Pada 7 November (25 Oktober) 1917, tepat 106 tahun yang lalu, dunia menyambut kemenangan Revolusi Sosialis yang pertama di Rusia. Kemenangan megah Revolusi Oktober kerap membuat banyak orang lupa bagaimana sebenarnya kemenangan ini dipersiapkan dengan kerja-kerja bersahaja yang panjang. Ini seperti seorang yang terkagum oleh foto pendaki gunung Everest yang telah mencapai puncaknya, tetapi melalaikan langkah-langkah persiapan dalam pendakian yang harus dilakukan. Sebelum memulai pendakian gunung Everest, seorang harus menghabiskan setidaknya satu sampai dua tahun melatih kekuatan fisik, emosi dan psikologi. Pendaki harus terlebih dahulu juga mengumpulkan banyak pengalaman mendaki gunung-gunung es lainnya yang lebih rendah. Pendeknya, di balik setiap pencapaian besar adalah kerja-kerja kecil yang tak terlihat. Tidak ada jalan pintas ke Everest, apalagi ke kemenangan Revolusi Sosialis.
Semua yang telah dilalui oleh kaum Marxis Rusia, perjalanan panjangnya dari sebuah lingkaran kecil yang beranggotakan tidak lebih dari hitungan jari di tangan, kerja gigih membangun partai revolusioner, jatuh bangunnya yang getir, polemik-polemik teori yang tajam yang membuat kawan jadi lawan, semua ini telah mempersiapkan mereka untuk satu momen besar, yaitu Revolusi 1917. Semua gagasan dan organisasi menemui ujian besar dalam revolusi, dan Bolshevisme menemukan pembenaran historisnya dalam kemenangan Revolusi Oktober.
Kemenangan ini bukanlah sebuah proses yang otomatis, yang bergerak dalam satu garis lurus. Pembaca yang telah mendedikasikan waktu dan energinya menelusuri jejak langkah sejarah Bolshevisme akan menemukan persis demikian. Jalan ini panjang berkelok-kelok, dengan langkah maju besar yang sering kali disusul oleh langkah mundur, dengan masa stagnan yang panjang yang lalu disusul dengan lompatan pesat dan ledakan-ledakan besar. Mustahil untuk memahami Revolusi Oktober bila kita tidak mempelajari keseluruhan sejarah Partai Bolshevik.
Teori versus Praktik
Langkah persiapan pertama yang dilakukan kaum Marxis Rusia untuk meniti jalan kemenangan adalah meletakkan fondasi gagasan Marxisme. Kerja ini dimulai oleh Plekhanov dengan segelintir kameradnya pada periode awal gerakan Marxis, yaitu pada 1880-1890an. Berbekal hanya pena, mereka mengkaji secara mendalam problem teori dalam gerakan dan menjawab kebuntuan gagasan-gagasan Narodnisme dan Anarkisme yang awalnya mendominasi gerakan revolusioner Rusia. Mereka menjabarkan secara komprehensif filsafat Marxisme dan perspektif revolusi untuk Rusia.
Awalnya mereka dicibir dan diremehkan. Ketika kaum Narodnik baru saja berhasil membunuh Tsar Alexander II pada 1881, Marxisme tampak seperti teori intelektual yang tidak relevan. Kebanyakan aktivis menuntut aksi praktis dan meremehkan teori yang mereka anggap berada di awang-awang. Pada kenyataannya, seperti kata Leon Trotsky, teori tidak lain adalah distilasi praktik yang telah dibersihkan dari vulgaritas dan kekeliruannya.
Plekhanov dan segelintir kameradnya tidak takut terisolasi. Mereka memahami betul bahwa tanpa teori yang tepat, maka aksi seberani dan sehebat apapun tidak akan bisa mengakhiri sistem penindasan yang ada. Mereka harus berenang melawan arus selama bertahun-tahun. Namun waktu akhirnya membuktikan kebenaran ide, program, dan metode Marxisme. Pada kenyataannya, inilah salah satu karakter penting yang harus dimiliki oleh setiap kaum revolusioner: keberanian untuk berdiri sendiri. Pada saat itu, seperti halnya hari ini, Marxisme adalah minoritas di antara minoritas dalam gerakan. Selalu ada tekanan besar untuk tunduk pada opini publik yang dominan. Dibutuhkan kekeraskepalaan – dan bahkan semacam fanatisme – untuk bisa mempertahankan pendirian yang tampaknya terkucil. Tetapi kekeraskepalaan dan fanatisme ini mesti berlandaskan pada pemahaman mendalam mengenai filsafat Marxisme, yaitu pada pemahaman ilmiah akan gerak sejarah serta tempat kita di dalam rantai peristiwa.
