Bagian Satu: Bertemu Lenin
Fajar belum sepenuhnya memudar di langit kota London, pintu rumah Lenin tiba-tiba diketuk keras oleh seseorang yang nampaknya sedang tergesa-gesa. Istri Lenin, Nadezhda Krupskaya, segera membukakan pintu dan membawanya menuju kamar kerja Lenin.
“Ohh, Kamerad…,” ucap Lenin kaget.
“Bronstein, dari Yanovka,” sahut seseorang itu.
Lenin sungguh terkejut, ternyata yang datang adalah seorang pemuda revolusioner dari Yanovka yang sudah ia kenal namanya. Ya, pemuda itu adalah Lev Bronstein, yang di kemudian hari dikenal dengan nama: Leon Trotsky[1].
Usai Krupskaya kembali dengan kopi, Lenin langsung mengajak Trotsky terlibat dalam diskusi dengan para pemberontak muda. Masa itu sangat berkesan bagi Trotsky . Tahun 1902.
Trotsky, yang lahir dengan nama lengkap Lev Davidovich Bronstein, sudah terkenal di kalangan kaum radikal sebagai organiser buruh, pemikir, dan penulis berbakat. Setelah menghabiskan waktu di penjara Siberia karena aktivitasnya di serikat buruh, ia melarikan diri ke Inggris atas permintaan Lenin. Tetapi ketika mendengar kabar bahwa gerakan rakyat Rusia mulai tumbuh, dan atas desakan kawan-kawannya serta istri pertamanya, Alexandra Sokolovskaya[2], Trotsky kemudian kembali lagi ke Rusia untuk melanjutkan perjuangan.
Tulisan saya mengenai Trotsky ini bukanlah sebuah fiksi. Ini adalah sejarah nyata dari seorang guru besar Marxis yang bergerak bagaikan komet terang di langit politik; seorang orator dan organiser terbaik dalam Revolusi Rusia. Hanya saja, saya ingin menulis kisah hidup dan pikiran Trotsky ini dengan ritme dan irama yang datar, jauh dari kesan formal, agar kawan-kawan merasa seolah tengah berdialog langsung dengan sebuah peristiwa. Saya juga akan menulisnya tidak dengan kalimat yang membentuk gugusan teratur layaknya buku biografi. Biarlah tulisan ini membentuk garis-garis acak. Karena memang bukan untuk dihafal. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana menemukan makna-makna revolusioner dalam lipatan-lipatan kata yang tertuang.
Setelah seminggu menjejakkan kaki di London, Trotsky terlibat dalam kerja propaganda politik. Ia menulis untuk koran resmi partai, Iskra[3], dan berkeliling menemui para imigran Rusia di Eropa Barat untuk berdiskusi. Kata-katanya yang memukau membangkitkan semangat baru bagi para peserta diskusi dan menyapu bersih seluruh kegalauan dan keraguan.
Serangan-serangan dari kelompok anti Marxis juga mampu ia patahkan. Ini bukan karena kepintarannya dalam berorasi, atau karena kecerdasannya dalam memahami setiap helai tulisan-tulisan Marx-Engels, tetapi karena kerasnya jalan yang ia lalui untuk mendapatkan seluruh pikiran Marxis.
Pada awalnya Trotsky adalah seorang idealis romantis[4], yang menganggap materialisme dialektika sebagai cara berpikir yang tidak menarik, dingin dan mekanistik. Melalui debat intensif dengan istrinya, Alexandra Sokolovskaya, dia berhasil meyakinkan diri bahwa Marxisme adalah satu-satunya pendekatan yang paling benar untuk mengubah dunia. Tetapi pergulatan pemikiran ini sudah dimulai jauh sebelumnya. Dengan keras, ia belajar dasar-dasar pemikiran Marxis dari buku-buku penuh kutu dan coro yang berhasil diselundupkan untuknya ke penjara Siberia. Selepasnya, ia juga menghabiskan waktu untuk membaca kembali buku-buku ini di gubuk reot seorang petani.
