Sepuluh tahun telah berlalu sejak krisis finansial 2008. Peristiwa ini adalah salah satu momen menentukan dalam sejarah dunia yang menandai perubahan fundamental, seperti 1914 (Perang Dunia Pertama), 1917 (Revolusi Oktober), 1929 (Keruntuhan Wall Street) dan 1939-45 (Perang Dunia Kedua). Oleh karenanya kita perlu mengkaji perimbangan selama satu dekade terakhir.
Krisis 2008 secara kualitatif berbeda dengan krisis-krisis sebelumnya. Ini bukanlah krisis siklikal yang normal, tetapi merefleksikan krisis organik kapitalisme. Satu dekade sejak keruntuhan 2008, kaum borjuasi masih kesulitan keluar dari krisis yang telah menghancurkan kesetimbangan sistem kapitalis. Sampai pada tingkatan yang sangat terbatas kita bisa berbicara mengenai pemulihan, ini hanya bersifat parsial. Pada kenyataannya pemulihan yang ada adalah pemulihan ekonomi terlemah dalam sejarah. Bahkan pada 1930an ada pemulihan besar. Dan konsekuensi tertentu mengalir dari fakta ini
Sepuluh tahun yang lalu, kita memprediksikan bahwa semua usaha kaum borjuasi untuk memulihkan kesetimbangan ekonomi akan merusak kesetimbangan politik dan sosial. Proposisi ini telah terkonfirmasi oleh peristiwa-peristiwa dalam skala dunia. Di seluruh dunia, usaha pemerintah untuk menerapkan kebijakan pengetatan dengan tujuan menggerakkan ekonomi (dan mereka tidak berhasil) telah mempersiapkan ledakan-ledakan sosial dengan karakter yang tanpa preseden.
“Ekonomi yang terkonsentrasikan”
Lenin mengatakan bahwa politik adalah ekonomi yang terkonsentrasikan. Pada analisa terakhir semua krisis ini adalah ekspresi kebuntuan kapitalisme yang sudah tidak mampu lagi mengembangkan kekuatan produksi seperti sebelumnya. Ini tidak berarti, tentu saja, kalau tidak akan ada lagi perkembangan kekuatan produksi.
Marx, Lenin, atau Trotsky tidak pernah mengatakan bahwa ada limit absolut yang membatasi perkembangan kekuatan produksi di bawah kapitalisme. Ini adalah fenomena yang relatif, bukan absolut. Akan selalu ada perkembangan, seperti di Tiongkok selama periode terakhir ini. Tetapi dalam skala dunia hari tidak ada perkembangan kekuatan produksi yang sebanding dengan periode paruh kedua abad ke-20 setelah Perang Dunia Kedua.
Marxisme menjelaskan bahwa rahasia kelanggengan dari setiap sistem ekonomi adalah kemampuannya untuk mencapai penggunaan waktu kerja yang paling efektif. Salah satu elemen terpenting dalam perkembangan kapitalisme adalah persis pertumbuhan produktivitas kerja. Selama 200 tahun kapitalisme telah meningkatkan produktivitas kekuatan kerja manusia sampai ke tingkatan yang tak pernah terbayangkan di masa lalu. Tetapi pertumbuhan ini sekarang telah mencapai limitnya.
Studi mengenai produktivitas kerja yang dilakukan oleh “Centre for Economic and Policy Research” pada September 2015 menemukan bahwa, dari 2007 sampai 2012, produktivitas global tumbuh 0.5% per tahun; ini separuh dari tingkat pertumbuhan pada periode 1996-2006. Namun pada periode 2012-14, pertumbuhan ini telah mandeg sepenuhnya, yakni nol persen. Di negeri-negeri seperti Brasil dan Meksiko laju pertumbuhannya bahkan negatif. Seperti yang dinyatakan oleh laporan ini: “Ini adalah salah satu fenomena yang paling mengejutkan, dan jelas penting, yang mempengaruhi perekonomian dunia.”
Angka-angka ini adalah indikasi jelas kalau kapitalisme sekarang menemui dirinya dalam krisis sistemik. Pertumbuhan produktivitas kerja yang melambat – dan dalam kasus tertentu bahkan jatuh – adalah gejala mencolok dari kebuntuan kapitalisme, yang sudah tidak mampu lagi meraih keberhasilan-keberhasilan menakjubkan seperti dulu.
Biang keroknya adalah tingkat investasi yang secara historis rendah: formasi kapital bruto di Uni Eropa dan Amerika Serikat telah jatuh ke bawah 20 persen PDB untuk pertama kalinya sejak 1960an, sementara konsumsi kapital dan depresiasi meningkat. Di wilayah bekas jajahan, boom harga bahan mentah mendorong peningkatan investasi untuk sementara, tetapi ini telah jatuh lagi selama beberapa tahun terakhir.
Kegagalan untuk berinvestasi dalam produksi bukanlah karena tidak ada uang. Sebaliknya, korporasi-korporasi raksasa berenang dalam kolam uang. Adam Davidson menulis di koran The New York Times pada Januari 2016: “Perusahaan-perusahaan Amerika hari ini memiliki 1,9 triliun dolar AS dalam bentuk tunai, yang tidak mereka gunakan … hal seperti ini tidak ada paralelnya dalam sejarah ekonomi.” Sang penulis artikel menganggap ini “misteri” tetapi yang sebenarnya ditunjukkan oleh fakta ini adalah bahwa dalam kondisi perekonomian dunia hari ini kapitalis tidak memiliki medan investasi yang menguntungkan.” (Why Are Corporations Hoarding Trillions? New York Times, January 20, 2016)
Data paling mutakhir dari US Federal Reserve menunjukkan “aset likuid perusahaan non-finansial, yang termasuk uang tunai, deposit asing, pasar uang dan saham reksa dana … mencapai rekor 2,4 triliun dolar AS pada kuartal ketiga 2017.”
Kapitalisme sungguh secara harfiah tenggelam dalam kekayaan yang berkelimpahan. Ini seperti tukang sihir yang telah melepaskan kekuatan yang tidak bisa dia kendalikan. Kekuatan produksi memiliki potensi memproduksi massa komoditas yang tidak bisa diserap oleh pasar.
Ketidakmampuan untuk menggunakan secara produktif nilai lebih yang teramat besar ini, yang diperas dari keringat dan darah buruh, menunjukkan bahwa kapitalisme sudah tidak bisa berfungsi. Overproduksi terrefleksikan dalam krisis umum perekonomian dunia, yang ada dalam keadaan yang sangat rapuh. Kredit murah sudah tidak bisa lagi mendorong investasi. Apa gunanya melakukan investasi untuk menciptakan kekuatan produksi baru ketika tidak ada pasar untuk kapasitas produksi yang sudah ada?
Pemulihan baru?
Setiap hari media pers memproklamirkan pemulihan ekonomi. Dalam kasus terbaik, ada kenaikan kecil PDB dalam konteks umum stagnasi jangka panjang. Bagi kaum Marxis ini tidak mengejutkan; bahkan dalam periode kemunduran sistem kapitalisme terus bergerak dalam siklus dan setelah periode panjang kemunduran atau stagnasi kita dapat mengharapkan sebuah pemulihan kecil. Akan tetapi pemulihan ini sangatlah lemah dan tidak substansial, dan tidak akan bertahan lama.
Kendati kebijakan moneter yang sangatlah longgar, pertumbuhan masih terbatas. Federal Reserve mempertahankan suku bunga hanya sedikit di atas nol persen sejak musim gugur 2008 sampai pada awal 2017. Bank Sentral Eropa juga menurunkan suku bunga mereka sampai hampir nol persen.
Gelembung real estate kita temui dalam pasar perumahan di Inggris, Kanada, Tiongkok dan Skandinavia. Pasar Saham tidak hanya telah pulih ke level 2007, tetapi bahkan telah melampauinya. Nilai Dow Jones telah meningkat sebesar 36 persen. Rasio harga terhadap pendapatan (yakni harga yang dibayar oleh investor untuk $1 pendapatan atau profit perusahaan) telah mencapai puncak tertinggi ketiga dalam sejarah (yang sebelumnya pada 1929 sebelum Keruntuhan Finans 1929 dan pada 2000 sebelum pecahnya gelembung dotcom 2001). Semua ini mengindikasikan, bukan pemulihan yang sehat, tetapi sebuah krisisbaru sedang dipersiapkan. Ini juga memiliki efek mentransfer sejumlah besar uang ke kelas kapitalis yang nilai asetnya telah meningkat dengan influks kredit baru.
Limit Kredit
Alasan utama kebuntuan hari ini adalah, pada dekade-dekade sebelum 2008, kapitalisme tidak hanya telah mencapai limitnya tetapi jauh melampaui limit “alaminya”. Ekspansi kredit dan hutang yang tanpa preseden ini memungkinkan kapitalisme untuk mendobrak batas-batas pasar dan overproduksi. Ada ekspansi perdagangan dunia yang besar dan intensifikasi pembagian tenaga kerja dalam skala internasional.
Marx menjelaskan bahwa salah satu cara kapitalisme melampaui limit pasar dan menanggulangi kecenderungan tingkatan laba untuk jatuh adalah dengan ekspansi kredit dan perdagangan dunia (globalisasi), yang secara parsial, dan untuk beberapa waktu, memberinya cara untuk menanggulangi kontradiksi kunci lainnya: batasan negara-bangsa. Tetapi kedua solusi ini efeknya terbatas dan sekarang telah menjadi kebalikannya.
Sepanjang sejarah, tingkat hutang AS (pemerintah dan swasta) biasanya berkisar 100-180% PDB. Namun pada akhir 1980an, total hutang ini mencapai 200%, dan terus meningkat sampai 2008, mencapai puncaknya sekitar 300%. Jepang, Inggris, Spanyol, Prancis, Italia dan Korea Selatan semua memiliki tingkat hutang di atas 300%. Hutang dunia sekarang telah mencapai 217 triliun dolar, atau 327% PDB dunia, tertinggi dalam sejarah.
Marx mengatakan dalam “Manifesto Komunis” bahwa kaum borjuasi menyelesaikan krisis hari ini hanya dengan cara membuka jalan untuk krisis yang lebih besar di masa depan. Apa yang telah mereka capai selama sepuluh tahun terakhir dengan semua penderitaan dan pengetatan? Tujuan mereka adalah mengurangi defisit dan gunung hutang yang menumpuk dari periode sebelumnya.
Satu-satunya hal yang mereka lakukan adalah gali lubang tutup lubang, yakni memindahkan hutang dari bank-bank swasta ke anggaran pemerintah. Bank-bank hampir bangkrut dan mereka hanya diselamatkan oleh intervensi negara, yang menyelamatkan mereka dengan memberi mereka bertriliun-triliun dolar dari anggaran publik. Masalahnya negara hanya bisa mendapat uang lewat pembayar pajak.
Pertanyaan utamanya oleh karena itu: siapa yang membayar? Semua orang tahu kalau orang kaya tidak membayar banyak pajak. Mereka punya ribuan cara untuk menghindar pajak. Kelas buruhlah yang harus membayar, kelas menengah yang harus membayar, kaum pengangguran yang harus membayar, yang sakit yang harus membayar, sekolah yang harus membayar. Semua orang harus membayar kecuali kaum kaya, yang telah menjadi bahkan semakin kaya selama periode “pengetatan” ini.
Apakah ini telah menyelesaikan satu hal pun? Tujuh dari sepuluh ekonomi terbesar di dunia sekarang anggaran tahunannya defisit di atas 3% PDB, dan hanya Jerman yang memiliki defisit di bawah 2%. Hutang meningkat di mana-mana. Tidak ada jalan keluar dari krisis, kecuali dengan menghapus hutang ini. Tetapi, bagaimana caranya menghapus hutang pemerintah? Di bawah kapitalisme, seluruh hutang dibebankan di atas pundak lapisan rakyat pekerja yang paling miskin dan lemah.
Skenario yang kita saksikan secara internasional sungguh tidak ada presedennya. Dan kita hanya berbicara mengenai negeri-negeri kapitalis maju. Situasi di negeri-negeri yang disebut Dunia Ketiga jauh berbeda. Di sini kita saksikan kesengsaraan yang tak tertanggungkan, penderitaan yang tak terbayangkan, kelaparan dan degradasi yang menimpa miliaran rakyat.
Ancaman Proteksionisme
Selama puluhan tahun, perdagangan dunia tumbuh jauh lebih pesat daripada produksi, dan menjadi tenaga pendorong pertumbuhan ekonomi dunia. Akan tetapi, selama periode terakhir, pertumbuhan perdagangan dunia telah melambat, sampai ke level yang lebih rendah daripada PDB. Perdagangan dunia mencapai puncaknya pada 2008, dan lagi pada 2011, yang mencapai 61% PDB. Hari ini perdagangan dunia menurun sampai ke 58%.
WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) telah menyatakan kekhawatirannya kalau pemerintah-pemerintah nasional dapat tergoda untuk menjaga pasar mereka sendiri dengan kebijakan-kebijakan proteksionis, dan ini pada gilirannya dapat mempengaruhi secara negatif pertumbuhan perdagangan. Trump mengkonfirmasikan kekhawatiran ini ketika dia menyeruduk masuk ke panggung politik. Kebijakan “America First” (Amerika Pertama) yang diluncurkan Trump merefleksikan krisis global. Dia ingin “membuat Amerika hebat lagi” dengan mengorbankan negeri-negeri lain. Dalam kata lain, dia ingin menggunakan otot Amerika untuk merebut pangsa pasar dunia yang lebih besar.
Selama beberapa tahun terakhir, kelas kapitalis AS kesulitan mencapai perjanjian perdagangan dengan Eropa, Amerika, dan Asia. Hal pertama yang dilakukan oleh Trump adalah merobek perjanjian TPP (Trans Pacifif Partnership atau Kesepakatan Trans Pasifik) dan TTIP (Transatlantic Trade and Investment Partnership atau Kesepakatan Perdagangan dan Investasi Transatlantik). Dia juga mengancam membatalkan NAFTA (North American Free Trade Agreement, Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara) kalau dia tidak bisa mendapatkan kesepakatan dimana Meksiko dan Kanada mengorbankan kepentingan mereka demi AS. Dia juga mengancam akan melumpuhkan WTO dengan memblokir penggantian hakim-hakim pengadilan WTO.
Tiongkok memiliki surplus perdagangan yang besar dengan AS, mencapai rekor 275,81 miliar dolar pada 2017. Inilah salah satu alasan utama Trump mengeluh mengenai Tiongkok yang katanya merusak ekonomi AS. Selama kampanye pilpres, Trump menuduh Tiongkok “menjarah Amerika”, mencuri pekerjaan AS, dsb. Sejak pilpres, dia terpaksa melunakkan bahasanya, karena dia ingin Tiongkok menekan Korea Utara. Tetapi tujuan ini tidak tercapai dan kontradiksi antara AS dan Tiongkok masih belum selesai. Di sini kita sudah saksikan cetak biru untuk perang dagang antara AS dan Tiongkok.
Trump bukan satu-satunya orang yang meluncurkan kebijakan proteksionis. Sejak permulaan krisis negeri-negeri kapitalis maju telah mengimplementasikan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan surplus perdagangannya. Ini sebagian dicapai lewat sejumlah kebijakan proteksionis. AS (di bawah Obama) menjadi pemimpin dunia dalam proteksionisme, tetapi juga Inggris, Spanyol, Jerman dan Prancis menjadi lebih proteksionis daripada Tiongkok.
Kita harus ingat kalau proteksionismelah yang mengubah keruntuhan 1929 menjadi Depresi Hebat 1930an. Bila proteksionisme merajalela, ini dapat meruntuhkan fondasi rapuh perdagangan dunia, dengan konsekuensi-konsekuensi serius.
Amerika Serikat – Krisis Tanpa Preseden
Melemahnya AS secara relatif sejak Perang Dunia Kedua ditunjukkan oleh fakta bahwa pada 1945 lebih dari 50% PDB dunia diproduksi di AS, dan sekarang angka ini telah menurun menjadi 20%. Ketika kita berbicara mengenai melemahnya imperialisme AS secara relatif, kita tidak boleh membesar-besarkan proses ini. Pelemahan secara relatif berarti AS telah melemah dan tidak bisa lagi memainkan peran yang sama seperti dulu kala, seperti yang bisa kita lihat dalam krisis Suriah. Namun AS masih merupakan kekuatan adidaya dunia yang dominan dan hari ini tidak ada satupun negeri yang bisa menggantikannya, seperti ketika AS menggantikan Inggris di masa lalu.
Pelemahan secara relatif ini mempengaruhi kemampuan AS untuk mendominasi dunia secara ekonomi, politik dan diplomatik, dan juga kemampuannya untuk memberi kaum buruh Amerika taraf kehidupan yang baik, yang hari ini lebih buruk dibandingkan masa lalu ketika AS memiliki kestabilan internal. Realitas ini sekarang sedang merasuki kesadaran massa AS.
Mimpi Amerika sudah mati. Ia telah digantikan dengan mimpi buruk Amerika. Mimpi ini telah usai dan tidak akan kembali lagi. Perubahan dalam kesadaran rakyat di Amerika terungkap secara unik selama pilpres November 2016. Selama seratus tahun, kestabilan kapitalisme Amerika bersandar pada dua partai: Demokrat dan Republiken. Kedua partai ini bergantian berkuasa setiap saat.
Ada kekecewaan besar dan keinginan yang berkobar-kobar atas perubahan. Kita telah saksikan ini ketika rakyat memberi suara pada Obama, yang secara demagogi menjanjikan perubahan. Jutaan rakyat yang biasanya tidak ikut pemilu beramai-ramai mengantre untuk memberikan suara mereka untuk Presiden Hitam Amerika pertama. Mereka lakukan ini dua kali, tetapi pada akhirnya tidak ada perubahan. Oleh karenanya ada mood kemarahan, kekecewaan dan frustrasi yang tumbuh, terutama di antara lapisan yang paling miskin.
Mood ini secara jelas terekspresikan lewat kampanye Bernie Sanders. Awalnya tidak ada yang kenal siapa itu Bernie Sanders, sementara semua orang kenal Hillary Clinton. Namun ketika Bernie berbicara mengenai revolusi politik melawan kelas milyader, seruan ini mengena dengan banyak orang, terutama kaum muda. Pertemuan-pertemuan massa dengan puluhan ribu orang digelar untuk mendukung Bernie Sanders. Setidaknya satu survei mengatakan kalau Sanders bertarung melawan Trump di pilpres, dia akan menang. Tetapi dia disabotase oleh mesin partai Demokrat. Lebih parah lagi, dia menerima ini, yang menyebabkan demoralisasi di antara pendukungnya.
Kelas penguasa lebih memilih seorang yang bisa mereka kendalikan, seperti Hillary Clinton. Mereka tidak menginginkan Trump karena dia adalah seorang pembangkang dengan penyakit egomania dan oleh karenanya sulit dikendalikan. Hillary Clinton adalah kacung kapitalis besar. Trump mewakili kelas yang sama tetapi dia punya pendapatnya sendiri mengenai bagaimana pemerintah harus dijalankan. Selama kampanye pemilu dia secara demagogi menarik simpati buruh. Untuk pertama kalinya, seorang kandidat presiden berbicara mengenai kelas buruh, seperti yang juga dilakukan Sanders. Ini tidak pernah terjadi. Bahkan kebanyakan kaum liberal sayap-kiri dan pemimpin serikat buruh selalu berbicara mengenai “kelas menengah”.
