Satu bulan telah berlalu sejak gelombang demonstrasi #PeringatanDarurat mengguncang rejim dan membuat kelas penguasa terkejut. Penting bagi setiap pejuang revolusioner untuk menarik kesimpulan dan pelajaran darinya, dan lewat pelajaran ini membangun kekuatannya lebih lanjut supaya gerakan selanjutnya tidak hanya mengguncang tetapi merobohkan seluruh dinasti politik yang ada.
Di penghujung masa jabatannya, Jokowi mendapat tamparan keras. Setelah berhasil meloloskan Gibran ke istana negara, ia mungkin mengira menempatkan anaknya yang satu lagi ke kantor gubernur akan jadi perkara yang teramat mudah. Kepercayaan diri ini jelas salah tempat. Kaum muda membuktikan Jokowi keliru. Ledakan gerakan massa di puluhan kota segera memaksa rejim untuk mundur. Setelah meraih kemenangan ini, gerakan memang tidak langsung bergulir menjadi bola salju yang lebih besar. Namun akan menjadi kesalahan besar untuk meremehkan dampaknya ke depan.
Tidak seperti aksi #ReformasiDikorupsi pada 2019, demonstrasi #PeringatanDarurat pada 22 Agustus mampu memenangkan tuntutan segeranya, yakni pembatalan revisi UU Pilkada. Kemenangan ini mungkin tampak kecil, tetapi pencapaiannya melampaui tuntutan segera ini. Ini adalah pertama kalinya aksi massa berhasil menghantarkan pukulan telak terhadap rejim Jokowi.
Selama 10 tahun terakhir, pemerintahan Jokowi dapat dengan mudah meloloskan berbagai kebijakan yang menguntungkan kapitalis dan elite penguasa, yang terus menggerus taraf hidup rakyat dan hak-hak demokratik mereka. Tetapi alangkah baiknya bila kelas penguasa – dan tentunya kaum muda revolusioner – mempelajari pula hukum dialektika, bahwa perubahan-perubahan kecil yang tampaknya tidak signifikan dapat dengan cepat dan tiba-tiba menghasilkan perubahan besar. Akumulasi perubahan-perubahan kuantitatif dapat melompat menjadi perubahan kualitatif. Kita memang sedang hidup di zaman seperti demikian, zaman yang penuh dengan perubahan-perubahan tajam dan mendadak.
Selama satu dekade ada akumulasi kekecewaan di antara rakyat pekerja. Suara-suara kekecewaan ini tidak selalu tertangkap oleh jajak pendapat dan kotak suara, tetapi mereka senyata-nyatanya keringat, air mata, dan bahkan darah yang diteteskan oleh rakyat setiap harinya akibat eksploitasi kapitalisme yang semakin berat di pundak mereka. Ada keniscayaan yang berkumpul, dan hanya dibutuhkan satu aksiden kecil: ambisi si bungsu Kaesang untuk jadi gubernur – atau lebih tepatnya mungkin ambisi bapaknya untuk membangun dinasti politik.
Ini menjadi peringatan besar bagi pemerintahan Prabowo yang akan dilantik dalam waktu dekat ini. Prabowo mungkin saja mendapat dukungan Jokowi, tetapi ia bukan Jokowi. Selain itu, kondisi-kondisi yang sebelumnya memberikan kestabilan bagi rejim Jokowi telah lenyap: euforia massa (pada pilgub Jakarta 2012 dan pilpres 2014) yang memberi Jokowi kapital politik besar; boom nikel yang menopang perekonomian Indonesia; suku bunga dunia yang rendah yang menyediakan uang murah yang mengalir deras ke Indonesia; perekonomian China yang kuat yang menjadi sumber investasi asing serta pasar ekspor bagi Indonesia. Semua telah menjadi kebalikannya. Pemerintahan Prabowo berpijak di atas tanah yang tidak stabil.
Ledakan gerakan massa bulan lalu mengandung sejumlah poin-poin pelajaran penting bagi kaum Kiri. Kita harus memperhatikan dengan seksama poin-poin ini dan menjadikannya bekal untuk membangun kekuatan yang lebih besar lagi.