Sesampainya di Inggris, semangat dan kebanggaannya meluap. Ia mendapati dirinya dikelilingi para pemikir Marxis termashur Rusia. Melaui Lenin, ia bisa berkenalan dengan para pemikir brilian sekaligus dewan editor Iskra, seperti George Plekhanov, pendiri Marxisme Rusia; Julius Martov, yang di kemudian hari sebagai pemimpin Menshevik; dan Vera Zasulich, seorang perempuan muda yang pernah menembak kepala polisi Petrograd; yang mendapat banyak dukungan dari massa saat diadili di depan para hakim Rusia.
Tetapi, tanpa sepengetahuannya, para guru Marxis yang ia kagumi di atas, yang duduk dalam dewan editorial Iskra, sedang menuju perpecahan. Dan, di kemudian hari, perpecahan tersebut, sangat menentukan arah masa depan gerakan sosialis Rusia. Demikianlah, Trotsky mulai masuk dalam ritme baru di kalangan petinggi partai: ritme keras dalam adu argumentasi yang berujung pada saling caci.
Gerak putar waktu serasa dipercepat. Sembilan bulan setelah kedatangannya di kota London, tepatnya tahun 1903, sebuah peristiwa penting, konggres partai, diadakan. Trotsky melihat langsung bentrokan antara yang “keras” dan yang “lunak”. Persoalannya yang diangkat masih tergolong sepele, atau, belum terlalu signifikan, yakni masalah kompisisi dewan editorial Iskra dan bentuk partai.
Lenin mewakili pihak yang “keras”, yang kemudian dikenal sebagai Bolshevik (artinya mayoritas). Dengan kening berkerut dan mimik bicara yang serius, Lenin mengusulkan reorganisasi dewan editorial agar lebih efisien. Lenin juga mengusulkan sebuah bentuk partai dengan sentralisme demokratik yang ketat – sebuah organisasi yang memiliki disiplin kuat, terikat oleh program yang demokratis, dan menyatu di dalam aksi. Bagi Lenin, melihat kondisi materiil di Rusia, partai dalam bentuk seperti ini yang bisa menjadi pusat koordinasi untuk meruntuhkan rejim Tsar.
Pihak yang “lunak”, yang kemudian dikenal sebagai Menshevik (artinya minoritas), menganggap usulan Lenin mengenai reorganisasi dewan editorial Iskra sebagai langkah organisasional yang kejam, yang berbobot ingin menendang para pemimpin partai ketimbang alasan efisiensi. Mengenai struktur partai, Menshevik menginginkan bentuk yang lebih terbuka dan longgar.
Perbedaan pandangan dalam konggres partai ini berujung dengan perpecahan. Selanjutnya, faksi mayoritas dari Partai Sosial Demokrat ini, yakni Bolshevik, hadir sebagai organisasi Marxis revolusioner. Sebaliknya Menshevik, merosot ke garis reformisme.
Perpecahan ini sungguh tak terduga, termasuk oleh Trotsky. Karena perdebatannya masih wajar, dinamis dan sehat. Bahkan Plekhanov, yang di kemudian hari menjadi orang penting di dalam Menshevik, terlihat memihak Lenin dan mayoritas. Dan Trotsky, dengan tenang berada di garis Menshevik. Tak seorang pun, termasuk Lenin, menyangka akan terjadi perpecahan.
Perdebatan politik mengenai masa depan bumi Rusia itu dengan segera masuk ke dalam putaran roda yang rumit. Hati dan pikiran Trotsky terguncang. Trotsky muda yang masih belajar memahami proses merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja dilaluinya. Kenapa Lenin bertindak begitu kejam dan tanpa perasaan. Kenapa para pendiri partai itu “disingkirkan”. Didorong rasa marah dan ketidaktahuan atas maksud tindakan Lenin terhadap para pemimpin partai, meskipun berulangkali Lenin berusaha memenangkannya, Trostky segera menjeburkan diri di pusaran arus Menshevik.
Awalnya Trotsky sepakat dengan sentralisme demokratik Lenin, tetapi kemudian menolaknya. Trotsky benar-benar merasa berada di posisi sulit. Gejolak pikirannya tidak bisa secepatnya diredakan. “Jika sikapku ini merupakan tindakan tidak tahu berterimakasih kepada Kamerad Lenin,” ucapnya, “sungguh, di bagian ini aku ingin menghapusnya.”
