Ketakutan kelas penguasa terhadap Marxisme sepertinya tidak pernah usai. Meskipun Partai Komunis Indonesia sudah dihancurkan, mereka masih takut terhadap simbol, gambar dan buku-buku yang mengulas mengenai komunisme. Di Gramedia Makassar, sekelompok ormas yang menamakan diri mereka Brigade Muslim Indonesia merazia buku-buku yang berbau komunis. Di Probolinggo dua mahasiswa harus berurusan dengan aparat kepolisian karena membawa buku DN Aidit di sebuah lapak baca buku gratis. Di Padang dan Kediri beberapa bulan yang sebelumnya juga terjadi hal sama. Meskipun secara hukum razia buku tanpa proses peradilan tidak diperbolehkan, tapi hukum ini tidak pernah menghalangi aparat dan ormas-ormas reaksionernya melakukan intimidasi terhadap mereka yang membaca, menjual dan mendiskusikan buku-buku mengenai Marxisme.
Beberapa buku yang disita salah satunya buku Franz Magniz yang jelas-jelas pandangannya anti Marxis. Merespon ini, Franz Magnis mengatakan bahwa tindakan ini dilakukan orang-orang bodoh. Tapi apa kesimpulannya? Ketua BMI sendiri mengatakan bahwa mereka telah berkoordinasi dengan bagian Intel Polrestabes Makassar dan Intel Kodam Hasanuddin. “Saya sama intel Kodam turun kok. Jadi kita ini bertindak berusaha berkoordinasi tidak melanggar hukum, tapi kalau berkoordinasi dengan pihak kepolisian, pihak TNI selalu beliau mengarahkan ke kami, selalu mendahulukan tindakan persuasif,” ungkap Zulkifli kepada detikcom, Senin (5/8/2019)
Jadi ketika razia ini dilakukan oleh orang-orang bodoh, maka kita harus menunjuk kebodohan ini juga pada aparat-aparat penegak hukum, tentara dan polisi, serta pemerintahan yang ada saat ini. Oleh karena itu, mengatakan tindakan ini bodoh tidak membawa kita ke mana-mana. Dan paling jauh membawa kita pada kesimpulan liberal.
Kaum liberal dan sayangnya juga banyak Kiri menyanyikan lagu yang sama. Bahwa buku tidak perlu ditakuti; buku adalah buku; ini adalah kebebasan; ini demokrasi; dll., tanpa menjelaskan akar kelas dari phobia penguasa terhadap Marxisme. Bagaimanapun kelas penguasa dan terutama kaum reaksionernya selalu memiliki penciuman yang lebih tajam dari pada kaum liberal. Mereka jauh lebih memahami bahwa ada banyak anak-anak muda mulai tertarik dengan gagasan Marxisme. Meskipun tidak ada statistik yang menyebutkan ini. Tapi tokoh-tokoh seperti Tan Malaka, DN Aidit, Mao, Che Guevara, Karl Marx dan Lenin tidak asing bagi mereka. Kaos-kaos serta kutipan-kutipan mereka sering dipakai dalam sejumlah demonstrasi massa dan di kampus-kampus. Bila keran akses terhadap buku-buku Marxisme tidak dibatasi, maka komunisme akan bangkit kembali. Inilah kebenarannya.
Krisis saat ini memberikan peluang bagi bangkitnya gagasan revolusioner. Pengangguran di mana-mana. Anak-anak muda sulit mencari lapangan pekerjaan. Mereka yang telah bekerja nasibnya juga tidak lebih baik. Ancaman PHK selalu menghantui. Mereka muak terhadap pemerintah. Mereka menyaksikan kemiskinan ada di depan mata daripada kesejahteraan. Di jantung kapitalisme, yakni Amerika Serikat, anak-anak muda lebih suka terhadap sosialisme daripada kapitalisme. Di Hong Kong anak-anak muda ada di garis depan perjuangan melawan dominasi Beijing. Ada ketidakpuasan umum di antara kaum muda yang ini dirasakan dengan baik oleh kelas penguasa.
Meskipun Uni Soviet telah hancur dan negeri-negeri satelitnya di Blok Timur juga punah tapi itu adalah Stalinisme. “Komunisme ala Tiongkok ” jelas tidak menarik kaum muda karena birokrat partai komunis Tiongkok adalah kelas kapitalis Tiongkok . Para akademisi yang menyebut dirinya Marxian seperti Zizek, Foucault, Derrida, Habermas dan varian-variannya merupakan gagasan impoten yang tidak akan memuaskan mereka yang ingin mengakhiri eksploitasi kapitalis. Sekali anak-anak muda memahami ini, mereka akan bergerak ke tingkatan yang lebih tinggi Marxisme Revolusioner, yakni ide-ide yang dipertahankan oleh Marx, Engels, Lenin dan Trotsky. Inilah yang ditakuti oleh kelas penguasa!