Penguasa yang ada melakukan segalanya untuk menghentikan Trump. Tetapi mereka gagal. Kelas penguasa menentang penyeludup yang demagogis ini. Kaum Demokrat menentangnya, dan juga mayoritas kaum Republiken. Semua media menentangnya. Dia bahkan berhasil mengasingkan Fox News (medianya kaum Republiken) untuk beberapa waktu. Media jelas adalah instrumen kuat di tangan kelas penguasa, dan kendati demikian dia menang.
Kemenangan Trump adalah gempa politik. Bagaimana bisa kita menjelaskan ini? Trump adalah seorang reaksioner, tetapi dia juga adalah seorang demagog yang handal, yang mengarahkan seruannya ke kaum pengangguran miskin yang terasingkan dan kaum buruh di wilayah RustBelt (daerah industri di Amerika bagian Barat Tengah yang sejak 1980an mengalami deindustrialisasi), menjanjikan mereka pekerjaan, mengecam tatanan yang ada dan para politisi elite di Washington. Dengan cara ini dia bersentuhan dengan mood kemarahan dan kekecewaan massa.
Bernie Sanders menyentuh mood yang sama. Tetapi dia disabotase oleh mesin Partai Demokrat. Dan ketika Sanders akhirnya menyerah dan menyerukan dukungan untuk Hillary Clinton, banyak yang lalu melihat Trump sebagai pilihan “yang terbaik dari yang terburuk,” dan dia lantas memenangkan pilpres. Banyak pendukung Sanders yang entah abstain dari pemilu atau berpikir, “Bila kita tidak dapat memberi suara kita untuk Sanders, kita akan memilih Trump.”
Kampanye Trump ditandai oleh mobilisasi lapisan pemilih yang sebelumnya tidak aktif, dan menerima jumlah suara absolut yang lebih banyak daripada kandidat-kandidat Republiken lainnya dalam sejarah, walaupun dia memenangkan persentase yang lebih rendah dibandingkan kandidat Republiken Mitt Romney pada 2012. Akan tetapi, kemenangannya juga mengekspose watak tidak-demokratik dari sistem ElectoralCollega AS, dimana Trump menang walaupun jumlah suaranya tiga juga lebih sedikit dibandingkan Clinton.
Mayoritas borjuasi tidak senang dengan perubahan situasi yang tak terduga ini. Tetapi mereka juga tidak khawatir awalnya. Mereka memiliki seribu satu cara untuk mengendalikan politisi yang sulit. Awalnya mereka mencoba menenangkan diri mereka sendiri dengan gagasan kalau apa yang dikatakan Trump selama kampanye hanyalah propaganda, dan dia akan bersikap rasional segera setelah dia memasuki Gedung Putih (dalam kata lain, dia akan tunduk pada perintah kelas penguasa). Tetapi mereka keliru. Sang Presiden di Gedung Putih ini ternyata sulit dikendalikan.
Kaum Demokrat punya penjelasan sederhana mengapa Trump menang: mereka salahkan Rusia, sementara Hillary Clinton juga menyalahkan Sanders. Semua ini hanya membuktikan kalau Partai Demokratik sampai saat ini masih belum memahami mengapa Trump menang. Mereka mengorganisir sebuah kampanye yang mengklaim bahwa Rusialah yang bertanggung jawab atas peretasan komputer yang menentukan hasil pilpres.
Tuduhan mengenai keterlibatan Rusia dalam meretas dokumen mungkin saja benar dan juga mungkin saja tidak. Tetapi banyak negeri, dan terutama AS, yang terus meretas, menyadap telepon dan mengintervensi masalah internal negeri-negeri lain, termasuk “sekutu” mereka seperti yang dipelajari oleh Merkel [Kanselir Jerman Angela Merkel teleponnya disadap oleh Amerika Serikat – Editor]. Tuduhan kalau Rusia menentukan suara jutaan warga AS adalah teramat kekanak-kanakan.
Yang tidak ada presedennya adalah fakta kalau hari ini Presiden AS berkonfrontasi secara publik dengan FBI dan seluruh instansi intelijen Amerika. Instansi rahasia seharusnya rahasia, dan mereka adalah jantung dari aparatus negara borjuis. Ketika instansi-instansi ini berbenturan secara publik dengan presiden, secara terbuka membangkang dan ingin menendangnya keluar dari kepresidenan, hal seperti ini tidak pernah terdengar. Dan di tengah hingar bingar ini, semua orang lupa isi email-email yang diretas ini. Dan tidak ada yang ingin bertanya apakah isi email ini benar atau tidak.
Pada kenyataannya, tuduhan-tuduhan yang terkandung dalam materi-materi yang diterbitkan oleh Wikileaks sungguh benar adanya. Di antaranya email tersebut membuktikan bahwa aparatus Partai Demokratik menggunakan trik-trik kotor untuk menghalangi Bernie Sanders dan memenangkan Hillary Clinton. Ini jelas adalah intervensi paling blak-blakan dalam pemilu AS. Tetapi di tengah hingar bingar mengenai “intervensi Rusia”, semua ini dengan enaknya dilupakan.
Revolusi tidak dimulai di bawah; mereka dimulai di atas dengan perpecahan di antara kelas penguasa. Di sini kita saksikan perpecahan terbuka dalam pemerintah. Ini bukan krisis politik yang normal. Ini adalah krisis dalam rejim. Badan-badan intelijen – yakni pasukan elite kelas penguasa – tidak suka terlihat mengintervensi politik, walaupun ini mereka lakukan setiap saat dengan diam-diam. Oleh karenanya sungguh sangat luar biasa ketika hari ini mesin dan intrik FBI dipampang begitu terbuka di hadapan rakyat jelata Amerika Serikat.
Situasi politik hari ini di Amerika tidak ada presedennya dalam sejarah. Presiden terpilih berbenturan langsung dengan mayoritas pemerintah, dengan media, dengan FBI, dengan CIA, dan semua badan intelijen lainnya, yang sedang coba digunakan oleh kelas penguasa untuk menyingkirkan Trump atau memaksanya tunduk.
Perubahan Kesadaran
Banyak kaum Kiri di Eropa yang telah menelan bulat-bulat pandangan bahwa rakyat Amerika adalah reaksioner, sayap kanan, dan tidak akan pernah mendukung sosialisme. Ini sama sekali tidak benar. Ada survei yang diambil sebelum kampanye Sanders, yang bertanya ke anak-anak muda di bawah umur 30 tahun, “Apakah kamu akan memberi suara untuk seorang Presiden sosialis?” dan 69% menjawab iya.
Survei yang sama mengajukan pertanyaan yang sama pada rakyat Amerika berumur 65 tahun ke atas, dan “hanya” 34 persen menjawab iya. Hasil ini bahkan lebih luar biasa. Setelah 100 tahun propaganda keji yang menghitamkan sosialisme dan komunisme, hasil survei ini menunjukkan perubahan kesadaran yang tajam.
Perubahan kesadaran ini tidak terbatas hanya pada lapisan bawah. Dengan cara yang unik, reaksioner dan terdistorsi, kemenangan Donald Trump mencerminkan kemarahan jutaan rakyat kelas pekerja dan yang lainnya terhadap tatanan dan sistem yang ada. Tentu saja massa hanya belajar lewat pengalaman. Dan pengalaman akan menunjukkan – dan banyak sudah mulai menunjukkan – bahwa apa yang dikatakan oleh Trump adalah konyol. Di periode selanjutnya gerakan-gerakan yang lebih besar sedang dipersiapkan.
Pada kenyataannya ini sudah dimulai. Segera setelah terpilihnya Trump, demonstrasi-demonstrasi besar meledak di setiap kota. Demonstrasi Perempuan (Women’s March) adalah protes terbesar dalam sejarah Amerika Serikat, yang terjadi pada hari pelantikannya. Dan ini hanya permulaan saja.
Alasan mengapa kelas penguasa membenci Trump adalah karena dia menghantarkan pukulan besar pada konsensus yang sudah rapuh antara kaum Demokrat dan kaum Republiken. Pelemahan konsensus inidapat mengarah ke konsekuensi-konsekuensi yang berbahaya, seperti kita saksikan dengan penutupan pemerintah baru-baru ini. Runtuhnya politik tengah mencerminkan semakin besarnya jurang dan polarisasi tajam antar kelas dalam masyarakat AS. Ini memiliki implikasi yang paling serius untuk masa depan.
Obama dan kaum Demokrat adalah pihak yang bertanggung jawab atas kemenangan Donald Trump. Tetapi Trump sendiri sedang memperdalam proses radikalisasi sosial dan politik, yang akan mempersiapkan ayunan ke kiri yang bahkan lebih besar. Survei paling mutakhir menunjukkan rekor 61% rakyat Amerika menentang Partai Demokrat dan Republiken, dan berpendapat bahwa sebuah partai besar yang baru dibutuhkan. Survei ini menunjukkan bagaimana rakyat Amerika mengecam sistem dua-partai yang ada. Di antara kaum muda, angkanya mencapai 71%. Polarisasi ke kiri dan ke kanan ini telah mendorong lonjakan tiba-tiba kelompok DSA (Democratic Socialist America; Sosialis Demokratik Amerika), sebuah kelompok kiri yang secara historis ada di pinggiran Partai Demokrat.
Sebelum kampanye Sanders, DSA memiliki sekitar 6000 anggota, yang kebanyakan adalah orang-orang berumur, yang dipenuhi dengan cara pandang reformis. Tetapi sejak terpilihnya Trump, keanggotaan DSA melejit melebihi 30 ribu, kebanyakan kamu muda yang mencari sebuah organisasi sosialis. DSA muncul di wilayah-wilayah baru dimana sebelumnya mereka tidak punya basis, dan sedang membangun basis di banyak kampus di seluruh penjuru AS. Sekarang ada debat internal dalam DSA untuk pecah sepenuhnya dengan Demokrat. Ada selapisan anggota yang bergerak ke gagasan-gagasan radikal dan sangat terbuka dengan gagasan Marxisme revolusioner. Masa depan organisasi ini masih belum jelas, tetapi bila DSA pecah dari Demokrat dan mengadopsi posisi kelas yang mandiri, maka organisasi ini punya potensi untuk memainkan peran penting dalam pembentukan partai sosialis massa di AS.
Kanada dan Quebec
Kanada tidak terhantam keras krisis 2008 seperti banyak negara lainnya, karena gelembung perumahannya lebih kecil dan perekonomiannya ditopang oleh ekspor sumber daya alam ke Tiongkok yang sedang booming. Oleh karenanya Kanada tidak menerapkan kebijakan pengetatan sekeras negeri-negeri OECD (kapitalis maju) lainnya. Akan tetapi faktor-faktor yang menyebabkan kestabilan sekarang telah berbalik. Kredit murah telah mendorong pertumbuhan hutang dan ledakan dalam biaya perumahan. Hutang rumah tangga sekarang telah mencapai 171% dari pendapatan pertahun, dan terus meningkat. Tiongkok tidak bisa lagi mendorong harga minyak dan tambang seperti dulu, sementara ancaman proteksionis Trump untuk keluar dari NAFTA mengancam ekspor Kanada. Pelemahan ekonomi global yang baru akan mempertajam semua kontradiksi ini.
Quebec telah menyaksikan sebuah periode perjuangan kelas yang intens, dimulai dengan pemogokan mahasiswa pada 2012. Sayangnya, karena kombinasi ultra-kiri-isme dari selapisan kepemimpinan gerakan mahasiswa, dan kapitulasi oportunis dari kepemimpinan serikat buruh, gerakan ini telah menurun. Namun lapisan muda dan buruh yang aktif sedang mencari jawaban atas kebuntuan ini.
Nasionalisme Quebec sedang dalam krisis. Parti Quebecois (PQ; partai nasionalis di Quebec) telah bergerak ke kanan dan mengadopsi nasionalisme yang rasis. Selama memerintah, PQ telah menerapkan kebijakan pengetatan berulang kali dalam 40 tahun terakhir, dan ini menjelaskan mengapa kaum muda melihat PQ sebagai bagian dari tatanan lama. Partai QuebecSolidaire (QS; sebuah partai kiri nasionalis) dapat menyalurkan kemarahan rakyat, tetapi kepemimpinannya yang borjuis kecil selalu bingung dan membuat banyak kesalahan. Biasanya ketika QS fokus pada isu-isu kelas buruh mereka meraih dukungan, tetapi ketika mereka fokus pada masalah kemerdekaan mereka dilihat sama seperti PQ.
Tidak ada antusiasme untuk referendum kemerdekaan yang baru di antara kaum buruh dan muda yang sadar kelas. Walaupun kita tidak boleh menihilkan kemungkinan kegeraman kelas massa mengekspresikan dirinya lewat gerakan kemerdekaan nasional, untuk jangka pendek ke depan perspektif ini kecil kemungkinannya.
Tiongkok
Perekonomian Tiongkok telah mengalami perkembangan kekuatan produksi yang luar biasa besar dalam 40 tahun terakhir. Ini adalah salah satu faktor utama yang menopang perekonomian dunia selama 20-30 tahun terakhir dan mencegahnya runtuh. Tetapi ini telah mencapai batasannya. Pertumbuhan Tiongkok telah melambat secara drastis dan sekarang kurang dari 7%. Ini sangat rendah untuk standar Tiongkok.
Ada banyak kontradiksi yang kompleks dalam perekonomian Tiongkok. Manufaktur Tiongkok sangat tergantung pada ekspor. Untuk menjaga laju pertumbuhan Tiongkok harus mengekspor. Bila Eropa dan Amerika tidak mengkonsumsi seperti dulu, Tiongkok tidak dapat memproduksi seperti dulu karena mereka membutuhkan pasar asing untuk menyerap surplus produk mereka. Dan bila Tiongkok tidak berproduksi, maka negara-negara lain seperti Brasil, Argentina dan Australia tidak dapat mengekspor bahan mentah mereka. Maka globalisasi memanifestasikan dirinya sebagai krisis global sistem kapitalis.
Setelah krisis finansial global, penguasa Tiongkok khawatir. Dari estimasi mereka, mereka harus mempertahankan pertumbuhan tahunan 8% untuk mencegah akumulasi kekecewaan massa yang dapat mengancam kekuasaan mereka. Mereka meluncurkan kebijakan Keynesian dan meluncurkan rencana investasi infrastruktur publik baru yang tidak ada presedennya. Mereka gunakan sistem perbankan milik negara untuk meluncurkan kebijakan pelonggaran moneter terbesar dalam sejarah, dengan menawarkan hutang murah. Tetapi ini menciptakan kontradiksi-kontradiksi baru yang mengancam kestabilan Tiongkok dan seluruh dunia di masa depan.
Sebagai konsekuensi dari kebijakan ini, hutang pemerintah Tiongkok meningkat dua kali lipat, mencapai 46,2% PDB, walaupun ini masih relatif lebih rendah dibandingkan AS. Akan tetapi total hutang (hutang negara, bank, bisnis dan rumah tangga) telah tumbuh secara eksponensial dan berisiko kehilangan kendali. Dalam jumlah absolut, total hutang Tiongkok melejit dari 6 triliun dolar AS pada 2008 ke 28 triliun dolar pada akhir 2016. Sebagai persentase GDP, total hutang meningkat dari 140% ke hampir 260% pada periode yang sama. Dan angka resmi ini jelas tidak memberikan gambaran yang lengkap.
Sangatlah mungkin total hutang Tiongkok lebih dekat ke 300% GDP, dan estimasi ini tidak mengikutsertakan sektor perbankan gelap yang tidak teregulasi, yang diperkirakan bernilai 30-80% PDB. Bank Dunia di laporannya pada Oktober 2017 mengenai perekonomian Asia Timur dan Pasifik secara khusus melaporkan kalau perbankan gelap ini adalah salah satu ancaman terbesar terhadap kemakmuran wilayah ini.
Perekonomian Tiongkok jelas diselamatkan dalam jangka pendek oleh keputusan pemerintah untuk membuka pintu hutang, tetapi ini telah menghasilkan perekonomian yang tergantung pada pinjaman dan terancam oleh gelembung aset yang besar. Ujian yang sesungguhnya akan datang ketika Beijing mencoba mengurangi ketergantungan hutang ini. Ini dapat memercikkan keruntuhan finansial, yang ditakuti oleh para ekonom borjuis dapat menghantam perekonomian dunia. Tahun lalu, IMF mengeluarkan peringatan mengenai keengganan Beijing untuk menghentikan laju pertumbuhan hutang yang sudah mencapai level berbahaya.
Pada saat ini keruntuhan sistem finansial Tiongkok tampaknya tidak akan terjadi. Tetapi keruntuhan 2008 juga pada saat itu tampaknya tidak akan terjadi, sebelum ini benar-benar terjadi. Karena sektor pemerintahan yang kuat, pemerintahan Tiongkok punya kendali yang lebih besar terhadap peminjam dan pemberi pinjaman dibandingkan ekonomi pasar lazimnya. Pemerintah dapat memerintah bank milik negara untuk terus memberi pinjaman pada perusahaan-perusahaan yang merugi atau ke pemberi pinjaman kecil yang mengandalkan kredit jangka pendek untuk likuiditasnya. Pada akhir Desember 2017, Tiongkok memiliki cadangan mata uang asing sebesar $3.14 triliun yang dapat digunakannya untuk “keperluan darurat”, tetapi ini pun tidak akan menyelamatkan mereka selamanya.
Ini memungkinkan Tiongkok untuk menunda masalah ini lebih lama. Tetapi menunda masalah tidak berarti menyelesaikannya. Sebaliknya, semakin lama masalah ini ditunda, semakin meledak-ledak dan besar krisis yang akan datang. Cepat atau lambat, krisis ini akan tiba. Perlambatan ekonomi telah menyebabkan peningkatan besar dalam tingkat pengangguran, yang disembunyikan oleh statistik pemerintah, yang tidak mencakup jutaan buruh migran yang datang dari daerah pedesaan karena mereka tidak bisa mendapat pekerjaan. Ini akan mempengaruhi situasi politik dan sosial.
Kita tidak bisa memprediksi dengan tepat apa yang akan terjadi di Tiongkok. Di dalam sebuah negara yang totaliter, berita disensor dengan ketat. Tetapi pemogokan dan demonstrasi meluas. Jumlah “insiden” ini meningkat dua kali lipat antara 2011 dan 2015, dan ini hanya puncak gunung es saja. Rejim ini berhasil menghentikan gelombang pemogokan dengan menekan perusahaan-perusahaan yang tidak membayar gaji tepat waktu dan menghukum kasus-kasus korupsi sebagai pencitraan bahwa mereka ada “di sisi buruh”.
Di bawah permukaan yang tenang ada kegeraman besar yang sedang terakumulasi. Ketidakadilan membuat massa semakin geram; tindakan sewenang-wenang birokrasi yang mencuri tanah kaum tani, perusakan lingkungan hidup, dimana Beijing dan kota-kota lainnya diselimuti oleh kabut beracun, dan di atas segalanya ketimpangan yang memuakkan, yang secara terbuka mengejek klaim kalau Tiongkok adalah sebuah negara sosialis.
Kaum buruh Tiongkok dapat menoleransi semua ini selama mereka merasa kalau hidup mereka menjadi lebih baik. Tetapi sekarang ini sudah tidak lagi demikian. Nasib Tiongkok tergantung pada masa depan pasar dunia. Tiongkok tumbuh dari partisipasinya dalam pasar dunia, tetapi semua kontradiksi kini telah berbalik menghantam mereka. Ada situasi yang eksplosif yang dapat meledak kapanpun tanpa peringatan.
Relasi Dunia
Konflik dengan Korea Utara dengan jelas mengekspos keterbatasan dari kekuatan imperialisme AS. Trump mengancam akan menghancurkan Korea Utara, tetapi ancamannya tidak memiliki efek terhadap Pyongyang, selain meningkatkan hingar bingar dan mendorong Korut untuk meningkatkan tes nuklir dan roket yang terbang di atas Jepang. Kim Jong-un mengklaim kalau sekarang roketnya dapat mencapai AS.