Akhirnya Trotsky merasa salah. Meskipun dengan segudang pengalaman yang luar biasa di dalam gerakan, ia merasa masih terseret dalam romantisisme bohemian para pemimpin tua.
Usai kongres Trostky berusaha menjauh dari kedua faksi. Sikapnya ini wajar, karena ia masih berpikir tentang untung dan ruginya sebuah perpecahan. Meskipun secara teknis ia menjadi bagian dari Menshevik, ia tidak terlalu terlibat dalam dinamika Menshevik. Trotsky terus berusaha untuk menyatukan kembali kedua faksi ini. Ia memandang jauh gerak putar sejarah. Ia tak ingin menang dan hebat dalam setiap debat. Ia hanya ingin sebuah revolusi besar yang digerakkan oleh kaum proletar di Rusia.
Hari-hari berikutnya Trotsky menemukan banyak hal yang mengejutkan. Ia melihat para pemimpin Menshevik mengalami degenerasi akut. Mereka dengan tergesa-gesa meluruh ke jalan sempit reformisme. Tak ada pilihan lain bagi Trotsky selain menjauh dari Menshevik dan mengecam tindakan politik superfisial dari para pemimpin Menshevik tersebut. Tetapi di sini Trotsky menemui dirinya dalam posisi yang semakin berat. Pintu Bolshevik sudah tertutup. Bahkan ia dituduh telah mengkampanyekan kesalahan konsepsi Lenin mengenai partai.
Tentu tuduhan itu tidak benar. Bukan karena itu ia menjauh dari keduanya. Ini terkait dengan masa depan Rusia. Keutuhan dari sebuah partai revolusioner baginya sangat penting. Tetapi dengan cepat Trotsky menyadari kesalahan perspektifnya itu. Ternyata embrio reformisme dari kaum Menshevik sudah terbaca oleh Lenin jauh sebelum konggres. Dan hal itu segera terkonfirmasi dengan nyata.
Pada musim panas tahun 1904, Trotsky resmi mengundurkan diri dari faksi Menshevik. Selanjutnya ia pergi ke Munich. Di sinilah ia mengembangkan prinsip-prinsip utama Revolusi Permanen.
Bagian Dua: Bersama Parvus di Munich dan Teori Revolusi Permanen
Untuk bisa mengerti esensi dari teori revolusi permanen Trotsky dengan terang, perlu sekali membaca dan memahami sejarah perlawanan rakyat Rusia pada tahun 1905 dan 1917, memeriksa jejak perbedaan perspektif antara Trotsky dengan Stalin dan, setelah itu, menggali dalam-dalam keyakinan besar Trotsky bahwa sosialisme akan memenangkan dunia.
Tepatnya bulan Oktober 1904, Trotsky menyatakan keluar dari Menshevik. Trotsky mengirim surat terbuka untuk diumumkan lewat Iskra. Tetapi surat tersebut tidak pernah dipublikasikan.
Pada musim gugur, di tahun yang sama, Trotsky pergi ke Munich untuk menemui Alexander Israel Helphand (Parvus)[5] dan tinggal bersamanya. Pertemuan tersebut memberi arti yang begitu besar bagi Trotsky. Parvus memiliki reputasi besar sebagai seorang penulis dan pemikir politik Marxis pada saat itu. Dalam otobiografinya Trotsky menulis:
“Tidak diragukan lagi, Parvus adalah seorang pemikir Marxis yang luar biasa di putaran abad ini. Dia menguasai metode Marxian dengan terampil, memiliki visi yang luas, pengamatannya sangat tajam terhadap peristiwa-peristiwa penting dunia yang terjadi. Ini, ditambah dengan sikap yang tegas, kuat, dan pikirannya yang berani, membuatnya menjadi seorang penulis pilihtanding….”[6]
Di sinilah, di tempat Parvus, Trotsky mulai menuliskan teorinya. Trotsky mulai dengan analisis tentang kelemahan kaum borjuis Rusia dan ketidakmampuannya memainkan peran kunci dalam revolusi. Di Rusia, dalam pandangan Trotsky, tidak ada kota-kota di tingkat propinsial di mana kelas menengahnya aktif secara politik membangun basis-basis kekuatan.
