Menyusul dikembalikannya pilkada ke badan legislatif, tidak sedikit yang telah menyampaikan belasungkawa mereka terhadap matinya demokrasi di Indonesia. Para aktivis demokrasi dari berbagai spektrum politik berkeluh kesah dan menyuarakan peringatan mereka akan bahaya kembalinya Orde Baru. Menjadi penting bagi kaum revolusioner untuk menelaah peristiwa ini tidak hanya dengan kepala dingin agar tidak terjangkit penyakit latah, tetapi juga dengan perspektif kelas. Semua perdebatan dan argumen mengenai pilkada yang bersandar pada konsep legalistik, konstitusionalis, filsafati, atau moralistik tidak akan membawa kita maju selangkah pun. Ini hanya akan membawa kita berputar-putar di tempat dan memang tujuannya demikian: menabur debu ke mata rakyat pekerja.
Kita harus mengkaji masalah pilkada ini dari kepentingan kelas-kelas yang ada. Segala sesuatunya harus diperiksa dari sudut pandang kelas kalau kita tidak ingin terombang-ambing, dari apa itu demokrasi sampai kelas mana yang bisa diandalkan untuk membela demokrasi.
Lebih dari 90 tahun yang lalu, tokoh Marxis Indonesia yang pertama, Tan Malaka, mengupas dengan detil kedua bentuk demokrasi ini dalam karyanya “Parlemen atau Soviet?” Ia mencoba memeriksa mana bentuk demokrasi yang sungguh bisa memerdekakan Indonesia pada saat itu: demokrasi borjuasi (Parlemen) atau demokrasi buruh (Soviet). Dengan segala kerendahan hati, sang penulis risalah ini akan mencoba melakukan hal yang sama, dengan lebih singkat tentunya tetapi tetap dengan semangat yang sama.
Kebangkrutan Demokrasi Borjuis
Kita harus memulai analisa kita dari kenyataan bahwa di bawah kapitalisme pilkada dalam bentuk apapun, pemilihan umum dalam bentuk apapun, adalah demokrasi borjuis. Ia adalah demokrasi yang melayani kepentingan kelas kapitalis. Dalam kata lain, kita harus mendefinisikan dengan jelas karakter kelas dari demokrasi yang ada. Di tengah masyarakat kelas yang terbagi menjadi dua kelas utama, yakni kelas borjuasi dan kelas buruh, maka ada pertentangan yang tidak terdamaikan antara dua demokrasi: demokrasi borjuasi yang sekarang berkuasa, yang telah membusuk dan menolak mati, dan demokrasi buruh yang sedang bersusah-payah ingin lahir.
Akan tetapi tidak semua bentuk demokrasi borjuasi adalah sama. Kita harus berjuang untuk setiap pencapaian di bawah demokrasi borjuasi yang dapat mempermudah perjuangan kelas buruh untuk memperkuat kesadaran dan kemandirian kelas mereka. Setiap pencapaian yang dapat meningkatkan kepercayaan diri kelas buruh, menempa kesadaran dan kemandirian kelas mereka, adalah progresif dan perlu diperjuangkan. Inilah mengapa hak-hak demokrasi dasar seperti hak berserikat, hak berorganisasi, dsb. adalah sesuatu perlu diperjuangkan.
Namun gol perjuangan demokrasi hanyalah satu sisi saja. Sisi lain dari perjuangan demokrasi adalah bagaimana kita mengobarkan perjuangan untuk meraih hak-hak demokratik ini. Bahkan bisa dikatakan metode dan proses perjuangan ini adalah krusial karena melalui proses perjuangan inilah kelas buruh membangun kesadaran dan kemandirian politik revolusioner yang diperlukan untuk memenuhi tugas historis mereka: menumbangkan seluruh tatanan demokrasi borjuis dan menggantikannya dengan demokrasi buruh.
Seperti yang dikatakan Lenin dalam karyanya “Apa Yang Harus Dikerjakan?” bahwa kaum buruh harus “dilatih untuk menanggapi semua kasus tirani, penindasan, kekerasan, dan kesewenang-wenangan, tidak peduli kelas mana yang mengalaminya — dan terlebih lagi kecuali kalau mereka dilatih untuk meresponsnya dari sudut pandang Sosial-Demokratik [Marxis] dan tidak lain.”[1] Bagian yang belakangan ini yang paling penting, bahwa buruh harus merespons perjuangan demokratik, dalam teori maupun praktek, dari sudut pandang Marxis. Kita harus melihat demokrasi dari sudut pandang kelas, dan ini bisa dimulai dengan mengajukan sejumlah pertanyaan seperti berikut: apa karakter dari demokrasi di bawah sistem hari ini? Kelas mana yang konsisten bisa memperjuangkan demokrasi? Bagaimana posisi kelas borjuasi hari ini, terutama di Indonesia, dengan demokrasi borjuasi? Apakah keterbatasan dari demokrasi borjuis? Apa itu demokrasi buruh? Kita akan coba kupas satu per satu pertanyaan ini.