AS mempertimbangkan membangun basis misil di Korea Selatan, yang ditentang keras oleh Tiongkok. Trump terpaksa menjilat ludahnya sendiri dan mencari dukungan dari Tiongkok untuk menekan Korut. Tiongkok, pada kenyataannya, telah memberi tekanan halus ke rejim Korut untuk mendorongnya ke arah yang diinginkannya, untuk mengekangnya guna mencegah konflik terbuka dan berbahaya dengan AS. Ini jauh dari apa yang diinginkan Trump. Tetapi tujuan utama Tiongkok adalah mencegah runtuhnya rejim Korut.
Semua ini mengekspos ketidakmampuan AS untuk melindungi sekutu-sekutunya. Duterte, “penguasa tangan besi” Filipina mengatakan bahwa AS banyak bicara tetapi tidak bisa melakukan apapun. Dia menarik kesimpulannya sendiri dan sekarang mendorong Filipina ke orbit Tiongkok. Korea Selatan sekarang lebih dekat dengan Tiongkok secara diplomatik, terutama karena permusuhan historisnya dengan Jepang.
Thailand yang sebelumnya adalah sekutu terdekat AS telah mengumumkan kalau mereka akan membeli kapal selam dari Tiongkok, yang berarti kerja sama dengan Tiongkok. Rencana pembelian ini terhenti sementara karena tekanan dari AS, tetapi tampaknya akan terus berjalan. Kudeta 2014 di Thailand dikecam oleh AS, tetapi dipuji oleh Tiongkok. Vietnam dan Malaysia juga telah membangun hubungan ekonomi yang lebih erat dengan Tiongkok, walaupun relasi antara Tiongkok dan Vietnam dirumitkan oleh sengketa wilayah, terutama terkait dengan klaim Tiongkok atas Laut Cina Selatan.
Tiongkok dan Amerika sedang bersaing memperebutkan pasar dan pengaruh. Banyak negara yang partner dagang nomor satunya adalah Tiongkok. Tiongkok punya saham di dua pertiga dari 50 pelabuhan terpenting di dunia. Proyek “One Belt One Road”nya adalah proyek diplomatik dan finansial terbesar sejak Rencana Marshall [Rencana Marshall adalah proyek infrastruktur dan stimulus besar yang diluncurkan AS di Eropa pasca Perang Dunia II].
Ketegangan antara kedua kekuatan ini paling tajam dalam masalah Laut Cina Selatan, dimana kelas penguasa Tiongkok telah mengembangkan Doktrin Monroe-nya sendiri [Doktrin Monroe adalah kebijakan imperialis AS untuk mendominasi Amerika Latin], yang berarti mereka harus punya kendali atas halaman belakang mereka sendiri. Proyek “pembangunan pulau” Tiongkok yang provokatif ditentang oleh Washington, yang telah mengirim kapal-kapal perang untuk menekankan apa yang mereka sebut “kebebasan laut”.
Sebelum Perang Dunia Kedua, ketegangan antara AS dan Tiongkok seperti hari ini sudah pasti akan mengarah ke peperangan. Tetapi Tiongkok yang bersenjata nuklir sudah bukan lagi negeri semi-kolonial yang lemah, dan tidak ada kemungkinan AS dapat menyerang dan menjajah Tiongkok hari ini.
Timur Tengah
Di Timur Tengah kontradiksi imperialisme dunia terekspos dalam bentuk yang terkonsentrasi. Krisis kapitalisme dunia juga mencerminkan krisis imperialisme AS. Ketika kaum imperialis AS yang bodoh dan tidak kompeten menyerang Irak dan memporakporandakan seluruh negeri ini, mereka tidak hanya menghancurkan kehidupan jutaan rakyat tetapi juga menghancurkan angkatan bersenjata Irak, yang berakibat hancurnya perimbangan kekuatan di Timur Tengah. Semua kekacauan dan penderitaan yang menyusul adalah hasil dari kejahatan imperialisme.
Dengan hancurnya angkatan bersenjata Irak, pengaruh Iran tumbuh pesat dan mengancam AS serta sekutu-sekutunya, terutama Arab Saudi. Konflik berdarah-darah di Suriah, yang sesungguhnya adalah perang proksi antar sejumlah kekuatan asing, adalah usaha untuk memenangkan pengaruh yang telah hilang. Ini diluncurkan untuk mengisolasi Lebanon dan melepaskan Suriah dari pengaruh Iran. Tetapi hari ini, pengaruh Iran di Suriah dan Lebanon bahkan jauh lebih kuat.
Di Suriah keterbatasan kekuatan imperialisme AS terpampang begitu jelas. Negara paling kuat sedunia tidak mampu mengintervensi secara militer. Ini telah menciptakan kekosongan yang lalu diisi oleh Iran dan Rusia. Intervensi Rusia mendorong perimbangan kekuatan ke sisi Assad. Jatuhnya kota Aleppo menandai satu titik balik menentukan dan kekalahan besar yang memalukan, tidak hanya bagi AS, tetapi juga sekutu-sekutunya, terutama Arab Saudi.
Sekarang ISIS sudah dikalahkan di Suriah dan Irak. Tetapi akar permasalahannya belum selesai. Apa yang akan terjadi sekarang? Turki sedang mengawasi Raqqa, Mosul, dan bahkan Kirkuk seperti elang, menunggu untuk mencaploknya. Iran telah meningkatkan pengaruhnya di seluruh wilayah, dan ini membuat khawatir Amerika, Saudi dan Israel. Sementara Irak dan Suriah telah terpecah-pecah dan akan tetap bergejolak selama periode selanjutnya.
Selapisan kelas penguasa AS ingin terus melanjutkan perang, tetapi usaha ini jelas akan gagal. Putin selalu satu langkah di depan mereka setiap saat. Ketika Rusia menyelenggarakan konferensi perdamaian di Astana, Kazakhstan, Amerika dan Eropa tidak diundang sama sekali. Pada akhirnya, kendati semua retorika, AS dengan enggan terpaksa menerima kenyataan yang ada yang didikte Rusia.
AS telah kalah di Suriah. Inilah fakta yang sesungguhnya. Ini merefleksikan pergeseran dalam perimbangan kekuatan di wilayah tersebut. Akan ada konsekuensi yang luas, terutama di antara sekutu AS yang telah kehilangan kepercayaan pada AS, dan para sekutu ini sekarang semakin memilih jalan sendiri-sendiri dan memprioritaskan kepentingan mereka sendiri. Turki mestinya adalah sekutunya AS dan anggota kunci NATO, tetapi semakin hari semakin jelas kalau Turki dan AS menemui diri mereka mendukung kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan di Suriah.
Awalnya AS bertaruh pada pemberontak Jihadi yang dibeking oleh Turki dan Arab Saudi, tetapi mereka ternyata adalah sekutu AS yang tidak bisa diandalkan, seperti yang dibuat jelas dengan bangkitnya ISIS. Pentagon oleh karenanya terpaksa melempar dukungannya ke kekuatan YPG Kurdi (YPG adalah angkatan bersenjata Kurdi) dalam memerangi ISIS di Suriah Utara.
Tetapi ada masalah. Erdogan punya ambisi besar di wilayah ini. Dia ingin membangun kerajaan seperti Ottoman, dan kaum Kurdi adalah halangan fisik dan politik baginya. Kepentingan utama Erdogan sekarang adalah meremukkan Kurdi, baik di Kurdi maupun di Suriah. Setelah kalah di Suriah, Erdogan memutuskan untuk berubah haluan, dengan bersandar pada Iran dan Rusia guna meraih keunggulan untuk bermanuver dengan Barat.
Dengan mencampakkan para pemberontak di Aleppo dan kota-kota lainnya, yang dibeking oleh AS, Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya, Rusia dan Iran mengizinkan Turki untuk mencaplok sepotong wilayah Suriah Utara untuk menghentikan ekspansi Kurdi di sana. Kerja sama antara Turki, Rusia dan Iran ini telah menghantarkan pukulan telak pada AS dan Arab Saudi, yang para cecunguk Jihadinya telah diremukkan atau terpaksa menerima perjanjian Astana.
Usaha Trump untuk merobek perjanjian Nuklir Iran adalah usaha putus asa untuk memutar balik jarum jam. Sementara AS terus di bawah tekanan untuk menarik pasukannya dari Timur Tengah, Iran memiliki ratusan ribu pasukan milisi yang tangguh dan mengakar di Irak, Suriah dan Lebanon. Pada analisa terakhir, ini akan menjadi faktor menentukan. Eropa telah menjauhkan diri mereka dari kebijakan Irannya Trump, yang ternyata lebih melemahkan AS, sementara Iran menikmati tontonan kekacauan di Barat.
Arab Saudi
Arab Saudi mengucurkan ratusan miliar dolar ke kelompok-kelompok paling reaksioner di Suriah. Tetapi mereka kalah. Perang Saudi di Yaman juga mengalami kekalahan. Setelah hampir 3 tahun pertempuran yang berdarah-darah, yang telah meluluhlantakkan seluruh Yaman dan meninggalkan jutaan kelaparan, kelompok Houthi yang dibeking Iran punya posisi kuat di wilayah mereka. Sementara koalisi Saudi telah runtuh. Kaum Jihadi, kaum nasionalis Yaman Selatan dan pasukan Emirat – yang dibeking Arab Saudi – sekarang mengejar agenda mereka masing-masing. Ini adalah satu lagi kekalahan yang akan melemahkan fondasi rejim Saudi yang busuk.
Saudi mencoba menegaskan diri mereka di Qatar, dengan menuntut Qatar agar memutuskan hubungannya dengan Iran dan Turki, dan mengikuti garis kebijakan luar negerinya Saudi. Tetapi Qatar justru semakin memperkuat hubungan dagang dan militernya dengan Iran dan Turki. Turki telah memperluas pangkalan militernya di wilayah semenanjung, sebagai peringatan terhadap Saudi agar tidak bertindak terlalu jauh. Trump awalnya mendukung Saudi, sampai dia diberitahu oleh para penasehatnya kalau AS punya pangkalan militer yang sangat penting di Qatar.
Raja Abdullah adalah seorang reaksioner keras, tetapi dia culas dan bertindak dengan hati-hati. Rejim yang baru, yang dipimpin oleh pangeran raja Muhammad Bin Salman, jauh dari hati-hati. Seperti seorang penjudi yang kalah, dia terus bertaruh besar-besaran untuk menghalau kekuatan dan pengaruh Iran yang terus membesar. Tetapi usaha-usahanya, alih-alih menghentikan proses kemunduran Saudi, justru mempercepatnya dan bahkan memberinya karakter yang lebih meledak-ledak.
Selama puluhan tahun, rejim reaksioner ini hidupnya secara artifisial diperpanjang oleh imperialisme karena peran uniknya sebagai penyuplai minyak untuk AS dan sebagai basis kontra-revolusi utama di dunia Muslim. Disandingi dengan harga minyak yang tinggi, rejim ini dapat mempertahankan dirinya dengan menyogok lapisan-lapisan tribal reaksioner dan religius yang menjadi fondasi basisnya.
Tetapi hari ini faktor-faktor ini telah menghilang. AS hampir swasembada minyak dan krisis ekonomi dunia telah menurunkan harga minyak. Peran kerajaan Saudi dalam relasi dunia telah menurun, dan oleh karenanya kepentingan kelas penguasa Arab Saudi dan AS mulai berpisah. Krisis ini juga menggerus cadangan devisa Saudi, yang memaksa mereka menerapkan kebijakan pengetatan untuk pertama kalinya. Mereka tidak bisa lagi membeli kestabilan sosial dengan menyogok penduduk lokal mereka dengan subsidi mewah dan pekerjaan seumur hidup di sektor publik.
Dalam jangka menengah kombinasi dari semua faktor ini akan melemahkan kestabilan rejim, dan dapat rontok seperti apel busuk kapanpun. Apapun yang akan menggantikan rejim ini tidak akan disukai oleh Washington. Di bawah pengaruh krisis imperialisme AS, tatanan lama di wilayah Timur Tengah yang sebelumnya dibangun oleh imperialisme Inggris dan AS sekarang mulai runtuh.
Seakan-akan semua ini tidak cukup, kebodohan Trump dalam mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan menyetujui perpindahan duta besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem telah menambah elemen eksplosif di Timur Tengah. Ini juga semakin memperdalam perpecahan antara imperialis Eropa dan AS. Imperialis Eropa khawatir kalau kebijakan Trump ini akan mengancam keberlangsungan negosiasi perdamaian, yang tidak seorangpun anggap serius. Imperialisme AS, seperti biasanya, tidak memahami apapun dan tidak punya perspektif sama sekali.
Akan tetapi tidak mungkin Trump mengambil keputusan ini tanpa sepengetahuan dan persetujuan para pemimpin Saudi. Saudi sekarang bersekutu erat dengan Trump dan Israel, dan fokus utama mereka akan menghalau Iran. Mereka harus setuju menikam rakyat Palestina di punggung, sementara mengeluarkan sejumlah pernyataan untuk hadirin di Arab. Pada akhirnya ini akan menjadi paku yang menutup peti mati dari rejim Saudi yang korup dan menjijikkan ini.
Revolusi di Timur Tengah dan Afrika Utara
Revolusi yang menyapu Timur Tengah dan Afrika Utara pada 2011-2013 (Musim Semi Arab) gagal karena ia tidak memiliki kepemimpinan revolusioner. Hari ini gerakan, yang letih dan dipenuhi kebingungan, telah mundur dan membuka ruang bagi reaksi. Bangkitnya reaksi dan kontra-revolusi Islamis di seluruh wilayah terkait dengan surutnya gerakan revolusioner.
Akan tetapi peristiwa-peristiwa di Maroko pada 2017 menunjukkan bahwa revolusi belumlah mati. Pemberontakan di Rif adalah gerakan paling spektakuler di Maroko sejak Revolusi 2011 di Timur Tengah dan Afrika Utara. Insiden yang memercikkan pemberontakan ini adalah terbunuhnya seorang penjual ikan muda di truk sampah oleh polisi. Segera setelah gerakan ini dimulai, gerakan ini melaju dengan sangat cepat dan intens. Gerakan solidaritas dari kelas buruh dan kaum tertindas seluruh Maroko meledak dengan tuntutan-tuntutannya sendiri, yang tidak nasionalis atau sektarian.
Gerakan ini mengantisipasi perkembangan di wilayah ini, dimana tidak ada satupun pemerintah yang stabil. Semua rejim di wilayah ini lemah. Mereka tidak bisa menyelesaikan problem-problem rakyat, yang sangat tertekan. Cepat atau lambat gerakan ini akan bangkit kembali di tingkatan yang lebih tinggi.
Perang Dunia?
Krisis program nuklir Korea Utara membuat banyak orang berbicara mengenai perang dunia. Tetapi ini terlalu prematur. Di bawah kondisi hari ini, perang dunia hampir mustahil karena perimbangan kekuatan kelas dalam skala dunia. Kaum imperialis tidak beranjak perang untuk alasan sepele. Kaum borjuasi menggunakan perang untuk menaklukkan pasar dan meraih pengaruh. Tetapi perang sangatlah mahal dan berisiko. Dan dengan senjata nuklir, risiko ini berlipat ribuan kali. Inilah mengapa AS, kekuatan militer yang paling kuat sedunia, tidak mampu menyatakan perang terhadap Korea Utara yang kecil.
Rusia tidak sekuat AS, tetapi ia adalah kekuatan militer yang ampuh. Dan Rusia bahkan lebih kuat daripada imperialisme Inggris, Prancis, atau Jerman, dalam kekuatan militer konvensional ataupun nuklir. Kekuatan Barat tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah Rusia mencaplok Crimea, yang mayoritas orang Rusia. Kekuatan Barat juga tidak bisa melakukan apapun untuk mencegah Rusia mengintervensi untuk menyelamatkan rejim Assad di Suriah. Kedua kasus ini mengungkapkan limitasi kekuatan imperialisme AS.
Tahun lalu NATO mengirim beberapa ribu tentara ke Polandia sebagai peringatan pada Rusia. Ini seperti lelucon. Rusia membalas dengan menggelar manuver militer paling besar dengan Belarus di perbatasan Polandia. Ini adalah peringatan terhadap NATO. Dari sudut pandang militer, dibandingkan dengan Rusia, kekuatan militer Inggris hari ini hampir tidak signifikasi, begitu juga dengan Prancis dan Jerman.
Di atas segalanya, perimbangan kekuatan kelas dalam skala dunia adalah halangan besar untuk meluncurkan perang besar. Kita harus ingin bahwa sebelum Perang Dunia Kedua dapat terjadi, kelas buruh harus terlebih dahulu mengalami kekalahan telak di Hungaria, Italia, Jerman, dan Spanyol. Tetapi hari ini kekuatan kelas buruh masih utuh. Kelas buruh belum menderita kekalahan serius di negeri-negeri kapitalis maju.
Di AS rakyat pekerja sudah letih dengan petualangan militer. Imperialisme AS terbakar jari-jarinya di Irak dan Afghanistan. Intervensi mereka di sana menumpahkan begitu banyak darah dan menghabiskan banyak uang, tanpa pencapaian sama sekali. Sebagai konsekuensinya, Obama bahkan tidak dapat memerintahkan intervensi militer di Suriah. Dia mencoba melakukan ini, tetapi dia melihat bahwa ini akan memprovokasi perlawanan rakyat. Dia harus mundur. Begitu juga pemerintahan Konservatif Cameron di Inggris.
Tidak akan ada perang dunia di masa mendatang ini, kecuali kalau sebuah rejim totaliter merebut kekuasaan di AS dengan meremukkan kelas buruh AS. Ini akan menandai perubahan kualitatif perimbangan kekuatan kelas. Tetapi dalam masa mendatang yang dekat ini, tidak ada perspektif demikian. Sebaliknya, untuk keseluruhan periode pendulum akan berayun ke kiri.
Trump adalah seorang politisi borjuis reaksioner, tetapi kendati demagogi dari sejumlah aktivis Kiri, dia bukanlah seorang fasis dan tidak berdiri di atas sebuah negara totaliter seperti Hitler. Sebaliknya dia tidak punya kendali atas mesin negara sama sekali. Aparatus negara justru sedang berbenturan dengannya. Dia bahkan tidak memiliki kendali penuh atas Kongres (DPR), walaupun Kongres didominasi oleh Partai Republiken. Pada kenyataannya, kekuasaan Trump sangatlah rapuh. Sang Pemimpin Besar di Rumah Putih kakinya dari tanah liat.
Walaupun perang dunia seperti pada 1914-1918 dan 1939-1945 mustahil di bawah kondisi hari ini, akan selalu ada perang-perang kecil yang sudah cukup mengerikan. Irak adalah perang kecil. Suriah adalah perang kecil. Perang sipil di Kongo memakan korban setidaknya 5 juta orang dan bahkan tidak dimuat di halaman depan koran. Hal semacam ini akan terjadi lagi dan lagi. Sementara menyebarnya terorisme berarti barbarisme ini mulai mempengaruhi Eropa yang “beradab”. Ini yang dimaksud Lenin ketika dia mengatakan bahwa kapitalisme adalah horor tanpa akhir.
Amerika dan Eropa
Yang sesungguhnya mengendalikan Uni Eropa adalah para bankir, birokrat dan kapitalis, dan terutama kapitalisme Jerman. Awalnya UE didominasi oleh Prancis dan Jerman. Kaum borjuasi Prancis bermimpi kalau mereka dapat mendominasi UE dalam ranah politik dan militer, sementara Jerman dapat mendominasi ekonominya. Ini tidak berlangsung lama. Hari ini tidak ada yang dapat membantah kalau kelas penguasa Jermanlah yang mendominasinya sepenuhnya.
