, dan sebagian besar anggotanya berkulit putih. Sneevliet mengarahkan VSTP kepada bagian besar buruh yang pribumi, dan pada saat bersamaan berusaha menguatkan struktur organisasinya dengan menegaskan pentingnya pengurusan cabang cabang yang baik, juga konperensi tahunan, penarikan sumbangan anggota, dsb. Dalam jangka waktu singkat anggota serikat ini menjadi dua kali lipat, dan sebagian besar pribumi. Kesuksan VSTP meraih hormat bagi gerakan sosialis, dan memungkinkan Sneevliet merekrut para aktivis buruh ke dalam ISDV. Yang terpenting di antaranya adalah Semaun, seorang pemuda buruh perusahaan kereta api yang pada tahun 1916 (saat berusia 17 tahun), menjadi kepala Serikat Islam di Semarang, dan di kemudian hari menjadi tokoh penting dalam PKI.
Untuk membedakan pemkembangan era itu dari situasi di negara negari bekas jajahan di masa sekarang, dua aspek yang berlawanan sebaiknya diperhatikan, yang pertama lemahnya kaum buruh di Indonesia, dan yang kedua, perkembangan kuat gerakan buruh di tingkat internasional dan diterimanya secara tuntas ajaran marxis dan sosialis. Kondisi kelas buruh Indonesia di saat itu hanya bisa dibandingkan dengan kondisi kelas buruh di negara paling terbelakang sekarang ini, dan saat bersamaan kelas buruh itu dijajah oleh kekuatan imperialis yang maju, bukan rezim Bonapartis yang lemah atau tidak kukuh pemerintahnya.
Liberalisme Belanda tidak mendorong perjuangan buruh. Pemogokan dibalas dengan PHK massal, pembuangan para aktivis ke pulau-pulau terpencil, dan tindakan apa saja yang perlu untuk menghancurkan gerakan buruh. Dalam periode itu jarang sekali pemogokan buruh menemui kesuksesan, dan tidak mungkin berhasil memengaruhi perjuangan luas. Dilawan oleh majikan yang kuat, terbatas kemungkinan memajukan kondisi kaum buruh lewat perundingan.
Meskipun demikian gerakan serikat buruh bertahan dan berkembang. Kenyataan ini hanya bisa diterangkan dengan kekuatan dan daya tahan kaum buruh, dengan tumbuhnya jumlah dan pengalaman kaum buruh, dan di pihak lain, diterangkan oleh kenyataan bahwa perjuangan serikat buruh] tidak dapat dipisahkan dari perjuangan yang lebih luas yang dilakukan oleh rakyat Indonesia dalam melawan penindasan dan penghisapan pemerintah Belanda.
Pasa saat bersamaan, waktu itu gerakan kaum buruh di Belanda dan dunia internasional mempunyai kewibawaan yang tinggi bagi massa kolonial jauh melebihi situasi sekarang, akibat khianat yang bertumpu dari Stalinis dan Reformis. Hal tersebut menambahkan nilai penting gerakan buruh pada waktu awalnya. Dengan gerakan kaum nasionalis sendiri masih belia, para pemimpin buruh dan kaum sosialis berbangsa Eropa dapat terlibat dalam debat setingkat dengan para pemimpin nasionalis.
Meskipun demikian situasi selalu dipengaruhi oleh pentingnya kaum petani. Tidak mungkin suatu gerakan dapat berharap dirinya mempunyai pengaruh di tingkat nasional tanpa ia mampu menarik kaum petani. Sebagian besar kaum petani tetap mengikuti adat dan agama, kelihatannya pasif kalau ditindas, pemandangannya terbatas oleh kepentingan dan masalah kehidupan desa, tidak dapat diharapkan menunjang program sosialis dengan pemikiran yang termaju. Kaum petani hanya bisa memihak segi program sosialis yang merefleksikan kepentingan kaum tani sendiri, dan memihak perjuangan militan yang membantu tuntutan itu. Namun dukungan seperti itu juga biasanya sporadis, ekspolsif, dan tidak lengkap, selaras dengan karakter kaum tani sendiri – yaitu suatu kelas yang heterogen, produsen kecil yang terisolir, dan yang menurut kepentingan sendiri. Oleh karena itu kaum petani mungkin memihak kaum buruh, tetapi juga mungkin memihak demagogi kaum nasionalis, mistik agama atau aliran lain yang menawarkan pemecahan segera bagi persoalan kongkrit yang mereka hadapi.
