Dalam waktu yang sangat singkat, Nepal mengikuti Indonesia. Kaum muda dan rakyat jelata membakar gedung parlemen, Mahkamah Agung dan membakar gedung partai-partai politik yang dibenci. Para pejabat lari tunggang langgang diburu massa. Melihat kemarahan rakyat yang tak terbendung, Perdana Menteri beserta menteri-menteri di kabinet mereka mengundurkan diri. Revolusi Nepal sangat mengejutkan, seperti petir menyambar di langit biru yang cerah. Tampaknya apa yang terjadi di Indonesia pada akhir Agustus menjadi contoh bagi rakyat Nepal. Mereka belajar bahwa cara menghormati parlemen dan lembaga borjuasi lainnya adalah dengan membakarnya.
Kemarahan rakyat Nepal tidak terbendung. Mereka muak selama bertahun-tahun menanggung kemiskinan dan menyaksikan pemerintahan mereka yang korup. Pendapatan per kapita per tahunan Nepal $1.400, terendah di Asia Selatan. Sekitar satu dari lima rakyat Nepal hidup dalam kemiskinan. Selain itu, tingkat pengangguran mencapai 10,7 persen, sementara untuk kaum muda ini mencapai 20 persen. 10 persen rumah tangga teratas menguasai 40 persen lahan, sementara sebagian besar penduduk hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki lahan sama sekali.
Situasi yang menyedihkan ini memaksa sekitar 1.000 orang per hari meninggalkan negara itu untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Total ada 2 juta warga Nepal yang berada dalam posisi ini. Uang yang mereka kirim balik ke Nepal mencapai 26 persen dari total PDB negara, dengan separuh dari rumah tangga Nepal bergantung pada kiriman uang tersebut untuk bertahan hidup.
Karl Marx menggambarkan kondisi di bawah kapitalisme seperti berikut: “akumulasi kekayaan di satu kutub, oleh karena itu, pada saat yang sama, merupakan akumulasi kesengsaraan, penderitaan, perbudakan, ketidaktahuan, kebrutalan, dan degradasi mental di kutub yang berlawanan.” Nepal adalah contoh nyata dari proses ini.
Di tengah kemiskinan ini, kita menyaksikan segelintir parasit orang-orang kaya dan pejabat hidup dalam kemewahan vulgar. Ini mengingatkan kita pada pejabat Indonesia juga yang menikmati semua kemewahan yang rumahnya dipenuhi mobil-mobil mewah layaknya showroom. Semua tontonan memuakkan ini memicu kemarahan di media sosial. Video demi video bermunculan di TikTok yang menunjukkan kontras antara kehidupan orang kaya dan mayoritas rakyat pekerja. Video ini khususnya berfokus pada apa yang disebut ‘nepo baby’: anak-anak politisi dan pengusaha kaya.
Putra politisi Bindu Kuma Thapa (dari Kongres Nepal yang berkuasa), yang dituduh korupsi, difoto berdiri di samping pohon Natal. Namun, pohon ini tidak terbuat dari kayu dan daun, melainkan dari kotak-kotak Louis Vuitton, Gucci, dan Cartier!
Melihat kemarahan umum di media sosial ini, kelas penguasa Nepal melarang 26 perusahaan media sosial termasuk WhatsApp, Facebook, Instagram dan YouTube. Mereka beralasan langkah ini perlu diambil untuk menangani “berita palsu”, “ujaran kebencian” dan “penipuan daring”. Pemerintah yang penuh dengan penjahat dan gangster ini mengklaim bahwa individu-individu dengan identitas palsu melakukan “kejahatan siber” dan “mengganggu kerukunan sosial”.
Akan tetapi, alasan-alasan ini jelas kebohongan terang-terangan yang digunakan untuk menindas hak-hak demokrasi rakyat pekerja yang tengah menyalurkan kemarahan mereka. Demikianlah demokrasi borjuis yang munafik itu. Selama suara kita tidak mengganggu tatanan kelas penguasa, kita boleh berbicara apapun. Namun ketika suara protes kita sudah terdengar begitu lantang dan mulai mengancam kekuasaan mereka, tiba-tiba demokrasi ini diberangus. Tidak heran rakyat membayar gedung parlemen yang menjadi simbol demokrasi borjuis yang palsu itu.
Selain itu, mengingat fakta bahwa hampir 8 persen rakyat Nepal tinggal di luar negeri sebagai buruh migran, tindakan menutup media sosial ini berarti banyak orang Nepal bisa secara tiba-tiba terputus dari komunikasi apa pun dengan orang-orang yang mereka cintai.
Engels pernah mengatakan demokrasi borjuis sebagai cangkang terbaik bagi kapitalisme karena orang-orang percaya mereka memiliki peluang untuk mengubah keadaan. Namun, untuk mempertahankan demokrasi borjuis, Anda harus menawarkan sesuatu kepada massa. Tanpa roti untuk ditawarkan kepada massa, pemerintah Nepal jelas-jelas membatasi hak-hak demokrasi massa untuk mencoba mencegah oposisi dan perlawanan.