Jerman oleh karenanya berbenturan dengan sang pemimpin baru di Gedung Putih. Donald Trump dan Angela Merkel tidak serasi. Ini bukan karena kepribadian mereka. Ini karena slogan elektoral Trump: “Buat Amerika Hebat Kembali.”
Untuk sementara kapitalis Jerman memiliki surplus dagang yang besar. Pada 2016, sekitar $270 miliar, rekor tertinggi. Kita tidak perlu jadi pemenang Nobel dalam ekonomi untuk tahu kalau surplus di satu negeri berarti defisit di negeri lain. Trump setidaknya bisa berhitung dan sama sekali tidak senang dengan angka ini. Dan karena diplomasi bukan talentanya, dia langsung mengatakan ini ke Merkel secara publik.
Trump mengatakan: “Bila Jerman tidak melakukan sesuatu, saya akan memotong impor mobil Jerman ke AS.” Ini adalah ancaman yang berbahaya. Dia dia terus mengikuti jalan ini, ini adalah resep perang dagang. Jerman akan segera membalas, dengan memblokir produk AS. Proteksionisme adalah kebijakan untuk mengekspor pengangguran. Trump mengatakan dia ingin lebih banyak pekerjaan untuk orang Amerika, yang berarti memangkas pekerjaan untuk Jerman, Tiongkok, dan yang lainnya. Inilah akar dari antagonisme antara Washington dan Berlin.
Trump mengunjungi Polandia dan menerima respons yang antusias. Pilihan kunjungannya ini bukanlah kebetulan sama sekali. Relasi antara Polandia dan Jerman telah renggang untuk sejumlah alasan, terutama mengenai masalah kuota imigran. Pada kenyataannya, garis keretakan UE semakin mendalam setiap saat. Negeri-negeri Eropa belakangan ini sering cekcok. Inilah mengapa Trump mengunjungi Polandia, untuk memperdalam kerenggangan antara Jerman dan tetangganya di Timur.
Kunjungan selanjutnya adalah Paris, dan ini juga bukan kebetulan. Trump ingin membentur Prancis dengan Jerman. Macron menyambut Trump dengan bahagia, dan mendorong Amerika untuk menekan Jerman, yang sudah sangat sibuk dengan negosiasi Brexit. Ini menjelaskan mengapa Trump begitu antusias memberikan solidaritasnya dengan London, dengan mengharapkan perjanjian perdagangan di masa depan, yang mungkin iya mungkin tidak akan terealisasi.
Eropa
Para ekonom borjuis cara pandangnya empiris dan impresionistik. Mereka mendeteksi pertumbuhan kecil di Eropa, hanya sekitar satu persen, dan dengan gembiranya mereka memproklamir bahwa krisis Euro telah selesai. Tetapi krisis Euro belumlah selesai. Pada kenyataannya, krisis kapitalisme Eropa semakin mendalam. Kendati sejumlah pertumbuhan kecil, masalah fundamental yang melandasi krisis kapitalisme masih belum selesai.
Para ahli ekonomi IMF menerbitkan laporan yang mengkhawatirkan mengenai kondisi perbankan Eropa. ECB (Bank Sentral Eropa) telah mengucurkan miliaran euro, tetapi ketika krisis tiba, seperti halnya malam mengikuti siang, ini akan mengakibatkan runtuhnya euro dan bahkan mengancam keutuhan UE. Pada 3 Juni 2017, majalah The Economist menulis: “Mata uang [Euro] berubah dari instrumen untuk konvergensi [penyatuan] antar negara menjadi tuas yang memecah belah mereka.” Kalimat ini menunjukkan bagaimana lapisan borjuasi yang pintar memahami apa yang dikatakan kaum Marxis sejak awal.
Krisis imigran memperparah situasi UE yang sudah tidak stabil. Intervensi imperialis di Timur Tengah dan Afrika Utara telah membuka gerbang gelombang imigrasi rakyat jelata yang ingin melarikan diri dari neraka. Krisis imigran ini sangat menekan anggota-anggota UE, terutama negeri-negeri yang paling terekspos oleh kedatangan imigran setiap harinya.
Eropa sangatlah terpecah belah oleh isu ini. Polandia, Hungaria, Slovakia dan Republik Ceko menolak menerima masuk imigran. Masalah ini semakin diperparah oleh migrasi intern al dari negeri-negeri UE yang lebih miskin ke yang lebih kaya, yang pada gilirannya memprovokasi ketegangan bahkan di negeri seperti Jerman, dimana kaum sayap kanan menggunakan masalah imigrasi untuk meraup suara pemilu.
Ini sangatlah kontras dengan situasi setelah 1945, ketika Jerman menyerap influks besar imigran dari Eropa Timur. Pada saat itu kapitalisme sedang tumbuh secara global. Tetapi dalam situasi krisis ekonomi dan stagnasi kekuatan produktif, influks imigran hanya menciptakan kontradiksi baru yang tidak dapat diselesaikan di atas basis kapitalisme. Ini adalah satu lagi faktor ketidakstabilan, yang memperkuat tendensi perpecahan UE.
Brexit
Kecenderungan perpecahan UE juga mengekspresikan dirinya secara dramatik dalam Brexit. Hasil referendum Brexit adalah satu contoh mood kemarahan dan kepahitan yang bergejolak di bawah permukaan di mana-mana. Hasilnya adalah gempa politik.
Para komentator borjuis terkejut ketika kubu Brexit menang. Dan mereka yang terutama paling terkejut adalah para pendukung Brexit itu sendiri. Mereka tidak pernah membayangkan kalau mereka akan menang, dan oleh karenanya tidak punya rencana dan strategi. Bahkan sekarang mereka sama sekali tidak tahu apa yang mereka lakukan. Mayoritas kaum borjuasi Inggris tidak ingin meninggalkan UE, tetapi terpaksa menerima hasil referendum Brexit, yang akan membawa bencana bagi kapitalisme Inggris dan juga menciptakan masalah serius bagi UE.
Brexit telah menciptakan masalah serius di Irlandia. Perbatasan antara Irlandia Selatan yang mandiri dan Irlandia Utara yang adalah bagiannya Inggris Raya dibuat menjadi tidak relevan dengan terbentuknya Uni Eropa. Dengan Brexit, perbatasan ini akan menjadi nyata kembali, ini akan memiliki pengaruh ekonomi yang buruk bagi Irlandia Selatan dan Utara. Sebagai akibatnya, masalah kebangsaan Irlandia dapat bangkit kembali dengan implikasi yang teramat serius. Para politisi sedang bersusah payah untuk mencapai semacam kesepakatan mengenai masalah yang rumit ini. Apa hasilnya masih belum jelas.
Inggris membayangkan kalau Brexit akan mudah dilaksanakan. Tetapi sejak awal tidak demikian. Bahkan bila Merkel ingin bersikap lunak pada Inggris (yang sama sekali tidak jelas), dia tidak bisa karena ini akan memberi contoh buruk pada negara-negara lain yang juga ingin meninggalkan UE. Kekalahan Merkel dalam pemilu baru-baru ini juga semakin memperumit situasi, dimana partai nasionalis dan anti-UE seperti AfD membuntuti di belakangnya. Semua celoteh mengenai “solidaritas Eropa” segera dilupakan, karena timbulnya antagonisme nasional ke permukaan. Hasil Brexit akan menciptakan masalah besar bagi Inggris dan UE.
Yunani
Di Kapital, Marx menjelaskan bahwa selama masa boom kredit mudah didapatkan, tetapi ketika krisis meledak ini menjadi kebalikannya. Para rentenir memburu Yunani. Tetapi mustahil bagi Yunani untuk bisa membayar apa yang dituntut Berlin dan Brussel. Semua ini memilik konsekuensinya. Ini memecut kebencian jelas dan polarisasi di Yunani dan di semua negeri Eropa Selatan.
Setelah satu dekade penderitaan yang tak tertanggungkan, pengetatan, kemiskinan dan kesengsaraan, apa yang telah diselesaikan di Yunani? Bangsa ini telah terjerembap ke dalam krisis. Kaum muda menganggur dan terpaksa emigrasi, sementara yang tua tunjangan pensiunnya dipotong dan terdorong bunuh diri.
Revolusi tidaklah berlangsung dalam garis lurus. Akan ada pasang naik dan surut dan kita harus siap. Setelah bertahun-tahun gerakan pemogokan, protes dan demo, kelas buruh Yunani letih dan kecewa. Mereka akan mengatakan: “Semua orang mengkhianati kami. Kami percaya pada PASOK, tetapi PASOK mengkhianati kami. Kami percaya pada Tsipras [Pemimpin SYRIZA], dan dia juga mengkhianati kami. Apa lagi yang bisa kami lakukan?” Di pemilu yang mendatang, menurut survei SYRIZA hanya akan mendapat 20% atau kurang, menurun daripada sebelumnya. Partai Komunis Yunani akan naik sedikit, tetapi tidak akan mampu mengisi vakum yang ditinggalkan SYRIZA karena posisinya yang sektarian. Otomatis New Democracy (ND) yang akan menang, dan ini berarti koalisi sayap-kanan di seputar ND. Ini akan menjadi sebuah rejim yang tidak stabil, tetapi akan terdorong untuk meneruskan dan memperdalam serangan terhadap kelas buruh tanpa memiliki otoritas dengan kelas buruh. Di bawah kondisi seperti ini akan ada radikalisasi ke kiri yang baru.
Mood demoralisasi yang ada sekarang tidak akan bertahan selamanya dan memiliki karakter transisional. Krisis begitu dalam sehingga buruh dan kaum muda tidak punya pilihan lain selain kembali berjuang. Ledakan baru yang lebih besar sedang dipersiapkan.
Prancis, kebangkrutan politik Tengahnya Macron
Kapitalisme Prancis sudah dalam krisis jauh sebelum 2009. Tetapi pemilu tahun lalu di Prancis tampaknya memberi kaum borjuasi Eropa sedikit ruang bernapas. Mereka takut Marine Le Pen [pemimpin partai nasionalis sayap kanan Front Nasional] akan menang, seperti Trump di AS. Seperti halnya Trump, Le Pen adalah seorang sauvinis reaksioner. Dia juga menentang Uni Eropa, dan terutama setelah Brexit ini membuat khawatir para politisi di Brussel dan Berlin. Yang sesungguhnya membuat takut kaum borjuasi Prancis adalah melejitnya popularitas Melenchon [politisi Kiri] di survei-survei, sampai pada akhir kampanye pemilu, dan karena dia sudah pasti akan menang melawan Le Pen atau bahkan Fillon di putaran kedua, dan kemungkinan bisa menang melawan Macron.
Kebangkitan Melenchon menunjukkan adanya polarisasi ke kiri dan ke kanan. Jean-LucMelenchon hampir mengalahkan Le Pen, dan dia sudah pasti bisa mengalahkannya kalau saja bukan karena kebodohan kriminal dari para sekte “Trotskis” di Prancis. Kalau suara kedua partai “Trotskis” kecil ini (New Anticapitalist Party dan Lutte Ouvrier) digabungkan dengan suaranya Melenchon, maka Melenchon dan bukannya Le Pen yang akan maju ke putaran dua.
Benturan langsung antara Melenchon versus Macron pada putaran kedua akan mengubah semuanya. Tetapi ini dicegah oleh kaum sektarian ini dengan taktik memecah suara kiri. Mereka bisa saja memulai kampanye mereka dengan program revolusioner, dan lalu mundur untuk memberi suara mereka ke Melenchon. Mereka tidak melakukan ini karena mereka adalah sektarian tipikal yang menaruh kepentingan sekte kecil mereka di atas kepentingan umum kelas buruh Prancis.
Pada akhirnya Macron menang dan kaum borjuasi bisa lega bernapas. Akhirnya kaum ekstrem [kanan dan kiri] dikalahkan dan kaum Moderat menang! Kabar gembira ini menyebar dari Paris ke Berlin, ke Roma, dan bahkan di London mereka membuka botol sampanye. Kaum Tengah telah menang, tetapi apa yang mereka maksud dengan Tengah? Mereka maksud adalah kaum Kanan yang berkedok menutupi watak mereka yang sesungguhnya dan berpura-pura.
Macron naik ke tampuk kekuasaan di atas basis disintegrasi dua partai utama yang sebelumnya meraup mayoritas suara, Partai Sosialis (PS) dan Partai Republiken. Di pemilu ini, kaum Sosialis kalah telak dan kaum Republiken juga kalah, dan tidak maju ke putaran dua pilpres. PS mungkin akan berakhir seperti PASOK di Yunani. Kaum Republiken sayap kanan juga porak-poranda: para pemimpin utamanya telah hengkang dan bergabung dengan Macron; yang lain pecah ke dalam berbagai faksi lainnya.
Partai Komunis juga telah menjadi lebih lemah karena koalisinya dengan PS yang telah terdiskreditkan, dan sekarang telah menjadi elemen marginal dalam perpolitikan Prancis. Di sisi lain, Front Nasional, kendati kalah dalam pemilu, memenangkan 1,3 juta suara lebih banyak dibandingkan pada 2012. Tetapi La France Insoumise, partainya Melenchon, meraup 3 juta suara dan sekarang, bersama-sama dengan serikat buruh, adalah oposisi utama terhadap kebijakan Macron. Di sebuah survei opini pada October, 35% memilih La France Insoumise sebagai partai oposisi utama, 13% memilih Front National dan hanya 2% untuk PS dan Partai Komunis Prancis! Partainya Melenchon sekarang adalah oposisi utama di parlemen dan di jalanan.
Tidak benar kalau Macron memenangkan mayoritas absolut. Mayoritas rakyat, termasuk yang abstain atau golput, tidak memilih Macron! Dan “mayoritas diam” tidak akan diam untuk selamatnya. Tidak butuh waktu lama bagi Macron untuk mengekspos dirinya, karena dia segera mengkonfirmasikan niatnya untuk mengubah UU Perburuhan agar lebih mudah memecat buruh.
Marx mengatakan bahwa Prancis adalah negeri dimana perjuangan kelas selalu diperjuangkan sampai garis finis. Kebenaran dari pernyataan ini akan segera menjadi jelas bagi semua orang. Kita akan saksikan demo-demo besar, pemogokan dan pemogokan umum. Pengulangan 1968 bukan sesuatu yang mustahil, dan ini implisit dalam situasi hari ini.
Italia
Yunani adalah mata rantai terlemah kapitalisme Eropa. Spanyol hanya satu langkah di belakang Yunani. Italia hanya satu langkah di balik Spanyol. Dan Prancis hanya satu langkah di belakang Italia. Perekonomian Italia telah stagnan sejak ledakan ekonomi 2008. Banyak perusahaan kecil dan menengah yang bangkrut dan tidak mampu membayar hutang mereka.
Sistem perbankan Eropa ada dalam kondisi yang carut marut. Perbankan Eropa dibebani hutang, dan hanya mampu bertahan karena ditopang oleh Bank Sentral Eropa (ECB). Situasi seperti ini tidak bisa berlangsung selamanya, karena ECB ditanggung oleh Jerman. Dan Jerman tidak siap membiayai defisit dari negeri-negeri Eropa Selatan lewat kontribusi mereka ke ECB.
Di Italia, ada krisis perbankan besar. Kenyataannya bank-bank di Italia secara efektif sudah bangkrut. Menurut undang-undang UE, pemerintah tidak boleh membailout bank, tetapi Italia adalah pengecualian. Bila perbankan Italia runtuh, ini dapat menyeret seluruh sistem keuangan Eropa. Tetapi bailout ilegal tidak menyelesaikan masalah fundamental yang merudung Italia. Italia ada dalam krisis yang mendalam, tidak hanya dalam ekonomi dan finans, tetapi juga politik.
Kepercayaan terhadap partai-partai politik runtuh. Ini terungkap jelas dalam referendum reforma konstitusi pada Desember 2016, dimana Renzi kalah telak. Masalah yang dihadapi oleh kelas borjuasi Italia adalah mereka tidak memiliki pemerintah yang kuat. Tetapi bagaimana mungkin mereka bisa punya pemerintah yang kuat kalau mereka bahkan tidak memiliki partai yang kuat? Sebelumnya mereka punya partai Demokrasi Kristen, tetapi partai ini sudah habis. Partai Forza Italia yang dipimpin Berlusconi juga sudah lemah. Dan Partai Demokratik, sebuah partai borjuasi yang dibentuk dari merger antara selapisan Partai Komunis lama dengan apa yang tersisa dari Demokrasi Kristen dan organisasi-organisasi borjuis kecil lainnya, dalam fase penurunan.
Ada proses fragmentasi penuh dari kekuatan partai politik “Kiri”, dimana keseluruhan dukungan mereka bahkan tidak mencapai 7 persen dalam survei opini. Di masa lalu, kelas penguasa Italia dapat mengandalkan para pemimpin Partai Komunis Italia untuk menahan kelas buruh. Tetapi karena puluhan tahun degenerasi Stalinis dan serangkaian pengkhianatan terhadap kelas buruh, Partai Komunis Italia yang dulu kuat kini telah hancur sepenuhnya.
Dalam kekosongan seperti ini kita saksikan munculnya Beppe Grillo dan Gerakan Lima Bintangnya. Ini adalah gerakan protes, yang komposisi utamanya adalah borjuis kecil dengan berbagai macam kebijakan yang bingung, dan sejumlah kebijakan mereka bersifat reaksioner. Pada kenyataannya, ini bukan partai sama sekali, dan tidak memiliki struktur. Dan program utamanya adalah menolak Euro. Tetapi karena absennya alternatif Kiri, Gerakan Lima Bintang menarik suara kelas buruh karena slogan anti status quo mereka, yakni “Tendang keluar mereka semua!”
Gerakan Grillo adalah sebuah fenomena yang tidak stabil dan penuh kontradiksi, dan kemungkinan besar tidak akan bertahan lama. Kontradiksi-kontradiksi internalnya akan segera muncul ke permukaan dan gerakan ini akan segera memasuki krisis. Mustahil mengatakan sekarang bagaimana situasi ini akan berkembang tepatnya, tetapi jelas ini bukan situasi yang menguntungkan bagi kelas borjuasi Italia.
Kelas buruh Italia, di lain pihak, memiliki tradisi revolusioner yang luar biasa. Krisis kapitalisme Italia niscaya akan melahirkan ledakan-ledakan baru dan tanpa-preseden seperti Mei 1968 di Prancis atau Musim Gugur Panas di Italia pada 1969. Kalau batalion besar proletar mulai bergerak, seluruh situasi ini akan dengan cepat berubah, dengan munculnya formasi-formasi politik baru dengan karakter yang sangat kiri dan radikal, seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelum dan sesudah 1969.
Spanyol
Kendati pemulihan ekonomi parsial, krisis rejim yang dimulai pada 2008 sama sekali belum terselesaikan. Tahun-tahun krisis ekonomi, tingkat pengangguran massal dan serangan terhadap taraf hidup rakyat, dikombinasikan dengan skandal-skandal korupsi, telah menciptakan krisis legitimasi akut terhadap keseluruhan rejim borjuis demokratik Spanyol. Siklus panjang mobilisasi massa pada 2011-2015 pada akhirnya menemukan ekspresi politiknya dengan lahirnya dan bangkitnya Podemos, yang pada pemilu 2016 meraup 21% suara.
