1. Situasi Internasional
Ada sejumlah karakter yang mewarnai epos yang sedang kita masuki hari ini: polarisasi politik yang tajam ke Kiri dan ke Kanan; runtuhnya politik Tengah; krisis internal dalam kelas penguasa; dan masuknya kelas buruh, terutama lapisan-lapisan baru, ke dalam arena perjuangan kelas. Tidak ada satupun negeri yang luput dari krisis yang berkepanjangan ini, yang telah berlangsung lebih dari 10 tahun tanpa jalan keluar. Kaum kapitalis tampak terjebak dalam siklus krisis tanpa akhir, dimana setiap usaha untuk mengembalikan keseimbangan ekonomi niscaya mengakibatkan guncangan politik dan sosial, dan begitu juga sebaliknya.
Kekhawatiran akan resesi yang baru kini menghantui para ekonom. Setelah satu tahun lebih indeks saham terus menanjak, pada bulan-bulan terakhir ini mereka mulai melesu kembali. Ini diperparah oleh perang dagang antara AS dan China yang semakin memanas. AS terus meninggikan tembok proteksionisme – tidak hanya terhadap China, tetapi juga baru-baru ini terhadap Meksiko – dan ini dibalas dengan kebijakan tarif tinggi yang sama dari China.
Presiden AS Donald Trump disalahkan oleh para pengamat politik dan ekonomi sebagai biang kerok perang dagang ini, namun sesungguhnya perang dagang ini adalah keniscayaan dari krisis ekonomi yang tengah berlangsung. Dalam krisis ini tiap-tiap negeri ingin menyelamatkan dirinya sendiri dengan melindungi pasar domestik mereka dari kompetisi asing. Proteksionisme pada akhirnya adalah usaha untuk mengekspor pengangguran ke luar negeri.
a. Retaknya Uni Eropa
Dunia sedang dilanda oleh demam proteksionisme, dan drama panjang Brexit adalah satu bab kecil darinya. Inggris ingin lepas dari kerangka ekonomi bersama Uni Eropa agar nasibnya tidak terseret oleh krisis ekonomi yang melanda negeri-negeri UE, terutama Yunani, Italia, dan Spanyol. Tetapi pada saat yang sama Inggris juga tetap ingin bisa mengakses pasar Uni Eropa untuk menjual produk-produknya. Para petinggi UE tentu saja menolak ini: “Kalau kau masuk, kau masuk sepenuhnya. Kalau kau keluar, kau keluar sepenuhnya pula.” Ini menyebabkan krisis politik dalam Partai Konservatif yang berkuasa, sampai akhirnya Theresa May dipaksa berhenti dari jabatan Perdana Menteri oleh orang-orang partainya sendiri.
Pada kenyataannya, entah berada di dalam UE ataupun di luar, kaum buruh Inggris tetap akan menjadi pihak yang menanggung beban krisis kapitalisme. Program penghematan tetap akan diluncurkan, dan bahkan telah diluncurkan dengan konsekuensi yang menghancurkan. Menurut laporan PBB, sistem jaringan sosial Inggris telah tercabik-cabik oleh kebijakan penghematan kejam selama dekade terakhir. Sebagai akibatnya 14 juta rakyat Inggris – yakni 1/5 populasi – hidup dalam kemiskinan.
Drama Brexit ini telah digunakan oleh banyak demagog nasionalis untuk mengalihkan perhatian rakyat pekerja Inggris. Nasionalisme sempit, bersandingan dengan sentimen anti-migran, ditawarkan sebagai solusi untuk problem-problem mendesak rakyat Inggris.
Inggris bukan satu-satunya negeri yang ingin keluar dari Uni Eropa. Ada sentimen anti-status quo yang kuat yang berkembang di antara rakyat, dan di mata rakyat status quo terbesar adalah Uni Eropa. Mereka dijanjikan kemakmuran dan kesejahteraan ketika negeri mereka masuk ke dalam pasar UE, tetapi sekarang yang didapat hanyalah krisis yang berkepanjangan. Mimpi kemakmuran bersama Uni Eropa buyar. UE menjadi organisasi pusat yang mendorong kebijakan penghematan ke tiap-tiap anggotanya. Tanpa dijelaskan alternatif sosialis, rakyat pekerja lantas digiring oleh sentimen nasionalisme, bahwa problem-problem mereka akan selesai kalau saja mereka keluar dari Uni Eropa. Hasil pemilu Uni Eropa 2019 menunjukkan pergeseran ini. Partai-partai nasionalis anti-UE meraup perolehan suara yang besar, sementara partai-partai “sentris” mengalami penurunan signifikan.
Tidak ada satupun negeri yang luput dari guncangan-guncangan politik. Pada pilpres Ukraina belum lama ini, rakyat memilih seorang pelawak sebagai presiden mereka. Rasa muak dan benci rakyat pekerja Ukraina terhadap elite-elite politik dan oligarki kaya di belakang mereka, yang telah bertanggung jawab atas porak-porandanya Ukraina sementara mereka memperkaya diri sendiri, telah mendorong rakyat pekerja untuk memilih seorang tokoh yang sungguh jauh dari koridor kekuasaan. Memilih seorang pelawak sebagai presiden, rakyat seakan-akan ingin mengatakan bahwa politik di Ukraina memang sudah seperti guyonan.
Di Jerman, ketua Partai Sosial Demokratik (SPD) Andrea Nahles mengundurkan diri setelah hasil pemilu UE yang paling buruk bagi partainya. Dalam tubuh SPD ada perpecahan antara yang mendukung koalisi CDU-SPD dan yang menolaknya, dan mundurnya Andrea Nahles memperkuat kubu yang menolak. Ini jelas mengancam koalisi CDU (Persatuan Demokrat Kristen) dengan SPD. CDU, partainya Kanselir Angela Merkel, tidak akan bisa berkuasa tanpa membentuk koalisi dengan SPD. Jerman, yang dianggap sebagai batu penjuru Uni Eropa, tidak luput dari krisis politik.