Dalam sejarah revolusi masa lalu, analisis Trotsky, radikalisme politik di seluruh Eropa Barat bergantung pada kekuatan kaum borjuis kecil. Mereka adalah para artisan (pengrajin), dan secara umum, seluruh bagian dari borjuasi yang terseret dalam pembangunan industrial tetapi pada saat yang sama digeser oleh kelas kapitalis. Di Rusia, pada periode pra kapitalis, kota-kota yang dibangun lebih condong ke model Cina daripada Eropa, sebagai tempat-tempat administratif yang birokratik dan formal – tanpa ada signifikansi politiknya. Sedangkan dalam hal ekonomi, pasar-pasar dipenuhi oleh para tuan tanah, petani dan masyarakat sekitarnya. Laju perkembangan yang terlambat ini dihentikan oleh proses kapitalis, yang mulai membangun kota-kota besar dalam bayangannya sendiri, yaitu kota-kota industri dan pusat-pusat perdagangan dunia – juga, lambatnya perkembangan bentuk produksi kerajinan. Inilah yang menghambat proses perkembangan borjuis kecil – yang posisi politiknya (saat itu) – untuk mendorong kesadaran kelas kaum proletar. Akhirnya proletar dengan cepat terkonsentrasi di pabrik-pabrik kapitalis.
Lalu bagaimana peran kaum tani? Trotsky menjelaskan mengenai peran kaum tani, bahwa massa besar dan terbesar dari kaum tani akan ditarik ke dalam gerakan. Tetapi kaum tani tidak bisa berbuat lebih kecuali memperburuk anarki politik yang sudah merajalela di Rusia untuk melemahkan posisi pemerintah. Kaum tani tidak bisa menjadi tentara revolusioner yang kompak. Sebagaimana situasi revolusi yang sedang berkembang, lagi-lagi kerja politik akan jatuh ke tangan proletariat. Ini juga akan memperluas kesadaran kelas proletariat dan meningkatkan energi politiknya. Proletariat Rusia telah membangun sebuah kekuatan revolusioner yang melampaui capaian masyarakat manapun selama dalam pemberontakan revolusioner. Ketika kaum proletar Rusia kemudian mampu menggulingkan otokrasi, ini akan membentuk karakter bertentara dalam perjuangan revolusioner, membentuk karakter yang tegas dan teguh, yang selalu siap mengerahkan kekuatannya untuk menuntut hak-haknya.
Kesimpulannya, di Rusia, kata Trotsky, “hanya kaum buruh yang mampu melakukan perlawanan revolusioner. Di Rusia, pemerintahan revolusioner sementara akan menjadi pemerintahan demokrasi buruh.”[7]
Keberadaan Trotsky di Munich pada tahun 1904 untuk menganalisis prospek revolusi di Rusia ini juga sebagai titik balik dalam perkembangan intelektualnya.
Terlepas dari pengaruh kuat Parvus, Trotsky adalah anak seorang petani. Proyeksinya atas masa depan revolusi di Rusia, aplikasi ilmiahnya mengenai materialisme dialektika, studinya mengenai sejarah, teori dan masyarakat, tidak lepas dari memori kehidupan masa lalunya – ketika ia berada di antara gubuk-gubuk dan deret-deret panjang pematang; di antara barisan tubuh-tubuh legam pekerja ladang; di antara harapan, kesedihan, watak kultural dan cara pandang politik petani (di Yanovka); juga, tidak lepas dari pengalamannya bersentuhan langsung dengan buruh – ketika mengorganisir buruh hingga dijebloskannya ke penjara kumuh di Siberia.
Trotsky mendasarkan teori revolusi permanennya dari hasil analisis yang mendalam mengenai corak unik dari kapitalisme Rusia. Teori ini didasarkan pada analisis mengenai perkembangan kapitalisme Rusia yang lambat dan keterikatan kuatnya dengan feodalisme. Hal ini berbeda dengan negara-negara di mana kapitalisme yang dikembangkannya sudah terlepas dari ikatan-ikatan feodalisme.