Pemerintahan PP (Partido Popular) yang kanan sangatlah rapuh dan harus mengandalkan kaum nasionalis Basque untuk meraih mayoritas di DPR. Mayoritas ini telah dilemahkan oleh skandal-skandal korupsi. Bila kaum Kiri bersatu, rejim ini sudah pasti akan tumbang. Tetapi para pemimpin Podemos dan Izquierda Unida telah menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk menawarkan alternatif yang serius. Sementara Pedro Sanchez, pemimpin “kiri” PSOE telah menyebrang ke sisi nasionalisme Spanyol yang reaksioner. Sekarang, setelah hasil pemilu Catalan pada 21 Desember, dimana Ciodadanos tampil sebagai partai pertama, kelas penguasa Spanyol semakin mendukung partai sayap kanan baru ini, yang sama reaksionernya dengan PP, tetapi tampil dengan pemimpin-pemimpin baru dan tanpa beban skandal korupsi dan program-program anti-sosial yang telah diakumulasi oleh PP.
Masalah Catalan telah menjadi katalis yang mengungkapkan krisis politik Spanyol. Semua partai Kiri kini pecah dan dalam krisis. Kaum sayap kanan menyebar luas sentimen anti-Catalan yang reaksioner dan nasionalisme Spanyol untuk memobilisasi lapisan rakyat paling terbelakang dan Kiri tidak punya jawaban terhadap ini. Oleh karenanya, Ciudadanos dan PP mungkin akan menang di pemilu mendatang.
Ini harga yang harus dibayar oleh kaum Kiri Spanyol karena pengkhianatan para pemimpin PCE (Partai Komunis Spanyol) dan PSOE (Partai Sosialis Spanyol) empat dekade yang lalu ketika mereka menyetujui Konstitusi 1978 yang reaksioner, yang mempertahankan aparatus negara Franco yang lama, Monarki, dominasi Gereja Katolik Roma dan aparatus penindas negara lama, yang mereka sepuhi dengan “demokrasi”.
Watak brutal negara Spanyol terungkap oleh represi kejam terhadap rakyat Catalonia, yang satu-satunya “kejahatan” mereka adalah keinginan mereka untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Sekarang semua setan lama muncul kembali. Masyarakat Spanyol terpecah seperti 40 tahun yang lalu. Kaum muda dan lapisan kelas buruh yang paling maju memahami watak reaksioner dari Konstitusi 1978 dan siap berjuang melawannya.
Hari ini massa telah menunjukkan semangat perjuangan mereka di jalan-jalan Barcelona. Esok hari gilirannya buruh dan kaum muda Euskadi, Asturia, Seville dan Madrid. Kekalahan dan kemunduran adalah hal yang terelakkan, sebagai konsekuensi dari kebodohan, kepengecutan dan kepicikan dari kepemimpinan yang ada. Tetapi buruh dan kaum muda Spanyol, yang telah berulang kali menunjukkan kemauan mereka untuk berjuang, akan mempelajari pelajaran-pelajaran baru.
Ada banyak kekalahan juga di masa lalu, seperti dua tahun gelap yang menyusul kekalahan Komune Asturian 1934. Tetapi kekalahan hari ini tidaklah sama dengan kekalahan itu. Hari ini kekuatan kelas buruh masih utuh, sementara basis reaksi teramat lemah dibandingkan dulu kala: tidak ada Legiun Moorish, tidak ada kaum tani Carlist yang reaksioner, dan para pelajar yang dulu berbondong-bondong bergabung dengan Falange [sebuah partai Fasis Spanyol pada tahun 1930an] kini secara solid ada di belakang barisan kelas buruh dan Kiri.
Dalam periode revolusioner, kekalahan macam ini adalah pembukaan untuk gejolak yang baru. Dalam aksi, di jalan-jalan, di pabrik-pabrik dan di kampus-kampus, mereka akan menemukan kembali tradisi revolusioner 1931-37 dan tradisi perjuangan melawan kediktatoran Franco. Spanyol dalam periode selanjutnya akan berada di barisan depan perjuangan revolusioner Eropa.
Catalonia
Usaha Catalonia untuk memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri mereka adalah tantangan paling serius terhadap rejim 1978. Ada beragam elemen yang terlibat. Yang terutama adalah kelas penguasa Spanyol yang reaksioner dan terbelakang, beserta negaranya, yang merupakan warisan era Franco. Mereka menganggap setiap usaha yang mempertanyakan kesatuan Spanyol sebagai tantangan terhadap keseluruhan rejim mereka, yang lalu dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain (mengenai Monarki, kebijakan pengetatan, dsb.) Oleh karenanya mereka siap menggunakan seluruh kekuatan mereka untuk menghancurkan usaha menggelar referendum: represi polisi, menyita kotak suara, menutup TPU, membubarkan pemerintahan Catalonia dan menangkapi anggota-anggota pemerintahan Catalonia, dsb.
Di lain pihak, pemerintahan Catalan, yang terdiri dari kaum nasionalis borjuis dan borjuis-kecil, telah kehilangan dukungan dari kelas borjuasi Catalan (para bankir dan kapitalis) yang menentang kemerdekaan Catalonia. Para politisi nasionalis ini melihat referendum hanya sebagai cara untuk menekan pemerintahan Madrid dan mendapatkan konsesi, atau setidaknya sebagai cara untuk menekan dan memaksa UE untuk mengintervensi dan mendorong pemerintahan Spanyol untuk mengorganisir sebuah referendum yang disetujui semua pihak. Dalam kasus partai nasionalis borjuis PDeCAT (atau CDC), yang sudah terdiskreditkan karena kebijakan pengetatan sayap-kanan, represi dan skandal korupsi, mereka gunakan referendum secara sinis untuk meraup dukungan agar tetap berkuasa. Partai-partai ini tidak siap menggunakan metode revolusioner untuk bisa memenangkan hak menentukan nasib sendiri.
Mereka semua terpaksa melangkah lebih jauh dari apa yang mereka inginkan karena ledakan gerakan massa, sebuah faktor ketiga yang tidak mereka perkirakan. Pada 20 September, 40 ribu massa turun ke jalan menentang aparat polisi yang melakukan penggeledahan gedung-gedung pemerintah; pada 1 Oktober, ketika ratusan ribu rakyat mengorganisir untuk memastikan agar referendum tetap berlangsung dan 2 juta memberikan suara mereka; dan pada 3 Oktober, ketika jutaan berpartisipasi dalam pemogokan umum menentang represi polisi yang brutal. Massa secara paksa memasuki arena perjuangan dan mulai sadar akan kekuatan mereka sendiri. Ini menaruh pemerintahan Catalonia dalam posisi yang mustahil. Mereka terpaksa mendeklarasikan Republik, tetapi mereka tidak siap melakukan apa yang diperlukan untuk mempertahankan Republik ini: mobilisasi massa di jalan-jalan, okupasi gedung-gedung pemerintah, pemogokan umum, perlawanan terhadap polisi Spanyol. Dalam kata lain, yang dibutuhkan adalah pemberontakan revolusioner. Inilah mengapa mereka ragu, bimbang, dan tidak tegas setelah referendum dan setelah proklamasi republik yang “menggantung” pada 10 Oktober; inilah mengapa mereka terus menyerukan negosiasi dan hampir mengkhianati gerakan pada 25 Oktober; inilah mengapa pada 27 Oktober proklamasi Republik Catalan mereka lembek, dan setelah itu mereka kabur.
Sementara, massa yang berpartisipasi dalam gerakan (selapisan kelas buruh, kaum muda terutama, dan lapisan kelas-menengah dan borjuis-kecil yang adalah tulang punggung gerakan demokratik ini) telah menjadi semakin kritis terhadap pemimpin mereka. Munculnya Komite Pertahanan Republik dan peran yang mereka mainkan pada pemogokan umum 8 November menunjukkan jalan ke depan. Pembentukan Republik Catalan adalah sebuah tuntutan demokratik dasar yang menantang keseluruhan bangunan rejim Spanyol. Kaum Marxis mendukung perjuangan untuk Republik Catalan tetapi kita punya tanggung jawab untuk menjelaskan kalau ini hanya dapat dimenangkan lewat cara revolusioner. Ini membutuhkan kepemimpinan yang berbasis kelas buruh. Terlebih lagi, kita harus memenangkan kaum buruh berbahasa-Spanyol di Catalan, yang hanya bisa terjadi kalau perjuangan Republik ini dihubungkan dengan perjuangan untuk lapangan pekerjaan, perumahan, dan perjuangan menentang pengetatan, dan perjuangan Republik Catalan harus dilihat sebagai bagian dari perjuangan yang lebih luas di seluruh Spanyol dalam melawan rejim 1978. Slogan yang merangkum semua gagasan ini adalah “Republik Sosialis Catalan sebagai percikan untuk revolusi Iberian.”
Pemilu 21 Desember tidak menyelesaikan apapun. Pada kenyataannya, rejim monarkis Spanyol kalah dan para pendukung kemerdekaan mendapatkan mayoritas di parlemen regional dan kemungkinan akan mengendalikan pemerintahan Catalonia. Dalam ranah parlemen, kita kembali lagi ke situasi yang serupa seperti sebelum Referendum 1 Oktober. Dengan pasang naik dan surut, gerakan nasional demokratik akan terus berlanjut. Tugas kaum Marxis adalah mengintervensi secara energetik dan meraih lapisan muda yang paling maju yang sudah menarik kesimpulan-kesimpulan revolusioner.
Inggris: Fenomena Corbyn
Tidak lama yang lalu, Inggris adalah salah satu negeri yang paling stabil di Eropa. Sekarang ia telah menjadi salah satu yang paling tidak stabil, dengan guncangan silih berganti. Di Skotlandia masalah kebangsaan telah sedikit surut setelah kebangkitan Corbyn, tetapi masalah ini belum terselesaikan dan dapat muncul kembali dengan kekuatan yang lebih besar bila ada krisis ekonomi yang baru. Di balik permukaan yang tenang ada perasaan kemarahan, kegeraman dan terutama frustrasi yang bergolak, sebuah kehendak membara untuk mengubah kondisi yang ada, tetapi tidak ada titik referensi yang jelas.
Perubahan kesadaran ini akhirnya terekspresikan dalam kebangkitan luar biasa Jeremy Corbyn. Pada 2015 Jeremy Corbyn terpilih sebagai pemimpin Partai Buruh secara kebetulan, tetapi segera menemui oposisi besar dari sayap Blairite.
Theresa May melihat ini dan menarik kesimpulan. Dia serukan pemilu cepat pada Juni 2017, karena dia begitu yakinnya dapat meraih mayoritas besar dan meremukkan Partai Buruh. Sayap Blairite dalam Partai Buruh diam-diam berharap Partai Buruh kalah telak, yang mereka lihat sebagai satu-satunya cara untuk menyingkirkan Jeremy Corbyn, dan mereka mencoba menyabot kampanye pemilu Partai Buruh.
Semua orang memprediksikan kemenangan besar Partai Konservatif. Tetapi yang kalah justru adalah Partai Konservatif, media massa dan sayap kanan Partai Buruh.
Segera setelah kampanye pemilu dimulai, Jeremy Corbyn menggelar rapat-rapat akbar yang antusias, yang terutama menarik kaum muda. Corbyn mengeluarkan program partai yang paling kiri dalam puluhan tahun terakhir, dan dia segera menyentuh mood kekecewaan masyarakat. Tidak ada yang memprediksikan gempa politik ini.
Ratusan ribu orang, terutama kaum muda, bergabung dengan Partai Buruh. Keanggotaan Partai adalah 180 ribu sebelum Corbyn terpilih. Sekarang keanggotaan telah mencapai 570 ribu, dan ini membuat Partai Buruh menjadi partai terbesar di Eropa. Semua orang dapat melihat bahwa pemenang sesungguhnya dalam pemilu ini adalah Corbyn. Dia menikmati dukungan akar rumput yang luar biasa besar.
Pada konferensi Partai Buruh di September 2017, sayap kanan kalah telak, yang menunjukkan bagaimana sayap kiri telah memenangkan mayoritas dalam ranting-ranting partai. Kendati demikian, anggota parlemen nasional dan munisipal, dan terutama aparatus staf partai ada di bawah kendali sayap kanan. Kelas penguasa dan para agennya tidak akan begitu saja menyerahkan kontrolnya terhadap Partai Buruh, tetapi untuk sementara mereka terpaksa mencampakkan usaha menyingkirkan Corbyn dan harus menunggu waktu yang tepat.
Mood pemberontakan yang ada di bawah permukaan ini sedang mencari penyalurannya. Di Inggris mood ini tersalurkan lewat Corbyn, dan kaum Marxis Inggris harus mengorientasikan kekuatan mereka ke gerakan ini. Tetapi sementara kita mendukung Corbyn dalam melawan sayap kanan, kita juga harus, dengan cara yang positif dan bersahabat, menjelaskan dengan sabar keterbatasan programnya Corbyn dan perlunya sebuah program revolusioner yang menyeluruh untuk transformasi sosialis.
Pada pemilu mendatang, kemungkinan besar Partai Buruh akan menang dan Corbyn akan membentuk pemerintah. Setiap usaha untuk mengimplementasikan reforma yang ada dalam programnya akan disambut dengan penolakan keras dari kelas penguasa dan sabotase aktif dari sayap Blairite. Bagian programnya yang lebih radikal juga akan dijinakkan. Selapisan kelas penguasa punya rencana untuk mengubah peta politik Inggris, dengan membentuk sebuah formasi atau koalisi sentris baru, dengan partisipasi dari “sayap kiri” Partai Konservatif dan sayap kanan Partai Buruh. Ini bukan perspektif jangka pendek, tetapi dapat diluncurkan untuk merobohkan pemerintahan buruh pimpinan Corbyn. Namun dalam periode polarisasi politik dan krisis ekonomi, sebuah partai atau koalisi sentris basisnya sangat kecil. Pengalaman dalam pemerintah dan kemungkinan perpecahan dalam partai akan menyiapkan landasan untuk radikalisasi lebih lanjut dalam barisan Partai Buruh.
Rusia
Gejolak di Ukraina dan aneksasi Krimea memiliki pengaruh signifikan pada seluruh spektrum politik Rusia. Tetapi euforia nasionalis pada 2014, ketika popularitas Putin mencapai 84%, telah perlahan-lahan kempes. Jatuhnya harga minyak dan juga sanksi ekonomi Barat (dalam tingkatan lebih rendah) telah melemahkan nilai mata uang Rusia dan menyebabkan inflasi 13% pada 2015.
Tingkat suku bunga Bank Sentral yang tinggi, serta sanksi-sanksi ekonomi yang diterapkan oleh Barat, telah memukul sektor finansial dengan sangat serius, yang mengakibatkan bangkrutnya lusinan bank. Menghadapi situasi ini pemerintah menggunakan cadangan keuangan mereka untuk mendukung kelompok-kelompok finans dan industri terbesar yang punya hubungan dekat dengan negara, yang mengakibatkan konsentrasi kapital lebih lanjut.
Di lain pihak, pemerintah menggunakan kebijakan administratif untuk memerangi pengangguran, dengan melarang pemecatan massal. Untuk mengurangi defisit anggaran, sejumlah kebijakan yang sangat efektif diperkenalkan, yang ditujukan untuk mengurangi korupsi dan penghindaran pajak. Kebijakan ini terutama memukul lapisan borjuis kecil dan menengah, terutama perusahaan-perusahaan keluarga kecil seperti para pemilik truk dan jasa pengiriman.
Selain alasan ekonomi murni, Putin juga merespons mood protes di antara strata menengah di kota-kota besar dimana dia paling tidak populer. Di sini, Putin bertindak dengan prinsip “untuk sahabat saya semuanya diperbolehkan – untuk musuh saya, kekuatan penuh hukum.”
Pada saat yang sama, reforma sistem pendidikan tinggi juga diimplementasikan, yang memperburuk posisi para guru dan pengajar yang Putin anggap tidak loyal. Dengan cara ini Putin mampu mempertahankan dukungan dari lapisannya sendiri, dari antara para pensiunan, dan pekerja gaji-rendah dengan mengorbankan lapisan kelas menengah di kota-kota besar. Kekecewaan dari lapisan kelas menengah ini menemukan ekspresi politiknya lewat seorang demagog borjuis, Alexei Navalny.
Setelah 2014, semua partai parlementer, termasuk Partai Komunis Federasi Rusia (CPRF), mengadopsi posisi mendukung Putin sepenuhnya, mendukung semua RUU yang diajukan pemerintah. Tentu saja ini tidak meningkatkan popularitas CPRF. Selama sepuluh tahun CPRF terus dalam krisis. Ada pemburuan permanen dimana orang-orang dipecat dengan tuduhan fitnah “Trotskisme”, walaupun mereka semua adalah pendukung setia Zyuganov [ketua CPRF].
Keanggotaan CPRF di Moskow, St. Petersburg, dan kota-kota besar lainnya jatuh sebesar dua pertiga. Ini menciptakan vakum dalam gerakan oposisi terhadap Putin, yang lalu diisi oleh Navalny. Dia adalah seorang demagog tipikal, yang mencitrakan dirinya sebagai “pemimpin wong cilik”, dan mengkopi tradisi Amerika. Tetapi dia berbeda dengan kaum oposisi lainnya. Basis kampanyenya adalah penggunaan media sosial dan terutama YouTube, dimana dia mengunggah video-video mengenai korupsi di jajaran petinggi pemerintah.
Navalny sendiri telah dirampas haknya untuk ikut pilpres karena dua tuduhan korupsi. Sekali-sekali Navalny menyerukan para pendukungnya untuk turun ke jalan. Skala mobilisasi ini sekitar 100 ribu orang yang tersebar di kota-kota besar. Kebanyakan adalah kaum muda, yang tertarik pada keteguhan Navalny dan talentanya dalam menggunakan media sosial.
Selama satu tahun terakhir, Putin berhasil membendung inflasi, dan secara umum menanggulangi krisis, setidaknya untuk sementara. Akan tetapi, dengan harga minyak hari ini, defisit anggaran Rusia tetap tinggi dan dalam 2-5 tahun cadangan uangnya akan habis, sementara peluang Rusia untuk meminjam uang minimal. Bila harga minyak tetap rendah selama tiga atau empat tahun ke depan, seluruh situasi ini dapat berbalik.
Bila momen ini tiba, Putin (yang jelas akan terpilih kembali menjadi presiden) akan menghadapi problem serius. Pemerintah tidak akan lagi bisa menyelesaikan masalah defisit anggaran tanpa memotong pengeluaran publik. Pada momen ini popularitasnya akan menguap dengan cepat. Inilah mengapa Putin menggunakan setiap kesempatan yang ada sekarang untuk memperketat kendalinya terhadap internet, dan menerapkan berbagai restriksi terhadap kebebasan berpendapat dan hak-hak demokratik lainnya.
Untuk sementara waktu Putin masih punya ruang untuk bermanuver. Dia dapat menghindari kebijakan pengetatan atau menurunkan secara drastis taraf hidup rakyat. Inilah mengapa kubu oposisi masih belum berhasil memobilisasi elemen-elemen proletariat.
Pada tahapan ini, yang berpartisipasi secara terbuka di jalan-jalan kebanyakan adalah kelas menengah dan borjuis kecil. Walaupun Navalny telah mengedepankan tuntutan meningkatkan upah minimum, dia belum berhasil membangun koneksi dengan masalah-masalah sosial. Ada batas seberapa jauh kubu oposisi dapat berhasil menang di atas basis tuntutan demokratik dan pemberantasan korupsi.
Kendati demikian, banyak kaum muda yang telah bergabung dengan kubu oposisi, terutama pelajar dan mahasiswa. Mereka telah turun ke jalan dengan jumlah signifikan. Ini adalah perkembangan penting. Sejarah Rusia menunjukkan bahwa terbangunnya kaum muda adalah antisipasi gerakan kelas buruh di masa depan. “Angin selalu menggoyangkan ranting-ranting atas pohon terlebih dahulu.”