Kesalahan utama yang paling sering dilakukan oleh gerakan Kiri dalam mengkaji demokrasi adalah mengabaikan karakter kelas dari demokrasi. Ini adalah dosa terbesar yang dapat dilakukan oleh seseorang, yakni berbicara mengenai demokrasi terlepas dari masyarakat kelas dimana kita berada hari ini, berbicara mengenai demokrasi seakan-akan ada demokrasi “murni” yang berdiri terpisah dari kepentingan-kepentingan kelas. Kesalahan ini bahkan dilakukan oleh banyak dari mereka yang mengklaim diri mereka sebagai Marxis. Ketidakmampuan menarik garis kelas yang jelas dalam demokrasi telah membuat sang “Guru Besar Marxis” Jerman, Karl Kautsky, menjadi corong suara borjuasi dalam menentang revolusi proletariat di Rusia pada 1917. Lenin dalam karya polemiknya “Revolusi Proletariat dan Kautsky si Pengkhianat” mengupas sampai ke akar-akarnya masalah demokrasi dan – saya rasa jelas dari judul karya ini – mengecam dengan keras Kautsky yang gagal memahami karakter kelas dari demokrasi. Ini yang ditulisnya:
“Bila kita tidak ingin menghina akal sehat dan sejarah, jelas bahwa kita tidak bisa berbicara mengenai “demokrasi murni” selama kelas-kelas yang berbeda eksis; kita hanya dapat berbicara mengenai demokrasi kelas. (Mari kita katakan dalam tanda kurung bahwa “demokrasi murni” bukan hanya sebuah frase yang bodoh, yang mengungkapkan ketidakpahaman mengenai perjuangan kelas dan watak negara, tetapi juga sebuah frase yang kosong, karena dalam masyarakat komunis demokrasi akan melayu dalam proses di mana ia berubah dan menjadi sebuah kebiasaan, tetapi tidak akan pernah menjadi demokrasi “murni”.)”[2]
Dalam hal ini, kaum Kiri liberal Indonesia juga membuat kesalahan yang sama. Kita akan temui dalam banyak karya mereka keluhan bahwa “demokrasi telah dibajak elit politik”. Implisit dari pernyataan bahwa “demokrasi telah dibajak elit politik” adalah kepercayaan bahwa bisa ada demokrasi yang bersih dari pembajakan, yakni demokrasi “murni” yang tidak dibajak oleh kepentingan elit politik. Kiri liberal kita menginginkan demokrasi hari ini dikembalikan ke wujud sempurnanya, atau setidaknya ke wujud ideal yang bersemayam di dalam benak mereka. Namun kita akan berusaha dengan sia-sia mencari contoh demokrasi “murni” ini dalam sejarah kapitalisme 300 tahun terakhir, bahkan pada puncak keemasan kapitalisme sekali pun. Sejarah tidak pernah mencatat adanya demokrasi “murni”.
Ini mengingatkan kita kembali pada sebutan “reformis gadungan” yang dulu sering dilontarkan oleh kawan-kawan PRD dan Kiri 98 kita kepada para tokoh Ciganjur, ketika ternyata harapan yang mereka gantungkan pada kaum reformis ini kandas. Bersembunyi di balik pernyataan “reformis gadungan” ini adalah ilusi bahwa ada kaum reformis tulen. Yang tidak mereka sadari – bahkan malangnya sampai sekarang – adalah bahwa implisit di dalam reformisme adalah pengkhianatan. Para reformis Ciganjur telah memainkan peran mereka justru sebagai reformis yang sungguh-sungguh tulen.
Kembali lagi ke masalah demokrasi. Begitu juga dengan seluruh dagelan politik yang kita saksikan terkait dengan masalah pilkada langsung sejak kelahirannya sampai ke liang kuburnya, yang dalam keseluruhannya menunjukkan kebangkrutan yang inheren, yang mendarah daging, dari demokrasi borjuasi. Tercakup dalam kebangkrutan ini juga adalah kebangkrutan dari oposisi liberal dan reformis.
Pilkada langsung dicapai bukan pada puncak gerakan revolusioner 1998 tetapi pada masa penurunannya ketika gaung revolusi sudah samar. Pupusnya gerakan 1998 memporakporandakan kaum revolusioner serta menghasilkan demoralisasi dan kebingungan di dalam barisan mereka. Kaum liberal dan reformis maju ke depan di tengah kemunduran gerakan revolusioner ini, seperti yang biasa mereka lakukan. Mereka mengajukan berbagai reforma desentralisasi pemerintahan, yang salah satunya adalah reforma pilkada. Dengan cukup mudah reforma ini lolos, dan bukan karena kecakapan atau keberanian mereka tetapi karena rejim kelas penguasa telah terpukul telak pada 1998 oleh gerakan massa dan ada dalam posisi yang lemah. Selain itu, kelas penguasa yang ada paham betul bahwa pilkada langsung ini – dan berbagai reforma desentralisasi yang menyertainya – tidak akan mengancam kekuasaan mereka, tetapi justru akan menguatkan ilusi terhadap kapitalisme dan demokrasi borjuasi. Kaum reformis dan liberal memainkan peran alami mereka sebagai penyebar Injil demokrasi borjuasi, bahwasanya kesejahteraan rakyat dan kesetaraan akan datang dengan alam demokrasi yang mereka usung. Sementara elit-elit politik daerah menyambutnya dengan rasa girang karena untuk pertama kalinya mereka mendapatkan lebih banyak kebebasan untuk memperkaya diri mereka.