Poin pertama. Kita tengah hidup di tengah krisis kapitalisme yang paling dalam. Tidak ada satu pun negara yang kebal dari gejolak sosial dan politik. Untuk waktu yang lama tampaknya segala sesuatu adem ayem di bumi Indonesia yang permai itu. Namun di bawah permukaan, ada kontradiksi-kontradiksi yang mengumpul, dengan kecepatan dan partikularitas yang berbeda-beda dari satu negara ke negara yang lain, tetapi mereka mengumpul dengan pasti dan dengan pasti pula akan meledak ke permukaan cepat atau lambat. Kelas penguasa boleh saja terkejut, tetapi kaum revolusioner tidak boleh terkejut dengan perkembangan ini dan tertangkap basah tidak siap.
Banyak kaum Kiri yang selama dekade terakhir jatuh ke dalam pesimisme karena selama bertahun-tahun tidak melihat adanya gerakan besar dari massa. Dalam pesimisme ini, mereka lalu menyalahkan kesadaran massa yang rendah, menyangkal perspektif revolusi, menyangkal keberadaan kelas buruh, dan bahkan tidak sedikit yang akhirnya menerima kapitalisme dan hanya berusaha untuk membuat kapitalisme lebih adil, lebih sejahtera. Mereka jatuh ke dalam kesalahan empirisme vulgar, yakni hanya melihat “fakta” yang ada di permukaan pada saat itu saja, secara terisolasi dan dalam kesendiriannya. Mereka tidak melihat proses yang berlangsung di bawah permukaan, yang berjalan seturut hukum dialektika: tidak hanya dalam garis lurus, tetapi dengan lompatan; tidak terisolasi tetapi dalam kesalingterhubungannya; dengan perubahan molekular yang tidak kasat mata, tetapi terus berakumulasi menjadi perubahan kualitatif.
Maka dari itu, setiap kaum revolusioner harus siap menghadapi ledakan-ledakan massa yang tak terduga ini, yang implisit dalam periode yang tengah kita masuki hari ini. Celakalah bila kita tidak siap. Kesiapan ini harus mengambil bentuk yang konkret, yakni dengan mempersiapkan organisasi revolusioner dengan ide, program, metode dan tradisi perjuangan yang tepat.
Poin kedua. Dengan kecepatan yang sama gelombang demonstrasi ini mengalami pasang naik, ia telah surut dengan kecepatan yang sama pula. Di hari-hari pertama, tampaknya aksi-aksi lanjutan akan terus berlangsung, dan selapisan buruh pun mulai terlibat. Dalam sejarah kita telah saksikan bagaimana gerakan massa di satu sektor dapat dengan cepat menggelinding menjadi bola salju setelah meraih satu kemenangan, di mana kepercayaan diri yang diraih dari kemenangan tersebut dengan pesat berlipat ganda dan menyebar ke lapisan-lapisan lain. Namun, sayangnya, tidak demikian dengan gerakan kali ini. Setelah meraih kepastian kemenangan mereka dan berhasil membebaskan para demonstran yang tertangkap, gerakan ini surut. Dan memang demikian tujuan kelas penguasa yang memberikan konsesi, untuk menenangkan massa. Untuk sekarang, mereka berhasil.
Namun, surutnya gerakan ini bukan alasan untuk menjadi demor. Kita tidak boleh jatuh ke dalam kesalahan impresionisme: euforik ketika gerakan membesar, depresi saat gerakan surut. Impresionisme adalah dosa yang paling sering dilakukan oleh aktivis Kiri, yang suasana hatinya terombang-ambing dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya.
Kemenangan parsial gerakan mahasiswa ini jelas telah meninggalkan bekas yang penting dalam kesadaran kaum muda, dan juga rakyat pekerja. Mereka belajar bahwa lewat aksi massa mereka bisa menang. Kepercayaan diri ini adalah modal penting bagi gerakan di masa depan. Semuanya tidak sia-sia. Pelajaran ini telah terekam dalam ingatan mereka, dan pemerintahan Prabowo ke depan jelas akan mengingat ini pula.
Akan tetapi, terekam saja tidak cukup. Kita harus mengolah pengalaman ini lebih lanjut. Anak-anak muda yang telah teradikalisasi oleh peristiwa ini harus kita kembangkan kesadaran politik revolusionernya agar tidak mentok pikirannya. Inilah fungsi dan tugas partai revolusioner, yang dari setiap pasang surut gerakan dapat menyelamatkan lapisan terbaik yang muncul darinya, menghimpunnya ke dalam barisan yang rapat, menempa dan melatihnya dalam politik revolusioner, sehingga lebih siap untuk menghadapi pertempuran selanjutnya, yang pasti akan datang. Bila tugas ini tidak dilakukan, maka gerakan hanya akan berjalan di tempat. Gelombang demonstrasi datang dan pergi begitu saja.