Eropa Timur dan Balkan
Kebangkitan nasionalisme sayap-kanan dan retorika anti-imigrasi di Eropa Timur adalah usaha pemerintah untuk mengalihkan perhatian massa dari kesulitan yang terus tumbuh karena taraf hidup rendah dan beban krisis kapitalis yang diderita oleh massa rakyat, dalam situasi dimana kelas buruh masih belum memasuki arena perjuangan secara menentukan.
Tingkat pertumbuhan PDB yang tinggi, relatif dibandingkan dengan negeri-negeri Eropa Barat, menutupi realitas eksploitasi ekstrem yang dialami oleh kelas buruh bertalenta di bawah rejim upah murah, yang dipaksakan untuk memaksimalkan profit kapitalis dan investasi asing. Studi termutakhir dari Institut Serikat Buruh Eropa (“Mengapa Eropa sentral dan timur membutuhkan kenaikan upah”) menunjukkan perbedaan upah antara Eropa Barat dan Timur, yang sampai pada 2008 perlahan-lahan menyempit, tetapi telah meningkat kembali selama 10 tahun terakhir.
Sebagai konsekuensinya, ada tanda-tanda radikalisasi di antara kaum muda, yang gejala pertamanya adalah mobilisasi melawan korupsi di sejumlah negeri, yang merefleksikan sikap penolakan yang semakin besar terhadap seluruh tatanan. Seksi-seksi kunci kelas buruh juga telah mulai bergerak – dalam banyak kasus untuk pertama kalinya sejak runtuhnya rejim Stalinis – dan melakukan pemogokan-pemogokan penting demi kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja.
Di Slovakia, ratusan ribu pelajar demo pada April 2017 menuntut turunnya Perdana Menteri Robert Fico yang terlibat korupsi. Ini disusul dengan pemogokan besar 12 ribu buruh di tiga pabrik mobil VW di Bratislava pada Juni, yang memenangkan kenaikan upah 14%. Kenaikan upah sebesar 7% juga diberikan pada buruh pabrik mobil KIA dan Peugeot untuk mencegah pemogokan, karena khawatir gerakan ini akan menyebar.
Kita juga saksikan gerakan-gerakan penting yang menentang kebijakan reaksioner. Di Polandia, serangan yang diluncurkan oleh pemerintah kanan di sana terhadap apa yang tersisa dari hak aborsi memercikkan gerakan Protes Hitam dari puluhan ribu kaum perempuan pada Oktober 2016, yang memaksa pemerintah untuk mundur.
Di wilayah bekas Yugoslavia, proses radikalisasi lebih maju. Ada mood penolakan terhadap rejim borjuis reaksioner yang korup di antara kaum muda dan kelas buruh, yang jelas terekspresikan dalam gerakan insureksioner pada Februari 2014 di Bosnia. Selama satu tahun terakhir ada sejumlah pemogokan penting. Pemogokan penuh 2.400 buruh pabrik FIAT di Kragujevac pada Juli 2017 adalah yang paling signifikan dari sejumlah pemogokan radikal di pabrik-pabrik yang lebih kecil. Serangkaian pemogokan dan protes juga dilakukan oleh buruh rel kereta api di Bosnia.
Gerakan protes kaum muda terhadap kemenangan Vucic di pilpres Serbia pada April 2017, walaupun didominasi oleh ilusi borjuis kecil, telah mengungkapkan semakin banyaknya kaum muda yang terbuka pada gagasan revolusioner. Potensi bagi kaum Marxis Yugoslavia ditunjukkan oleh kenyataan bahwa mereka memainkan peran kepemimpinan di gerakan protes di Novi Sad.
Amerika Latin
Kekalahan elektoral Kirchner di Argentina, kekalahan PSUV di pemilu Majelis Nasional di Venezuela, kekalahan Evo Morales dalam referendum di Bolivia dan dipecatnya Dilma di Brasil telah membuat putus asa dan patah semangat kaum reformis dan kaum intelektual “progresif” di Amerika Latin. Mereka berbicara mengenai “gelombang konservatif” dan bangkitnya kontra-revolusi, tanpa memahami proses yang sesungguhnya sedang bergulir.
Selama 10 sampai 15 tahun terakhir, mayoritas Amerika Selamat mengalami gelombang revolusioner, yang melanda berbagai negeri dengan intensitas yang berbeda-beda. Chavez terpilih di Venezuela pada 1998 dan peristiwa revolusioner dengan dikalahkannya kudeta reaksioner pada April 2002 dan perjuangan melawan lockout pada Desember 2002-Januari 2003; Argentinazo pada 2001; pemberontakan di Ekuador pada 2000 menumbangkan Mahuad, lalu menumbangkan Lucio Gutierrez pada 2005, yang mengarah ke terpilihnya Correa pada 2016. Di Bolivia ada “perang air” Cochabamba pada 1999-2000 dan kemudian pemberontakan Perang Gas pada Oktober 2003 dan Juni 2005, yang mengarah pada terpilihnya Evo Morales. Di Peru ada pemberontakan Arequipazo di selatan pada 2002.
Kita juga bisa menambahkan gerakan masif melawan kecurangan pemilu di Meksiko pada 2006 dan gerakan komune Oaxaca pada tahun yang sama; gerakan pelajar Chile; mobilisasi massa melawan kudeta di Honduras pada 2009; dan bahkan terpilihnya Lula di Brasil pada 2002, yang walaupun bukan sebuah peristiwa revolusioner tetapi merefleksikan kehendak massa akan perubahan fundamental.
Sebagai hasil sampingan dari gerakan buruh (dan di sejumlah negeri juga gerakan massa tani) yang besar ini kita saksikan munculnya pemerintah-pemerintah yang secara umum “progresif” atau “revolusioner”. Jelas mereka berbeda satu sama lain. Misalnya, Chavez, dengan cara yang bingung, meraba-raba untuk maju menuju perubahan revolusioner, sementara EvoMorales, Correa dan Kirchner di Argentina berusaha mengembalikan ketertiban setelah masuknya massa ke arena politik, dan Lula dan Dilma adalah reformis yang ketika berkuasa lalu meluncurkan program kontra-reforma. Kaum Kiri di El Salvador hampir tidak punya ruang untuk bermanuver dan mulai membatalkan sejumlah reforma kecil mereka, yang lalu membuat massa kecewa dengan FMLN. Mood kekecewaan ini lalu digunakan oleh gubernur San Salvador, Nayib Bukele, yang telah dipecat dari FMLN dan mendapat simpati luas di antara kaum muda.
Akan tetapi, semua rejim ini menikmati kestabilan pada tingkatan tertentu untuk waktu yang lama. Secara parsial ini karena kekuatan gerakan massa, yang tidak dapat dikalahkan oleh kelas penguasa dalam konfrontasi langsung (kudeta 2002 di Venezuela, 2008 di Bolivia dan 2010 di Ekuador dikalahkan oleh rakyat). Di atas segalanya, rejim-rejim ini diuntungkan oleh harga bahan mentah dan minyak yang tinggi yang mengizinkan mereka untuk meluncurkan sejumlah program sosial dan menghindari benturan langsung dengan massa.
Didorong oleh pertumbuhan ekonomi di Tiongkok, harga bahan-bahan mentah naik dari tahun 2003 hingga 2010. Harga minyak bumi naik dari $40 per barel ke $100. Gas alam yang sebelumnya $3/MMBtu naik menjadi sekitar $8-18. Kacang kedelai melonjak dari $4 hingga memuncak ke $17/bu. Zinc (seng) melonjak dari titik rendah $750/mt sampai ke rekor tinggi $4600, tembaga dari $0.60 per pon ke $4.50 dan timah dari $3700/mt ke $33000/mt.
Boom harga komoditas dan energi yang memberi rejim-rejim ini ruang untuk bermanuver berakhir dan mendorong wilayah ini ke resesi pada 2014-15. Inilah akar ekonomi yang menyebabkan kekalahan elektoral (dan kekalahan-kekalahan lainnya) dari rejim-rejim ini, yang sejak awal beroperasi dalam batas-batas kapitalisme.
Dengan bangkitnya Revolusi Venezuela, perekonomian Kuba mendapat sedikit ruang bernapas. Ini telah berakhir. Perekonomian Kuba masih berdasarkan ekonomi terencana, tetapi reforma-reforma yang telah diperkenalkan telah membuka ruang yang lebih besar bagi perekonomian kapitalis, dengan memperbolehkan bisnis-bisnis kecil dan juga mencoba menarik investasi swasta skala besar. Tujuannya adalah meningkatkan produktivitas dengan menggunakan metode kapitalis tanpa memperkenalkan kebijakan kontrol buruh apapun. Bahkan hari ini banyak pencapaian sosial Revolusi Kuba masih bertahan, tetapi cakupannya semakin mengecil dan kualitasnya memburuk. Ada diferensiasi sosial yang semakin membesar. Ini sangatlah berbahaya. Tahun ini akan ada pemilu dimana untuk pertama kalinya posisi presiden tidak akan diisi oleh Castro bersaudara, atau tokoh dari kepemimpinan historis Revolusi Kuba. Kita akan saksikan benturan dan tekanan dari elemen kapitalis sayap kanan, dari internal maupun asing, dan juga respons dari sisi yang lain, dari mereka-mereka yang tidak diuntungkan oleh reforma-reforma ini dan ingin mempertahankan revolusi sosialis.
Kendati keluh kesah menyedihkan dari kaum “Kiri” Amerika Latin, kalahnya Kirchner di Argentina dan Dilma di Brasil bukanlah disebabkan oleh “pergeseran ke kanan”. Naiknya Temer dan Macri ke tampuk kekuasaan telah disambut dengan gerakan protes yang masif oleh kelas buruh, yang melawan serangan dari kaum sayap kanan ini. Periode yang sedang kita masuki bukanlah periode perdamaian sosial dan stabilisasi kapitalis, tetapi periode kontradiksi yang semakin menajam dan meningkatnya perjuangan kelas. Ini telah dibuktikan dengan gerakan insureksioner di Honduras setelah pemilu 2017. Sebelumnya, di Guatemala, konflik antar-borjuasi membuat jalan untuk mobilisasi massa kaum muda, organisasi tani dan kelas buruh. Proses ini belum selesai. Pada 2017, kita saksikan pemogokan umum menuntut mundurnya presiden Jimmy Morales dan 107 anggota DPR. Negeri-negeri lain akan menyusul, seperti Meksiko yang akan menyelenggarakan pilpres tahun ini, sebuah peristiwa yang akan digunakan oleh massa untuk mengekspresikan perasaan muak dan letih mereka terhadap kapitalisme.
Venezuela
Usaha oligarki Venezuela, dengan dukungan imperialisme, untuk menumbangkan pemerintahan Maduro tampaknya sudah dipatahkan untuk sekarang. Kesalahan dan kebimbangan kepemimpinan oposisi, dan juga reaksi massa yang turun dalam jumlah besar selama pemilu Majelis Konstituante pada Juli 2017, menghentikan untuk sementara serangan kubu oposisi pada paruh pertama tahun 2017. Tetapi ini tidak mengubah apapun secara fundamental, dalam hal krisis ekonomi atau kebijakan pemerintah.
Venezuela masih terjerat oleh resesi mendalam, dengan hiperinflasi dan cadangan mata uang asing yang semakin menipis, dan ini memiliki pengaruh negatif terhadap taraf hidup massa. Imperialisme terus memperketat cengkeraman mereka dengan sanksi-sanksi ekonomi. Pemerintah meneruskan kebijakan memberi konsesi pada kapitalis dan bernegosiasi dengan para perwakilan politik kubu oposisi. Satu-satunya tujuan mereka adalah terus berkuasa. Kekalahan serangan oposisi telah membuka pintu untuk diferensiasi internal dalam gerakan Bolivarian. Ada demo-demo buruh dan munculnya kandidat kiri yang menantang kandidat resmi di pilkada-pilkada.
Posisi kita jelas: kita menentang penumbangan pemerintah Maduro yang didorong oleh kubu oposisi, karena ini akan menjadi bencana bagi massa. Pada saat yang sama kita tidak dapat mendukung kebijakan pemerintahan Maduro, yang membawa kita langsung ke bencana dan kekalahan bagi revolusi Bolivarian.
Ada mood kritis terhadap kepemimpinan Bolivarian yang semakin berkembang, dan kepemimpinan Bolivarian hari ini tidak memiliki otoritas yang sama seperti Chavez. Keputusan Eduardo Saman, seorang mantan menteri yang mendukung kontrol buruh dan menentang korporasi kapitalis besar, untuk maju sebagai kandidat dalam pilkada pada Desember 2017 adalah indikasi jelas akan perubahan mood ini.
Walaupun jelas kalau birokrasi akan menyabot kampanyenya Saman, ini tetap merupakan titik balik yang membuka peluang baru bagi tendensi Marxis di Venezuela.
India dan Pakistan
Narendra Modi naik ke tampuk kekuasaan pada 2014 di atas basis kekecewaan luas massa pekerja dan juga selapisan borjuasi terhadap Partai Kongres. Tetapi Modi belum mampu memuaskan kekuatan-kekuatan yang mendorongnya ke tampuk kekuasaan. Usaha demonetisasi [usaha menarik pecahan uang tertinggi] dan reforma pajak jual diarahkan untuk memfasilitasi bisnis, tetapi mereka justru semakin memperlemah ekonomi, yang jatuh dari tingkat pertumbuhan 9% menjadi 7% pada 2017.
Periode singkat pertumbuhan tinggi pada 2014-2016 telah disusul dengan perlambatan cepat. Bahkan selama periode pertumbuhan, tingkat pengangguran meningkat dan Modi meluncurkan serangkaian serangan terhadap gerakan buruh. Hasilnya adalah semakin menajamnya perjuangan kelas. Mahasiswa, tani dan buruh turun ke jalan. Pada September 2016 lebih dari 180 juta buruh mogok, yakni 50% lebih banyak dibandingkan pemogokan tahun lalu.
Di Kashmir juga, massa turun ke jalan dalam sebuah gerakan yang mengejutkan pemerintah, yang hanya menyurut sementara karena represi berat. Walaupun demikian, gerakan ini mempengaruhi seluruh India, terutama di antara kaum pelajar.
Modi juga telah berusaha mengalihkan perhatian rakyat dari perkembangan politik ini dengan meluncurkan kampanye sektarianisme Hindu, tetapi ini hanya bisa akan efektif sementara saja. Pada titik tertentu sektarianisme ini akan dipatahkan oleh kebangkitan kelas buruh.
Peristiwa di Pakistan dan India terikat erat satu sama lain. Kelas penguasa India dan Pakistan memiliki kepentingan yang sama dalam mempertahankan konflik antara kedua negeri ini, guna mengalihkan perhatian massa. Tetapi posisi kelas penguasa Pakistan semakin melemah.
Setelah AS menarik mundur bantuannya kepada rejim Pakistan, Tiongkok melangkah masuk. Tiongkok punya kepentingan khusus di Pakistan, sebagai sekutu dan bumper terhadap India, dan juga sebagai pangkalan operasi laut Tiongkok di Laut India. Akan tetapi investasi Tiongkok tidak menciptakan lapangan pekerjaan atau menyelesaikan kontradiksi dalam masyarakat Pakistan.
Masalah kebangsaan menjadi semakin beracun, dan di tempat-tempat seperti Baluchistan, kehadiran Tiongkok semakin memperburuk sektarianisme, yang sebenarnya adalah kedok untuk perang proksi antara kekuatan-kekuatan asing yang saling bermusuhan (Amerika, Tiongkok, Arab Saudi, Iran, dsb.) Setiap hari kebijakan reaksioner kelas penguasa terekspos di mata massa, yang membenci elite busuk yang berkuasa dan menjarah seluruh bangsa.
Di masa lalu, para pemimpin PPP (Pakistan People’sParty; Partai Rakyat Pakistan) memainkan peran menyalurkan kemarahan massa, dengan bersandar pada tradisi perjuangan pada akhir 1960an di bawah Ali Bhutto. Tetapi setelah periode panjang dalam pemerintah dan meluncurkan program pengetatan, PPP dirundung korupsi dan secara umum sudah terdiskreditkan. Ini mengizinkan Muslim League-nya Sharif untuk kembali berkuasa. Sekarang Sharif sudah terekspos di mata rakyat sebagai seorang politisi borjuis yang korup, yang tidak menawarkan apapun.
Ada pertumbuhan mood penolakan terhadap semua politisi, yang dilihat sebagai gangster yang anti-buruh dan anti-kaum miskin, dan hanya berniat melayani diri mereka sendiri. Di masa lalu, angkatan bersenjata sudah akan mengintervensi dan merebut kekuasaan, tetapi angkatan bersenjata sendiri hari ini terpecah belah dan mengalami demoralisasi. Para jenderal enggan mengemban tanggung jawab untuk membersihkan kekacauan yang ada. Dalam konteks ini kita saksikan permulaan perjuangan buruh dan kaum muda.
Afrika
Di Afrika Selatan, bertahun-tahun perjuangan kelas telah menghancurkan aliansi tripartit ANC-CPSA-COSATU [ANC adalah African National Congress, sebuah partai borjuasi kulit hitam; CPSA adalah Partai Komunis Afrika Selatan; COSATU adalah Kongres Serikat Buruh Afrika Selatan]. Gerakan pemogokan dan gerakan kaum muda di universitas telah mengarah ke lahirnya Economic Freedom Fighter (EFF, Pejuang Kemerdekaan Ekonomi) dan federasi serikat baru yang dipimpin oleh NUMSA (Serikat Nasional Buruh Metal Afrika Selatan). Walaupun gerakan ini untuk sementara menyurut, rejim yang berkuasa (pemerintahan ANC) telah terpukul secara serius oleh semua gejolak ini.
Krisis ekonomi, kemarahan massa, penjarahan kekayaan negara oleh elite-elite kulit hitam baru di sekitar Zuma dan keluarga Gupta, telah menciptakan ketidakstabilan dan melemahkan otoritas ANC. Kaum borjuasi besar, yang berkolaborasi dengan Mandela untuk menstabilkan situasi setelah peristiwa-peristiwa revolusioner pada 1980an dan 1990an, telah berbenturan dengan lapisan Orang Kaya Baru dan klik penguasa di seputar Zuma.
Di lain pihak, kelas penguasa tidak bisa mencampakkan ANC karena mereka tidak punya partai alternatif yang bisa menstabilkan situasi. Mengetahui ini, sayap Zuma telah secara serampangan menaikkan taruhan mereka dalam permainan yang berbahaya ini. Perpecahan terbuka antara dua sayap ini dan potensi perpecahan di ANC dapat memiliki konsekuensi revolusioner di negeri termaju di Afrika.
Di Nigeria, setelah ledakan perjuangan kelas yang luar biasa pada Januari 2012, pilar utama kekuasaan borjuis, yakni PDP, telah terdiskreditkan di mata massa. Inilah mengapa mereka terburu-buru membangun sebuah partai baru, APC – yang pada kenyataannya adalah fusi dari sejumlah partai kecil – dan menaruh Buhari sebagai pemimpinnya, yang mereka anggap sebagai kandidat baik untuk meraup dukungan dari massa rakyat dan dapat menghentikan proses radikalisasi.
