Menteri Ketenagakerjaan baru saja menerbitkan aturan yang melegalkan pemotongan upah buruh sebesar 25 persen. Aturan ini merupakan hasil dari permintaan asosiasi pengusaha ekspor pada bulan Oktober tahun lalu. Menteri Ketenagakerjaan langsung memenuhi permintaan mereka dengan menerbitkan Permenaker No. 5 Tahun 2023. Menurutnya, keputusan ini diambil untuk menyiasati penurunan ekspor akibat resesi.
Meskipun aturan ini terbatas pada industri padat karya yang berorientasi ekspor, tapi langkah ini menunjukkan bahwa Menteri Ketenagakerjaan kita sangat setia kepada majikan kapitalis mereka. Krisis kapitalisme terus mempertajam serangan terhadap buruh dari berbagai arah. Keputusan pemerintah menurunkan upah merupakan genderang perang terhadap kelas buruh. Tidak ada kompromi, gerakan buruh harus melawan balik.
Seperti yang dilaporkan pemerintah, kinerja ekspor Indonesia terus mengalami penurunan. Bila dibandingkan dengan bulan Desember 2022, nilai ekspor pada Januari 2023 turun 6,36 persen. Sedangkan dibandingkan dengan bulan Januari 2022 nilai ekspor turun menjadi 16,37 persen. Ini merupakan konsekuensi dari lesunya perekonomian dunia, yang sebagian besar disebabkan oleh kenaikan suku bunga bank-bank sentral di kebanyakan ekonomi maju. Kenaikan suku bunga ini diterapkan untuk meredam inflasi dengan menekan tingkat permintaan, yang dengan pasti berdampak pada negara-negara eksportir. Krisis ini akan terus memberi tekanan tidak hanya pada industri berorientasi ekspor, tapi juga industri-industri lainnya.
Kelas kapitalis hanya melihat kesuraman di depan mata mereka. Mereka melihat satu-satunya cara untuk menyelamatkan keuntungan adalah menekan upah buruh. Bila kinerja ekspor katakanlah turun 4 sekian persen, dan mereka memangkas upah buruh 25 persen, maka keuntungan mereka tetap seperti sedia kala. Ini sama seperti sebuah pabrik yang kalah bersaing lalu majikan meminta kita mengganti keuntungan yang hilang ini dengan upah kita. Kelas majikan jelas sangat diuntungkan dengan kebijakan pemotongan upah ini karena tujuan utama dikeluarkannya kebijakan inilah hanyalah semata untuk menyelamatkan keuntungan perusahaan ekspor dari ketidakstabilan ekonomi dunia.
Dalam keterangannya di media, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI Jamsos) Indah Anggoro Putri beralasan bahwa aturan ini diharapkan mencegah maraknya PHK. “Kemenaker sebagai regulator pembuat aturan sudah berusaha membuat regulasi yang InsyaAllah tujuannya mencegah PHK lebih masif lagi,” ungkapnya. Seakan-akan pernyataan diplomatis di atas berpihak pada buruh, namun pada kenyataannya ini hanyalah kata lain untuk mengancam kaum buruh: bila tidak mau di PHK, kaum buruh harus rela upahnya dipotong.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, berbagai macam peraturan perundang-undangan telah disahkan oleh pemerintah hanya untuk mempreteli kesejahteraan buruh. UU Cipta Kerja yang baru saja diteken menjadi undang-undang hanyalah salah satu contoh bagaimana sebuah aturan mampu membuat posisi nilai tawar buruh semakin lemah, yang membuat buruh tak lagi memiliki suara untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka.
Tentu sangat jelas terlihat bagaimana Pemerintah dengan sigapnya mengeluarkan sebuah regulasi bila ini menyangkut kepentingan kapitalis. Sementara, bila ini menyangkut perlindungan pekerja, pemerintah selalu lamban. Contoh saja, RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) yang sudah 19 tahun diperjuangkan dan terus ditunda pengesahannya oleh parlemen. Kita bisa memastikan, bahkan bila RUU PPRT ini disahkan penerapannya akan tidak serius. Ini dengan tepat menunjukkan bahwa negara adalah badan eksekutif untuk mengelola segala urusan kapitalis. Peran “regulator dari urusan kapitalis” inilah yang saat ini secara terang-terangan ditunjukkan kepada kita tanpa rasa malu sedikit pun.