Dalam kata lain, aspirasi revolusioner rakyat untuk mengendalikan nasib mereka berhasil disalurkan ke saluran yang aman oleh kaum reformis dan liberal. Tanpa organisasi yang bisa mengekspresikan aspirasi ini dengan program revolusioner yang tepat dan jelas, yang bisa menarik garis kelas yang tajam, maka ini adalah sesuatu yang tidak terelakkan. Oleh karena itu menjadi penting, dan bahkan krusial, untuk tidak latah membela pilkada langsung dengan argumen bahwa kita harus melakukan sesuatu sekarang juga untuk mencegah kebangkitan orde baru. Tugas utama dari kaum revolusioner adalah mengekspos kebangkrutan sistem borjuasi demokrasi dan ketidakmampuan dari kaum borjuasi oposisi, reformis dan liberal untuk secara konsisten membela demokrasi yang sudah terbatas ini. Inilah kebenaran yang harus terus diulang lagi dan lagi tanpa letih oleh kaum revolusioner bahwa, seperti ujar Lenin hampir seratus tahun yang lalu, “demokrasi borjuasi, walaupun adalah sebuah kemajuan historis yang besar dibandingkan dengan abad pertengahan, akan selalu terbatas, tidak lengkap, dan munafik, sebuah surga untuk yang kaya dan jebakan dan tipuan bagi yang tertindas, bagi yang miskin. Kebenaran inilah yang membentuk bagian paling penting dari ajaran Marx.”[3]
Bila kita teliti hukum-hukum dasar dari negeri-negeri demokrasi modern, maka kita akan saksikan dengan jelas bagaimana di setiap langkah ada seribu satu celah yang menjamin kaum borjuasi untuk bisa menindas kaum buruh, untuk bisa mengerahkan berbagai aparat hukum mereka (polisi, hakim, jaksa, dsb.) ketika “kelas tertindas ‘melanggar’ posisi perbudakannya dan mencoba bertingkah tidak seperti budak.”[4] Semakin maju demokrasi borjuasi di sebuah negeri, maka semakin sempurna pula jebakan ini dan semakin demokrasi berada di bawah kendali bursa saham dan bankir. Kita hanya perlu melihat demokrasi di AS, Inggris, Prancis dan berbagai negeri demokratik modern lainnya: program mata-mata rahasia yang tanpa preseden seperti yang diekspos oleh Snowden, dimana tidak ada satu pun rakyat yang bisa lolos dari pantauan pemerintahan; intrik-intrik rahasia negeri-negeri imperialis yang dibocorkan oleh Bradley Manning dan Julian Assange; usaha pembungkaman terhadap mereka lewat jerat-jerat hukum; diskriminasi hukum dan hak demokrasi bagi rakyat kulit hitam dan Latino di AS; dsb. Mari kita ingatkan para pembaca bahwa tidak ada pemilihan presiden langsung di Amerika Serikat, tetapi pemilihan lewat apa yang disebut sebagai “electoral college”. Pada pilpres 2000, George Bush menang walaupun Al Gore mendapatkan lebih banyak suara. Dominasi politik uang di dalam perpolitikan AS di semua tingkatan juga memiliki jumlah dan cakupan yang akan membuat politik uang di Indonesia tampak seperti mainan anak-anak.
Inilah kontradiksi yang harus diekspos dengan telaten, konsisten, dan jelas oleh kaum revolusioner dalam propagandanya kepada rakyat pekerja, guna mempersiapkan mereka untuk revolusi. Pengeksposan ini harus dilakukan dengan tanpa rasa takut dicemooh sebagai“kekiri-kirian”, terutama ketika bahaya riil yang ada adalah bahaya “kekanan-kananan” di dalam barisan kelas buruh yang paling maju, yakni bahaya ilusi pada demokrasi borjuasi dan bahaya pengaburan kemandirian kelas buruh.
Demokrasi Buruh dan Soviet
Bila demokrasi borjuasi adalah kedok untuk kediktatoran kapital, maka berlawanan dengannya adalah demokrasi buruh yang merupakan perwujudan dari kediktatoran proletariat atau kekuasaan proletariat. Tugas historis dari kaum buruh adalah menumbangkan demokrasi borjuasi dan mencanangkan demokrasi buruh. Semua hal yang dilakukan oleh kaum revolusioner haruslah menjadi langkah persiapan untuk memenuhi tugas ini.
Ini melibatkan pembubaran semua institusi demokrasi borjuasi (negara borjuasi) yang ada di semua tingkatan dan menggantikannya dengan apa yang disebut Soviet atau Komune (negara buruh). Soviet adalah organ kekuasaan buruh yang pertama kali muncul pada 1905 dan kemudian berhasil merebut kekuasaan penuh pada Revolusi Oktober 1917. Soviet, yang dalam bahasa Rusia berarti dewan, adalah institusi demokrasi buruh yang paling luas. Melalui Soviet maka buruh dan seluruh rakyat tertindas Rusia untuk pertama kalinya merasakan demokrasi, yakni demokrasi proletariat, karena “demokrasi proletariat satu juta kali lebih demokratik dibandingkan demokrasi borjuis manapun; kekuasaan Soviet satu juta kali lebih demokratik dibandingkan dengan republik borjuis yang paling demokratik.”[5]
Berlawanan dengan parlemen borjuasi, negara buruh mendasarkan dirinya pada dewan-dewan (soviet-soviet) yang didirikan di setiap tingkatan: di pabrik-pabrik, di tempat kerja, di lingkungan tempat tinggal, dsb. Dimana pun kita temui rakyat pekerja, di sana kita temui soviet. Lewat soviet-soviet ini, rakyat pekerja bertemu, berdiskusi, berdebat, mengambil keputusan, memilih perwakilan dan semua fungsionaris yang mereka butuhkan, merecall (mencopot) para pejabat terpilih ini kapan pun mereka inginkan, dan menjalankan keputusan. Yang belakangan ini penting, karena soviet bukan hanya badan legislatif tetapi juga badan eksekutif. Soviet tidak hanya berdebat mengambil keputusan, ia juga melaksanakan keputusan tersebut. Ini yang dikatakan Tan Malaka dalam karya mahabesarnya “Parlemen atau Soviet?”:
“Yang terutama harus dihilangkan sifat birokratis itu. Sebab itulah maka wakil itu tidak mesti membikin undang-undang saja (Parlemen), tetapi haruslah membikin dan menjalankan undang-undang sama sekali. Seperti dalam suatu Kongres, maka yang memvoorstel [mem-voting] itulah yang biasanya menjalankan. Bukanlah seperti dalam negeri beralasan Parlementerisme, yang membikin undang-undang itu dipisahkan dengan yang menjalankan, sehingga biro-birolah [birokrasi pemerintahan] yang berkuasa.”[6]
Dalam parlemen borjuasi, kita disajikan dagelan politik di DPR. Kita diberikan ilusi bahwa lewat para perwakilan rakyat yang terpilih ini (badan legislatif) maka rakyat punya kendali atas birokrasi pemerintah (badan eksekutif). Pada kenyataannya tidak demikian. Para birokrat pemerintah yang tidak dipilih inilah yang sebenarnya menjalankan fungsi-fungsi pemerintah di belakang layar, sementara parlemen hanya jadi tempat debat kusir untuk mengelabui rakyat. Misalnya ketetapan upah. Parlemen bisa saja meloloskan ketetapan upah minimum, akan tetapi pada tingkatan kementrian atau badan-badan yang terkait sering kali tidak ada implementasi atau pengawasan. Pelanggaran dibiarkan. Sementara para majikan dengan pasukan pengacaranya serta polisi dan hakim yang ada di kantongnya bisa meloloskan diri dari jerat hukum.