Dari teori ke organisasi
Setelah fondasi teori telah dikukuhkan, langkah persiapan selanjutnya adalah membangun organisasi di atasnya. Gagasan sebaik apapun tidaklah berguna bila tidak memiliki aparatus organisasi yang bisa menghubungkannya dengan massa dan gerakan. Inilah tugas yang lalu diemban oleh kaum Bolshevik, terutama oleh Lenin. Pergulatan untuk membangun organisasi revolusioner menjadi perhatian terutama kaum Bolshevik di periode selanjutnya.
Kontradiksi-kontradiksi kapitalisme yang tak tertanggungkan mendorong selapisan kaum buruh dan muda untuk mengambil jalan perjuangan. Beragam organisasi perjuangan – serikat buruh, serikat tani, organisasi pelajar, organisasi perempuan, dsb. – terbentuk sebagai kendaraan perjuangan rakyat dalam melawan penindasan kapitalisme. Tetapi di periode awal, semua kekuatan perlawanan ini masih tercerai berai. Tidak cukup hanya memiliki banyak aktivis yang bergerak sendiri-sendiri. Tidak cukup hanya dengan organisasi-organisasi perjuangan yang berserakan. Mereka harus dihimpun ke dalam satu organisasi revolusioner yang profesional, yang tersatukan dalam satu panji dan ideologi bersama, dengan kedisiplinan baja yang bisa memusatkan semua kekuatan demi menghantarkan pukulan besar. Inilah peran partai revolusioner.
Namun, ini bukan berarti persatuan tanpa prinsipil demi menyatukan sebanyak mungkin orang. Dari masa ke masa ini kesalahan yang kerap dilakukan banyak orang. Pada tahapan awal pembangunan partai revolusioner, kaum Menshevik menginginkan bentuk organisasi yang longgar: siapapun yang setuju sedikit saja dengan program partai dapat bergabung, dan tidak ada kewajiban untuk bekerja secara disiplin di bawah arahan partai. Sebaliknya kaum Bolshevik menuntut organisasi yang rapat, dengan anggota yang setuju sepenuhnya dengan Marxisme dan bekerja secara disiplin di bawah arahan partai. Bentuk organisasi yang didambakan oleh Menshevik memang akan tampak lebih besar, tetapi terkandung di dalamnya adalah elemen-elemen yang goyah dan bimbang. Revolusi Sosialis tidak akan bisa dimenangkan dengan elemen-elemen seperti itu. Sebaliknya bentuk organisasi Bolshevik menyatukan elemen-elemen yang paling kokoh, walaupun awalnya mungkin hanya merekrut satu dua. Hasilnya terlihat selama Revolusi 1917. Sementara Menshevik goyah ketika dihadapkan dengan momen revolusi dan akhirnya menyerah pada tekanan borjuis, kaum Bolshevik berdiri teguh dan berhasil menyediakan kepemimpinan revolusioner bagi buruh dan tani dan menuntunnya ke kemenangan Revolusi Oktober.
Persatuan yang dibangun demi partai revolusioner haruslah prinsipil, berdasarkan kesepakatan pada prinsip, program dan metode perjuangan yang jelas. Partai ini harus diisi oleh anggota-anggota yang sudah tertempa oleh keyakinan pada Marxisme sepenuhnya dan terikat dalam kedisiplinan revolusioner. Seperti perahu, semua harus mendayung ke satu arah. Bila ada yang mendayung ke arah yang berbeda, atau tidak mendayung sama sekali dan hanya menjadi beban mati, maka perahu tidak akan melaju ke tujuannya. Terlebih lagi, ketika dihantam badai, tanpa kesatuan ide, program dan metode, tanpa kesatuan disiplin, perahu dapat karam.
Problem membangun partai revolusioner yang dihadapi oleh Bolshevik lebih seratus tahun yang lalu masihlah dihadapi oleh gerakan hari ini. Sesungguhnya kita tidak kekurangan aktivis, orang-orang yang siap bergerak melawan ketidakadilan. Namun mereka tercerai berai, tidak hanya secara organisasional tetapi juga secara ideologis. Mereka melompat dari satu advokasi ke advokasi lain, dari satu kampanye ke kampanye lainnya. Tidak ada konsistensi. Tidak ada kontinuitas. Dan tidak kalah pentingnya, tidak ada kesamaan program dan gerak. Partai Bolshevik menyediakan kerangka bagi kekuatan proletariat, memberinya konsistensi, kontinuitas, dan program untuk mengakhiri kapitalisme dan menegakkan sosialisme.