Di Rusia, menurut Trotsky, industri-industri diciptakan secara instan (cangkokan) oleh Tsar agar segera bisa memberikan sumber pendapatan yang sangat besar bagi negara. Para aristokrat mendadak menjadi kapitalis-kapitalis baru. Tetapi mereka lemah secara politik karena keterikatan mereka dengan Tsarisme, dan secara ekonomik mereka didominasi oleh kapitalis-kapitalis Eropa yang lebih kuat. Borjuasi Rusia kemudian tidak menjadi kelas yang mandiri. Kaum borjuis Rusia malah terbukti tidak mampu membuat sebuah revolusi sosial: menggulingkan feodalisme, mengambil kekuasaan dan melikuidasi seluruh tata sosial lama yang masih digenggam kuat oleh Tsar.
Alasan-alasan ini kemudian menjadi dasar bagi Trotsky untuk membuat sebuah proyeksi, bahwa masa depan revolusi di Rusia, meskipun terikat dengan tuntutan-tuntutan borjuis – penggulingan Tsarisme dan relasi-relasi kepemilikan feodal – tidak bisa berhenti hanya sampai di situ. Kekuatan-kekuatan progresif tidak akan mampu meruntuhkan feodalisme kecuali dengan menempatkan kaum proletar untuk berkuasa. Selain itu, setelah proletariat memegang kendali kekuasaan, Rusia yang miskin dan terbelakang dalam hal teknologi, akan membutuhkan dukungan revolusi proletariat internasional. Prinsip-prinsip ini, menurut trotsky, berlaku untuk semua perjuangan di negara-negara terbelakang (yang berada di bawah kapitalisme cangkokan) demi tuntutan-tuntutan demokratik.
Proletariat ditempatkan pada posisi kunci oleh Trotsky dalam revolusi ini. Tugas utamanya adalah merebut kekuasaan: mengkonsolidasi posisi politiknya (posisi historis-politis), mempersenjatai diri, melucuti kekuatan lawan, memperluas basis revolusi dan merekonstruksi negara. Proletariat tidak akan mampu mengkonsolidasikan kekuasaannya tanpa memperluas basis revolusinya. Banyak massa buruh, terutama yang berada di daerah terpencil, bisa ditarik masuk ke dalam revolusi dan menjadi bagian dari organisasi politik revolusioner hanya setelah garda depan revolusi, proletariat urban, memegang kemudi negara.
Situasi sosial historis di Rusia memberi peran kunci bagi proletariat untuk memimpin revolusi. Trotsky meragukan kemampuan orde konstitusional borjuis dalam menyelesaikan tugas-tugas demokratik, meskipun dalam tugas-tugas demokratik yang paling primitif. Karena posisi politiknya yang masih terikat kuat dengan feodalisme, borjuasi Rusia akan merusak seluruh usaha perjuangan untuk pembebasan. Politik borjuasi hanya sampai pada orientasi untuk memapankan eksistensinya sendiri.
Hanya kaum buruh perkotaan yang sanggup melikuidasi relasi-relasi feodal tersebut. Tetapi, kata Trotsky, proletariat perkotaan saja tidak bisa memenangkan perjuangan. Mereka akan membutuhkan dukungan kaum tani, yang digambarkan oleh Trotsky sebagai “major reservoir of potential revolutionary energy”. Perjuangan buruh harus membawa agitasinya ke pedesaan dengan tanpa menunda dan menyia-nyiakan kesempatan.[8]
Kaum tani, yang merupakan mayoritas besar penduduk, adalah pendukung utama kaum buruh untuk menggulingkan Tsar. Tetapi kaum tani tidak sanggup untuk memimpin penyerangan (meskipun mayoritas besar) karena posisi politik dan karakter mereka yang tidak bisa bersatu dengan kepentingan bersama (common interest). Kaum tani meliputi petani kaya (rich farmer) dan petani penggarap tak bertanah (landless sharecropper). Kebutuhan yang berbeda dari petani kaya dan petani penggarap tak bertanah membuat mereka tidak mampu mengembangkan sebuah program bersama untuk melawan feodalisme. Selain itu, kaum tani tersebar jauh dari urat nadi kehidupan kota.