Terkait dengan hal ini, dalam karyanya “Negara dan Revolusi” Lenin menjelaskan dengan gamblang apa yang harus menggantikan parlemen borjuasi macam ini, yakni dengan Komune atau Soviet:
“Jika kita membahas masalah tentang negara, dan apabila kita memandang parlementerisme sebagai salah satu lembaga negara [borjuasi], dari sudut pandang tugas-tugas proletariat dalam ranah ini, apa jalan keluar dari parlementerisme? Bagaimana kita bisa menggantikannya? …
“Jalan keluar dari parlementerisme, tentu saja, bukanlah dengan menghapus lembaga-lembaga perwakilan dan prinsip pemilihan, tetapi mengubah lembaga-lembaga perwakilan dari warung kopi tempat berdebat kusir menjadi badan-badan ‘yang bekerja’. ‘Komune haruslah menjadi suatu badan yang bekerja, yang sekaligus eksekutif dan legislatif, bukannya badan parlementer.’
“‘Suatu badan yang bekerja bukan badan parlemen’ — ini merupakan pukulan langsung terhadap negeri-negeri parlementer hari ini, dari Amerika sampai Swiss, dari Prancis sampai Inggris, Norwegia dan seterusnya — di negeri-negeri tersebut urusan “negara” yang sebenarnya dilakukan di belakang layar dan dikerjakan oleh departemen-departemen kementrian, para kanselir [baca: para administrator atau fungsionaris pemerintah], dan Staf Umum angkatan bersenjata. Parlemen itu sendiri dibiarkan berdebat kusir dengan maksud khusus untuk menipu ‘rakyat jelata’….
“Komune menggantikan parlementerisme yang dapat disuap dan busuk dalam masyarakat borjuis dengan lembaga-lembaga di mana kebebasan berpendapat dan berdiskusi tidak mengalami degenerasi menjadi penipuan, sebab anggota-anggota parlemen harus bekerja, harus menjalankan undang-undang yang mereka buat sendiri, harus memeriksa sendiri hasil-hasil yang tercapai dalam realitas, dan harus bertanggung jawab langsung kepada para pemilihnya. Lembaga-lembaga perwakilan tetap ada, tetapi di sini tidak ada parlementerisme sebagai sebuah sistem yang khusus, sebagai pembagian kerja antara legislatif dan eksekutif, sebagai posisi istimewa bagi anggota-anggotanya. Kita tidak dapat membayangkan demokrasi, dan bahkan demokrasi proletariat, tanpa lembaga-lembaga perwakilan, tetapi kita dapat dan harus membayangkan demokrasi tanpa parlementerisme …”[7]
Dengan demikian, lewat soviet rakyat pekerja memegang kendali penuh atas pemerintahan dan segala aspeknya. Bahkan kalau kita tarik lebih jauh lagi maka di dalam negara buruh tidak ada lagi trias politica, yakni pembagian kerja dan fungsi antara badan legislatif (parlemen), badan eksekutif, dan badan yudikatif (hukum), yang sesungguhnya merupakan jebakan bagi rakyat pekerja. Di dalam negara borjuasi yang paling demokratik sekali pun hakim tidaklah dipilih oleh rakyat tetapi ditunjuk. Alasan yang diberikan kepada rakyat pekerja adalah bahwa harus ada badan hukum yang netral, yang tidak bertanggung jawab pada pemilih, yang terdiri dari sekumpulan orang yang bijaksana dan memahami hukum, yang bisa menjaga keadilan bagi semua pihak karena ia bebas dari semua kepentingan elektoral yang ada. Bahkan para hakim yang bijaksana ini, yang tidak dipilih oleh siapa pun, bisa membatalkan pemilihan umum dan suara rakyat. Pada kenyataannya para hakim yang “netral” ini melayani kepentingan kelas yang berkuasa, seperti halnya demokrasi yang katanya netral ini dalam segala bentuknya pada akhirnya melayani kelas yang berkuasa. Kedok ini harus kita bongkar di depan mata rakyat pekerja.
Soviet yang akan menggantikan negara dan demokrasi borjuasi akan menciptakan untuk pertama kalinya sistem peradilan yang berpihak pada kelas pekerja. Hakim, dan semua aparat hukum, akan dipilih oleh rakyat pekerja lewat soviet-soviet. Bahkan semua pejabat akan dipilih oleh rakyat pekerja, dan setiap saat bisa direcall atau dicopot. Dalam kata lain, mereka semua datang dari rakyat pekerja sendiri lewat soviet-soviet mereka, dan bertanggung jawab pada soviet. Tidak hanya itu, para pejabat dan hakim akan menerima upah yang tidak lebih dari buruh terampil.