Partai revolusioner adalah memori kolektif kelas proletariat. Semua pengalaman historis perjuangan kelas proletariat tersimpan di dalamnya, baik pengalaman kemenangan maupun kekalahan. Partai menyarikan pengalaman-pengalaman tersebut menjadi panduan teori revolusioner, yaitu Marxisme, dan meneruskannya dari generasi ke generasi agar pelajaran ini tidak hilang. Sepanjang lebih dari 100 tahun pengalaman perjuangan kelas, salah satu pelajaran terutama adalah kapitalisme tidak bisa direforma dan harus ditumbangkan secara revolusioner; untuk melakukan ini, dibutuhkan partai revolusioner.
Hari ini kita temui banyak aktivis yang bergerak tanpa dipandu oleh teori. Mereka berlari ke sana ke mari seperti ayam tanpa kepala. Namun agak tidak tepat juga untuk mengatakan bahwa aktivis-aktivis Kiri hari ini tidak dipandu oleh teori. Sadar atau tidak, mereka dipandu oleh cara pandang “akal sehat”, cara pandang yang menurut mereka paling realistis dan pragmatis. Mereka dipandu oleh teori-teori yang telah dikembangkan oleh akademisi, NGO, dan berbagai think-tank. Dalam kata lain mereka dipandu oleh cara pandang yang mendominasi masyarakat; Marx pernah mengatakan, gagasan yang mendominasi dalam masyarakat adalah gagasannya kelas yang mendominasi. Untuk alasan tersebut, semua aktivitas mereka hanya dapat mengarah ke pembelaan terhadap status quo, terlepas niat mereka. Mereka mendambakan kapitalisme yang lebih baik, padahal kapitalisme itu sendirilah yang merupakan sumber penindasan dan segala horor yang ada, dan tidak ada jalan lain selain mengakhirinya.
1905 sebagai geladi resik 1917
Dalam perjalanannya menuju Revolusi Oktober, Partai Bolshevik harus melalui beragam pengalaman yang mengujinya. Salah satunya adalah Revolusi 1905 yang kerap disebut geladi resik Revolusi Oktober. Dari Revolusi 1905, masalah-masalah strategi perebutan kekuasaan terkedepankan secara jelas dan konkret. Apa yang sebelumnya abstrak menjadi konkret. Semua teori diuji dalam bara panas revolusi. Kendati mengalami kegagalan, pengalaman 1905 membuat jelas semua tendensi politik yang ada. Proletariat belajar untuk tidak mempercayai kaum borjuasi liberal dalam menuntaskan tugas-tugas nasional demokratik – yaitu di antara lainnya pembentukan republik demokratik, mengakhiri relasi-relasi sosial dan ekonomi feodal atau pra-kapitalis, reforma agraria, dan kedaulatan bangsa yang bebas dari imperialisme.
Leon Trotsky adalah yang pertama menarik kesimpulan yang berani dari pengalaman 1905, bahwa tugas-tugas nasional demokratik di negeri-negeri kapitalis terbelakang hanya bisa dituntaskan oleh kelas proletariat secara revolusioner, yang memimpin lapisan rakyat pekerja lainnya. Kelas borjuasi liberal – atau yang kadang dipanggil borjuasi progresif – terlalu bangkrut dan reaksioner untuk bisa menyelesaikan tugas-tugas nasional demokratik ini, walaupun di masa lalunya ini adalah tugas historis mereka. Oleh karenanya kelas ini tidak bisa diandalkan sama sekali. Tetapi setelah kelas proletariat mengambil kekuasaan, mereka tidak bisa berhenti hanya pada penyelesaian tugas-tugas demokratik, dan harus mulai melangkah ke tugas-tugas sosialis. Inilah teori yang lalu kita kenal dengan nama Revolusi Permanen. Leon Trotsky menjabarkannya untuk pertama kalinya dalam karyanya Hasil dan Prospek yang ditulisnya pada 1905.