Manuver ini berhasil karena pada pemimpin, NLC, yakni federasi serikat buruh utama di Nigeria, alih-alih membangun gerakan 2012, justru menghabiskan semua otoritas mereka untuk menghambat gerakan, sementara pada saat yang sama menolak membangun partai kelas buruh yang mandiri. Akibat absennya kepemimpinan buruh, Buhari dapat mengisi vakum ini. Tetapi kendati semua ini, tidak ada satupun masalah mendesak yang dihadapi rakyat Nigeria telah diselesaikan. Ini terekspresikan belum lama ini dalam agitasi Republik Biafran di bagian tenggara. Walaupun gerakan ini diremukkan oleh militer, ini mengungkapkan ketegangan dalam masyarakat Nigeria. Dan setelah ilusi terhadap Buhari akhirnya menguap, kita akan saksikan bangkitnya kembali perjuangan kelas dalam skala yang bahkan lebih besar.
Di Afrika Barat dan Tengah, gerakan massa melawan kaum borjuasi yang korup dan eksploitatif telah meningkat pesat selama periode terakhir. Ada gerakan-gerakan besar yang berlangsung selama periode yang panjang dan memobilisasi jutaan rakyat. Massa rakyat mengikuti dengan dekat pemberontakan heroik di Burkina Faso, sementara perekonomian negeri-negeri ini yang rapuh terhantam keras oleh krisis ekonomi global. Serangan-serangan anti-demokratik, baru-baru ini di Togo dan Kongo, menjadi batang jerami yang mematahkan punggung unta. Khususnya kaum muda melihat penindasan ini sebagai bagian dari pemerintahan yang telah berkuasa selama puluhan tahun. Penderitaan yang luas di wilayah ini, dan juga peran para pemimpin oposisi borjuis yang memuakkan – yang kepentingan satu-satunya adalah menggantikan kepala rejim – mengkonfirmasikan kebenaran teori revolusi permanen dan perlunya membangun organisasi revolusioner internasional. Karena tidak adanya kepemimpinan yang teguh, setelah ledakan mobilisasi massa yang besar gerakan menyurut. Satu-satunya kesimpulan yang dapat ditarik oleh rakyat dari semua ini adalah mereka tidak boleh menaruh kepercayaan pada kepemimpinan yang lama. Teori Marxis dan organisasi revolusioner dibutuhkan untuk keluar dari kebuntuan ini.
Pesimisme kaum borjuasi
Peringatan seratus tahun Revolusi Oktober memberi kesempatan pada ahli strategi Kapital untuk merenungkan sejarah dan khawatir akan masa depan mereka. Pada 15 Agustus, 2017, Martin Sandbu menulis di koran Financial Times:
“Kita memperingati dua hal tahun ini – 100 tahun Revolusi Rusia dan 10 tahun sejak krisis finansial global – dan kedua peringatan ini memiliki lebih banyak kesamaan daripada yang terlihat sekilas.”
“Krisis finansial global … mengguncang sampai ke fondasinya model yang telah tampil menang dari Perang Dingin.”
“Komunisme yang mencekik yang dikembangkan oleh blok Soviet runtuh pada 1980an karena beban kontradiksi ekonomi dan politiknya sendiri. Kekacauan politik tahun lalu mendemonstrasikan bahwa kita sekarang sedang menyaksikan apakah ekonomi pasar bebas akan menderita nasib yang sama.” (Penekanan kami)
Dia melanjutkan:
“Pandangan Friedrich von Hayek kalau harga pasar yang fleksibel mengandung lebih banyak informasi dibandingkan dengan apa yang bisa dikumpulkan secara terpusat oleh mekanisme perencanaan apapun; dan bahwa pengambilan keputusan yang tersebar akan lebih efisien dibandingkan dengan otoritas negara […]
“Namun gagasan ini terguncang keras oleh krisis finansial global, yang melemahkan klaim kalau kapitalisme finansial Barat adalah cara terbaik untuk mengorganisasi ekonomi.”
Dan dia menyimpulkan:
“Apa yang terjadi 10 tahun yang lalu pada bulan ini adalah realisasi mengerikan bahwa klaim-klaim finansial yang telah menggunung selama tahun-tahun boom sebelumnya ternyata keliru, bahwa produksi ekonomi masa depan yang mereka klaim ternyata tidak memadai untuk dihargai sepenuhnya.”
“ … liberalisme pasar, pada gilirannya, mengkhianati mimpi yang telah ia janjikan. Perekonomian Barat hari ini jauh lebih miskin dibandingkan dengan tren yang diprediksi sebelum krisisi. Krisis dan konsekuensinya telah membuat kaum muda, khususnya, sangsi pada harapan kalau mereka akan punya peluang yang sama untuk hidup makmur seperti orang tua dan kakek-nenek mereka.”
“ … sebuah sistem sosial dapat mengatasi kekecewaan untuk waktu yang lama. … Tetapi ketika rakyat sudah tidak dapat lagi hidup makmur, dukungan ini akan runtuh.”
Sejumlah ahli kapitalis yang lebih serius mulai memahami bahwa resep-resep mereka selama 30 tahun terakhir sudah tidak lagi bekerja. Dalam sebuah artikel di koran Jerman Die Zeit di bawah tajuk “Neoliberalisme sudah mati” (Juni, 2016), kita diberitahu bahwa bahkan IMF telah mengakui kalau kebijakan-kebijakan mereka tidak menelurkan hasil yang mereka harapkan. Tetapi tentu saja, mereka tidak pernah menarik kesimpulan yang diperlukan.
Wolfgang Streek dari Institut Max Planck mendaftar semua masalah yang ada di bawah kapitalisme dalam sebuah artikel panjang di New Left Review yang berjudul “Bagaimana kapitalisme akan berakhir?” (Mei/Juni 2014), yang pada 2016 dia kembangkan menjadi sebuah buku. Dia mengatakan ada krisis legitimasi dalam sistem kapitalisme karena kapitalisme sudah tidak lagi menyediakan taraf hidup baik seperti dulu kala, dan rakyat oleh karenanya mulai mempertanyakan sistem ini. Ini menjelaskan ketidakstabilan elektoral yang dapat disaksikan di banyak negeri. Dia juga mengajukan pertanyaan apakah “sistem demokrasi” dapat menyediakan kebijakan yang dibutuhkan kapitalisme. Yang dia maksud adalah apakah kelas penguasa bisa memaksakan pada kelas buruh apa yang dibutuhkan oleh kelas borjuasi.
Dalam artikelnya Streek menyatakan bahwa kapitalisme “akan menggantung di udara untuk waktu yang cukup lama, mati atau hampir mati karena overdosis dirinya sendiri, tetapi tetap akan ada, karena tidak ada seorangpun yang punya kekuatan untuk menyingkirkan mayat busuk ini.” Ini deskripsi yang tidak buruk mengenai kondisi kapitalisme hari ini.
Martin Wolf, komentator ekonomi utama koran Financial Times, membalas Streek dalam sebuah artikel dengan judul yang menarik “The case against the collapse of capitalism” (2 November 2016), dan kenyataan bahwa Martin Wolf merasa harus merespons Streek adalah signifikan. Sungguh ahli strategi kapitalis memahami penyakit yang menjangkiti sistem mereka!
Lenin menjelaskan kalau kapitalisme tidak ditumbangkan maka ia akan selalu pulih dari krisis yang bahkan paling dalam. Bahkan pada 1930an ada periode pemulihan. Pers borjuis telah berbicara mengenai pemulihan setidaknya selama 7 tahun terakhir. Pada kenyataannya ini adalah pemulihan terlemah dalam sejarah dan sejumlah hal mengalir dari fakta ini.
Tentu saja sistem kapitalis masih punya cadangan yang besar. Bila kaum kapitalis merasa diri mereka terancam dengan kehilangan segalanya, mereka akan memperkenalkan kebijakan Keynesian. Tetapi cadangan ini bukannya tidak terbatas, dan cadangan ini telah digunakan dengan sangat cepat selama 10 tahun terakhir. Sebagai akibatnya, bila krisis selanjutnya tiba, dan ini niscaya akan tiba, kaum kapitalis akan ada dalam posisi yang jauh lebih lemah untuk bisa mengatasinya dibandingkan sebelumnya.
Mereka terus mengulang bahwa mereka telah mempelajari pelajaran 2008. Tetapi mereka juga mengatakan mereka telah belajar dari 1929. Dan seperti yang Hegel katakan, siapapun yang belajar sejarah harus menyimpulkan bahwa tidak ada seorangpun yang pernah belajar apapun dari sejarah.
Pada analisa terakhir, tidak peduli apapun yang dilakukan oleh kaum borjuasi, entah mereka mengadopsi kebijakan Keynesian, monetaris, proteksionis atau yang lainnya, mereka akan keliru. Di Zaman Pertengahan para pendeta biasa berkata: semua jalan menuju Roma. Sekarang kita bisa mengatakan, di bawah kapitalisme semua jalan menuju kehancuran.
Kesimpulan
Tidak lama yang lalu tampaknya tidak banyak terjadi di dunia. Diskusi perspektif dunia biasanya berkonsentrasi pada satu dua negeri saja. Tetapi sekarang proses revolusioner yang serupa sedang berlangsung di setiap negeri di dunia tanpa pengecualian, dengan intensitas yang berbeda-beda tentunya. Apa yang sedang kita diskusikan oleh karenanya adalah proses umum revolusi sedunia.
Bagi kaum Marxis diskusi perspektif ekonomi bukanlah sebuah pekerjaan akademik atau intelektual yang abstrak. Yang penting adalah pengaruh ekonomi terhadap perjuangan kelas dan kesadaran kelas. Tetapi karena kesadaran selalu terlambat di belakang peristiwa, akan selalu ada keterlambatan antara permulaan krisis ekonomi dan intensifikasi perjuangan kelas.
Kaum borjuasi, yang selalu berpikir secara empiris, tidak mampu melihat akumulasi kegeraman di bawah permukaan yang sedang meluap dengan diam-diam dan siap meledak. Mereka menepuk punggung masing-masing bahwa belum ada revolusi yang meledak. Setelah pulih dari syok awal krisis finansial, para bankir dan kapitalis kembali ke bisnis seperti biasa. Seperti pemabuk yang menari di tepi tebing, mereka melanjutkan karnaval sukaria mereka dalam meraup profit, yang bahkan semakin intens sementara taraf hidup rakyat semakin memburuk.
Trotsky menjelaskan apa yang dia sebut sebagai proses molekular revolusi. Dalam “Sejarah Revolusi Rusia” dia menunjukkan bahwa yang menentukan kesadaran massa bukan hanya krisis ekonomi, tetapi akumulasi kekecewaan yang telah menggunung selama periode sebelumnya. Kekecewaan massa menggunung dan tidak ada yang menyadari ini sampai akumulasi kekecewaan ini mencapai titik kritis dimana kuantitas berubah menjadi kualitas.
Sekarang tiba-tiba perasaan lega kelas penguasa digantikan dengan pesimisme dan kemurungan. Ada gejolak sosial dan politik di mana-mana, disertai dengan ketidakstabilan ekstrem dalam skala dunia dan perubahan mendadak dalam relasi dunia.
Bahkan bila ekonomi membaik, ini tidak akan segera mengubah kesadaran massa, yang telah terbentuk oleh memori berpuluh-puluh tahun stagnasi atau kemunduran taraf hidup. Pemulihan yang sangat lemah di AS menandai perbaikan yang sangat relatif, yang terbatas pada beberapa sektor saja. Ini tidak mempengaruhi kaum pengangguran di daerah “rustbelt” [kawasan industri di Midwest]. Dan di tempat lain, ini tidak seperti pemulihan yang sesungguhnya, dan ini tidak memulihkan kepercayaan pada sistem atau optimisme pada masa depan, tetapi justru sebaliknya.
Kita saksikan cerita yang sama tercerminkan dalam referendum Brexit. Ada banyak alasan mengapa rakyat Inggris memilih keluar dari UE. Tetapi satu alasan yang sangat penting terungkap dalam perbedaan regional yang sangat tajam antara utara dan selatan. Para bankir dan spekulator di London sangat diuntungkan oleh keanggotaan Inggris di UE, yang memberi mereka akses menguntungkan ke pasar finans Eropa. Tetapi keanggotaan UE ini tidak memberi keuntungan apapun bagi wilayah-wilayah miskin di Utara-Timur atau Wales, yang telah menderita proses deindustrialisasi selama puluhan tahun, penutupan tambang-tambang batu bara, pabrik baja dan galangan kapal.
Pertumbuhan kesenjangan
Di mana-mana ada kegeraman yang membara terhadap tingkat kesenjangan yang menjijikkan, dengan kekayaan yang menumpuk di selapisan kecil minoritas yang duduk di atas dan kemiskinan dan kesengsaraan bagi mayoritas di bawah. Kaum borjuasi yang serius mulai khawatir akan kecenderungan ini karena ini membahayakan kestabilan seluruh sistem. Di mana-mana ada kebencian mendalam terhadap kaum kaya. Banyak orang bertanya: bila ekonomi membaik, mengapa taraf hidup kami tidak membaik? Mengapa mereka masih memangkas tunjangan sosial, layanan kesehatan dan pendidikan? Mengapa yang kaya tidak membayar pajak? Dan mereka tidak menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan ini.
Kaum borjuasi mulai cemas akan konsekuensi politik dari krisis ekonomi. Alih-alih menikmati pemulihan, kebanyakan kaum buruh hidupnya lebih buruk dibandingkan sebelum krisis. McKinsey Global Institute menemukan bahwa 65-70% “segmen pendapatan” di ekonomi-ekonomi maju mengalami stagnasi atau jatuh selama periode 2005-2014. Negeri-negeri seperti Italia semua segmen pendapatannya terpengaruh. (Poorer Than Their Parents, McKinsey Global Institute)
Di negeri kapitalis paling kaya dan paling kuat, tidak ada peningkatan taraf kehidupan selama 40 tahun terakhir. Mayoritas rakyat Amerika taraf hidupnya telah menurut. Dan ini bukan pengecualian. Di semua negeri, generasi muda sekarang adalah generasi pertama sejak 1945 yang tidak akan memiliki taraf hidup yang lebih baik daripada orang tua mereka.
Polarisasi kekayaan di AS terus menjadi semakin parah. Dari 2000-2010 profit meningkat 80% dan upah 8%, sementara pendapatan rata-rata keluarga menurun 5%. Angka-angka ini menunjukkan bagaimana peningkatan profit dicapai dengan mengorbankan kelas buruh. (The Economist, What about the workers? May 25th 2011)
Statistik upah sebelum-pajak dan yang siap digunakan tidak memberikan gambaran yang sepenuhnya. Statistik ini tidak mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti jam kerja yang meningkat dan kasualisasi kerja (kerja kontrak atau kerja lepas), entah karena kontrak nol-jam (kerja lepas) atau pekerjaan temporer, dan pemangkasan tunjangan sosial. Semua ini menambah beban yang dirasakan oleh keluarga buruh.
Krisis ini memiliki efek yang paling menyakitkan dan langsung pada kaum muda. Untuk pertama kalinya generasi mendatang tidak akan memiliki taraf hidup yang sama seperti orang tua mereka. Ini memiliki konsekuensi politik yang serius. Di semua negeri, tekanan tak tertanggungkan yang dirasakan oleh kaum muda menemukan ekspresinya dalam radikalisasi politik yang tajam. Dalam semua masalah, kaum muda berdiri jauh lebih kiri dibandingkan keseluruhan masyarakat. Mereka jauh lebih terbuka pada gagasan-gagasan revolusioner dibandingkan lapisan-lapisan lain dan oleh karenanya adalah konstituen alami kita.
Pelajaran dari keruntuhan Stalinisme
Pada 1991 keruntuhan Uni Soviet mengubah alur sejarah. Pada saat itu, kaum borjuasi dan kaum reformis dalam gerakan buruh bersukacita. Mereka berbicara tanpa henti mengenai akhir sosialisme, akhir komunisme, dan bahkan akhir sejarah.
Apa yang Francis Fukuyama maksud dengan ujaran “sejarah telah berakhir” adalah akhir dari sosialisme dengan runtuhnya Uni Soviet. Oleh karenanya secara logis ini berarti satu-satunya sistem yang mungkin eksis adalah kapitalisme (ekonomi pasar bebas) dan dalam artian ini maka sejarah telah berakhir.
Apa yang mengejutkan mengenai runtuhnya Stalinisme adalah begitu cepatnya rejim yang tampaknya kokoh dan monolitik ini runtuh setelah mereka dihadapkan dengan gerakan massa di Eropa Timur. Ini adalah refleksi dari kebangkrutan internal dan kebusukan rejim Stalinis yang ada. Tetapi kebangkrutan dari kapitalisme yang uzur ini semakin jelas bagi jutaan rakyat.
Ketika Tembok Berlin runtuh Ted Grant memprediksikan bahwa bila kita lihat secara retrospektif keruntuhan Stalinisme adalah babak pertama dalam drama dunia yang akan diikuti oleh bahkan babak kedua yang lebih dramatik, yakni krisis global kapitalisme. Hari ini kita menyaksikan kebenaran dari pernyataan tersebut. Alih-alih kemakmuran universal, kita dapati kemiskinan, pengangguran, kelaparan dan penderitaan. Alih-alih perdamaian kita dapati perang yang susul menyusul.
Proses yang sama yang tiba-tiba merobohkan Stalinisme dapat terjadi di kapitalisme. Dari satu negeri ke negeri lain kita sedang saksikan guncangan-guncangan mendadak yang menguji ketahanan sistem kapitalisme dan mengekspos kelemahannya.
Institusi demokrasi borjuis, yang sebelumnya telah dipercaya dengan buta, kini mulai terdiskreditkan. Rakyat sudah tidak lagi percaya pada politisi, pemerintah, hakim, polisi, aparatus keamanan, dan bahkan Gereja. Seluruh sistem ini sudah dipertanyakan dan dikritik tajam.
Perwakilan WikiLeaks ditanya oleh TV Inggris: “Kamu serius percaya kalau badan intelijen AS berbohong?” Dia menjawab, “Mengapa tidak? Mereka selalu berbohong!” Inilah yang mulai dipercaya oleh banyak orang.
Organisasi massa: krisis reformisme
Krisis kapitalisme adalah juga krisis reformisme. Di mana-mana partai-partai politik tradisional – di Kiri maupun Kanan – sedang dalam krisis. Organisasi-organisasi yang tampaknya kokoh dan abadi sekarang memasuki krisis, mengalami kemunduran dan bahkan runtuh sepenuhnya. Partai-partai reformis yang telah berkolaborasi dengan pemerintah untuk meluncurkan pemotongan anggaran telah ditolak oleh basis pendukung tradisional mereka.
Dalam satu tingkatan atau lainnya, dan dengan kecepatan yang berbeda-beda, proses yang sama kita saksikan di seluruh Eropa. Seperti di Prancis, begitu juga di Belanda, dimana partai sayap-kanan Geert Wilders dikalahkan di pemilu. Kaum borjuasi bernapas lega. Tetapi yang lebih signifikan daripada kekalahan Wilders adalah kekalahan telak Partai Buruh Belanda, yang secara praktis tersapu habis. Partai ini kehilangan 75% pendukungnya.
Kebangkitan Partai Buruh Belgia juga merupakan perkembangan signifikan. Sekte eks-Maois ini sekarang adalah partai reformis kiri, walaupun ia mengklaim sebagai Marxis atau Komunis. Di Wallonia, wilayah yang berbahasa Prancis, Partai Buruh Belgia hanya ada di belakang Partai Sosialis. Begitu juga di Brussel. Di wilayah-wilayah merah, mereka dapat meraih sekitar 25% suara. Tetapi mereka juga mulai tumbuh di Flanders.
Massa sedang mencari dan menuntut perubahan. Mereka harus mencari ekspresi politik yang terorganisir untuk kemarahan mereka. Selama periode terakhir, massa Yunani telah melakukan segalanya dalam kekuatan mereka untuk berjuang mengubah masyarakat. Sudah ada banyak pemogokan massa, pemogokan umum dan demo-demo massa. Tetapi di sini kita terbentur pada satu masalah yang paling penting: faktor subjektif.
