Artikel ini disadur dari bab IV buku “Hasil dan Prospek” (Prospek Kediktaturan Buruh) yang ditulis oleh Leon Trotsky pada tahun 1906. Dalam artikel ini, Trotsky memprediksi bahwa kaum buruh Rusia, sebuah negara terbelakang, akan merebut kekuasaan dan melaksanakan revolusi sosialis. Sebelas tahun kemudian, prognosisnya terbukti di dalam Revolusi Oktober 1917 dimana kaum buruh Rusia memimpin revolusi sosialis yang mengubah tatanan politik dunia pada abad ke-20. Kaum buruh Indonesia kini dihadapkan pada tugas yang sama, dan perdebatan yang serupa juga terjadi di dalam gerakan Indonesia: apa prospek revolusi sosialis di Indonesia? Rusia bukan Indonesia, dan Indonesia bukan Rusia, tetapi kami berharap bahwa prognosis Trotsky ini dapat membantu kaum revolusioner Indonesia menemukan jawaban dari pertanyaan di atas.
Revolusi adalah sebuah pertarungan kekuatan secara terbuka antara kekuatan-kekuatan sosial di dalam sebuah perjuangan memperebutkan kekuasaan. Negara bukanlah sebuah tujuan akhir di dalam dirinya sendiri. Ia hanyalah sebuah alat di tangan kekuatan sosial yang mendominasi. Seperti setiap mesin ia memiliki motornya, mekanisme transmisi dan eksekusi. Kekuatan pendorong Negara adalah kepentingan kelas; mekanisme motornya adalah agitasi, media, gereja, sekolah, partai-partai, pertemuan-pertemuan jalanan, petisi, dan pemberontakan. Mekanisme transmisinya adalah organisasi legislatif kepentingan kasta, dinasti, estate, atau kelas yang direpresentasikan sebagai kehendak Tuhab (absolutisme) atau kehendak bangsa (parlementerisme). Dan paling akhir, mekanisme eksekusinya adalah administrasi negara, dengan polisi-polisinya, pengadilan-pengadilannya, dengan penjara-penjaranya dan tentaranya.
Negara bukanlah sebuah tujuan akhir di dalam dirinya sendiri, tetapi ia merupakan alat untuk mengorganisir, dis-organisir, dan re-organisir hubungan-hubungan sosial. Ia dapat menjadi sebuah kekuatan yang besar bagi revolusi atau menjadi sebuah alat penghenti revolusi yang terorganisir, ini tergantung pada tangan yang mengontrolnya.
Setiap partai politik yang serius berusaha untuk meraih kekuatan politik dan menggunakan negara untuk melayani kepentingan kelas yang ia wakili. Oleh karena itu, Partai Sosial-Demokrat[1], sebagai partainya kaum proletar, berjuang demi dominasi politik kelas pekerja.
Kaum proletar tumbuh dan menjadi lebih kuat seiring dengan berkembangnya kapitalisme. Dalam pengertian ini, perkembangan kapitalisme adalah juga perkembangan kaum proletar menuju kediktatoran. Tetapi kapan kekuasaan akan beralih ke tangan kelas pekerja tergantung bukan secara langsung pada level kekuatan produksi, tetapi tergantung pada relasi kekuatan-kekuatan sosial di dalam perjuangan kelas, pada situasi internasional, dan pada akhirnya, tergantung pada beberapa faktor subjektif: tradisi, inisiatif, dan kesiapan kaum pekerja untuk berjuang.
Adalah mungkin bagi para pekerja di negara yang ekonominya terbelakang untuk berkuasa lebih awal daripada para pekerja di negara maju. Pada tahun 1871, para pekerja mengambil alih kekuasaan di kota borjuis-kecil Paris – benar, ini hanya bertahan 2 bulan, tetapi di pusat-pusat kapitalis besar di Inggris dan Amerika para pekerja tidak pernah mengambil-alih kekuasaan bahkan untuk satu jam pun. Untuk berpikir bahwa kediktatoran kaum proletar secara otomatis tergantung pada perkembangan teknik dan sumber-daya dari sebuah negara adalah sebuah prasangka materialisme ‘ekonomi’ yang menggelikan. Cara pemikiran ini bukanlah cara pemikiran Marxisme.
Dalam pandangan kita, revolusi Rusia akan menciptakan kondisi-kondisi dimana kekuasaan dapat pindah ke tangan kaum buruh – dan mereka harus mengambil kekuasaan bila mereka meraih kemenangan – sebelum politisi-politisi borjuis-liberal mendapatkan kesempatan untuk sepenuhnya menunjukkan keahlian mereka dalam memerintah.