Bersamaan dengan itu polisi dan tentara, yakni alat-alat kekerasan negara borjuasi, juga harus dibubarkan dan digantikan dengan rakyat bersenjata. Ini bukan berarti memberikan sepucuk senapan pada tiap orang. Pembentukan rakyat yang bersenjata ini terkait dengan demokrasi buruh atau soviet yang telah kita bicarakan di atas. Rakyat yang bersenjata berarti bahwa masalah fungsi keamanan dan pertahanan menjadi urusan soviet-soviet, dan bukan lagi diserahkan pada badan-badan khusus yang tidak demokratis. Milisi-milisi rakyat bersenjata (atau apapun namanya, yang akan menjalankan fungsi keamanan masyarakat) dibentuk oleh soviet secara demokratis dan bertanggung jawab langsung pada soviet.
Misalnya, bisa kita bayangkan dibentuknya semacam polisi komunitas, yang terdiri dari rakyat pekerja yang dipilih secara demokratis oleh soviet di lingkungannya masing-masing. Polisi komunitas ini berbeda dengan polisi yang ada hari ini, karena kita tahu polisi yang ada hari ini tidak punya hubungan organik dengan komunitas, mereka tidak bertanggung jawab pada rakyat, mereka adalah orang-orang yang terpisah dari rakyat pekerja dan digunakan untuk menindas rakyat pekerja. Soviet-soviet akan mengambil keputusan mengenai masalah keamanan di lingkungan mereka, memilih dari antara mereka sendiri siapa yang menjalankan keputusan tersebut, mengimplementasikan keputusan tersebut, memeriksa hasil dari implementasi keputusan tersebut dan performa dari anggota-anggota soviet yang dibebankan tanggung jawab tersebut. Di sini kita saksikan sekali lagi perpaduan antara fungsi legislatif dan fungsi eksekutif di dalam sistem demokrasi buruh.
Demokrasi buruh juga memiliki fungsi menghapus birokrasi di dalam negara. Semua fungsi birokrasi pemerintah harus dirotasi, sehingga setiap anggota masyarakat bisa terlibat dalam fungsi birokrasi. Ketika semua orang adalah birokrat, maka tidak ada lagi birokrat.
Basis Demokrasi Buruh
Demokrasi buruh bukanlah sebuah konsep yang abstrak, tetapi memerlukan basis material untuk perwujudannya. Basis material bagi demokrasi buruh adalah nasionalisasi alat-alat produksi oleh kelas buruh, yang lalu dijalankan secara demokratik. Basis material demokrasi buruh adalah kekuatan produktif yang tinggi, yang hanya bisa dicapai dengan sistem ekonomi terencana. Dalam kata lain basis material dari demokrasi buruh adalah sistem ekonomi sosialisme. Tanpa ini maka semua teori mengenai demokrasi buruh tidak punya arti sama sekali. Ia hanya menjadi macan kertas, bagus di atas kertas tetapi melempem ketika ingin diimplementasikan.
Nasionalisasi alat-alat media dan komunikasi (koran, percetakan, suplai kertas, internet, jaringan telepon, televisi, radio) oleh karenanya menjadi hal yang krusial untuk bisa menjamin demokrasi buruh. Di bawah sistem kapitalisme hari ini demokrasi adalah ilusi ketika hanya segelintir orang yang menguasai semua alat komunikasi utama. Rakyat diperbolehkan berbicara selama pembicaraan mereka tidak mengancam kekuasaan mereka. Segera setelah rakyat mulai mengutarakan pendapat-pendapat yang berbahaya, maka seketika itu juga para kapitalis serta negara borjuasi akan menyensornya dengan berbagai cara: entah secara langsung atau tidak langsung. Mereka dapat menggunakan seluruh kekuatan media mereka untuk mengubur gagasan-gagasan yang berbahaya atau mengaburkannya dengan menyebarkan berbagai kebohongan. Lewat televisi dan berbagai media mereka bisa mengendalikan dan mendominasi opini publik.
Dengan menasionalisasi alat-alat komunikasi dan media, beserta cabang-cabang industri yang terkait dengannya, dan meletakkan mereka di bawah kendali demokratis dari soviet-soviet, maka untuk pertama kalinya rakyat pekerja akan mendapatkan akses media dan komunikasi yang setara. Akses media dan alat komunikasi akan dikelola secara demokratis, bukan lagi oleh segelintir konglomerat media. Misalnya dapat diputuskan bagaimana setiap tendensi atau organisasi gerakan buruh bisa mendapatkan akses media dan alat komunikasi sesuai dengan besarnya anggota mereka. Tentunya soviet juga bisa mendiskusikan bagaimana memberikan akses suara yang lebih besar pada kelompok-kelompok yang secara historis telah dimarginalisasi dan ditindas secara sistemis oleh sistem kapitalisme (rakyat Papua, kaum kulit hitam di AS, rakyat Aborigin di Australia, dll.).
Demokrasi buruh juga bukan hanya untuk berdebat kusir. Selama ini di bawah demokrasi borjuasi rakyat diberikan hak untuk berbicara tetapi sesungguhnya tidak punya kuasa untuk menjalankan ekonomi. Mereka bisa berbicara mengenai apapun selama tidak menyentuh dan mengganggu kekuasaan ekonomi kelas borjuasi. Seluruh produksi dan distribusi diputuskan oleh dewan direksi, para bankir, dan bursa saham. Dengan menasionalisasi seluruh tuas-tuas ekonomi utama, maka demokrasi buruh akan mendapatkan wujudnya yang riil: yakni kuasa buruh untuk mengelola ekonomi secara demokratis untuk kebutuhan umat manusia dan bukan untuk profit segelintir pengusaha.