Namun sebaliknya dengan kaum buruh, mereka terkonsentrasi di kota-kota dan bisa menyatu rapat antara satu dengan yang lain karena pola dan disiplin kerja yang sama di dalam industri-industri besar Rusia yang sebagian besar disokong oleh kapitalisme Eropa. Situasi ini, terkait dengan posisi politik, karakter dan ritme kerja dari kaum buruh, memungkinkan mereka untuk memimpin penggulingan terhadap feodalisme yang didukung penuh oleh kaum tani. Begitu mereka mendapatkan kekuasaan, kaum buruh harus segera membentuk negara buruh dan menjalankan ekonomi terencana dan melangkah ke arah sosialisme. Setelah kemenangan tersebut Trotsky meramalkan bahwa tujuan dari kaum buruh dan kaum tani akan menemui perbedaan dan masuk pada suatu konflik. Kaum tani masih menginginkan kepemilikan individu atas tanah. Tetapi kebutuhan kaum buruh hanya dapat dipenuhi oleh nasionalisasi atas industri-industri dan ini, pada akhirnya, membutuhkan nasionalisasi atas pertanian.
Karena kemiskinan dan kontradiksi-kontradiksi internalnya, kelangsungan hidup Revolusi Rusia akan bergantung pada dukungan dari negara-negara buruh yang akan lahir di negara-negara lain – terutama di Eropa Barat yang sudah sangat maju. Bahkan setelah mencapai lingkup internasional, momentum transformasi ini tidak pernah bisa berhenti, tetapi harus berlanjut pada bidang ekonomi, teknologi dan budaya.
Inilah dasar-dasar fundamental dari teori revolusi permanen!
Bersambung….
[1] Leon Trotsky, yang lahir dengan nama lengkap Lev Davidovich Bronstein, adalah putra seorang petani Yahudi yang tinggal di propinsi Kherson, sebuah kota kecil di Yanovka, Ukraina selatan. Ayahnya, David Bronstein Leontievich, berkat kerja kerasnya sebagai petani, mampu memberi penghidupan yang layak kepada Trotsky. Namun hal itu tidak membuatnya bermewah-mewah. Karena sang ayah, Leontievich, memiliki prinsip hidup sederhana, yang di kemudian hari sangat berpengaruh terhadap sikap dan watak Trotsky.
[2] Aleksandra Lvovna Sokolovskaya adalah istri pertama Trotsky. Mereka pernah berada di penjara dan pengasingan di Siberia bersama-sama. Dari istri pertamanya ini Trotsky memiliki dua putri, Zinaida Volkova dan Nina Nevelson. Setelah bertemu Natalia Sedova di Paris pada 1902-an, pernikahan pertama Trotsky hancur, meskipun Sokolovskaya dan Sedova tetap mempertahankan hubungan persahabatannya hingga akhir.
[3] Iskra adalah koran resmi Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia yang dikelola dari luar negeri di bawah kendali Lenin. Tetapi setelah terjadi perpecahan di tubuh partai ini, Iskra direbut Menshevik dan terbit di bawah kendali Plekhanov hingga tahun 1905.
[4] Istilah idealis romantis biasanya digunakan untuk menggambarkan sebuah aktifitas politik yang radikal, samar, reksioner, utopis; yang hanya bersimpati pada penderitaan rakyat akibat penindasan kapitalis tetapi tidak membuat konstruksi perlawanan yang jelas.
[5] Parvus adalah seorang teoritikus Marxis, seorang revolusioner Rusia, dan seorang aktivis kontroversial dalam Partai Sosial Demokrat Jerman. Pada usia sembilan belas tahun ia berangkat ke Basel untuk melanjutkan studinya dalam bidang ekonomi. Pada tahun 1891 ia menyelesaikan program doktornya dengan disertasi mengenai “pemulihan kerja”. Setelah secara terbuka menjadi seorang Marxis, Parvus pindah ke Jerman, bergabung dengan Partai Demokrat Sosial dan berteman dengan seorang revolusioner Jerman, Rosa Luxemburg. Pada tahun 1900, di Munich, ia bertemu Lenin untuk pertama kalinya. Parvus mendorong Lenin untuk memulai menerbitkan koran revolusionernya, Iskra.
[6] Trotsky, My Life.
[7] Do 9 Ianvara (Geneva 1905).
[8]Trotsky, My Life, hal. 178 – 179.