Faktor lain yang penting di Indonesia, sebagaimana juga hal ini terjadi di dunia kolonial secara umum, ialah kelas menengah yang berpendidikan dan berharta milik – meskipun kecil, mereka ini adalah kekuatan yang signifikan. Kelas menengah juga sulit memihak program kaum buruh karena hanya bergerak di bidang politik untuk menahan kepentingan sendiri kepentingan borjuis, meskipun bertentangan dengan imperialism. Perjuangan bersama mungkin dilakukan antara kelas buruh dan kelas menengah hanya karena keduanya menghadapi musuh imperialisme, tetapi tujuan fundamenatal dan metode kelas menengah berbeda dengan tujuan dan metode kelas buruh. Kelas menengah, atau bagian-bagian darinya, dapat meninggalkan pemikiran bersifat utopis dan dan program reaksioner mereka hanya sebab mereka akhirnya mulai insaf bahwa tidak ada pilihan lain yang praktis, namun kemungkinan ini akan lama prosesnya serta sangat kontradiktif dengan kelas menengah sendiri. Mulanya kelas menengah akan berkembang secara terpisah dari gerakan kelas buruh dan, karena menyuarakan keluhan semua lapisan yang tertindas, mereka bisa memperoleh dukungan massal. Karena berpendidikan dan agak makmur, mereka agak jauh dari kehidupan orang biasa, tetapi oleh karena itu pula mereka makin yakin dan pandai, dan makin wibawa di mata kaum petani dan sebagian kaum buruh yang terbelakang.
Faktor ini dan faktor-faktor lainnya menerangkan pengaruh nasionalisme bersifat kelas menengah di dunia penjajahan. Yang paling penting ialah peran pemimpin nasionalis memusatkan tuntutan ke isu yang bisa didukung dengan penuh hati oleh kaum buruh dan petani, yaitu isu kemerdekaan nasional. Sebaiknya diperhatikan bahwa hanya dari sudut pandang Marxisme dan Revolusi Permanen-lah kaum buruh dan pemimpinannya akan menyadari peran kepemimpinan mereka dalam perjuangan ini, yang jika dipandang sepintas lalu perjuangan ini kelihatannya lebih luas dari perjuangan konkret kaum buruh. Karena pemimpin nasionalis timbul sebagai pemimpin perjuangan kemerdekaan, program sosialis terlihat sebagai semacam tambahan yang menempeli tujuan utama, yaitu sebagai sesuatu yang bisa ditunda, atau diberi dukungan hanya sebagai tujuan yang masih jauh.
Secara praktis, kaum sosialis hanya bisa memperoleh dukungan massa dengan membuktikan kecakapan menanggulangi soal-soal riil dengan mengungguli pemimpin nasionalis, dan dalam usaha ini perlu membuktikan programnya sebagai partai gerakan kemerdekaan. Untuk memperlihatkan sikapnya perlu mendirikan barisan bersama dengan orang nasionalis dalam perjuangan kemerdekaan berdasarkan kesatuan dalam aksi, sambil terus mempropagandakan ide-ide dan program sendirinya. Selaras itu Lenin dan Konferensi Komintern Kedua menerangkan kebijakan partai-partai Komunis terhadap “nasionalisme revolusioner”.