Bagaimana sebuah pabrik dijalankan dan dikelola akan diputuskan secara demokratis oleh kaum buruh lewat soviet mereka. Tidak berhenti di sini saja, soviet buruh di satu pabrik tertentu akan terhubungkan dengan soviet-soviet di pabrik-pabrik lain, di cabang-cabang industri lain, dsb., karena tidak mungkin satu pabrik bisa berdiri sendiri. Sebuah pabrik hanyalah rangkaian dari proses produksi yang semakin hari telah menjadi semakin sosial. Tidak ada satu pun buruh yang bisa mengatakan “sayalah sendiri yang memproduksi benda ini.” Tidak ada satu pun pabrik yang juga bisa mengatakan “pabrik inilah sendiri yang memproduksi benda ini.” Bahkan tidak ada satu pun cabang industri yang bisa berdiri sendiri. Fakta inilah yang akan mengikat seluruh rakyat pekerja dalam demokrasi buruh sehingga mereka tidak terpecah-pecah menjadi soviet-soviet yang “otonom”. Soviet-soviet akan dibentuk di semua tempat kerja, di berbagai cabang industri, di lingkungan-lingkungan tempat tinggal, di sekolah, di berbagai tingkatan administratif (dari level kampung sampai level nasional, bahkan sampai level internasional karena sosialisme harus mendunia), dan saling terikat satu sama lain. Untuk pertama kalinya, lewat soviet-soviet yang begitu luas kita akan saksikan perwujudan dari pekik “Buruh sedunia bersatulah!”.
Demokrasi Buruh, Demokrasi yang Primitif
Revolusi sosialis akan mengembalikan masyarakat ke demokrasi primitif, yakni bentuk demokrasi yang kita temui pada periode masyarakat primitif dimana tidak ada kelas. Tetapi demokrasi primitif yang baru ini, yakni demokrasi buruh, akan berdiri di atas basis material yang jauh lebih tinggi dibandingkan masyarakat primitif puluhan ribu tahun yang lalu.
Mungkin akan ada yang merasa keberatan dengan bentuk “primitif” dari demokrasi buruh, dengan proses demokrasi proletar yang begitu rumit, begitu penuh kekacauan dan tampak tidak efisien. Kalau efisiensi diukur lewat seberapa cepat sebuah keputusan diambil, maka rejim otoriter macam Orde Baru adalah sangat efisien. Tidak, rejim feodal atau kerajaan bahkan lebih efisien. Masalahnya adalah efisiensi untuk siapa.
Para pembela demokrasi status-quo khawatir akan kekacauan yang akan ditimbulkan oleh demokrasi buruh macam ini, yang membubarkan semua institusi-institusi demokrasi lama yang telah lama menjaga ketertiban masyarakat. Tanpa institusi-institusi demokrasi yang terhormat seperti yang ada hari ini mereka khawatir kalau massa akan terseret ke dalam “mentalitas massa-liar” (mob mentality). Dengan demokrasi buruh yang demikian luas, demikian bebas, demikian dalam, massa yang mayoritas tidak terdidik ini bisa-bisa malah menyalahgunakannya. Bisa terjadi kerusuhan; bisa terjadi kesewenang-wenangan; bisa terjadi penyalahgunaan kekuasaan; bisa terjadi ekses-ekses yang tidak diinginkan.
Di balik semua kekhawatiran dan keberatan dari tuan dan nyonya yang terhormat ini adalah ketidakpercayaan pada rakyat pekerja, ketidakpercayaan terhadap potensi revolusioner rakyat pekerja untuk membangun masyarakat yang baru. Mereka menginginkan sebuah demokrasi “murni” yang siap saji, yang dititiskan dari langit – atau dari benak pikiran mereka – dalam bentuknya yang lengkap, sempurna dan tanpa cacat. Kaum buruh yang sadar kelas tidak akan tertipu oleh celoteh mereka ini. Mereka paham bahwa demokrasi mereka, yakni demokrasi buruh, bukanlah sebuah konsep abstrak yang lahir bak Athena, langsung dari kepala Zeus dan lengkap dengan baju perang. Demokrasi buruh lahir dan tertempa dalam api perjuangan kelas yang riil. Kaum buruh telah memiliki banyak pengalaman, terutama dari Komune Paris 1871 dan Revolusi Oktober 1917 di Rusia, dan dari pengalaman yang nyata inilah mereka akan belajar.
Lebih lanjut lagi, ketika untuk pertama kalinya mayoritas rakyat pekerja terlibat secara riil dalam demokrasi, terutama setelah lama dibungkam, apakah mengherankan kalau akan terjadi sejumlah ekses? Tuan dan nyonya demokrat ini mengeluh mengenai ekses-ekses revolusi sosialis dan demokrasi buruh tetapi lupa mengenai “ekses” demokrasi borjuasi: Perang Dunia I dan II, penjajahan terhadap lebih dari separuh muka bumi oleh negeri-negeri demokratik modern hingga hari ini, pembantaian 1965-66, kriminalisasi terhadap kaum buruh dan tani yang melawan, dan banyak lainnya.
Kelas penguasa telah lama memperlakukan kaum buruh seperti “binatang buas”, yang dirantai dan dikerangkeng. Tidak mengherankan kalau ketika binatang buas ini menemukan kebebasan mereka maka mereka ingin terus berlari tanpa henti, mereka ingin melolong bebas tanpa hambatan, dan mereka ingin mencabik-cabik semua norma-norma dan aturan-aturan lama yang telah membelenggu mereka selama ratusan tahun. Menulis mengenai Revolusi Rusia, Leon Trotsky mengatakan: “Revolusi selalu dibedakan oleh ketidaksopanannya, mungkin karena kelas penguasa pada masa-masa damai abai mengajarkan rakyat sopan santun.” Namun inilah energi revolusioner rakyat pekerja yang dibebaskan oleh revolusi, yang awalnya akan tampak kacau — terutama tampak kacau oleh para pemuja ketertiban status-quo — tetapi seiring dengan semakin terlatihnya mereka dalam demokrasi maka energi revolusioner ini akan bisa dikumpulkan dan digunakan untuk membangun masyarakat yang jauh lebih baik. Demokrasi buruh akan menjadi alat yang paling mutakhir dalam mengorganisasi ulang seluruh tatanan masyarakat.