Di Prancis, dunia dikejutkan oleh gerakan rompi kuning. Ratusan ribu rakyat turun ke jalan secara spontan, tanpa kepemimpinan, tanpa organisasi, tanpa partai, selama berminggu-minggu, untuk memprotes kenaikan harga BBM dan juga secara umum kenaikan biaya kehidupan. Massa rakyat tidak akan menunggu kepemimpinan partai atau serikat buruh ketika problem-problem pelik mereka menuntut solusi segera. Dalam hal ini, spontanitas massa menjadi kekuatan yang luar biasa, yang mengekspos kebobrokan para pemimpin serikat buruh reformis yang tidak mampu menyediakan perspektif perjuangan. Namun spontanitas massa menemui batasnya ketika dihadapkan dengan tugas selanjutnya untuk menumbangkan rejim Macron. Untuk melakukan ini dibutuhkan organisasi dengan kader-kader yang telah terhimpun dan program yang tepat yang mengikuti alur peristiwa dengan cermat, dan organisasi semacam ini tidak bisa diimprovisasi oleh massa.
Gerakan rompi kuning juga mewartakan berakhirnya politik tengah. Ketika Macron dan partainya (La Republique En Marche) terpilih, dia dielu-elukan sebagai simbol kemenangan politik tengah. Bukan Kiri, dan juga bukan Kanan, tetapi politik “akal sehat” yang tidak ekstrem. Namun kini popularitas Macron telah anjlok, karena politik tengah tidak lain adalah politik kelas penguasa untuk membuat rakyat pekerja membayar untuk krisis ini. Krisis kapitalisme yang dalam ini telah menghancurkan basis ekonomi dan sosial untuk politik tengah. Polarisasi ke Kiri dan ke Kanan adalah kecenderungan utama yang kini tengah berkembang.
b. Bara api revolusi di Afrika
Tahun 2019 juga menandai 25 tahun berakhirnya rejim apartheid di Afrika Selatan. Tetapi 25 tahun setelah ANC (Kongres Nasional Afrika) berkuasa, problem-problem rakyat kulit hitam Afrika Selatan belum juga terselesaikan. Pengangguran di antara rakyat kulit hitam mencapai 40%, dan di antara kaum muda di bawah 25 tahun mencapai 60%. Ini bukan lagi pengangguran karena siklus ekonomi boom-and-bust, tetapi pengangguran permanen yang organik, dimana selapisan besar rakyat pekerja menjadi gelandangan, terlempar keluar dari kelas mereka, dan menjadi lumpen permanen. Masalah reforma agraria juga masih terus menghantui jutaan petani kulit hitam, dimana mayoritas tanah masih di tangan tuan tanah dan kapitalis kulit putih (sekitar 70% di tangan kulit putih, yang hanya 10% total populasi).
Satu-satunya hal yang berhasil dicapai oleh 25 tahun berkuasanya ANC adalah terciptanya kapitalis-kapitalis kulit hitam baru, sementara mayoritas kulit hitam Afrika Selatan – buruh, tani dan kaum miskin kota – tetap berkubang dalam kemiskinan. Rejim apartheid boleh tumbang, tetapi selama kapitalisme masih bercokol maka kehidupan rakyat pekerja secara fundamental tidak berubah. Pelajaran yang sama bisa dipetik dari gerakan Reformasi 1998, yang menumbangkan Orde Baru tanpa menyentuh sama sekali keutuhan kapitalisme.
Kaum buruh Afsel mulai menjadi kritis terhadap elite kepemimpinan pro-kapitalis ANC, dan inilah yang lalu menciptakan perpecahan dalam tubuh ANC. Serikat Buruh Metal Nasional Afrika Selatan (NUMSA) yang beranggotakan lebih dari 300 ribu buruh pada 2014 pecah dari Aliansi Tripartit ANC-COSATU-SACP (COSATU: Kongres Serikat Buruh Afsel. SACP: Partai Komunis Afsel) karena kepemimpinan Aliansi Tripartit yang sudah mencampakkan kepentingan kelas buruh dan sosialisme demi menjaga aliansi kelas dengan kapitalis. Pada tahun yang sama, selapisan aktivis ANC yang lebih radikal memisahkan diri dan membangun partai Kiri yang baru, Economic Freedom Fighter (EFF). EFF pada pemilu 2019 meraup suara besar, meningkat dari 1.9% pada 2014 menjadi 10% dan memenangkan 19 kursi parlemen. Sementara ANC, yang terus dihantam skandal korupsi, mengalami penurunan suara. Proses radikalisasi dalam tubuh Aliansi Tripartit terus berlangsung, dan elemen-elemen muda dan buruh yang paling maju mulai menarik kesimpulan revolusioner dari kegagalan pada 1994 dan pengkhianatan para pemimpin reformis dalam tubuh Aliansi Tripartit.
Di Sudan, Omar al-Bashir yang telah berkuasa selama 30 tahun disingkirkan oleh gerakan massa pada April tahun ini. Kita sedang saksikan bergulirnya Revolusi, yakni ketika massa rakyat yang sebelumnya tersingkirkan dari politik kini memasuki arena sejarah secara paksa. Majunya kaum perempuan Sudan, yang adalah lapisan paling tertindas, ke barisan terdepan gerakan adalah satu lagi fitur tak terbantahkan dari revolusi.