Di segi lain harus dijelaskan bahwa di era kolonialisme usaha bersama tidak cukup mengatasi soal soal yang diderita rakyat yang sedang dijajah. Hanya kaum buruh yang mendirikan sosialisme yang dapat memecahkan soal itu. Dari sudut pandang obyektif, nasionalisme memainkan peran progresif karena bertentangan dengan imperialisme dan memeprlemahnya dengan membangkitkan massa untuk terlibat dalam perjuangan kemerdekaan nasional. Akan tetapi karena bersifat kelas menengah nasionalisme ini tidak stabil dan mungkin membalik sikapnya dengan timbulnya ketegangan antara kaum buruh dan sistem borjuis. (Proses pembedaan kelas ini sudah mencapai puncaknya di India dan Kenya, yang kemimpinan anti kolonialnya, karena bersifat kelas menengah, sudah merobah menjadi rejim neo kolonial yang reaksioner yang menindas massa buruh dan taninya). Persekutuan antara kaum buruh dan kelas menengah di masa perjuangan kemerdekaan nasional mesti penuh prasyarat hubungan – yaitu hanya bisa berupa korelasi kekuatan yang temporer di mana gerkan kelas buruh yang revolusioner selalu berusaha menegakkan kepemimpinannya dalam perjuangan seluruhnya.
Jadi, pada umumnya, beginilah hubungan yang timbul akibat sikap ISDV terhadap Insulinde, dan lebih penting lagi, terhadap SI. Serikat Islam cabang Semarang, yang memihak ISDV, sudah muncul sebagian oposisi pimpinan nasional, mulai mengajukan tuntutan sosial yang kongkrit, menuntut perjuangan melawan kapitalisme, dan lebih tegas tentang isu-isu praktis. Jumlah anggota cabang Semarang ini naik dari 1,700 pada tahun 1915 menjadi 20,000 pada tahun berikutnya, dan menjadi salah satu daerah SI yang terkuat. Usaha-usaha yang dilakukan oleh kepemimpinan SI untuk menghancurkan “aliran Semarang” semuanya gagal. Dengan begitu, mereka hanya dapat mencabut ide-ide sosialis dari SI dengan cara menghancurkan SI sendiri – suatu langkah yang akhirnya terpaksa mereka lakukan.
Walaupun makin berpengaruh, ISDV – seperti PKI kemudian – tetap merupakan organisasi kecil. Jumlah anggota ISDV naik dari 103 tahun 1915 (dengan hanya tiga anggota pribumi) menjadi 330 di tahun tahun 1919 (300 pribumi). Dalam arti ini ISDV menjadi partai kader – partai para aktivis dan pemimpin yang kuat dukungan di serikat buruh, di perkotaan, dan juga pedesaan. Orientasi kelas ISDV paling jelas terrefleksi dalam kedudukannya yang kuat di dalam gerakan serikat buruh. Ferderasi pertama serikat buruh, didirikan pada tahun 1919, terdiri dari 22 serikat, dan anggotanya berjumlah 72,000, dan sebagian menurut ISDV, dan bagian lain memihak pimpinan nasional SI. Sesudah berberapa tahun kontrol pimpinan SI yang kurang cakap mengalami perpecahan, kecuali di berberapa serikat pegawai (pekerja kerah putih).
Kewibawaan ISDV dicerminkan juga dengan dukungan massa terhadapnya di dalam tubuh SI sendiri. Dengan mengingat populasi Indonesia, jumlah penganut itu merupakan langkah awalan saja yang secara praktis perlu dikonsolidasikan sebagai simpul di setiap daerah yang kemudian menjadi dasar gerakan nasional yang didukung oleh jutaan orang, dengan intinya kader Marxis. Jika kondisi begini sudah tercapai barulah mungkin menempatkan ikhwal perebutan kekuasaan ke dalam agenda partai.
