Pertarungan Mike Tyson versus Jake Paul yang berlangsung minggu lalu merupakan tontonan yang menyedihkan dalam dunia tinju. Seorang petinju tua mantan juara dunia kelas berat melawan seorang petinju muda YouTuber. Ini lebih merupakan hiburan sensasional daripada laga profesional yang seimbang. Tetapi di dalam kapitalisme, semua perhitungan adalah uang. Bagaimanapun juga pertandingan ini menghasilkan keuntungan yang sensasional.
Pertandingan ini menarik 120 juta penonton Netflix di seluruh dunia. Belum lagi 72 ribu penonton yang memadati stadium. Ada 65 juta penonton pada satu waktu. Laga ini benar-benar menguntungkan dan menyaingi beberapa acara olahraga yang paling banyak ditonton.
Jake Paul merupakan YouTuber terkenal dan kaya yang memiliki perusahaan Most Valuable Promotions yang bermitra dengan Netflix untuk mempromosikan pagelaran tinju ini. Dari penjualan tiket di stadium saja promoter meraup US$18 juta, yang memecahkan rekor. Kekayaan Jake Paul juga bertambah US$40 juta, sementara Mike Tyson dibayar US$20 juta. Saham Netflix melejit, karena tentunya dengan puluhan juta streamer mereka meraup bila bukan puluhan pasti ratusan juta dolar.
Mereka yang menginginkan Tyson, Si Leher Beton tidak akan menyaksikan sang Leher Beton itu kembali. Sang Leher Beton itu kini tidak lebih dari seorang pria tua. Usia tua dengan riwayat kesehatan mental dan kecanduan alkohol membuat dia tidak dapat bertanding seperti dulu. Tidak ada lagi yang tersisa lagi dari diri Mike Tyson.
Bagi petinju tua, waktu bertarung seperti melewatkan malam yang panjang. Di ronde awal beberapa pukulan Tyson mendarat dengan cepat, tapi setelahnya dia hanya bertahan. Nafasnya begitu berat. Mulutnya terus mengangga di sepanjang pertarungan seperti seorang yang sudah kehabisan nafas dan stamina. Semangatnya bisa jadi masih sama, tapi rentanya usia terus memberontak.
Kaki-kakinya begitu sempoyongan menopang berat badannya. Di masa muda dulu mungkin dia bisa menghindari pukulan yang datang dari Paul. Ia akan menyelinap dan menjatuhkannya. Tetapi sekarang ketangkasan dan energi itu hilang digantikan ketenangan yang suram dari petinju tua. Beruntung dia tidak terpukul jatuh, karena sangat mungkin berakibat fatal. Dari 97 pukulan yang dilepaskan Mike Tyson, hanya 18 pukulan yang mendarat di kepala Paul. Sementara Paul mendaratkan 78 pukulan dari 278 pukulan yang ia lepaskan.
Ini adalah pertandingan gila. Siapa pun bisa menebak pemenangnya. Seorang pria tua melawan pemuda yang usianya terpaut 31 tahun bukan sesuatu hal yang layak dipertontonkan. Tapi bagaimanapun juga, tinju modern tidaklah berbeda dengan pertarungan para budak gladiator yang dipaksa bertarung untuk menghibur mereka-mereka yang kaya. Di Amerika petinju-petinju diambil dari orang-orang miskin kulit hitam. Mereka terpaksa naik ke atas ring untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Demikian juga dengan Mike Tyson, yang datang dari keluarga miskin, hidup di lingkungan kumuh yang penuh dengan kejahatan, dan dibesarkan hanya oleh ibunya yang adalah pelacur.
Merupakan prestise yang menghibur bagi orang-orang kaya untuk menonton mantan juara dunia kelas berat Mike Tyson dipermalukan, meskipun dalam bentuk karikatur masa tuanya. Pertandingan ini lebih seperti penghinaan bagi dunia tinju.
Nasib Mike Tyson tidak berbeda jauh dari petinju lain. Dia adalah legenda yang dicampakkan. Mike Tyson yang berkali-kali bangkrut menjalani bisnis dan kini hanya memiliki kekayaan US$10 juta dolar. Dari pertandingan ini Mike Tyson berharap mendapatkan tambahan US$20 juta. Angka ini mendekati bayaran tertinggi dalam karir tinjunya. Ini adalah ‘roti dan bistik’ terakhirnya.
Kisah ini mengingatkan kita pada cerpen A Piece of Steak karya Jack London di mana Tom King, seorang petinju tua, melawan Sandel yang lebih muda. Tom King yang sudah tua harus bertanding dalam kondisi perut yang lapar dan keluarga menunggu kemenangannya. Tetapi dia pulang dengan rasa sakit tanpa uang sepeser pun. Penderitaan menguasainya dan tangis tidak bisa dia bendung. Dia memahami mengapa seorang petinju tua menangis di ruang ganti dan begitulah nasibnya sekarang.
Bagi Jake Paul, melewati pertandingan ini sangat mudah. Ia memenangkan pertandingan ini tanpa usaha yang berarti. Andaikan dia kalah, pertandingan ini tetap membuatnya kaya, karena keuntungan bisa datang dari promosinya bersama Netflix. Tapi bagi Mike Tyson ini akhir karier yang tidak dia impikan. Dia dan juga para penonton di belakangnya sebenarnya menyadari ini bukanlah sebuah pertandingan, melainkan sebuah sirkus dalam kapitalisme.
Diwawancarai oleh seorang pemuda dia tampak termenung menjawab pertanyaan. “Jadi, setelah karier yang begitu sukses, legasi seperti apa yang ingin Anda tinggalkan setelah semuanya selesai?”
Mike Tyson terdiam sejenak, dan itu bukan pertanyaan yang buruk, tetapi dia sedang ingin mengungkapkan kebenaran yang mengerikan.
Mike Tyson menjawab: “Yah, saya tidak percaya pada kata ‘legasi’,” kata Tyson. “Saya pikir itu hanya kata lain untuk ‘ego’. Legasi sama sekali tidak berarti bagi saya. Saya hanya sekadar lewat. Saya akan mati dan semuanya akan berakhir. Siapa yang peduli dengan legasi setelah itu? Kita bukan apa-apa. Kita mati. Kita debu.”
Tidak berhenti di situ dia melanjutkan: “Bisakah kau bayangkan seseorang berkata aku ingin legasiku seperti ini atau itu? Kau sudah mati. Beraninya kau menginginkan orang-orang memikirkanku saat aku sudah tiada? Siapa yang peduli padaku?”
Seperti halnya Tom King dalam cerpen Jack London, Mike Tyson berjalan keluar melewati malam gelap yang dingin di kota Texas. Dia akan melanjutkan hidup dengan sisa tenaga dari pertandingan. Dia akan membuang sinisme serta kepura-puraan dunia dan menjalani hidup seperti sedia kala. Dalam kapitalisme, melewati hidup itu lebih sulit daripada KO, dan tampaknya hampir mustahil untuk dihadapi.