Mengapa Buruh Harus Peduli
Kaum buruh tidak boleh tak-acuh pada masalah pilkada ini, atau masalah demokrasi parlementer secara umum, walaupun masalah pilkada ini tidak langsung berhubungan dengan perjuangan ekonomi mereka. Bahkan bila masalah demokrasi parlementer berpengaruh pada perjuangan ekonomi buruh – dalam ranah UU perlindungan buruh, hak mogok, penetapan upah minimum, dsb. – ini bukanlah, dan tidak boleh menjadi, satu-satunya alasan mengapa buruh harus peduli pada politik demokrasi. Kaum buruh tidak boleh membatasi dirinya pada politik serikatburuh-isme saja, bahkan bila ada komponen politik dalam perjuangan serikat buruh.
Supaya kelas buruh bisa memenuhi peran historisnya sebagai kelas revolusioner yang akan memimpin seluruh bangsa ke penumbangan kapitalisme dan rekonstruksi sosialis, tidak hanya di bumi Indonesia tetapi juga di seluruh dunia, maka dibutuhkan kesadaran kelas yang menyeluruh dan matang. Dalam kata lain dibutuhkan kesadaran sosialis. Perjuangan serikat buruh adalah sekolah dasar perjuangan kelas bagi buruh. Namun kita tahu kalau seorang anak setelah beberapa waktu haruslah tamat SD dan lalu beranjak ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Puas hanya di SD saja menunjukkan sikap kekanak-kanakan.
Di salah satu karya utamanya “Apa Yang Harus Dikerjakan?” Lenin mengecam dengan keras para aktivis serikat buruh yang menolak tamat dari sekolah dasar ini. Ia mengatakan dengan tegas bahwa “politik serikatburuh-isme kelas buruh adalah politik borjuis kelas buruh … dan setiap pemerosotan politik Sosial-Demokratik [baca politik Marxis] ke politik serikatburuh-isme berarti menyiapkan fondasi untuk mengubah gerakan kelas buruh menjadi sebuah instrumen demokrasi borjuis.”[8] Sungguh masih mengena kecaman Lenin ini yang ditulisnya lebih dari 100 tahun yang lalu. Hari ini para pemimpin serikat buruh yang berkecimpung saja dalam perjuangan ekonomi, dan mungkin sekali-kali mereka terlibat dalam perjuangan politik tapi yang terbatas pada kepentingan serikat buruh saja, telah menjadi penghalang terbesar bagi kemajuan kesadaran sosialis kaum buruh. Mereka telah menjadi “instrumen demokrasi borjuis”, menjadi penjaga tatanan kapitalis.
Lantas bagaimana caranya kita beranjak dari kesadaran serikatburuh-isme ke kesadaran sosialis yang sejati? Mari kita kembali ke apa yang dikatakan Lenin mengenai masalah ini:
“Kesadaran kelas-buruh tidak akan bisa menjadi kesadaran politik yang sejati kecuali kalau buruh dilatih untuk menanggapi semua kasus tirani, penindasan, kekerasan, dan kesewenang-wenangan, tidak peduli kelas mana yang mengalaminya — dan terlebih lagi kecuali kalau mereka dilatih untuk meresponsnya dari sudut pandang Sosial-Demokratik [Marxis] dan tidak lain. Kesadaran massa rakyat pekerja tidak akan menjadi kesadaran kelas yang sejati kecuali kalau buruh belajar dari fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa politik yang konkret, dan terutama yang terkini, untuk mengamati setiap kelas sosial lainnya dalam semua manifestasi kehidupan intelektualnya, etikanya, dan sosialnya; kecuali kalau buruh belajar menerapkan dalam praktek analisa materialis dan penafsiran materialis terhadap semua aspek kehidupan dan aktivitas semua kelas, strata, dan kelompok di dalam masyarakat.”[9]
Dalam konteks masalah pilkada hari ini, kaum buruh harus menanggapi dan meresponsnya dari sudut pandang Marxis dan tidak lain. Mengabaikannya berarti mengerdilkan perkembangan kesadaran kelas buruh dan membiarkan dominasi sudut pandang borjuis, dan terutama mencampakkan peran kepemimpinan revolusioner kelas buruh.
Berjuang Bersama Massa Untuk Demokrasi
Dengan semakin membusuknya kapitalisme hari ini, semakin busuk pula demokrasi borjuasi. Kebangkrutan para elit politik dan sistem politik yang mereka wakili semakin hari semakin terpampang jelas di depan mata rakyat, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh dunia. Skandal demi skandal mengguncang dunia politik. Demokrasi yang ada hanya jadi alat untuk mengesahkan perang, intervensi militer dan pemboman. Rakyat pekerja, terutama kaum mudanya, mulai menyangsikan demokrasi macam ini. Akan tetapi mereka masih memiliki ilusi pada sistem kapitalisme secara keseluruhan. Mereka berpikir: “Mungkin bisa ada demokrasi yang lebih baik di bawah kapitalisme.” Aspirasi mereka menemui ekspresinya dalam berbagai bentuk dan rupa yang dipenuhi dengan kebingungan. Di tengah absennya kepemimpinan revolusioner Marxis, darimana lagi mereka bisa mendapatkan gagasan yang jelas?