Rejim yang brutal dan korup ini, yang bertanggung jawab atas genosida selama Perang Sipil Sudan yang menelan korban 2 juta rakyat, diguncang oleh demo sejak Desember 2018. Pemicunya adalah kebijakan pemerintah yang mengakhiri subsidi sembako, yang merupakan kebijakan racikan IMF. Kita diingatkan oleh skenario serupa ketika Soeharto menerapkan kebijakan pemotongan subsidi yang “dianjurkan” oleh IMF pada Januari 1998, dan dalam waktu 4 bulan Soeharto ditumbangkan oleh massa.
Ketika situasi sudah tidak bisa lagi dikendalikan, perwira-perwira tinggi militer — yang juga mendapatkan izin dari tuan-tuan imperialis mereka — memutuskan untuk menyingkirkan Omar al-Bashir guna menenangkan massa. Ini merupakan strategi umum kelas penguasa: luncurkan reformasi di atas — biasanya reforma-reforma yang hanya bersifat kosmetik dan dangkal — untuk mencegah revolusi dari bawah. Namun lengsernya Omar al-Bashir tidak menghentikan gerakan, yang menjadi semakin percaya diri akan kekuatannya.
Junta militer memutuskan untuk mengambil kekuasaan supaya dapat segera memadamkan api revolusi yang semakin tidak terkendali. Parlemen dibubarkan, Konstitusi dibatalkan, dan Dewan Militer Transisional dibentuk sebagai gantinya. Represi kejam diluncurkan oleh junta militer, dan lebih dari 100 orang telah terbunuh dan ratusan lainnya terluka. Kampanye pemerkosaan dilakukan oleh milisi-milisi reaksioner untuk mengintimidasi kaum perempuan yang selama gerakan revolusioner ini telah menjadi simbol keberanian massa.
Keberanian massa Sudan dalam menghadapi rezim yang brutal ini adalah sebuah inspirasi bagi semua rakyat tertindas di dunia. Tetapi keberanian sebesar apapun ada batasnya ketika dihadapkan dengan aparatus kekerasan kelas penguasa yang terorganisir, yang telah ditempa lama khusus untuk menindas rakyat. Keberanian dan inisiatif massa oleh karenanya harus diorganisir pula, harus ditempa ke dalam sebuah organisasi revolusioner dengan program dan kepemimpinan yang siap untuk mengemban tugas-tugas yang dikedepankan oleh situasi yang berkembang. Inilah yang tidak ada di Sudan dan massa rakyat harus membayar mahal. Kontra-revolusi kini sedang berkecamuk tetapi ini bukan akhir dari perlawanan rakyat, yang sampai hari ini masih terus berkecamuk. Rakyat telah belajar banyak dari pengalaman ini, terutama tentang kekuatan dirinya sendiri yang mampu mendompleng rejim yang tampaknya paling kokoh sekalipun.
c. Revolusi Venezuela
Pada awal 2019 kaum kapitalis dan tuan tanah Venezuela mencoba merebut kekuasaan kembali lewat kampanye kebohongan mengenai “krisis kemanusiaan” sebagai dalih untuk intervensi asing. Tetapi sekali lagi usaha kudeta ini dipatahkan oleh mobilisasi massa rakyat Venezuela. Juan Guaido, yang mendapat pengakuan dari Tuan Imperialis ASnya sebagai “Presiden Sah”, ternyata seperti Sang Kaisar Telanjang. Ia membayangkan kalau massa rakyat dan tentara akan mengikuti perintahnya untuk menumbangkan Maduro, tetapi seruannya ditanggapi dengan senyap. Di demo-demo anti Maduro, yang hadir hanyalah para borjuis dan borjuis kecil perlente, dengan baju dan perhiasan mahal. Sementara ini dibalas dengan demo-demo besar yang para pesertanya akan terlalu “liar” dan “kotor” menurut para pendukung Guaido.
Venezuela adalah laboratorium revolusi-dan-kontrarevolusi yang harus jadi perhatian tiap-tiap insan pejuang. Ia menjadi pengingat akan bahaya dari sebuah revolusi yang setengah jalan, yang berhenti sebelum mencapai kesimpulannya, yakni sosialisme. Bukan untuk pertama kalinya Revolusi Bolivarian berhadapan dengan usaha kaum oligarki dan imperialis untuk meremukkannya, dan berulang kali inisiatif dan keberanian massa memukul balik. Walau di satu sisi kemenangan demi kemenangan atas usaha-usaha kudeta ini adalah sesuatu yang harus dirayakan, di sisi lain fakta bahwa kelas penguasa Venezuela masih utuh dan bisa terus meluncurkan usaha kontra-revolusi menunjukkan kekurangan terbesar dari Revolusi Bolivarian: ketidakmampuannya untuk meraih kemenangan akhir.
Krisis kemanusiaan yang digembar-gemborkan oleh media massa bukanlah sepenuhnya kebohongan atau konspirasi. Ekonomi Venezuela sedang dalam kondisi carut marut. Produksi anjlok, inflasi tak terkendali dan ada kekurangan barang-barang. Ini terutama dikarenakan boikot atau mogok kapital dari para pemilik modal, yang sampai hari ini masih memegang kendali atas tuas-tuas ekonomi utama. Kaum kapitalis tidak punya niat untuk berinvestasi dan berproduksi kalau rejim yang ada tidaklah bersahabat dengannya, kalau rejim yang ada mengontrol harga dan menaikkan upah buruh, dengan kata lain kalau rejim mengganggu berjalannya pasar bebas kapitalis. Jalan keluar dari kebuntuan ini adalah dengan menasionalisasi seluruh alat produksi milik kapitalis dan tuan tanah Venezuela dan menjalankannya dengan sistem ekonomi terencana yang demokratis, dan ini satu langkah menuju sosialisme yang sampai sekarang belum dilakukan oleh Revolusi Bolivarian.