Meringkas revolusi dan konter-revolusi tahun 1848-49 di dalam suratkabar Amerika, The Tribune, Marx menulis:
“Kelas pekerja di Jerman, di dalam perkembangan sosial dan politiknya, lebih terbelakang dibandingkan dengan Inggris dan Prancis, seperti halnya kaum borjuis Jerman lebih terbelakang dibandingkan dengan kaum borjuis Inggris dan Prancis. Tuan dan pelayannya sama. Perkembangan kondisi untuk keberadaan sebuah kelas proletar yang besar, kuat, terkonsentrasi, dan pintar adalah sejalan dengan perkembangan kondisi untuk keberadaan kelas menengah yang besar, kaya, terkonsentrasi, dan kuat. Gerakan kelas pekerja tidak akan bisa independen dan tidak akan bisa memiliki karakter proletarian yang ekslusif sebelum semua faksi-faksi kelas menengah, terutama faksinya yang paling progresif, yakni kapitalis besar, telah menaklukkan kekuasaan politik, dan membentuk Negara sesuai dengan kepentingan mereka. Hanyalah setelah itu konflik tak-terelakkan antara para bos dan para pekerja dapat terjadi, dan tidak dapat ditunda lebih lama lagi … “ [Karl Marx, Jerman pada tahun 1848-50, terjemahan Rusia, edisi Alexeyeva, 1905, hal 8-9] [atau Jerman: Revolusi dan Konter-Revolusi, Bab 1; Selected Works of Karl Marx, edisi 1942, Vol II, hal.46]
Kutipan ini mungkin dikenal cukup baik oleh para pembaca, karena kutipan ini telah disalahgunakan besar-besaran oleh kaum Marxis-Teks[2] sekarang ini. Kutipan ini telah digunakan sebagai argumen menentang ide pembentukan sebuah pemerintahan kelas pekerja di Rusia. ‘Tuan dan pelayannya sama.’ Mereka berargumen bahwa bila kaum kapitalis borjuis tidak mampu meraih kekuasaan, maka adalah lebih tidak mungkin untuk membentuk sebuah demokrasi buruh, yakni dominasi politik kaum proletar.
Marxisme adalah sebuah metode analisa – bukanlah analisa teks-teks, tetapi analisa relasi-relasi sosial. Benarkah bahwa di Rusia lemahnya kaum kapitalis-liberal otomatis berarti lemahnya gerakan buruh? Benarkah bahwa di Rusia tidak akan ada gerakan buruh yang independen kalau kaum borjuis belum berkuasa? Kita cukup mengemukakan pertanyaan-pertanyaan ini untuk mengekspos formalisme yang bersembunyi di belakang usaha untuk merubah ujaran Marx yang relatif-historis menjadi axiom supra-historis.
Selama periode boom industri, perkembangan industri pabrik di Rusia memiliki karakter ‘Amerika’; tetapi di dalam dimensi yang sesungguhnya, industri kapitalis di Rusia adalah seperti bayi dibandingkan dengan industri di Amerika Serikat. 5 juta orang – 16.6 persen dari populasi yang aktif secara ekonomi – bekerja di industri manufaktur di Rusia; di Amerika, angka tersebut adalah 6 juta orang atau 22.2 persen. Angka-angka ini tidak memberikan banyak informasi, tetapi angka-angka ini menjadi jelas bila kita ingat bahwa populasi Rusia hampir dua kali lipat populasi AS. Tetapi, untuk benar-benar memahami dimensi sesungguhnya dari industri Rusia dan Amerika, kita harus memperhatikan bahwa pada tahun 1900 pabrik-pabrik Amerika menghasilkan produk senilai 25 milyar rubel, sedangkan pada periode yang sama pabrik-pabrik Rusia menghasilkan produk kurang dari 2,5 milyar rubel.[3]
Tidak diragukan kalau jumlah, konsentrasi, signifikan politik dan kebudayaan kelas proletar tergantung pada level perkembangan industri kapitalisme. Tetapi ketergantungan ini tidaklah bersifat langsung. Antara kekuatan produksi sebuah bangsa dan kekuatan politik kelas-kelasnya, terdapat berbagai faktor sosial dan politik yang berkarakter nasional dan internasional, dan faktor-faktor ini dapat menggeser dan kadang-kadang dapat merubah total ekpresi politik dari relasi-relasi ekonomi. Walaupun kekuatan produksi Amerika Serikat adalah 10 kali lipat lebih besar daripada kekuatan produksi Rusia, peran politik kaum proletar Rusia, pengaruhnya terhadap politik dalam negeri dan kemungkinannya dalam mempengaruhi politik dunia di hari yang dekat, adalah jauh lebih besar dibandingkan dengan kaum proletar Amerika Serikat.
