Setelah didera oleh Mogok Nasional dan gelombang aksi buruh susulan yang tak henti-hentinya, kaum kapitalis akhirnya mengancam menggunakan tuas ekonomi yang ada di tangan mereka, yakni lockout atau mogok kapital. Pertentangan antara buruh dan kapitalis akhirnya mengerucut pada pertanyaan: siapa yang sebenarnya mengendalikan ekonomi? Buruh atau kapitalis? Inilah pertanyaan yang menghantui setiap benturan antara kapitalis dan buruh, pertanyaan yang sering kali terselubung tetapi kadang-kadang menyeruak pada momen-momen tertentu. Hari ini kita sedang memasuki momen tertentu tersebut.
Setiap aksi mogok buruh semakin menanamkan kepercayaan di dalam hati buruh bahwa sesungguhnya merekalah yang menjalankan ekonomi bangsa; dan bukan hanya di hati buruh, tetapi juga di hati rakyat luas. Sementara, setiap aksi buruh semakin membuat kaum kapitalis khawatir kalau sesungguhnya mereka tidak punya kendali. Mereka hanya punya secarik kertas yang mengatakan mereka adalah pemilik pabrik, tetapi pabrik ini akan diam tak berjalan kalau para buruh mogok, dan secarik kertas itu menjadi onggokan sampah. Sementara buruh semakin percaya diri, kaum kapitalis semakin kehilangan kepercayaan diri mereka. Inilah yang mendorong mereka untuk melakukan lockout nasional, atau mogok kapital. Lewat aksi mogok kapital ini, mereka ingin menunjukkan – dan mengingatkan kembali – kepada buruh dan seluruh rakyat bahwa sesungguhnya merekalah para pemilik kapital yang punya kendali atas ekonomi bangsa.
Setelah menyaksikan mogok nasional pertama mereka, kapitalis Indonesia hari ini ingin meniru langkah para buruh, yakni melakukan mogok kapital nasional pertama mereka. Namun ada perbedaan di sini. Mogok kapital mereka adalah aksi putus asa, sebuah aksi defensif dan bukan ofensif. Ia adalah reaksi dari serangkaian kegagalan usaha-usaha mereka untuk menghentikan gelombang aksi buruh. Dengan seruan mogok kapital ini, para pemimpin kapitalis – Sofjan Wanandi, Franky Sibarani, Anton Supit – berharap mengembalikan kepercayaan diri mereka yang telah goyah. “Kapitalis seIndonesia, bersatulah!” begitu seru mereka.
Krisis ekonomi dunia lima tahun terakhir juga menjadi latar belakang yang penting. Walaupun Indonesia ekonominya tumbuh pesat dibandingkan banyak negara lainnya – dan ini memberikan sedikit ketenangan bagi para kapitalis Indonesia – namun kapitalis sebagai sebuah kelas secara keseluruhan sedang mengalami krisis. Mantra mereka mengenai kapitalisme yang akan selalu stabil dan terus tumbuh telah terbukti gagal di hadapan semua orang. Mereka sendiripun tidak tahu apa yang terjadi di ekonomi mereka. “Invisible hand”nya Adam Smith yang selalu mereka elu-elukan sebagai pondasi keagungan kapitalisme hari ini sungguh menjadi sebuah mimpi buruk. Kekuatan “tangan tak terlihat” ini telah menjadi sebuah kekuatan mistis bagi mereka, dimana tidak ada satupun prediksi atau model ekonomi yang dapat mereka andalkan. Satu hari mereka mengatakan ekonomi akan membaik, esok harinya mereka mengatakan ekonomi akan memburuk. Setiap prediksi ekonomi Indonesia yang gemilangpun selalu dikaitkan dengan perkembangan ekonomi dunia, terutama AS dan Eropa. “Prospek ekonomi Indonesia tahun 2012 diprakirakan masih tetap kuat, meskipun risiko yang berasal dari pelemahan ekonomi global masih tinggi,” begitu tulis laporan ekonomi Bank Indonesia. Sementara, semakin banyak rakyat pekerja yang mulai mempertanyakan kapitalisme. Para bankir dan kapitalis besar sudah menjadi musuh publik nomor satu. Mereka jadi bahan cercaan rakyat pekerja sedunia. Inilah mood dan psikologi kapitalis hari ini, dipenuhi pesimisme dan keraguan.
Sebaliknya di Indonesia, kaum buruh menjadi semakin percaya diri. Mogok Nasional 3 Oktober lalu adalah sebuah peristiwa penting, sebuah kulminasi dari gelombang aksi buruh satu tahun terakhir dan pukulan besar bagi kapital. Ini telah mengubah panggung perjuangan kelas hari ini, dan untuk hari-hari ke depan pula. Setiap serangan yang diluncurkan oleh para pemilik modal, belakangan ini dengan menggunakan preman, justru semakin membuat buruh radikal, optimis, dan tidak ragu.