Penghambat utamanya adalah tidak adanya kepemimpinan Marxis. Chavez adalah seorang revolusioner yang jujur, tetapi ia bukanlah seorang Marxis. Sementara yang bercokol dalam pemerintahan Bolivarian hari ini adalah sekumpulan birokrat reformis yang tidak memahami bahwa Sosialisme – bukan hanya dalam kata-kata tetapi dalam tindakan – adalah satu-satunya jalan keluar bagi Revolusi Bolivarian yang kini dalam keadaan di ujung tanduk. Mereka lebih memilih untuk memberi konsesi dan bernegosiasi dengan oposisi, dengan harapan bisa mempertahankan status quo tanpa harus pecah dari kapitalisme. Tetapi Revolusi Bolivarian tidak bisa berhenti di tengah jalan. Entah ia maju menuju Sosialisme, atau kelas penguasa merebut kekuasaan kembali untuk memastikan berfungsinya kapitalisme. Terlebih lagi, kelas penguasa tidak hanya ingin kembali berkuasa, mereka akan meluncurkan reaksi untuk menghancurkan seluruh pencapaian Revolusi Bolivarian dan menghukum rakyat pekerja yang telah berani membangkang dengan represi dan persekusi. Pilihannya hanya dua: Sosialisme atau Reaksi. Dengan Maduro dan kepemimpinan Revolusi Bolivarian yang ada hari ini, jalan sedang dipersiapkan untuk kemenangan Reaksi.
d. Ketidakstabilan di Pusat Kapitalisme Dunia
Di Amerika Serikat, di pusat kapitalisme dunia, pemerintahan ada dalam kondisi kacau, dengan benturan-benturan tajam antara elit politik. Di satu sisi adalah Presiden Donald Trump, yang terpilih di luar kehendak kelas penguasa AS, bahkan di luar kehendak para petinggi Partai Republiken. Ia memerintah layaknya orang kesurupan, tanpa kendali dan banyak pernyataan serta kebijakannya tampak tidak masuk di akal. Namun sesungguhnya Donald Trump adalah ekspresi dari krisis dalam masyarakat AS. Dia bukan penyebab kacaunya politik AS, tetapi adalah hasil dari kekacauan tersebut, yang dipicu oleh krisis finansial 2008. Tidak pernah dalam sejarah kita lihat Presiden langsung berbenturan dengan aparatus negara (FBI, CIA, Kejaksaan Agung, dan lainnya).
Di sisi lain ada polarisasi hebat dalam masyarakat AS. Sebuah survei pada Maret tahun ini menemukan separuh dari kaum muda AS mendukung sosialisme. Ketika ditanya “Apakah kalian memilih tinggal di sebuah negeri sosialis”, 49,6% kaum Milenial (yang lahir antara 1981 dan 1996) dan Generasi Z (yang lahir setelah 1997) menjawab ya. Ini merupakan indikator yang sangat penting, di sebuah negeri dimana sosialisme adalah tabu besar. Pergeseran generasi muda ke politik revolusioner semakin terlihat secara konkret.
Radikalisasi kaum muda ini adalah fenomena yang mendunia. Mereka mengekspresikan diri mereka dalam berbagai medan perjuangan: penyelamatan lingkungan hidup, anti rasisme, anti diskriminasi gender, gerakan perempuan, dsb. Bila kaum revolusioner mampu menghimpun mereka di bawah panji sosialisme ilmiah, dan keluar dari sempitnya politik borjuis kecil, mereka akan jadi batalion penggebrak kapitalisme yang ampuh. Sosialisme dalam masa hidup kita bukan sesuatu yang mustahil.
2. Situasi Nasional
a. Pemilu 2019
2019 diwarnai oleh pertarungan yang alot antara dua kubu yang sama, yakni Jokowi versus Prabowo. Tetapi kali ini konstelasi kekuatan-kekuatan politik di antara kedua kubu ini sudah berubah. PPP dan Golkar — serta Partai Bulan Bintang — yang sebelumnya ada di kubu Prabowo pada 2014 kini sudah bergabung dengan tim pemenangan Jokowi. Dengan ini partai-partai jaman Orde Baru semua bersemayam di kubu Jokowi. Diktum bahwa “tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan” sungguh adalah karakter perpolitikan kelas penguasa. Layaknya bunglon, mereka terus berganti warna.
Tidak sedikit kaum liberal pendukung Jokowi yang berargumen bahwa kubu Prabowo adalah bagian dari sisa-sisa Orba yang ingin berkuasa kembali. Dengan ini mereka mengajukan politik “memilih terbaik dari yang terburuk”. Ini di tengah fakta bahwa Partai Golkar sebagai partainya Orde Baru – selain PDI-P dan PPP yang juga menjadi pilar “demokrasi” Orde Baru – berada di belakang tim pemenangan Jokowi. Fakta ini tidak menghentikan kaum liberal pendukung Jokowi untuk menggambarkan kemenangan Jokowi sebagai benteng penghadang kembalinya Orde Baru, sementara benteng mereka justru terdiri dari elemen-elemen utama rezim Orde Baru.
Pada kenyataannya “sisa-sisa” Orba meresap ke dalam seluruh sumsum politik borjuasi hari ini, entah dalam kubu 01 atau 02. Ini tidak bisa tidak karena kegagalan Reformasi 1998 untuk sungguh mencabut Orde Baru sampai ke akar-akarnya. Apa artinya “mencabut Orba sampai ke akar-akarnya”? Ini secara efektif berarti: 1) membersihkan dari atas hingga bawah seluruh jajaran pemerintahan, kepolisian dan angkatan bersenjata yang membentuk rejim Orde Baru; 2) menyita kekayaan para koruptor dan kapitalis-kapitalis besar yang telah secara langsung atau tidak langsung meraup kekayaan besar lewat koneksinya dengan kediktatoran Orba (Keluarga Cendana, Salim Group, Ciputra Group, Freeport, perusahaan-perusahaan minyak asing, dll.). Secara praktis kedua tugas ini niscaya mengarah pada penumbangan secara menyeluruh kekuatan politik dan ekonomi kapitalis. Dalam kata lain, hanya sosialisme yang mampu membersihkan sisa-sisa Orde Baru. Kaum liberal yang mengeluh mengenai sisa-sisa Orba tidak mampu bertanya pada diri mereka sendiri: mengapa sisa-sisa Orba ini masih terus ada lebih dari 20 tahun setelah Reformasi?