Kautsky, di dalam buku terbarunya mengenai kaum proletar Amerika, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara kekuatan politik kaum proletar dan kaum borjuis di satu pihak dengan level perkembangan kapitalisme di pihak yang lain. “Dua negara eksis” tulis Kautsky, “yang sangatlah berbeda. Di satu negara, satu elemen berkembang jauh lebih pesat dibandingkan perkembangan metode produksi kapitalisme, di negara yang lain elemen yang lainlah yang berkembang. Di satu negara – Amerika – elemen ini adalah kelas kapitalis, sedangkan di Rusia elemen ini adalah kelas proletar. Tidak ada negara seperti Amerika dimana kita memiliki basis untuk berbicara mengenai kediktatoran kapital, sedangkan kaum proletarnya yang militan tidak se-signifikan seperti di Rusia. Ke-signifikan-an kaum proletar Amerika pasti akan meningkat, karena negara ini baru saja mulai mengambil bagian di dalam perjuangan kelas yang moderen, dan baru saja mendapatkan ruang untuk itu.” Menunjukkan bahwa Jerman, kurang lebih, dapat mempelajari masa depannya dari Rusia, Kautsky melanjutkan: “Sangatlah luarbiasa bahwa kaum proletar Rusia akan menunjukkan kepada kita masa depan kita, bukan dalam ekspresi perkembangan kapital tetapi di dalam perjuangan kelas pekerja. Kenyataan bahwa negara Rusia ini adalah negara yang paling terbelakang di dunia kapitalis tampaknya merupakan kontradiksi terhadap konsepsi sejarah materialis dimana dikatakan bahwa perkembangan ekonomi merupakan basis perkembangan politik. Tetapi, sesungguhnya ini hanya mengkontradiksi konsepsi sejarah materialis yang dibayangkan oleh musuh-musuh dan kritik-kritik kita, yang melihat sejarah materialis bukan sebagai metode investigasi tetapi hanya sebagai sebuah model yang sudah jadi.”[4] Kita khususnya merekomendasikan kutipan-kutipan di atas kepada kaum Marxis Rusia yang menggantikan analisa relasi-relasi sosial yang independen dengan deduksi dari teks-teks yang dipilah untuk melayani setiap situasi di dalam kehidupan.
Maka, menurut Kautsky, secara ekonomi level perkembangan kapitalisme di Rusia sangatlah rendah, secara politik Rusia memiliki kelas kapitalis borjuis yang lemah dan kelas proletar yang kuat. Ini menghasilkan kenyataan bahwa “perjuangan demi kepentingan seluruh Rusia jatuh di pundak satu-satunya kelas yang kuat di negeri ini – kelas proletar industri.’ Untuk alasan ini, kelas proletar secara politik sangatlah signifikan, dan untuk alasan ini perjuangan untuk membebaskan Rusia dari iblis absolutisme yang mencekiknya telah berubah menjadi sebuah pertempuran tunggal antara absolutisme dan kelas proletar industri, sebuah pertempuran dimana kelas petani dapat memberikan dukungan yang cukup besar tetapi tidak dapat memainkan peran kepemimpinan.
Tidakkah semua ini memberikan kita alasan untuk menyimpulkan bahwa ‘pelayan’ Rusia (baca kelas proletar) akan berkuasa sebelum ‘tuannya’ (baca kelas borjuis nasional)?
Ada dua bentuk optimisme politik. Kita dapat membesar-besarkan kekuatan dan keunggulan kita di dalam sebuah situasi revolusioner dan mengambil tugas-tugas yang tidak dibenarkan oleh korelasi kekuatan kelas. Di pihak yang lain, kita dapat dengan optimis menentukan limit tugas-tugas revolusioner kita, kemudian secara tidak terelakkan kita akan melampui limit tersebut karena logika dari posisi kita.
Dalam menetapkan bahwa revolusi kita adalah revolusi borjuis di dalam gol dan objektifnya dan oleh karena itu hasilnya adalah tak terelakkan, ini menetapkan batasan terhadap semua permasalahan yang ada di dalam revolusi ini. Dan bila kita melakukan ini, kita menutup mata kita pada kenyataan bahwa di dalam revolusi borjuis ini aktor utamanya adalah kelas proletar yang terdorong menuju kekuasaan oleh seluruh arus revolusi.