Kaum Menshevik sementara terjebak dalam teori revolusi dua tahap yang membawanya ke pengkhianatan terhadap revolusi. Mereka memahami Marxisme secara formalis, di mana revolusi mesti mengikuti semacam tahapan-tahapan yang sudah ditentukan secara apriori. Dalam teori dua tahap, kaum Menshevik meyakini bahwa di negeri seperti Rusia, kelas borjuasi-lah yang harus menyelesaikan tugas nasional demokratik, dan tugas proletariat adalah beraliansi dengannya untuk mendukungnya. Hanya setelah tugas-tugas nasional demokratik selesai maka proletariat boleh mengedepankan masalah perjuangan kelas dan sosialisme. Hanya setelah kapitalisme telah matang maka proletariat boleh berjuang demi sosialisme. Maka di negeri-negeri yang kapitalismenya belum matang, perjuangan kelas antara proletariat dan borjuasi harus ditunda. Ini mengarah ke kolaborasi kelas. Setelah Revolusi Februari 1917, kaum Menshevik, seturut teori dua tahapnya, menggiring Soviet buruh dan tani untuk mendukung Pemerintahan Provisional yang dipimpin oleh borjuasi liberal. Di bawah kepemimpinan Menshevik, Soviet tidak boleh mengambil kekuasaan ke dalam tangannya. Proletariat Rusia dilarang untuk melangkah ke revolusi sosialis.
Sayangnya, tidak hanya kaum Menshevik saja yang terjebak dalam logika sesat tersebut. Mayoritas kepemimpinan Bolshevik menemukan diri mereka di posisi mendukung Pemerintahan Provisional borjuis dan tidak memiliki perspektif agar Soviet mengambil kekuasaan. Hanya Lenin dan Trotsky yang dapat menganalisis perkembangan peristiwa yang sebenarnya. Dengan pemahaman filsafat Marxisme yang mendalam – bukan pemahaman yang dangkal, impresionis, ataupun formalis – mereka memahami bahwa tugas mendesak proletariat Rusia adalah pecah dari borjuasi, mengambil kekuasaan, melangkah ke revolusi sosialis, dan menegakkan kediktatoran proletariat. Alur peristiwa yang konkret mendorong Lenin dan Trotsky ke kesimpulan yang sama. Semua perbedaan masa lalu mereka menjadi sekunder di hadapan ujian revolusi yang paling ultimat. Sebuah partai revolusioner yang sudah dipersiapkan untuk tugas-tugas revolusi pun pada momen kebenaran dapat memasuki krisis internal. Hanya dengan pergulatan internal yang tajam, lewat Tesis Aprilnya yang terkenal itu, Lenin mempersenjatai ulang Partai Bolshevik dengan slogan “Seluruh Kekuasaan untuk Soviet”.
Lika-liku Revolusi 1917
Selama Revolusi 1917 – yaitu selama rentang sembilan bulan dari Februari sampai Oktober – ada fase-fase berbeda yang harus dilalui Partai Bolshevik. Tiap-tiap fase ini – di antara lainnya, Revolusi Februari, Tesis April, Hari-hari Juli, Pemberontakan Kornilov, sampai pada Penyerbuan Istana Musim Dingin dan Kongres Soviet Kedua – merupakan ujian bagi partai. Pendek kata, pengalaman sembilan bulan ini merupakan harta karun bagi setiap kaum revolusioner.
Akan menjadi kekeliruan besar bila kita menganggap Lenin sebagai pemimpin yang mengarahkan Partai dan Revolusi layaknya konduktor orkestra. Partai dan Revolusi bukanlah musik orkestra dengan buku musik yang sudah lengkap dan tinggal dimainkan. Kendati usaha keras Lenin dan kolega-koleganya untuk membangun sebuah partai revolusioner yang rapat secara organisasional dan ideologis, Partai Bolshevik pun tidak luput dari tekanan kekuatan-kekuatan eksternal yang pada gilirannya menciptakan pengelompokan-pengelompokan dalam partai dan pergulatan internal yang tajam.
Sama kelirunya kalau kita lalu menganggap Lenin sebagai pemimpin yang maha tahu, yang di dalam kepalanya sudah ada peta lengkap menuju kemenangan Oktober. Lenin memiliki wawasan yang lebih jauh dan mendalam dibanding banyak kameradnya, tetapi dia pun membuat kesalahan. Tetapi kesalahannya bukanlah kesalahan prinsipil, tetapi kesalahan pembacaan situasi yang memang berubah dengan pesatnya selama revolusi. Ini adalah kesalahan yang dapat segera dia perbaiki, persis karena secara prinsipil analisanya tepat. Misalnya, setelah Hari-hari Juli, revolusi tampaknya terpukul ke belakang dan reaksi sudah menang. Lenin menjadi sangat pesimis dan sudah siap mencampakkan soviet sebagai organ perjuangan revolusioner. Tetapi ternyata kemenangan reaksi selepas Hari-hari Juli sangatlah dangkal, dan situasi dengan cepat berbalik. Partai Bolshevik yang luluh lantak dengan cepat pulih dan memenangkan pengaruh besar dalam soviet. Lenin pun dengan segera memperbaiki posisinya.