Dalam usaha mereka untuk mencari jalan keluar dari krisis, massa akan menguji satu opsi politik, dan membuangnya kalau tidak cocok, dan mencari opsi politik lainnya. Ini menjelaskan ayunan keras opini publik dari kiri ke kanan. Tetapi mereka tidak menemukan apa yang mereka cari. Orang-orang yang seharusnya memimpin – para politisi buruh, kaum sosial demokrat, para mantan-komunis, dan terutama para pemimpin serikat buruh – tidak ingin berjuang melawan pengetatan dan perubahan fundamental dalam masyarakat.
Trotsky menjelaskan kalau pengkhianatan adalah implisit dalam reformisme. Dengan ini dia tidak bermaksud mengatakan kalau semua kaum reformis mengkhianati kelas buruh dengan sengaja. Akan ada kaum reformis yang jujur, dan juga para pengejar karier dan birokrat yang busuk yang adalah agennya kaum borjuasi dalam gerakan buruh. Akan tetapi, bahkan kaum reformis kiri yang jujur tidak punya perspektif untuk transformasi sosialis. Mereka percaya kalau reforma yang dibutuhkan oleh buruh dapat dicapai dalam batasan kapitalisme. Mereka menganggap diri mereka realistis, tetapi di bawah kondisi krisis kapitalisme “realisme” mereka ini terekspos sebagai utopianisme yang paling buruk.
PASOK, yang selama puluhan tahun adalah partai massanya kelas buruh Yunani, runtuh karena pengkhianatannya dan partisipasinya dalam pemerintah yang melakukan pemotongan anggaran. Buruh lalu berpaling ke SYRIZA, yang sebelumnya adalah sebuah partai yang sangatlah kecil. Alexis Tsipras menjadi pemimpin politik paling populer di Yunani. Dia menggelar referendum, yang menanyakan “Apakah kita harus menerima pengetatan dari Frau Merkel?” dan ada respons yang masif.
Rakyat Yunani menolak sepenuhnya pengetatan dan menjawab tidak pada referendum ini (Gerakan Oxi). Tidak hanya buruh tetapi juga kelas menengah, sopir taksi dan bisnis-bisnis kecil. Pada saat itu Tsipras bisa saja mengatakan: “Kita tidak akan membayar sepeserpun pada gangster-gangster ini! Cukup! Kita akan mengambil kekuasaan ke tangan kita sendiri dan menyerukan kepada kaum buruh Spanyol, Italia, Jerman dan Inggris untuk mengikuti contoh kita. Kita harus berjuang melawan kediktatoran para bankir dan kapitalis, dan berjuang untuk Eropa yang sepenuhnya sosialis demokratik.”
Bila saja dia mengatakan ini, dia pasti akan menerima dukungan besar. Rakyat akan bersorak-sorai di jalan-jalan. Dan rakyat Yunani akan siap berkorban untuk mendukung pemimpin mereka – dengan satu syarat: bahwa mereka percaya kalau mereka sedang berjuang untuk keadilan dan pengorbanan mereka akan sama untuk semua orang. Tsipras dapat mengangkat jarinya dan kapitalisme akan berakhir di Yunani. Dia bisa menyita para bankir dan kapitalis.
Tetapi Tsipras bukanlah seorang Marxis. Dia adalah seorang reformis dan oleh karenanya tidak pernah terbayangkan olehnya untuk mendasarkan dirinya pada kekuatan massa. Dia menyerah pada Berlin dan Brussel, dan menandatangani perjanjian yang bahkan lebih buruk daripada yang pertama kali ditawarkan, yang lalu menyebabkan demoralisasi besar dan runtuhnya dukungan terhadap SYRIZA. Tetapi dia masih bisa bertahan karena tidak ada alternatif lain.
Proses ini juga mempengaruhi Spanyol, yang sedang melalui krisis politik yang dalam. Seperti bangkitnya SYRIZA di Yunani, kebangkitan pesat PODEMOS juga merupakan refleksi jelas dari kekecewaan massa terhadap partai-partai lama dan kehendak massa akan perubahan. Tetapi kebijakan kepemimpinan PODEMOS yang membingungkan dan bimbang menyebabkan kekecewaan di antara massa bahkan sebelum mereka berkuasa. Pablo Iglesias bermain-main dengan Sosial Demokrasi, dan ini menyebabkan jatuhnya dukungan untuk Podemos dan perpecahan tajam di antara pemimpinnya.
Sekarang para pemimpin PODEMOS menoleh ke kanan, ke arah PSOE [Partai Buruh Sosialis Spanyol, sebuah partai sosial demokrat], dengan harapan mencapai semacam kesepakatan untuk menyingkirkan rejim Rajoy. Ini telah mendorong mereka untuk memoderasi bahasa mereka, dan mereka ada di bawah tekanan besar untuk tampil sebagai “negarawan yang terhormat”. Ini akan semakin membingungkan para pendukung mereka.
Pemimpin baru PSOE, Pedro Sanchez, adalah cerminan paling pucat dari Jeremy Corbyn dan Melenchon. Akan tetapi, karena dia mengajukan rencana untuk membentuk pemerintahan koalisi dengan Podemos dan kaum nasionalis Catalan, kelas penguasa Spanyol berusaha menyingkirkannya. Ini ditolak oleh anggota PSOE dalam pemilihan internal partai, yang mengembalikan Pedro Sanchez sebagai sekretaris jendral partai.
Kasus-kasus di atas adalah beragam varian dari proses yang sama. Di mana-mana partai-partai reformis dan eks-Stalinis ada dalam krisis. Beberapa dari mereka telah mengalami perpecahan, sementara yang lainnya menghilang sepenuhnya (Italia adalah kasus ekstrem dari semua ini, dimana partai-partai sosialis dan komunis telah menghilang). Kita juga saksikan munculnya formasi-formasi politik baru, seperti SYRIZA dan PODEMOS.
Seperti busa ombak lautan, formasi-formasi ini adalah refleksi dari arus bawah yang dalam dan kuat. Akan tetapi formasi-formasi ini tidak memiliki basis kelas buruh dan serikat buruh yang stabil. Sebagai akibatnya, dan juga karena komposisi mereka yang terutama borjuis-kecil, formasi-formasi ini secara inheren tidak stabil dan dapat runtuh secepat mereka bangkit.
Contoh Corbyn di Inggris sampai sekarang adalah pengecualian. Seperti yang telah kita jelaskan, perkembangan ini bersifat aksidental, dan seperti yang dijelaskan oleh Hegel, sebuah aksiden atau kebetulan yang merefleksikan keniscayaan. Sisi kuat dari gerakan Corbyn adalah ia telah menjadi titik rujukan untuk akumulasi kegeraman rakyat, terutama kaum muda. Sisi lemahnya akan terungkap ketika batas-batas program reformis kiri teruji dalam pemerintahan Buruh.
Ini berarti taktik kita harus fleksibel setiap saat, yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi konkret dan tingkat kesadaran kelas buruh, dan terutama lapisannya yang paling aktif dan maju. Di semua kasus ini pendekatan kita harus selalu sama: dukungan kritis.
Kita akan mendukung kaum reformis kiri dalam perjuangannya melawan sayap kanan, dan selalu mendorong mereka untuk bergerak lebih jauh. Tetapi pada saat yang sama kita harus menjelaskan dengan sabar kepada buruh dan kaum muda yang maju bahwa program reformis ada limitasinya, selama program ini tidak bertujuan menumbangkan kapitalisme dan hanya mengubahnya dari dalam. Ini adalah sebuah kebijakan utopis yang, terlepas dari niat baik para pendukungnya, di bawah kondisi krisis kapitalisme hanya akan mengarah ke kekalahan dan menyiapkan jalan bagi kebangkitan sayap kanan.
Radikalisasi kaum muda
Ketidakstabilan politik dan sosial menyapu seperti api dari satu negeri Eropa ke negeri lainnya. Perubahan kesadaran ini terefleksikan dalam survei opini yang diterbitkan oleh Quartz pada 28 April 2017. Ini adalah bagian dari survei yang disponsor oleh Uni Eropa, yang berjudul “Generasi apa?” Sekitar 580.000 responden dari 35 negeri ditanya: “Apakah kamu akan berpartisipasi secara aktif dalam pemberontakan skala besar melawan generasi yang berkuasa bila ini berjadi dalam beberapa hari atau bulan ke depan?” Lebih dari setengah responden berumur 18-34 tahun menjawab iya. Artikel ini menyimpulkan: “Kaum muda Eropa muak dengan status quo di Eropa. Dan mereka siap turun ke jalan untuk mengubahnya.”
Laporan ini lalu fokus pada responden dari 13 negeri untuk lebih memahami apa yang membuat kaum muda Eropa optimis dan frustrasi. Di antara negeri-negeri ini, kaum muda Yunani “paling tertarik bergabung dalam pemberontakan skala-besar melawan pemerintah mereka, dengan 67% menjawab iya.” Responden Yunani juga lebih banyak yang percaya kalau politisi adalah orang-orang korup dan punya persepsi negatif terhadap sektor finans.”
Kaum muda di Italia dan Spanyol menyusul, dengan 65% dan 63% siap bergabung dengan pemberontakan skala-besar. Di Prancis, sebuah negeri dimana revolusi terpatri dalam DNAnya, 61% kaum muda menjawab iya. Tetapi bahkan di Belanda, yang sampai saat ini luput dari krisis, sepertiga kaum muda setuju dengan pernyataan ini. Jerman 37% dan Austria hampir 40%.
Selama kampanye pemilu, kaum muda Prancis mengorganisir rally di Rennes dan kota-kota lain untuk memprotes kedua capres (Macron dan Le Pen). Sejumlah demonstran memblokade sekolah-sekolah, sementara yang lainnya turun ke jalan menuju pusat kota dengan poster bertuliskan “Tendang keluar Le Pen, bukan imigran: dan “Kami tidak ingin Macron atau Le Pen.” Laporan ini mencatat bahwa responden dari Prancis mengeluh mengenai perkembangan negatif di Prancis, seperti terlalu banyak korupsi, terlalu banyak pajak, terlalu banyak orang kaya, dibandingkan dengan seluruh UE.
Statistik ini adalah indikasi bahwa perubahan yang signifikan sedang berlangsung. Laporan ini menyimpulkan: “Apati pemilu di antara kaum muda telah lama dianggap sebagai tren yang mengkhawatirkan. Di Inggris misalnya, tingkat partisipasi kaum muda di pemilu jatuh 28 persen, dari 66 persen pada 1992 ke 38 persen pada 2005. Tetapi menurunnya partisipasi elektoral tidak selalu berarti apati politik.”
Masalah kepemimpinan
Beberapa orang yang berpikiran dangkal bertanya: “Kalau memang situasinya buruk, mengapa tidak ada revolusi?” Kelas penguasa menyelamati diri mereka sendiri karena belum ada revolusi, karena awalnya mereka cemas akan skenario terburuk ini. Dan karena yang terburuk tidak segera terwujud, mereka merasa lega dan kembali ke pesta pora meraup profit mereka, sementara kelas buruh melihat taraf hidup dan masa depan mereka remuk. Dalam kata lain mereka bertingkah seperti orang yang menggergaji ranting di mana dia berdiri.
Pada kenyataannya tidak ada yang mengejutkan mengenai keterlambatan proses revolusi. Selama puluhan tahun kaum bankir dan kapitalis telah membangun benteng yang kokoh untuk melindungi sistem mereka. Mereka mengendalikan pers, radio dan televisi. Mereka menikmati sumber daya finans tak terbatas, yang mereka gunakan untuk membeli jasa partai-partai politik, tidak hanya partai kanan tetapi juga “Kiri”, dan juga untuk membeli banyak pemimpin serikat buruh yang “bertanggung jawab”. Mereka dapat mengandalkan dukungan dari para profesor universitas, pengacara, ekonom, pendeta dan kebanyakan lapisan intelektual yang berprivilese. Dan bila semua ini gagal, mereka selalu dapat menggunakan baton polisi, para hakim dan sistem penjara.
Tetapi ada satu lagi rintangan yang jauh lebih kuat. Kesadaran manusia, tidak seperti yang dibayangkan oleh kaum idealis, adalah sesuatu yang konservatif, dan jelas tidak revolusioner. Kesadaran manusia secara inheren dan mendalam konservatif. Kebanyakan orang takut akan perubahan. Di bawah kondisi normal mereka berpegang erat apa yang akrab dengan mereka: gagasan, partai, pemimpin, agama yang lazim bagi mereka. Ini alami dan merefleksikan insting preservasi diri. Ini datang dari masa ketika kita hidup di gua-gua dan takut akan celah-celah gelap dimana binatang buas bermukim.
Ada sesuatu yang nyaman dalam rutinitas, kebiasaan dan tradisi, dalam menjalani alur lama yang kita kenal dengan baik. Umumnya, manusia hanya akan menerima gagasan perubahan di atas basis peristiwa-peristiwa besar yang mengguncang masyarakat sampai ke fondasinya, yang mengubah kesadaran manusia dan memaksa manusia untuk melihat hal ihwal sebagaimana adanya. Ini tidak terjadi perlahan-lahan, tetapi dengan cara yang eksplosif. Dan inilah yang sedang kita saksikan hari ini di mana-mana. Kesadaran mulai mengejar ketertinggalan dengan lompatan.
Masalah yang paling penting adalah masalah kepemimpinan. Pada 1914, para petinggi militer Jerman menggambarkan tentara Inggris di Prancis dengan ungkapan demikian: “Singa yang dipimpin oleh keledai.” Dan ini adalah deskripsi yang cocok untuk kelas buruh di mana-mana. Para pemimpin reformis memainkan peran yang paling buruk, berpegang erat pada “pasar bebas” bahkan ketika kapitalisme sedang runtuh di sekeliling mereka.
Kaum reformis sayap-kanan sangatlah korup. Mereka telah menanggalkan pretensi mereka untuk berdiri demi sosialisme puluhan tahun yang lalu dan menjadi pelayan kapitalis yang paling setia. Mereka siap mengemban tanggung jawab memotong tunjangan sosial dan menyerang taraf hidup rakyat guna membela kapitalisme. Tetapi dengan melakukan ini mereka mendiskreditkan diri mereka di mata rakyat yang sebelumnya mendukung mereka.
Ada logika dalam proses ini. Selama periode kenaikan kapitalisme, konsesi dapat diberikan kepada kelas buruh, terutama di negeri-negeri kapitalis maju di Amerika Utara, Eropa dan Jepang. Tetapi dalam periode krisis kaum borjuasi mengatakan mereka sudah tidak bisa lagi memberi reforma. Sebaliknya, mereka menuntut dihapuskannya reforma-reforma yang telah sebelumnya dimenangkan sejak 1945. Bagi massa, reformisme dengan reforma adalah masuk akal. Tetapi reformisme tanpa reforma, atau bahkan reformisme dengan kontra-reforma, sama sekali tidak masuk akal.
Periode panjang kenaikan kapitalisme yang menyusul akhir Perang Dunia Kedua menandai segel terakhir degenerasi Sosial Demokrasi. Degenerasi ini telah mempenetrasi dalam kaum Sosial Demokrati. Kebanyakan aktivis lama dalam partai-partai dan serikat-serikat buruh sosial demokratik telah terdemoralisasi oleh periode sebelumnya. Mereka patah semangatnya, penuh kebingungan dan teramat skeptis. Mereka sama sekali terpisah dari mood kelas buruh yang sesungguhnya dan tidak lagi mencerminkan kelas buruh.
Lapisan aktivis ini tidak pernah memahami apapun. Mereka tidak mewakili masa kini ataupun masa depan. Mereka hanyalah refleksi dari demoralisasi kekalahan-kekalahan masa lalu. Situasi ini bahkan lebih parah lagi dengan para eks-Stalinis, yang sama sekali telah mencampakkan perspektif sosialis atau insting kelas revolusioner yang mungkin pernah mereka miliki dulu. Beberapa dari mereka kembali aktif lagi ketika perjuangan kelas bangkit. Tetapi kebanyakan reformis kiri dan eks-Stalinis ini begitu dipenuhi skeptisisme sehingga mereka adalah rintangan bagi kaum buruh dan kaum muda militan yang sedang mencari jalan ke revolusi sosialis.
Posisi kita sebagai sebuah organisasi revolusioner tidak dapat ditentukan atau dipengaruhi oleh prasangka-prasangka lapisan ini. Taktik kita didasarkan pada situasi riil, yakni krisis organik kapitalisme, yang pada gilirannya melahirkan generasi pejuang baru, yang akan jauh lebih revolusioner dibandingkan generasi sebelumnya. Kita harus mendasarkan diri kita pada kaum muda: mahasiswa dan pelajar, dan terutama kaum buruh muda yang dengan kejam tereksploitasi dan sangatlah terbuka pada gagasan revolusioner.
Kita sedang memasuki sebuah periode yang dipenuhi dengan guncangan dan perubahan yang mendadak, yang mempengaruhi semua negeri tanpa pengecualian. Politik tengah sedang runtuh di mana-mana dan ini adalah refleksi polarisasi kelas yang semakin menajam. Dimana sebelumnya ada kestabilan politik, kini telah digantikan dengan ketidakstabilan. Hasil pemilu mengantar kita dari satu guncangan ke guncangan lain, dengan ayunan tajam ke kanan dan ke kiri. Hal-hal yang tidak semestinya terjadi sekarang terjadi. Oleh karenanya kita harus bersiap menghadapi perubahan-perubahan besar, yang dapat terjadi lebih cepat daripada yang kita bayangkan. Bila kaum Kiri mengecewakan aspirasi rakyat, akan ada pergeseran ke kanan, yang pada gilirannya hanya akan mempersiapkan ayunan yang lebih besar ke kiri
Kita harus mengikuti proses ini sebagaimana ia bergulir. Kita harus mempersenjatai diri kita dengan kesabaran revolusioner, karena kita tidak mungkin bisa memaksakan jadwal kita pada peristiwa-peristiwa yang harus mengikuti alur mereka sendiri menurut kecepatan mereka sendiri. Tetapi kita harus siap sedia untuk perubahan tajam dan mendadak, yang implisit dalam keseluruhan situasi. Peristiwa-peristiwa raksasa dapat mengunjungi kita lebih cepat daripada yang kita bayangkan. Tidak ada ruang untuk berpangku tangan. Kita harus membangun kekuatan organisasi kita secepat mungkin. Kita harus memiliki perasaan urgensi. Kita ada di jalan yang tepat. Kita harus membuktikan diri kita dalam aksi dan dalam praktik agar bisa menjadi pewaris sesungguhnya tradisi 1917, Lenin dan Trotsky, dan revolusi Bolshevik.
Kita harus memiliki keyakinan absolut terhadap kelas kita, kelas buruh, satu-satunya kelas yang kreatif, kelas yang menciptakan semua kekayaan dalam masyarakat, dan satu-satunya kelas revolusioner yang menggenggam nasib umat manusia dalam tangannya. Kita harus memiliki keyakinan total akan gagasan Marxisme, dan yang tidak kalah pentingnya, kita harus yakin pada diri kita sendiri: keyakinan absolut bahwa, dengan dipersenjatai gagasan Marxisme, kita akan membangun kekuatan yang diperlukan untuk memimpin perjuangan untuk mengubah masyarakat, untuk mengakhiri rejim yang penuh dengan kekejaman, ketidakadilan, eksploitasi dan perbudakan ini, dan mengantarkan umat manusia ke kemenangan sosialisme di seluruh dunia.
7 Februari 2018