Dalam pengertian perspektif dan teori, di satu sisi, sebagai organisasi kader ISDV amat lemah. Pengusiran Sneevliet dari Indonesia pada tahun 1918 meninggalkan jurang tak terjembatani di pucuk pimpinan organisasi itu. Tidak ada pemimpin, baik keturunan Belanda maupun pribumi, walaupun trampil sebagai pejuang revolusioner, memiliki pengalaman dan pemandangan marxis yang cukup luas untuk mengemudikan partai secara tepat saat menghadapi tikungan yang tajam dan mendadak.
Potensi revolusioner ISDV yang gemilang pada era itu ditunjukkan tahun 1917-18, saat partai itu segera mendukung Revolusi Rusia dan dengan cepat menarik implikasi revolusi itu bagi revolusi di negara Eropa dan Indonesia sendiri. Belajar dari pengalaman Rusia, ISDV mulai mengorganisir serdadu dan pelaut di Indonesia, dan dengan usaha itu berhasil menarik pengikut sekitar 3,000 orang di angkatan bersenjata Belanda.
Pada akhir tahun 1918, saat Belanda di ambang revolusi, pemerintah kolonial bingung karena kelihatannya mungkin ada perebutan kekuasaan revolusioner di Belanda, dan mungkin sesudahnya di Indonesia juga. Pada saat itu kaum sosial demokrat Belanda kehilangan keberaniannya. Pemerintah kolonial menjanjikan berberapa perbaikan situasi, dan situasi revolusioner reda.
Situasi di Indonesia pada tahun 1918-19 penuh gejolak, karena krisis ekonomi menghantam para pekerja dan timbulkan perlawanan dengan kekerasan di kalangan kaum tani. Kejadian ini melatarbelakangi pertumbuhan ISDV/PKI secara massal, dan juga menyebabkan reaksi dari segi pemerintah. Karena faktor subjektif tidak kuat, pembangunan PKI ditentukan pemerintah kolonial yang makin agresif.
1920-26. Mendekati Bencana
Awal tahun 1920-an merupakan periode kekalahan yang dialami gerakan kaum buruh, baik di Indonesia maupun di tingkat internasional. Pemogokan besar dikalahkan, dengan puncaknya kalahnya pemogokan buruh kereta api pada tahun 1923 – di mana VSTP sebagai pejuang garis depan gerakan serikat buruh mengalami kehancuran. Periode liberalisme “etis” jelas telah berakhir. Dalam periode ini semua pemimpin PKI berbangsa Belanda diusir, diikuti oleh pengusiran para pemimpin pribumi yang penting (khususnya Semaun dan Tan Malaka).
Indonesia terlalu jauh dan tak terjangkau bagi intervensi efektif Komintern. Fokusnya diarahkan kepada Cina, yang dianggap lebih menguntungkan. Dengan cepat, kekuatan organisasional dan momentum yang terbangun di masa ISDV, digabung dengan pemehaman yang tidak lengkap atas program-program kelas buruh, kemudian berubah menjadi tendensi yang condong kepada isme ultra kiri dan juga sektarianisme, yang berkembang di kalangan para pemimpin yang tersisa (Pimpinan ini selalu berobah akibat orang-orangnya sering ditahan dan diusir).
Perdebatan utama di Konferensi Kedua Komintern tentang revolusi kolonial gagal menerangkan situasi bagi PKI, terutama karena terpisah dari intenasional itu. Tentang orientasi kepada gerakan nasionalis, banyak yang merasa bahwa pendapat Lenin tidak bisa diterapkan di Indonesia akibat lemahnya borjuasi nasional, dan tidak usah diperhatikan. Di sisi lain, PKI tidak puas dengan sikap Komintern terhadap gerakan Pan-Islam, yang terhadapnya SI berasosiasi. Posisi Komintern bersifat kesahabatan terhadap buruh dan petani yang menganut Islam, tetapi melawan gerakan Pan-Islam karena dianggap sebagai instrumen imperialisme Turki, pemilik tanah luas dan ulama di negara Islam.