Orang-orang yang membayangkan Lenin sebagai pemimpin maha-tahu tidak akan pernah bisa mempelajari metode Lenin, bagaimana dia mengembangkan dan merumuskan gagasannya. Mereka hanya bisa menghafal apa yang ditulis oleh Lenin tanpa menyerap metode berpikirnya. Bahkan yang biasanya terjadi, mereka mengambil kutipan Lenin untuk membenarkan prasangka borjuis atau borjuis-kecil yang sudah tertanam di kepala mereka. Hari ini misalnya kita temui bagaimana tulisan Lenin digunakan untuk mendukung politisi borjuasi seperti Jokowi, atau membenarkan restorasi kapitalisme di China; karena Iblis pun bisa mengutip kitab suci.
Krisis kepemimpinan proletariat dan solusinya
Pada akhirnya, kemenangan Revolusi Oktober hanya bisa dijamin dengan keberadaan kepemimpinan revolusioner Bolshevik. Tanpanya rakyat pekerja Rusia sudah pasti akan digiring oleh borjuasi liberal dan kaum reformis ke kekalahan. Dengan kepemimpinan revolusioner, kita bukan berbicara mengenai satu dua pemimpin karismatik, ataupun demagog populis. Yang kita maksud adalah partai revolusioner yang berlandaskan ide, program, metode dan tradisi Marxisme. Partai semacam ini tidak bisa diimprovisasi selama revolusi. Ia harus dibangun dan dipersiapkan jauh hari. Untuk kemenangan Revolusi Rusia, partai revolusioner ini secara efektif dipersiapkan fondasinya sejak 1883 oleh Kelompok Emansipasi Buruh yang dipimpin Plekhanov. Tanpa persiapan panjang membangun landasan ideologi dan organisasi ini, proletariat Rusia tidak akan bisa menang pada 1917.
Partai revolusioner tidak menciptakan revolusi, karena revolusi diciptakan bukan oleh partai ataupun individu, sehebat apapun mereka. Revolusi diciptakan oleh kapitalisme itu sendiri, oleh kontradiksi-kontradiksi tak tertanggungkan dalam sistem ini yang akhirnya mencapai titik loncatan kualitatif, yang mendorong massa luas menyeruak masuk ke panggung sejarah. Tetapi masuknya massa ke panggung sejarah tidak menjamin kemenangan akhir. Tugas partai revolusioner adalah menyediakan massa revolusioner dengan organisasi, disiplin, kesatuan, dan program yang lengkap, yang dibutuhkan untuk memenangkan revolusi, karena hal-hal ini bukanlah sesuatu yang bisa diimprovisasi oleh massa selama periode revolusi yang singkat.
Sejarah telah menjadi saksi hidup bagaimana momen-momen revolusi tersia-siakan karena tidak adanya kepemimpinan revolusioner. Trotsky mengatakan ini dengan begitu terangnya: krisis historis yang dihadapi oleh umat manusia dapat direduksi menjadi krisis kepemimpinan proletariat. Tidak ada peristiwa yang lebih baik dalam menunjukkan kebenaran pernyataan itu selain Revolusi Oktober. Keberadaan Partai Bolshevik berhasil menyelesaikan krisis masyarakat Tsar Rusia, dan bahkan dalam skala internasional berhasil menghentikan Perang Dunia yang telah menenggelamkan dunia dalam kubangan darah. Sepanjang sejarah, rakyat pekerja telah menunjukkan kesediaan dan keberanian mereka untuk berjuang melawan kapitalisme. Lagi dan lagi mereka menempuh jalan revolusi untuk mengambil nasib ke tangan mereka sendiri. Selama 15 tahun terakhir, semenjak krisis finansial 2008 yang telah mengekspos kebangkrutan kapitalisme, kita saksikan pemberontakan demi pemberontakan massa dalam skala dan kecepatan tanpa preseden meledak silih berganti. Namun keberanian, inisiatif, dan kreativitas massa yang penuh inspirasi ini tidak mampu memenuhi tugas akhirnya: perebutan kekuasaan revolusioner. Faktanya sederhana, tenaga revolusioner massa ini menguap sia-sia tanpa organisasi yang mampu mengolahnya, tanpa kepemimpinan revolusioner yang bisa memahami gerak kesadaran kelas yang dialektis dan memberinya ekspresi politik yang terorganisir.
Generasi muda hari ini mesti mempelajari sejarah perjuangan proletariat yang begitu kaya itu agar dapat menuntaskan tugas yang telah dimulai oleh para pendahulunya: mengakhiri penindasan manusia atas manusia dan membuka jalan ke tatanan masyarakat sosialis di seluruh dunia.