Reformasi 1998 bahkan tidak mampu membawa sang Jagal ke pengadilan. Politisi dan birokrat yang sama masih memegang kendali pemerintah, dan terutama ABRI masih secara fundamental utuh. Kapitalis-kapitalis yang sama masih memegang kendali ekonomi bangsa. Oleh karenanya usaha untuk memilah-milah faksi borjuasi mana yang bersih dari Orba dan mana yang kotor tidak hanya akan sia-sia tetapi juga membiuskan kita dari bahaya kembalinya Orba yang sesungguhnya.
Rejim Orba bukanlah rejim yang tiba hanya karena hadirnya sejumlah tokoh yang anti demokrasi, yang punya kecenderungan otoriter atau militeris. Rejim Orba tiba karena krisis kapitalisme yang dalam yang membutuhkan solusi-solusi non-parlementer. Kelas penguasa tidak serta merta mendirikan rejim kediktatoran militer hanya karena ada sejumlah petinggi militer yang mendambakannya, tetapi karena mereka membutuhkan rejim semacam ini untuk membawa kembali ketertiban yang dikacaukan oleh tajamnya perjuangan kelas. Untuk alasan ini, adalah kekeliruan total untuk membayangkan kalau terpilihnya Prabowo pada pemilu 2019 ini akan berarti kembalinya Orde Baru, atau terbukanya pintu untuk kembalinya Orde Baru.
Rejim demokratik sampai saat ini masih ampuh untuk mempertahankan ketertiban yang diperlukan untuk berlangsungnya kapitalisme secara normal. Pemerintahan Jokowi berhasil meloloskan dan mempertahankan PP78 sampai hari ini tanpa harus mengerahkan tentara untuk menghilangkan aktivis-aktivis buruh. Lewat mekanisme hukum dan parlemen, penindasan terhadap buruh, tani dan kaum miskin kota berjalan mulus tanpa hambatan berarti. Walaupun kekerasan negara masih digunakan di sejumlah kasus — terutama kalau kita bicara mengenai penindasan terhadap rakyat Papua — tetapi tidak dalam tingkatan yang sampai memerahkan Sungai Bengawan Solo. Rejim Jokowi adalah idaman kelas penguasa, yang bisa memastikan dominasi kapital tanpa harus menggunakan kekerasan terbuka dan cukup dengan ilusi demokrasi.
Hasil akhir pilpres 2019 menunjukkan satu hal yang tidak bisa dibantah bahkan oleh seluruh kekuatan PR tim pemenangan Jokowi: tidak ada perubahan nyata dan fundamental yang dirasakan oleh rakyat pekerja. Pada pilpres kali ini Jokowi memenangkan 55.5% suara, yakni naik hanya sekitar 2 persen dari pilpres 5 tahun yang lalu. Kenaikan perolehan suara yang kecil ini berbeda jauh dengan gembar gembor prestasi pemerintahan Jokowi, yang bila memang demikian seharusnya bisa memenangkan lebih banyak lagi pemilih.
Tidak hanya itu. Koalisi Jokowi pada pilpres kali ini (Koalisi Indonesia Kerja) terdiri dari partai-partai yang mengantongi 63,62% suara legislatif, sementara pada 2014 koalisi Jokowi (Koalisi Indonesia Hebat) terdiri dari partai-partai dengan 40.88% suara. Ini berarti kendati koalisi partai yang jauh lebih besar kenaikan suara Jokowi relatif sangat kecil.
Lewat demagoginya Prabowo berhasil menggalang dukungan dari rakyat yang kecewa dengan rejim yang ada. Namun demagogi Prabowo hanya bisa berhasil karena ada buruh yang jadi korban kebijakan-kebijakan pro-modal seperti PP78, ada kaum tani yang tanahnya diserobot untuk kepentingan “pembangunan”, ada kaum sarjana muda yang pengangguran, ada segelintir yang terus bertambah kaya sementara yang lain terus berkubang dalam kemiskinan. Pada akhirnya, kegagalan rejim Jokowi-lah yang menciptakan basis dukungan bagi Prabowo.
Kebuntuan kapitalisme juga menjadi lahan subur bagi tumbuhnya prasangka-prasangka terbelakang di antara selapisan rakyat. Tidak mampu lagi mengharapkan penghidupan yang lebih baik di atas bumi yang material ini, maka rakyat pun melayangkan pandangannya ke surga di akhirat. Rakyat yang sudah menyerah akan kekuatan untuk mengubah nasibnya sendiri niscaya menyerahkan nasibnya pada kekuatan di luar yang lebih besar. Fanatisme agama dengan segala irasionalitasnya pun menjadi satu-satunya hal yang rasional di dunia yang tampaknya begitu kejam bagi mereka. Politisasi agama — dan tidak ketinggalan pula, sentimen rasis anti-Cina — jadi salah satu fitur dalam pilpres kali ini, yang sungguh berbeda dengan pilpres sebelumnya dimana kedua capres gagah-gagahan siapa yang lebih dekat dengan citra Bung Karno. Ini menunjukkan semakin bangkrutnya politik borjuasi.