Memang betul bahwa dari sudut pandang ini SI merupakan suatu yang kontradiktif. Sayap kanan kelas menengah secara terbuka memihak dengan imperialisme Turki dan Jepang. Di lain pihak massa Islam mendukung SI sebagai mesin perjuangannya. Asal bersenjata dengan pendekatan yang seimbang dan pemandangan yang luas dan sabar, dengan kegagahan dalam perjuangan dan pemeriksaan setiap tahap perjuangan, sebenarnya tidak mustahil kaum komunis memecahkan khayal tentang Pan-Islamisme, yang meraja terutama di tengah kaum petani.
Pemimpin pemimpin PKI hanya memperdulikan kekhawatirannya bahwa sikap Komintern akan digunakan oleh musuh-musuh mereka untuk mengasingkan PKI dari massa. Mengganti taktik menjadi perspektif, sikapnya pasif atau hanya mau mempertahankan posisinya, secara sepenuhnya keliru, menemukan “identitas” antara antara Islam dan Komunisme. (Dan karena sangat terkesan dengan kesuksesan Gandhi di India, hingga tahun 1924 PKI mengutarakan hormat kepada pasifisisme borjuis). Campuran impresionistik yang tidak seimbang antara sektarianisme dan penyerahan diri secara politis kepada tendensi borjuis nasionalis ini, lebih lanjut menghambat kemajuan level politis bagi para kader di dalam PKI sendiri. Dibuktikan juga bahwa dekat sekali pikiran ultra kiri dan oportunisme, tidak dengan sengaja diarahkan ke sana, tetapi dalam kasus PKI, hal ini merupakan konsekuensi dari ketidakmampuan partai itu untuk mengembangkan kepemimpinan Marxis yang memiliki pemahaman dialektis mengenai situasi yang terus bergulir.
Meksipun kelemahan ini, pada tengah tahun 20 an PKI muncul sebagai organisasi yang terkemuka dalam perjuangan massa. Bagaimanapun, posisinya yang kuat itu jadi malah menutupi posisinya yang lemah tidak kukuh secara keseluruhan, yang oleh kepemimpinannya gagal terlihat. Kenyataannya zaman itu bersifat reaktioner, mengikuti kekalahan yang dialami oleh kaum buruh di Indonesia, dan di tingkat internasional. Pemerintah kolonial melakukan pengetatan yang kejam bertujuan menghancurkan gerakan revolusioner, yang pertama pecah adalah kepemimpinan SI yang “moderat”. Dalam situasi penekanan ini PKI, lebih kuat orgnisasinya, bisa bertahan lebih lama beberapa tahun sebagai organisasi massa; namun peran kepemimpinannya mulai carut marut, merefleksikan turunnya suasana di dalam perjuangan secara umum dan bukan situasi penuh ledakan revolusioner.
Akan tetapi kenyataan ini tidak diperhatikan. Sementara anggota kepemimpinan yang lebih maju membahas kemungkinan perang antara Jepang dan Amerika akan menyebabkan situasi revolusioner di Indonesia, perspektif itu tidak dipakai sebagai analisa bagi partai seluruhnya, atau sebagai petunjuk strategi dan taktik. Pengertian perlunya persiapan revolusioner kurang, dan pada kenyataannya kurang pula pengertian atas revolusi sebagai akibat perkembangan obyektif. Tugas partai dimengertikan secara voluntaristik, yaitu keinginan revolusioner dianggap paling penting, dan revolusi dimengerti sebagai putsch (pemberontakan bersenjata). Mulai tahun 1924 ada bagian pimpinan, yang berkeyakinan bahwa “tidak ada waktu tersisa lagi”, bertekad mengikuti jalur ini dengan harapan bahwa contoh yang mereka beri akan menyalakan pemberontakan umum.
