Akhir bulan lalu Presiden Jokowi mengumumkan reshuffle kabinetnya yang kedua. Reshuffle kali ini mengganti banyak posisi penting pemerintahan, terutama mengangkat Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan. Di tengah tekanan krisis perekonomian dunia, pemerintahan Jokowi berharap reshuflle kali ini memberikan sinyal positif bagi perekonomian Indonesia selanjutnya.
Di sisi lain, tekanan dari lawan politik yang berada dalam Koalisi Merah Putih juga cukup memberikan kontribusi bagi lemahnya kepemimpinan Jokowi di era-era awal. Namun, serangan-serangan dari lawan politik Jokowi di parlemen dilakukan bukan karena Jokowi membawa program “Revolusi Mental” , “Trisakti”, dan “Nawacita” seperti apa yang disambut oleh kebanyakan orang―terutama oleh Kiri kita di lingkaran Indoprogres―tapi karena mereka tidak mampu meraih kekuasaan ketika partai-partai mereka sudah kehilangan legitimasi politik di mata rakyat.
Sehari sebelum dilantik sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani membuka pidatonya dengan pesimis. Dalam sambutannya itu, dia menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia masihlah sangat rapuh serta penuh dengan gejolak. Kondisi tersebut memaksa Bank Dunia memangkas angka pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2016 menjadi 2,4 persen dari 2,9 persen. Kondisi eksternal ini membawa tekanan yang berat bagi realisasi program pembangunan infrastruktur yang diusung oleh Jokowi dalam kampanyenya. Untuk mengatasi berbagai tekanan ini, Jokowi terpaksa harus melakukan penyesuaian, mulai dari menghemat belanja negara, melakukan pengampunan pajak sampai me-reshuffle kabinetnya sendiri agar pembangunan infrastruktur dapat berjalan.
Jokowi berharap dengan digiatkannya pembangunan infrastruktur mampu menarik investasi ke Indonesia yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan dan menyelesaikan kemiskinan. Namun, untuk membangun infrastruktur dibutuhkan sebuah kapital yang besar. Mustahil pembiayaan pembangunan infrastruktur tanpa suntikan kapital dari luar negeri. Untuk mewujudkan program-program ini Jokowi rela ke sana ke mari, bertandang ke luar negeri untuk mempromosikan bahwa Indonesia adalah negeri yang aman bagi investor dengan upah buruhnya yang murah.
Kendati telah bersusah-payah untuk menarik investasi datang ke Indonesia, tapi hasil dari laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan negara-negara Eropa untuk berinvestasi di era Jokowi sangatlah rendah. Nilai investasi Eropa sepanjang 2016 tercatat sangatlah sedikit, yaitu 2,26 miliar dolar AS. Itupun terbatas pada sektor migas yang terbesar. Beberapa analis mengatakan, adalah sangat mustahil untuk menutupi defisit senilai 365,729 triliun rupiah hanya dengan 2,26 miliar dolar AS atau yang setara dengan 30,5 triliun rupiah yang total persentasenya tidak lebih dari 10 persen. Selain itu, perlambatan ekonomi Tiongkok dan Jepang, serta harga minyak dunia yang masih rendah mengurangi kemungkinan investasi untuk tumbuh.
Para pakar dan strategi kapitalis bahkan tidak bisa menipu diri mereka sendiri akibat tekanan krisis ini. Hampir di kolom-kolom koran harian mereka mengungkapkan nada pesimis yang sama. Mereka dibayang-bayangi ketakutan bahwa, ketika mereka tidak mampu memadamkan gejolak ekonomi , mereka takut semua ini akan memicu gelombang politik yang mengancam kelangsungan kekuasaan mereka.
Reshuffle Kabinet Kedua hanyalah satu sinyal bahwa rezim ini sangatlah rapuh. Upaya menyeimbangkan perekonomian hanyalah akan merusak keseimbangan politik. Mereka terhuyung-huyung menghadapi tekanan krisis. Mereka sadar bahwa untuk menyelesaikan krisis ini tidak ada cara lain selain melakukan penghematan besar-besaran. Program ambisius Jokowi di masa kampanye untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur dibatasi dinding perekonomian dunia yang saling terikat satu sama lain. Seperti yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka, “Jika kita bayangkan kapitalisme sebagai satu gedung, dan negeri-negeri di dunia adalah tiang-tiang yang mendukung gedung itu, maka Indonesia merupakan salah satu dari tiang-tiang itu.” Dan “…cepat atau lambat gedung itu sekali waktu akan runtuh seluruhnya. Akan tetapi wujud dan luas runtuhannya serta cara bagaimana runtuhnya, hanya praktek yang akan menentukan. Sangat mungkin bahwa semua tiang akan serentak tumbang dan bersama-sama dengan itu juga robohlah seluruh bangunan. Akan tetapi mungkin juga bahwa tiang-tiang itu tidak tumbang serentak, tetapi berurutan, tiap-tiap kali tiang tumbang membawa sebagian dari bangunan itu roboh.”
Krisis dunia telah membuktikan kenyataan ini. Dari Musim Semi Arab, Krisis Eropa serta gejolak politik di Amerika Serikat menunjukkan bahwa kapitalisme dunia sedang mengalami keruntuhannya. Tapi keruntuhan ini bisa terselamatkan karena adanya kacung-kacung reformis mereka. Perjuangan kelas buruh untuk mencapai kebebasannya hanya mungkin tercapai bila ia berhasil menyingkirkan reformisme di dalam gerakan buruh. Oleh karenanya, perjuangan ini tidak bisa tidak menempatkan sosialisme ke dalam agenda perjuangan kelas buruh sedunia.
22 Agustus 2016