b. Terbaik dari yang terburuk
Kaum Kiri kembali lagi dihadapkan pada perdebatan mengenai sikap yang harus mereka ambil dalam pemilu ini, dan sekali lagi tidak sedikit yang gagal mempertahankan kemandirian kelas. Kita membayangkan kalau pengalaman 5 tahun rejim Jokowi ini mungkin akan menjadi pelajaran bagi para Kiri pendukung Jokowi untuk bisa melakukan refleksi. Tetapi tidak demikian. Kaum Kiri pendukung Jokowi ini, yang tidak lebih dari kaum liberal, sesungguhnya tidak mendasarkan politik mereka pada fakta, tetapi pada prasangka-prasangka borjuis kecil: ketaatan pada kapitalisme dan norma-normanya; pengabdian yang hampir fanatik pada parlemen di satu sisi dan ketidakpercayaan pada kekuatan rakyat pekerja sebagai penggerak sejarah di sisi lain; kebimbangan politik yang mengantarnya untuk selalu membuntuti kelas borjuasi, karena sesungguhnya kaum borjuis kecil tidak pernah memiliki kemandirian kelas dan politik.
Terbaik dari yang terburuk menjadi panduan politik kaum Kiri pendukung Jokowi, bahkan di antara mereka yang mengaku sebagai Marxis revolusioner. Dengan alasan “dukungan kritis”, atau banyak argumen lainnya seperti “mencoblos Jokowi hanya untuk menghadang Prabowo dan tetap akan selalu mengkritik Jokowi,” kaum Kiri semacam ini bahkan lebih buruk dari kaum Liberal, yang setidaknya jujur dengan oportunisme mereka. Oportunisme malu-malu dari mereka-mereka yang mengaku Marxis sesungguhnya lebih berbahaya, karena mencoba menyeludupkannya ke dalam gerakan kelas buruh dengan memelintir Marxisme.
Politik “terbaik dari yang terburuk” hanyalah refleksi dari ketidakpercayaan pada kapasitas rakyat pekerja untuk memperjuangkan “terbaik dari yang terbaik”, yakni sosialisme. Dengan alasan “terbaik dari yang terburuk”, perjuangan untuk kemandirian politik rakyat pekerja — yang secara konkret berarti pembangunan partai kelas buruh — selalu ditunda. Lalu ketiadaan partai kelas buruh dijadikan alasan untuk politik “terbaik dari yang terburuk”, dan seterusnya ad infinitum sehingga menjadi siklus abadi. Untuk alasan yang serupa kelas buruh Amerika Serikat sampai hari ini tidak memiliki partai buruh karena para pemimpin buruhnya selalu mendukung Partai Demokrat, satu dari dua partai borjuasi di AS, sebagai pilihan “terbaik dari yang terburuk”.
Hari ini, ketika kemandirian kelas adalah prinsip yang harus dipertahankan di tengah-tengah kebangkrutan Kiri yang sudah menyerah dalam memperjuangkan sosialisme, maka kaum revolusioner tidak boleh memberikan barang satu sentimeter pun konsesi pada politik “terbaik dari yang terburuk”. Satu-satunya posisi yang tepat bagi kaum Marxis adalah tidak memberikan secuilpun dukungan pada kedua kamp, dan menjelaskan dengan sabar, telaten, dan konsekuen pada rakyat pekerja – terutama sekarang pada lapisan buruh maju yang sadar kelas – akan pentingnya menjaga kemandirian kelas dengan harga apapun.
c. Tong Kosong Berdikari
Tinta pemilu di jari belum lama kering, pada 26 April, dua hari setelah hari Pemilu, pemerintahan Indonesia menandatangai 23 MOU pembangunan infrastruktur dengan Tiongkok yang bernilai 14,2 miliar dolar AS. Selama masa kampanye Jokowi diam seribu bahasa mengenai investasi asing dari Tiongkok, karena jelas khawatir kalau ini akan digunakan sebagai serangan dari lawannya bahwa Indonesia di bawah Jokowi bertekuk lutut di bawah jempol modal asing. Jokowi tidak ingin mengekspos kosongnya janji kampanyenya kalau Indonesia akan berdikari di bawah pemerintahannya.
Pada pilpres 2014, Jokowi juga menjanjikan Indonesia yang berdikari, di tengah atmosfer pemilu yang penuh dengan umbaran nasionalisme. Namun pada kenyataannya jumlah investasi asing ke Indonesia terus meningkat, seperti yang bisa kita lihat di grafik di bawah. Tidak ada perubahan signifikan dalam laju pertumbuhan investasi asing di bawah kekuasaan rejim Jokowi dibandingkan dengan rejim SBY sebelumnya.
Grafik 1. Foreign Direct Investment di Indonesia, dalam triliun Rupiah (Sumber: https://tradingeconomics.com/indonesia/foreign-direct-investment)
Infrastruktur Indonesia sangatlah tidak memadai, dan infrastruktur yang ada sudah usang dan membutuhkan renovasi atau pembangunan ulang. Indonesia menempati ranking 46 pada 2018 dalam indeks infrastruktur menurut World Bank’s Logistics Performance Indicator. Pemerintahan oleh karenanya membutuhkan modal yang besar terutama untuk pembangunan infrastruktur yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi di sini maksudnya adalah kelancaran berbisnis bagi kapitalis, domestik maupun asing.
Masalahnya Indonesia dengan sendirinya tidak mampu menggalang modal besar yang diperlukan ini. Ini dikarenakan keterbelakangan dari kelas kapitalis Indonesia itu sendiri. Tidak mampu berpikir jangka panjang, kelas kapitalis Indonesia tidak pernah punya inisiatif untuk menanamkan investasi jangka panjang – yakni infrastruktur bangsa – yang membutuhkan kapital besar dengan “return” (atau profit) yang lama realisasinya. Mereka hanya mampu berpikir bagaimana meraup profit dalam jangka pendek tanpa menggelontorkan modal besar. Kapitalis Indonesia menginginkan infrastruktur yang baik untuk kelancaran bisnis mereka, tetapi mereka tidak ingin membayarnya.