Krisis kapitalisme akan terus memprovokasi konflik kelas antara buruh dan kapitalis. Sekarang pemerintah sedang mengorbankan buruh-buruh di perusahaan berorientasi ekspor. Besok bisa saja buruh di sektor lainnya akan dikorbankan. Kita terus dihadapkan pada fakta bahwa buruh lah yang harus menanggung biaya krisis ini.
Di seluruh dunia perjuangan kelas sedang dipertajam karena kebijakan-kebijakan penghematan yang diluncurkan oleh kelas penguasa di berbagai negeri. Di Prancis, Macron telah memperpanjang usia pensiun dari 62 ke 64 tahun demi menghemat dana pensiun. Ini menemui perlawanan dari gerakan buruh dengan jutaan buruh yang telah turun ke jalan dan mogok.
Di Inggris, selama bertahun-tahun pemerintahan telah melakukan pemotongan gaji yang brutal terhadap buruh dan perawat. Inflasi yang tak terkendali selama setahun belakangan juga telah mengakibatkan semakin mahalnya biaya hidup. Bulan lalu buruh-buruh di Inggris merespons serangan-serangan terhadap taraf hidup mereka ini dengan melakukan pemogokan, yang merupakan gelombang pemogokan paling besar selama 30 tahun terakhir. Pada 2022 saja, pemogokan buruh telah mengakibatkan hilangnya 2,5 juta hari-kerja, yang tertinggi sejak 1989 ketika 4,1 juta hari-kerja menghilang. Buruh jelas tidak akan tinggal diam menyaksikan taraf hidup mereka digerogoti. Ini adalah gambaran dunia yang kita tinggali sekarang.
Pemotongan 25 persen kali ini mungkin hanya berlaku pada perusahaan ekspor sebagaimana diatur atur dalam Permenaker No.5 tahun 2003. Tetapi seiring krisis kapitalisme yang semakin tak terkendali, maka serangan terhadap buruh akan diperluas. Gerakan buruh harus siap untuk menghadapi serangan ini. Bila gerakan buruh tidak mampu mematahkan Permenaker ini, ini akan memberika sinyal kepada pemerintah dan kapitalis untuk terus memperluas serangan mereka. Alih-alih kompromi atau kolaborasi dan mengandalkan jalur-jalur legal, gerakan buruh harus melakukan perlawanan militan dan berani seperti buruh-buruh Prancis dan Inggris.
Satu-satunya cara untuk melawan Permenaker dan aturan anti buruh lainnya adalah dengan pemogokan nasional. Ini dengan baik telah diserukan oleh Said Iqbal yang merencanakan pemogokan 3-5 hari pada Juli-Agustus mendatang. “Tanggal tepatnya akan diumumkan sebulan sebelumnya untuk mengingatkan pengusaha dan seluruh perusahaan agar bersiap-siap,” ujarnya.
Tapi pemogokan ini hanya berhasil ketika mampu mengguncang profit kapitalis, bukan “mengingatkan pengusaha untuk bersiap-siap”. Bila pengusaha telah bersiap-siap, dan menyiapkan semua skenario seperti memecat dan mengganti dengan buruh baru, maka pemogokan ini bisa gagal mencapai tujuan. Seruan mogok yang lembek seperti itu hanya akan dianggap kecut oleh penguasa seperti yang diungkapkan Luhut Pandjaitan, bahwa mogok ini hanya ngomong doang.
Buruh-buruh akar rumput juga tidak akan termobilisasi dengan seruan-seruan hampa. Mereka tidak akan mempertaruhkan nasib dan pekerjaan mereka untuk sesuatu yang sia-sia. Apa yang perlu dilakukan gerakan buruh bukan “mengingatkan pengusaha” tapi mengingatkan buruh dan memobilisasi buruh untuk bersiap-siap demi pertarungan habis-habisan. Dengan mempersiapkan ini gerakan buruh bisa menang.
Kita harus ingat pelajaran terakhir dari usaha judicial review Omnibus Law, yang pada akhirnya hanya masuk ke tong sampah. Kita perlu membuang ilusi bahwa perjuangan buruh bisa dicapai dengan jalan-jalan legal. Kaum buruh tidak boleh mengemis! Kita tidak boleh memohon kepada siapa pun. Apa yang akan perlu dilakukan adalah berdiri bahu membahu dan berjuang sampai menang. Kaum buruh harus mengatakan ini adalah perang kelas!