Oleh karenanya tuntutan-tuntutan demokrasi dari rakyat, betapapun sepelenya, adalah kritik dan serangan terhadap keseluruhan sistem kapitalisme yang sudah tidak mampu lagi menyediakan demokrasi seperti halnya ia tidak mampu lagi memberikan sandang, pangan, dan papan yang layak bagi mayoritas penduduknya. Tugas kaum Marxis dalam situasi seperti ini bukanlah mencibir tuntutan-tuntutan demokratis yang datang dari rakyat, tetapi menunjukkan kepada rakyat bahwa hanya kaum Marxis-lah yang merupakan pembela demokrasi yang paling konsisten. Di dalam gerakan demokrasi yang dipenuhi berbagai anasir – reformisme, liberalisme, “Marxisme” akademis – kita terjun ke dalamnya untuk memerangi anasir-anasir ini. Kita ekspos segala kekurangan dan keterbatasan mereka. Kita katakan kepada rakyat yang sedang berjuang untuk hak-hak demokrasi mereka: “Demokrasi, Yah! Kita akan berjuang bersamamu. Tetapi kita tidak akan menang kalau kita bersandarkan pada kelas borjuasi, pada kaum reformis, pada kaum demokrat liberal dan saudara-saudaranya yang lain. Para pemimpin ini dan gagasan-gagasan yang mereka usung hanya akan berakhir pada pengkhianatan terhadap gerakan demokrasi.”
Kita tidak akan bisa memenangkan massa ke sisi kita kalau kita berdiri di luar. Kita harus berdiri bersama mereka, tetapi bukan dengan mengekor massa, apalagi mengekor kaum reformis. Terkait dengan masalah pilkada langsung, maka tugas kita tidak selesai hanya dengan menyatakan ketidaksetujuan kita pada penghapusannya. Kita harus mengekspos keseluruhan demokrasi borjuasi yang telah bangkrut, termasuk proses pilkada langsung 10 tahun terakhir yang ternyata tidak membawa perubahan fundamental bagi rakyat pekerja dan hanya menjadi ajang korupsi yang lebih luas. Kita ekspos juga keimpotenan kaum reformis dan demokrat liberal dalam membangun demokrasi borjuasi yang berfungsi. Keimpotenan mereka ini disebabkan oleh kepengecutan mereka di satu pihak, yakni mereka takut dan ragu menggunakan metode aksi massa yang militan, dan kebangkrutan historis dari kapitalisme secara umum di lain pihak. Seperti yang telah kita katakan di atas, kapitalisme hari ini sudah tidak mampu lagi menjamin demokrasi. Semangat demokrasi borjuasi yang revolusioner yang dulu dikobarkan pada Revolusi Prancis 1789 telah lama hilang gaungnya.
Pada akhirnya, kita harus mengatakan hal yang sejujur-jujurnya pada massa rakyat pekerja, pada kaum buruh dan muda yang sedang memperjuangkan hak-hak demokrasi mereka, yakni bahwa perjuangan untuk demokrasi hanya bisa sungguh-sungguh berhasil bila kita mengambil kekuasaan ke tangan kita dan menyita ekonomi dari seluruh borjuis yang parasitik ini yang merupakan akar dari semua kejahatan.
Pada tahun 1921, di awal kebangkitan perjuangan pembebasan nasional, Tan Malaka mengajukan pertanyaan ini kepada bangsa Indonesia yang masih di bawah jajahan Belanda: mana jalan kemerdekaan bagi bangsa ini? Demokrasi borjuasi (Parlemen) atau demokrasi buruh (Soviet)?
“Ya, Parlemen atau Soviet. Keduanya buah sengsara dan azab manusia berpuluh beratus tahun, jasa dari usaha dan korban nyawa ratusnya manusia yang suci dan mulia. Keduanya bagi kita harta yang tiada ternilai tetapi semata-mata baru. Itulah maksud kita hendak memeriksa dengan perkakas ilmu yang tiada cukup, manakah di antara pelita Barat yang dua itu yang sekarang tiba-tiba menyilaukan mata kita, yang sempurna sinarnya untuk jalan kemerdekaan dan kemuliaan kita.” (Tan Malaka. Parlemen atau Soviet? 1921)
Sembilan puluh tahun telah berlalu sejak Tan Malaka menulis karya ini, dan “pelita Barat” yang satu, yakni demokrasi borjuasi, telah redup dan tak akan kembali lagi silaunya, sedangkan “pelita Barat” yang satu lagi, yakni demokrasi buruh, sedang menunggu untuk dikobarkan lagi. Kelas borjuasi Indonesia yang lahir 90 tahun yang lalu bukannya menjadi semakin progresif dan dewasa seiring dengan umurnya yang bertambah, tetapi justru menjadi semakin reaksioner dan bangkrut. Sementara kelas buruh telah menjadi semakin bertambah jumlahnya, semakin kuat dan dewasa. Sehingga pertanyaan yang dihadapi oleh rakyat pekerja hari ini sudah bukan lagi antara Parlemen atau Soviet, bukan lagi antara demokrasi borjuasi atau demokrasi buruh. Hari ini demokrasi yang sungguh bisa memperbaiki hajat hidup rakyat pekerja hanya dapat dijamin oleh perjuangan untuk demokrasi buruh, dan hanya bisa diperoleh dengan mengobarkan perjuangan untuk sosialisme secara konsisten dan konsekuen.
[1] Lenin. Apa Yang Harus Dikerjakan? 1902.
[2] Lenin. Revolusi Proletariat dan Kautsky si Pengkhianat, 1918.
[3] Lenin. Revolusi Proletariat dan Kautsky si Pengkhianat, 1918.
[4] Lenin. Revolusi Proletariat dan Kautsky si Pengkhianat, 1918.
[5] Lenin. Revolusi Proletariat dan Kautsky si Pengkhianat, 1918.
[6] Tan Malaka. Parlemen atau Soviet?, 1921.
[7] Lenin. Negara dan Revolusi, 1917.
[8] Lenin. Apa Yang Harus Dikerjakan? 1902.
[9] Lenin. Apa Yang Harus Dikerjakan? 1902.