Ancaman lockout para pengusaha juga merupakan ancaman terhadap pemerintah agar melakukan sesuatu untuk menghentikan radikalisasi buruh. Walaupun negara kita adalah negara borjuis – yakni institusi kelas borjuis untuk menindas kelas buruh – tidak serta merta mereka ada di bawah kendali langsung kaum borjuis. Ada hubungan dialektika antara negara dan kelas yang berkuasa. Hubungan mereka tidak selalu mekanis. Kaum borjuasi ingin pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap buruh, tetapi pemerintah kita tidak bisa melakukan ini karena mereka ada dalam posisi yang lemah. Didera skandal-skandal korupsi di setiap tingkatan, pemerintah berkepentingan menjaga citra mereka. Memerintahkan polisi untuk menghentikan aksi puluhan ribu dan bahkan ratusan ribu buruh di seluruh Indonesia membutuhkan sebuah gelombang represi yang tidak pernah terlihat semenjak 1998, dan ini akan menggoyangkan pemerintah yang berkuasa. Apalagi kepolisian baru saja dihantam kasus korupsi yang menyita perhatian nasional, yang telah membuat citra mereka di mata rakyat sangat buruk. Sementara, para partai-partai politik oposisi – yang bersiap-siap mengumpulkan kapital politik untuk pemilu 2014 – tidak kehilangan kesempatan untuk menggunakan isu mogok buruh untuk menyerang Partai Demokrat sebagai penguasa yang tidak kompeten dalam mensejahterakan rakyat. Maka dari itu, pemerintahan Demokrat, walau berpihak pada kapitalis, tidak bisa memukul langsung buruh dan pendekatan mereka adalah mengajak berdialog dan berjanji akan memenuhi tuntutan-tuntutan buruh, dengan harapan mengulur-ulur waktu. Dalam situasi normal, taktik dialog dan tebar janji mungkin akan berhasil. Buruh diberi janji-janji untuk mengulur waktu sampai aksi demo menyurut dan buruh letih. Tetapi kita tidak dalam situasi normal, dan para kapitalis paham betul ini. Aksi demo tidak menyurut tetapi semakin meluas dan mendalam. Inilah mengapa terjadi benturan antara pengusaha dan pemerintah, dimana Apindo ingin membawa Muhaimin ke pengadilan karena ia memberi konsesi kepada buruh mengenai masalah outsourcing, yakni pembatasan outsourcing pada lima jenis pekerjaan. Konsesi kecil ini tidak bisa diterima oleh pengusaha bukan hanya karena ini akan mengikis laba mereka tetapi terlebih karena setiap kemenangan kecil yang diraih buruh membuat mereka semakin percaya diri bahwa mereka bisa menekan pemerintah dan menang.
Yang harus lebih diperhatikan oleh kita adalah bahwa ancaman lockout ini juga untuk menguji keteguhan para pemimpin buruh dalam melanjutkan perjuangan. Elemen-elemen kepemimpinan di dalam gerakan yang lebih goyah dan tidak teguh akan menggunakan ancaman lockout ini untuk berargumen bahwa gerakan buruh sudah kelewat batas dan harus diperlambat. Inilah mengapa ancaman mogok kapital ini harus ditanggapi dengan serius oleh buruh, dan bukan dianggap hanya ancaman kosong. Karena ia bukanlah ancaman kosong. Ancaman itu sendiri saja sudah merupakan serangan yang riil, yakni untuk menggiring opini publik, mendorong pemerintah bertindak tegas terhadap buruh, dan mendorong elemen-elemen reformis-birokratis yang pro-modal di dalam serikat buruh untuk menghentikan gelombang aksi buruh. Kita tidak boleh menunggu sampai ancaman lockout ini benar-benar menjadi nyata, tetapi harus segera merespon dengan serangan balik, terlepas apakah kapitalis Indonesia mampu atau tidak mengorganisir lockout ini.
Buruh harus menjawab balik: untuk setiap pabrik yang dilockout, buruh akan membalas dengan mogok seratus pabrik. Pukul balik mogok kapital dengan mogok buruh. Kalau kapitalis lututnya sudah gemetar menyaksikan mogok nasional pertama, mereka sekarang harus dibuat bertekuk lutut dengan mogok nasional yang kedua. Buruh telah berhasil mengorganisir mogok nasional mereka yang pertama, dan hasilnya luar biasa. Para pemimpin MPBI sebelumnya telah mengancam akan melakukan mogok nasional kedua kalau tuntutan-tuntutan buruh tidak segera dipenuhi dalam 14 hari. Lebih dari 14 hari telah berlalu dan belum ada realisasi nyata dari pemerintah, sementara para kapitalis giat melakukan serangan-serangan balik. Sekaranglah waktunya untuk memobilisasi Getok Monas edisi kedua. Pukul balik lockout nasional dengan mogok buruh nasional.
Kita hanya perlu mengulang apa yang dikatakan Leon Trotsky: “Menajamnya perjuangan proletar berarti menajamnya metode yang digunakan oleh kapitalis untuk memukul balik … Suatu kemalangan bagi organisasi revolusioner, suatu kemalangan bagi kaum proletar bila mereka sekali lagi tidak siap menghadapi pukulan balik ini!”
Yah, akan menjadi kemalangan bagi kaum buruh kalau tidak siap menghadapi lockout ini.
Satu Pabrik Di-lockout, Seratus Pabrik Mogok!
Pukul Balik Mogok Kapital Dengan Mogok Nasional!