Akhirnya ramalan revolusi akan terjadi dalam waktu singkat, dalam beberapa pengertian, menjadi terbukti sendiri, yang sebetulnya proses ini mencerminkan keterbelangkangan daerah pedesaan. Para petani, bahkan banyak buruh yang kurang berpengalaman, mudah memberontak. Mereka amat siap untuk beraksi secara militan, namun, dalam kekalahan dengan kecepatan sama mereka menjadi apatis dan jatuh ke dalam demoralisasi. Agitasi revolusiner yang kurang tajam, didasarkan pengertian yang keliru dan kurang realistis, yang terdiri dari janji-janji utopis dan ancaman terhadap mereka yang memusuhi, dapat menegakkan gelombang perjuangan secara lokal di tengah kekalahan yang lebih luas. Tetapi metode macam begitu – hasil dari semangat revolusioner yang membara sekaligus juga ketidaksabaran – adalah amat sangat berbahaya. Pada pertengahan tahun 1920-an menjadi mungkin bagi ototritas partai untuk menghasut gerombolan bekas anggota PKI yang kecewa di berberapa daerah. Di sisi lain, gairah revolusioner yang menggelora tercipta di beberapa bagian anggota awamnya, menyebabkan pimpinan merasa ditekankan segera “beraksi”.
Akibat berantainya pimpinan yang kurang berpengalaman dengan cepat kehilangan kontrol terhadap gerakan yang dibangkitkannya sendiri, dan berkeyakinan bertindak dengan lebih cepat lagi merupakan satu-satunya solusi yang ada. Mereka melaju makin cepat, sampai kecelakaan tak terelakkan.
Dua aspek dari proses ini masih penting bagi kita sekarang: perjuangan antara pimpinan PKI dan SI; intervensi terhadap situasi yang berlangsung, yang dilakukan oleh para pemimpin yang diasingkan dan juga oleh Internasionale.
Pada tahun 1918-19, selama berlangsungnya kebangkitan perjuangan massa, aliran Semarang mengalami kemenangan-kemenangan politis yang penting terhadap sayap kanan SI. Pada tahun 1921 sayap kanan begitu sengit sampai siap mengejar dan mengusir anggota komunis, walaupun diperingatkan bahwa hal itu mungkin menghancurkan SI (akhirnya nyata). Hal itu menggiring terjadinya perpecahan cabang SI itu menjadi cabang “SI Merah” dan “SI Putih”. SI Putih, yang berdasarkan agama dan jelas-jelas menentang adanya perjuangan radikal, tidak mendapat dukungan massa, dan segera hancur. PKI kemudian memberi nama baru bagi SI Merah menjadi Sarekat Rakyat pada puncaknya beranggota 60,000 orang.
Lagi-lagi, kebijakan yang tidak jelas yang dilakukan oleh PKI menggiring terjadinya akibat yang kontradiktif. Dalam pengertian dan tujuan apapun, Sarekat Rakyat merupakan bagian PKI, tetapi jumlah anggotanya jauh lebih besar, dan membanjiri PKI dengan suasana populisme radikal. Pada saat bersamaan, sementara mengahangi perkembangan kader, eratnya ikatannya SR dengan partai terbukti menjadi rintangan bagai partai untuk meraih dukungan massa yang lebih luas – ratusan ribu atau jutaan orang tidak siap untuk bergabung ke dalam apa yang mereka lihat sebagai PKI.
Komintern mendesak PKI untuk memisahkan SR dari partai, dan mengarahkan SR di bawah “kepemimpinan intelektual” partai dari pada menempatkannya langsung di bawah kontrol dewan pengurus, dan mendesak untuk memastikan bahwa program-programnya mencerminkan aspirasi massa dan bukan himbauan kepada elemen-elemen yang lebih maju semata. Sneevliet dan pemimpin Belanda lain menegaskan perlunya bersatu lagi dengan SI kalau mencari dukungan massal. Kalau menyisihkan hal ini sekarang, sudah jelas pentingnya arti ungkapan pimpinan kaum buruh dalam perjuangan nasionalis.