Ketertundukan kapitalis Indonesia pada modal asing juga terus membuat mereka kerdil, dan hanya mampu bergerak di sektor-sektor yang memang tidak bersandar secara krusial pada infrastruktur-infrastruktur besar. Niscaya, pemerintah Indonesia hanya bisa bersandar pada modal asing, entah lewat pinjaman langsung atau joint partnership, untuk menggenjot pembangunan infrastruktur.
Di sini kita saksikan imperialisme, sebagai tahapan kapitalisme tertinggi, mendominasi lewat kekuatan modal. Negeri-negeri kapitalis maju mengekspor kapital mereka ke negeri-negeri miskin kapital seperti Indonesia. Penjajahan tidak perlu lagi dilakukan dengan metode militer secara langsung, tetapi cukup lewat dominasi modal. Indonesia tidak hanya terikat oleh pinjaman dan bunga besar yang menyertainya, tetapi setiap MOU yang ditandatanganinya mengikutsertakan banyak klausa-klausa yang menguntungkan sang pemberi pinjaman. Bahkan bila penamanan modal asing ini bukan dalam bentuk pinjaman langsung, tetapi dalam bentuk joint partnership untuk proyek-proyek infrastruktur, ini tetap dengan klausa-klausa yang memberi pihak asing kontrol dan keuntungan besar.
Pemerintah bisa saja mengumbar bahwa dengan investasi infrastruktur besar-besaran ranking indeks infrastruktur Indonesia (World Bank’s Logistics Performance Indicator) meningkat dari 53 pada 2014 menjadi 46 pada 2018. Namun, siapa yang akhirnya harus membayar biaya pembangunan infrastruktur ini? Rakyat pekerja! Merekalah yang akan dibebankan oleh pembayaran hutang negara, sementara infrastruktur yang dibangun hanya akan semakin menambah besar pundi kekayaan kapitalis dan memperkuat cengkraman modal asing.
Pemerintahan Jokowi bersorak sorai dengan pengumuman bahwa Freeport kembali menjadi milik Indonesia setelah beroperasi sejak 1973. Ini dijadikan poster Berdikari. Tetapi pada kenyataannya, pemerintahan Indonesia harus membayar harga yang besar, 3,9 miliar dolar AS (untuk meningkatkan kepemilikan sahamnya dari 9,36 % menjadi 51,23 %). Selain itu, lewat perjanjian ini Freeport dianugerahi ijin beroperasi sampai 2041. Kepemilikan Indonesia atas Freeport tidak akan meningkatkan kesejahteraan buruh Freeport ataupun rakyat Papua, karena Freeport masih akan berjalan di bawah logika pasar kapitalis dunia yang menuntut profit dengan memeras rakyat pekerja dan menghancurkan lingkungan hidup. Selain itu, rakyat Papua tidak pernah ditanya apakah mereka setuju dengan keberadaan Freeport yang telah memporakporandakan bumi mereka dan menjajah mereka. Bahkan ke-Berdikari-an Indonesia harus dibayar dengan menyangkal aspirasi kemerdekaan rakyat Papua.
Rakyat pekerja Indonesia tidak akan bisa membebaskan dirinya selama masih ada selapisan rakyat yang tertindas di bawah kerangka negara-bangsa Indonesia. Tidak ada Berdikari yang sesungguhnya bagi rakyat pekerja Indonesia selama rakyat Papua masih tertindas sebagai sebuah bangsa. Untuk alasan ini, program perjuangan revolusioner kelas buruh Indonesia harus mengikutsertakan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Penyelesaian masalah kebangsaan Papua tidak bisa terlepas dari Revolusi Indonesia. Satu-satunya cara bagi kelas proletariat Indonesia untuk membela hak penentuan nasib sendiri rakyat Papua adalah dengan menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan di atas puing-puingnya membangun Negara Buruh yang akan mengakui hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua, sampai ke pemisahan bila memang demikian kehendak demokratik rakyat Papua.
Tetapi kaum revolusioner Indonesia tidak berhenti hanya pada pengakuan hak penentuan nasib sendiri saja. Kaum revolusioner Indonesia akan berjuang pula untuk persatuan kelas, untuk internasionalisme, dengan seruan “Buruh Sedunia Bersatulah!” Kaum buruh Indonesia dan Papua bersatu untuk menumbangkan kapitalisme dan membangun sosialisme, tidak hanya di bumi Indonesia dan Papua tetapi sebagai bagian dari Federasi Sosialis Se-Asia, sebagai bagian dari Federasi Sosialis Se-Dunia.
d. Modal Tiongkok dan Sentimen Rasis Anti-Tiongkok
Selama satu dekade terakhir, Tiongkok terus meluaskan pengaruh ekonominya dengan mengekspor kapital ke berbagai negeri di Afrika, Asia Tenggara dan Asia Selatan. Tiongkok – lewat entah perusahaan privat atau BUMN – bahkan meningkatkan investasinya ke AS dan Eropa dengan membeli banyak perusahaan-perusahaan besar di sana, sebuah langkah yang mulai diblokir oleh pemerintahan AS dan Eropa yang takut akan dominasi Tiongkok.
Pada 2000, total investasi asing Tiongkok hanyalah 27 miliar dolar, dibandingkan dengan Amerika Serikat sebesar 2700 miliar dolar. Pada 2017, jumlah investasi asing Tiongkok telah meningkat menjadi 1480 miliar dolar, atau meningkat 50 kali lipat. Namun ini pun relatif masih kalah dengan Amerika Serikat, yang pada 2017 mengekspor kapital sebesar 7800 miliar dolar.
Di Indonesia investasi Tiongkok meningkat pesat selama 5 tahun terakhir. Pada 2017 Tiongkok adalah investor asing ke-2 terbesar, padahal beberapa tahun sebelumnya negeri Tirai Bambu ini bahkan bukan berada di lima besar.