Kita bisa saja meyakinkan diri kita sendiri bahwa di dalam kerangka revolusi borjuis, dominasi politik kaum proletar hanya akan menjadi sebuah episode yang sementara; dan lupa bahwa kalau kelas proletar sudah meraih kekuasaan ke dalam tangannya ia tidak akan melepaskannya tanpa sebuah perjuangan habis-habisan, sampai kekuasaan ini dirampas dari tangannya oleh tentara bersenjata.
Kita bisa saja meyakinkan diri kita sendiri bahwa kondisi-kondisi sosial Rusia masih belum matang untuk sebuah ekonomi sosialis, tanpa mempertimbangkan kalau kelas proletar, kalau sudah berkuasa, akan – karena logika dari posisinya – secara tidak terelakkan terdorong untuk mengimplementasikan manejemen negara di dalam cabang-cabang industri. Istilah umum sosiologi dari revolusi borjuis tidak akan menyelesaikan masalah-masalah politik-taktikal, kontradiksi-kontradiksi dan kesulitan-kesulitan yang dilemparkan oleh mekanisme dari sebuah revolusi borjuis yang kita hadapi.
Di dalam kerangka revolusi borjuis pada akhir abad ke-18, dimana tugas objektif dari revolusi borjuis adalah untuk menciptakan dominasi kapital, kediktatoran sansculottes adalah hal yang mungkin terjadi. Kediktatoran ini bukan hanya sebuah episode yang sementara, ia meninggalkan pengaruh yang sangat kuat pada abad selanjutnya walaupun kediktatoran ini dihancurkan dengan cepat oleh kepungan batasan-batasan revolusi borjuis. Di dalam revolusi pada permulaan abad ke-20, dimana tugas objektif langsung dari revolusi ini adalah juga borjuis, muncul sebuah prospek dominasi politik kelas proletar yang tak-terelakkan, atau setidaknya mungkin terjadi. Kelas proletar sendirilah yang akan memastikan bahwa dominasi ini tidak menjadi hanya sebuah ‘episode’ sementara, seperti yang diharapkan oleh beberapa kaum filistin yang realis. Tetapi sekarang kita bahkan dapat bertanya pada diri kita sendiri: Benarkah tak-terelakkan bahwa kediktatoran proletar akan dihancurkan oleh batasan-batasan revolusi borjuis? Atau apakah mungkin kalau di dalam kondisi sejarah-dunia sekarang ini kediktatoran proletar dapat menemukan sebuah prospek untuk menghancurkan batasan-batasan tersebut? Di sini kita dihadapkan pada permasalahan taktik: apakah kita harus secara sadar bekerja untuk membentuk pemerintahan kelas pekerja seiring dengan perkembangan revolusi yang membawa tahapan ini semakin dekat? Atau apakah kita harus menganggap bahwa kekuasaan politik adalah sebuah kemalangan yang siap dilemparkan oleh revolusi borjuis kepada kaum buruh, dan kekuasaan politik ini harus dihindari?
Apakah kita harus mengucapkan pada diri kita sendiri kata-kata politisi Vollmar[5] yang ‘realis’ mengenai Komune Paris 1871: “Daripada mengambil kekuasaan, akan lebih baik bagi mereka kalau mereka pergi tidur”?
Catatan
[1] Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia adalah sebuah partai revolusioner yang dibentuk pada tahun 1898. Partai ini kemudian pecah menjadi sayap Bolshevik dan Menshevik, dengan Bolshevik akhirnya menjadi Partai Komunis Uni Soviet.
[2] Kaum Marxis-Teks adalah kaum Marxis yang hanya menganalisa teks-teks karya Marx dan Engels tanpa menggunakan metode Dialektika Materialisme, sehingga mereka hanya mampu mengulangi kutipan-kutipan Marx dan Engels.
[3] D. Mendeleyev, Toward the Understanding of Russia, 1906, hal.99 – (Catatan Leon Trotsky)
[4] K. Kautsky, Buruh Rusia dan Amerika, terjemahan Rusia, St. Petersburg 1906, hal. 4 dan 5 – (Catatan Leon Trotsky)
[5] Georg Heinrich von Vollmar (1850-1922) adalah seorang sosial-demokrat reformis dari Jerman.