PKI tidak mampu menangani persoalan jauh ke depan. Kepemimpinannya tampak mengalami kesulitan membedakan orientasi praktis terhadap gerakan nasionalis dengan konsensi-konsesi politik bagi nasionalisme, dan kacau konsepnya mengenai seluruh gerakan nasionalisme dikuasai oleh Komunisme. Indepensi politis dari gerakan nasionalis, dengan logika yang aneh, berarti “perang total” melawan para pemimpin nasionalis. Oleh karena itu semua kesempatan berpropaganda dalam partai lain dari zaman ISDV, dan dari taktik front bersama (SI), semuanya hilang. Di tengah massa, tak diragukan lagi adanya keinginan kuat yang tersebar luas untuk mengakhiri perselisihan di antara para pemimpin. Akan tetapi para pemimpin PKI dan SI tidak mungkin setuju mengenai aksi bersama tanpa segera kemudian saling berpisah kembali di dalam suasana sengit. Hal ini melemahkan perjuangan massa keseluruhan dan dan lebih gawat situasi PKI karena gerakan massa berkurang, dan makin keras serangan pemerintah.
Apakah peran kelas buruh dalam kejadian-kejadian ini? Pada awalan tahun 1920-an PKI meraih pimpinan serikat buruh kerah biru. Berberapa bagian kaum buruh diorganisir, misalnya buruh dok dan pelaut (hal ini dimulai oleh pemimpin serikat pelaut yang diusir ke Belanda, yang berusaha komunikasi dengan Indonesia). Namun kemajuan-kemajuan ini, lagi-lagi, terjadi pada saatnya kemunduran gerakan buruh umumnya, dan jumlah anggotanya tidak kunjung bertambah. Pengaruh kaum buruh yang begitu kecil tidak dapat memukul kembali tekanan-tekanan yang terjadi terhadapnya, terutama yang berasal dari desa-desa, hal ini mendorong pimpinan partai terjerembab ke dalam advonturisme. Kaum buruh masih amat baru, dan terlalu dekat dengan pedesaan, dan oleh karena itu tidak kuat kesadaran politis yang kuat mendasarkan sikap independen. Kaum buruh berkecenderungan ikut terpengaruh suasana massa umumnya.
Keputusan PKI Desember 1924 untuk menyiapkan pemberontakan disertai keputusan menguatkan basis proletarnya – tetapi hanya supaya menyiapkan kekuatan pemberontakan yang lebih disiplin. Kejadian itu sebaiknya disertai pemogokan umum. Sebab suasana militan sekali, pemogokan terjadi tanpa direncanakan dan dikalahkan dengan tuntas. Semua ini menunjukkan kontrol kelas penguasa tetap ada, dan di segi lain kontrol pimpinan PKI lemah atas serikat buruh, bahkan serikat yang markasnya di gedung PKI. Akibat berantai dari kejadian ini adalah represi makin ketat dan PKI terpaksa menjadi gerakan bawah tanah. Semua kesempatan mengorganisir gerakan baik di kota maupun di desa hilang, akan tetapi aliran pro pemberontakan tambah kuat tekadnya bahwa “tak ada alternatif lain kecuali penyerahan atau pemberontakan”.