Tiongkok sebagai kekuatan kapitalis baru niscaya harus terus melakukan penanaman modal di banyak negeri lainnya guna meluaskan pasarnya. Ini bukan dilakukannya sebagai amal. Tidak ada ruang untuk amal dalam sistem kapitalisme global. Yang ada adalah politik dominasi kapital dengan saling memangsa. Untuk bisa melawan kekuatan-kekuatan kapitalis besar lama, seperti AS dan Eropa yang telah membagi-bagi dunia menjadi wilayah “jajahan” ekonominya, Tiongkok harus melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukan oleh pendahulunya untuk mendapatkan “koloni-koloni”.
Di manapun mereka berada, perluasan modal Tiongkok menuai gejolak sosial. Di satu sisi adalah bagaimana rakusnya modal Tiongkok. Banyak proyek yang dibiayai modal Tiongkok justru menjadi jebakan hutang. Selain itu, investasi modal Tiongkok membangun zona-zona industri dengan eksploitasi buruh yang brutal, guna memeras setiap tetes keringat buruh agar dapat membayar kembali modal yang telah ditanamkan itu. Di sisi lain adalah periode hari ini ketika kapitalisme sedang memasuki krisis yang menyerang standar hidup rakyat pekerja. Masuknya modal asing tidak lantas menciptakan kesejahteraan bagi rakyat pekerja luas, berbeda misalnya selama periode boom kapitalis, tetapi justru semakin meningkatkan intensitas eksploitasi dan penindasan. Modal asing yang masuk jadi target mudah kegeraman massa atas eksploitasi yang mereka rasakan. Ini digunakan oleh politisi-politisi reaksioner yang tidak ragu menggunakan prasangka rasialis anti-Cina, tidak hanya untuk kepentingan politik mereka tetapi juga untuk mengalihkan perhatian rakyat pekerja dan memecah belah mereka.
Selama kampanye pilpres, Prabowo menggunakan momok investasi Tiongkok sebagai senjatanya untuk mendulang suara dari prasangka anti-Cina di antara selapisan rakyat. Sejumlah pemimpin serikat buruh, seperti Said Iqbal, juga tidak ketinggalan menggunakan prasangka terbelakang ini dengan tuntutan “Tolak TKA Cina”nya. Tidak mampu memberikan kepemimpinan pada gerakan buruh yang mampu mematahkan PP 78, menghapus sistem kerja kontrak dan outsourcing, dan memperjuangkan upah layak, para pemimpin ini memilih mengalihkan perhatian buruh dengan rasisme.
c. Masa Depan Rejim Jokowi 2.0
Rejim Jokowi adalah rejim favorit kelas penguasa hari ini, yang dilihatnya mampu membawa kestabilan politik yang diperlukan untuk kelancaran bisnis. Tetapi di balik kestabilan ini ada gemuruh perjuangan kelas yang terus berkumpul.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dimungkinkan lewat penekanan upah buruh. Ini pun bagi kelas kapitalis masih belum cukup untuk memastikan terusnya pertumbuhan ekonomi, yang kini terancam oleh melambatnya perekonomian dunia dan semakin tajamnya perang dagang antara AS dan Tiongkok. Kaum pemilik modal semakin menekan pemerintahan Jokowi untuk terus mereforma UU perburuhan, terutama yang terkait dengan pesangon yang dinilai terlalu tinggi.
Konflik agraria terus terjadi, yang menelan 41 korban jiwa dan 546 korban aniaya selama periode 2014-2018. Luas konflik tanah ini mencapai lebih dari 800 ribu hektar, yang didominasi oleh perkebunan sawit. Jokowi mengklaim telah meluncurkan reforma agraria besar dengan pembagian sertifikasi tanah. Pertama, sertifikat tanah diberikan pada tanah-tanah yang tak bermasalah, yang memang sudah seharusnya jadi hak rakyat. Sementara tanah-tanah yang bermasalah, dimana hak guna atau izin konsesi diberikan pada perusahaan-perusahaan besar (swasta maupun milik negara) dan lantas berbenturan dengan warga setempat yang menggarapnya atau bermukim di sana, tidak dilibatkan dalam program sertifikasi ini.
Selain itu, secarik kertas bernama sertifikat tanah ini tidak akan melindungi kaum tani dan rakyat desa dari serobotan tanah oleh perusahaan sawit, yang di belakang mereka berdiri kekuatan modal, pengacara, dan tentunya aparatus kekerasan, entah polisi, tentara, atau preman bayaran. Selama kemiskinan masih jadi wabah di daerah pedesaan, rakyat desa tetap akan terpaksa menjual tanah mereka dengan harga murah pada yang pemilik modal besar. Sertifikasi tanah hanya akan jadi legalisasi pengkonsentrasian kepemilikan tanah di tangan segelintir kapitalis, dan ini hanya menyiapkan ledakan konflik agraria yang lebih besar di kemudian hari.
Ledakan besar sedang dipersiapkan di Indonesia. Suasana tenang sekarang hanyalah tenang sebelum badai. Kaum buruh walaupun hari ini ada dalam kondisi kemunduran akan kembali memasuki panggung sejarah seperti pada periode 2012-13, tetapi di tingkatan yang lebih tinggi. Tidak ada satupun kekuatan birokrasi yang bisa menghalangi kaum buruh bila mereka sudah mulai bergerak. Para pemimpin reformis yang telah menjadi kerak gerakan buruh akan tersingkir. Tugas kaum revolusioner hari ini adalah mempersiapkan kader-kadernya agar mampu menyambut pasang naik perjuangan kelas, agar ledakan perjuangan kelas ini tidak tersia-siakan seperti uap tanpa kotak piston.