Poin Ketiga. Perjuangan untuk demokrasi merupakan bagian penting dalam perjuangan melawan kapitalisme. Di negeri-negeri eks-kolonial seperti Indonesia, kelas penguasa mesti memerintah dengan tangan besi dan tidak bisa memberikan ruang demokrasi yang luas seperti di Barat. Ini bukan karena mereka kurang beradab dan tidak memahami demokrasi, walaupun memang kelas penguasa kita itu bukanlah kelas yang tercerahkan. Ini karena posisi ekonomi negara-negara eks-kolonial dalam pasar dunia, yakni sebagai sumber tenaga kerja murah dan bahan mentah murah untuk negara-negara maju. Guna memastikan super-profit bagi korporasi-korporasi multinasional yang beroperasi di sana secara langsung atau tidak langsung, pemerintah harus bisa menjaga kondisi super-eksploitasi di antara buruh dan tani. Ini hanya bisa mereka lakukan lewat bayonet dan pentungan, karena dalam kondisi super-eksploitatif ini buruh dan tani akan menggunakan setiap ruang demokrasi untuk menyuarakan keresahan dan kegeraman mereka terhadap kondisi kerja dan hidup yang tak tertanggungkan. Republik yang demokratik menjadi kemustahilan. KKN juga menjadi praktik sehari-hari kelas penguasa untuk mengangkangi hukum.
Maka dari itu, setiap usaha rakyat untuk memperjuangkan hak-hak demokratik mereka, sekecil apapun, merupakan cerminan dari upaya mereka untuk membebaskan diri mereka dari penghisapan kapitalis. Tugas kaum revolusioner adalah menghubungkan perjuangan demokratik ini – termasuk perjuangan melawan korupsi – dengan perjuangan melawan kapitalisme.
Ada sejumlah aktivis yang mencibir gerakan #PeringatanDarurat karena hasil yang diraihnya dianggap hanya menguntungkan faksi borjuis tertentu. “Ditunggangi kalian,” begitu kritik mereka. Bukan sesuatu yang ganjil bagi rakyat untuk memanfaatkan keretakan dalam barisan kelas penguasa untuk mendorong tuntutan mereka sendiri, dengan metode mereka sendiri. Demikianlah yang terjadi. Faksi borjuis tertentu mungkin diuntungkan – walaupun dalam kasus ini PDI-P sangat sungkan untuk terlibat dalam gerakan ini – tetapi keuntungan yang diraih oleh rakyat pekerja dari gerakan ini jauh lebih besar dan signifikan: dalam hal kepercayaan diri dan dalam hal menyingkap kebusukan demokrasi borjuis. Yang belakangan ini tidak seluruhnya otomatis dan spontan, karena pengeksposan demokrasi borjuis hanya bisa dilakukan secara efektif bila kita memiliki partai revolusioner yang melakukan kerja agitasi dan propaganda secara sistematis dan terarah, dengan media (koran) dan agen-agen mereka (kader) yang tersebar, yang bisa membantu massa menarik kesimpulan yang diperlukan dari perjuangan ini dan mendorong kesadaran kelas mereka lebih lanjut dari pengalaman perjuangan yang konkret ini. Partai revolusioner semacam inilah yang belum ada dan masih harus kita bangun dengan kesabaran terbesar – kesabaran yang selalu luput dari banyak aktivis yang hanya mengharapkan pencapaian instan dan segera.
Kapitalisme sedang membusuk dengan sangat cepat, dan dalam kebusukan ini ia tengah menciptakan kondisi revolusioner yang akan mendorong kaum muda serta rakyat pekerja kembali ke jalan perjuangan. Kemiskinan, kesenjangan sosial dan ekonomi, perang, rasisme, penggusuran, upah murah, pengangguran, KKN – semua ini terus mempertajam antagonisme kelas. Demonstrasi-demonstrasi massa pasti akan meledak kembali. Tepatnya kapan kita tidak tahu, karena teori dan perspektif bukanlah bola kristal. Namun, satu hal yang kita tahu dengan pasti: kita harus mempersiapkan kekuatan kita untuk menyambutnya, kalau tidak energi massa yang meledak ini akan menguap sia-sia. Maka dari itu, kami serukan kepada kaum muda revolusioner sekalian untuk berhimpun ke dalam barisan kami dan membangun partai revolusioner yang kita butuhkan untuk memajukan gerakan ke kesimpulan akhirnya: kemenangan revolusi sosialis.