Pemimpin pemimpin yang diasingkan memiliki pemahaman yang lebih jernih atas situasi yang berlangsung, tetapi tanpa pengaruh efektif. Semaun, saat itu berada di Belanda, terperangkap dalam persengketaan dan manuver-manuver organisasional melawan Sneevliet dan bekas pemimpin PKI lain yang berkebangsaan Belanda, membangkitkan tuduhan terhadap dominasi bangsa Belanda dan mengedepankan “masalah nasional” untuk menentang usaha-usaha mereka melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan PKI di Belanda. Semaun memperingatkan adanya bahaya “putsch” di Indonesia, tetapi pada saat hal itu terjadi ia malah menyambutnya sebagai “satu pemberontakan besar” yang akan meluas. Pendapat Tan Malaka di Cina jauh lebih terang. Ia tidak cuma secara konsisten memperingatkan bahayanya aliran ultra kiri, namun juga berjuang secara aktif melawannya, dan sebagian pimpinan menyetujui pendapatnya, dan mulai membentuk blok melawan faksi pro pemberontakan. Selama tahun 1926 badan eksekutif PKI mengikuti aliran Tan Malaka dan Komintern, tetapi situasi terlanjur sudah di luar kontrol, dan sekumpulan ranting liar meluncurkan pemberontakan pada akhir tahun 1926. Tak terelakkan hal itu dimusnahkan dengan telak.
Sampai tahun 1926, walaupun sudah mulai suasana kontra revolusi di Rusia, bagi Komintern tidak ada alasan merobah sikap umum terhadap Indonesia. Sampai saatnya pemberontakan, Komintern tetap memperingati PKI untuk melawan adventurisme, dan menegaskan kepada PKI tentang perlunya membangun basis massa di dalam gerakan kemerdekaan nasional secara luas. Namun demikian, pada saat itu, kepentingan pemimpinan Stalinis mulai mendikte jalan baru. Dalam perjuangannya melawan oposisi kiri, dengan segala cara aliran Stalinis membenarkan penyerahan oportunis PK Cina kepada Kuomintang. Pemberontakan yang sia-sia di Indonesia itu disambut sebagai “lompatan kualitatif” yang khas, dan tanggapan itu menandai tahap baru dalam kemerosotan pimpinan Komintern: dari mengutuk rencana pemberontakan yang prematur pada awalnya, kini Komintern berganti posisi memberi dukungan yang sama sekali tidak kritis bagi terjadinya “perang sipil terbuka” di Indonesia, yang, menurut Komintern, menyebar dari Cina!
Kejadian ini menandai beloknya Kaum Stalinis kepada aliran ultra kiri di seluruh dunia. Untuk menyelubungi khianat oportunisnya, mereka mulai mencari-cari situasi yang sangat genting kemungkinan revolusi di mana saja, kecuali di situasi yang nyata penuh kemungkinan revolusioner. Satu tahun kemudian (1927) giliran buruh Shanghai yang dikhianati dan dikalahkan. Bagi gerakan buruh Indonesia, belokan itu mencegah kesempatan mengimbangi pengalaman dan memperbaiki kekeliruan periode itu dalam rangka kerja Komintern. Serentak itu kontak antara Oposisi Kiri dan Indonesia sama sekali putus. Sneevliet meninggalkan Oposisi Kiri, dan melemahkan perkembangan Trotskyisme di Belanda, dan hilang kesempatan terjadinya intervensi Marxis di Indonesia.
Dengan kekalahan pemimpin pemimpin Islam oleh pihak komunis dan kemudian kekalahan yang dialami PKI, hal itu menyebabkan kekosongan politis. Kelowongan itu diisi oleh angkatan baru pemimpin yang berasal kelas menengah yang mendasarkan diri mereka pada doktrin barunya, yaitu nasionalisme sekuler berprogram persatuan perjuangan semua suku bangsa yang mendiami pulau-pulau di Indonesia untuk melawan penjajahan Belanda. PKI muncul kembali dalam gelombang perjuangan baru, sebagai oragnisasi massa yang lebih besar dari sebelumnya. Masih cedera akibat kejadian tahun 1920-an dan 1930-an, partai ini nyaris tidak punya kaitan dengan Marxisme revolusioner. Kaum Marxis di Indonesia masa kini perlu mempelajari lagi periode ISDV dan tahun awalan PKI, untuk menemukan lagi akar gerakan revolusioner di negara ini – salah satu gerakan yang terpenting di dunia kolonial – sebagai bagian esensial dari persiapan yang perlu untuk menghadapi letusan sosial yang tak terelakkan.