Pada hari Senin, 8 September sebuah aksi digelar sebagai “unjuk rasa damai dengan acara budaya dan keceriaan” diumumkan, menurut salah satu penyelenggara. Meskipun dipicu oleh larangan media sosial, kemarahan para pengunjuk rasa diarahkan jauh melampaui kebijakan pemerintah ini. Sebagaimana dijelaskan seorang demonstran , “alih-alih larangan media sosial,” tujuan utama para demonstran adalah “untuk menghentikan korupsi”.
Salah satu demonstran, Aayush Basyal, menggambarkan betapa banyaknya anak muda yang hadir. Ia menunjukkan bahwa mereka terinspirasi oleh protes di Sri Lanka dan Bangladesh serta video TikTok yang mengungkap ketimpangan yang sangat besar di negara tersebut. Demonstran lain mengatakan bahwa ia hadir karena ia “berjuang untuk masa depan kita”. Ia ingin negara ini “bebas korupsi sehingga setiap orang dapat dengan mudah mengakses pendidikan, rumah sakit, [fasilitas medis…], dan untuk masa depan yang cerah.”
Seperti tikus tanah yang terus menggerogoti, ada proses kemarahan dan frustrasi terhadap sistem kapitalisme yang terakumulasi selama bertahun-tahun sebelum revolusi ini meletus. Pada 2006, menyusul pemberontakan Maois yang semakin meluas, sebuah gerakan protes besar meletus, memaksa berakhirnya monarki yang telah berusia dua abad. Monarki dihapuskan dua tahun kemudian setelah protes ini. Sejak saat itu, sudah ada 14 pemerintahan yang berbeda silih berganti berkuasa, namun tak satu pun berhasil meningkatkan taraf hidup massa, dan tak satu pun berhasil menyelesaikan masa jabatan lima tahunnya secara penuh.
Perdana Menteri KP Sharma Oli dari Partai Komunis Nepal (Marxis-Leninis Bersatu) yang mengundurkan diri kemarin, adalah perdana menteri kelima dalam lima tahun. Ia memasuki pemerintahan koalisi dengan partai borjuis. Koalisi lintas-kelas seperti ini telah menjadi ciri umum dalam politik Nepal sejak 2008. Partai oposisi utama, Partai Komunis Nepal (Maois Tengah), berkuasa hingga 2022 dalam koalisi dengan partai Monarki!
Ada banyak partai yang disebut Komunis, tetapi setiap kali berkuasa, mereka hanya mengelola kapitalisme dan penghematan yang dituntut oleh kelas penguasa. Selain itu, seperti halnya para penguasa lainnya, mereka memiliki ‘baby nepo’ mereka sendiri. Cucu perempuan Pushpa Kamal Dahal, pemimpin partai Maoist Centre, baru-baru ini memancing kemarahan kaum buruh dan kaum muda Nepal karena acara pernikahan mereka yang luar biasa megah dan mewah. Tontonan memuakkan ini telah mendiskreditkan mereka di mata rakyat.
Penggulingan monarki merupakan langkah maju yang besar, tetapi belum benar-benar mengubah standar hidup mayoritas rakyat Nepal. Oleh karena itu, kemarahan, kepahitan, dan frustrasi yang semakin besar telah menciptakan bahan yang mudah terbakar dalam masyarakat Nepal. Yang dibutuhkan hanyalah percikan api, dan itu yang terjadi pada 8 September kemarin.
Dalam protes tersebut, ribuan anak muda bergerak menuju gedung parlemen. Namun, mereka dihentikan oleh barisan polisi. Para demonstran dapat melihat “para anggota parlemen mengawasi [mereka] dari atap gedung”.
Beberapa hari sebelumnya, Perdana Menteri Oli mengatakan bahwa para demonstran “tidak bisa berpikir secara mandiri, dan mereka ingin berbicara tentang kemerdekaan.” Ini mengingatkan kita pada Sahroni yang mengejek para demonstran Indonesia sebagai “orang paling tolol sedunia”. Mayoritas demonstran akan menganggap para politisi yang korup dan tidak peka itu sedang mengejek mereka. Massa hanya menginginkan standar hidup yang layak, tetapi mereka diperlakukan seperti orang bodoh yang tidak berakal. Ini segera “memicu” kemarahan yang “gila”.
Massa pun marah. Mereka menerobos kawat berduri dan memaksa polisi mundur sambil mengepung gedung parlemen. Polisi merespons dengan menembakkan gas air mata dan water cannon, tetapi mereka kalah jumlah dan tak berdaya menghentikan massa. “Pukul 13.00, lokasi protes sudah kacau balau,” dengan gas air mata dan peluru karet berdesing di atas kepala para pengunjuk rasa .
Seorang pengunjuk rasa lain bercerita bahwa ia melihat seseorang “berteriak ke arah polisi dan setelah dua detik ia jatuh terduduk dan tewas”. Polisi pun meningkatkan represinya, menembakkan peluru tajam ke arah kerumunan.
Alih-alih meredakan amarah, tindakan represif ini justru memicu amarah. Para pengunjuk rasa melawan dengan apa pun yang ada, entah itu ranting pohon atau botol air. Beberapa akhirnya berhasil menyerbu gedung parlemen. Gerakan protes kemudian menyebar ke luar Kathmandu hingga ke Biratnagar, Bharatpur, dan Pokhara di Nepal Barat, dan menghadapi represi luas dari polisi. Secara total, sejauh ini 51 orang tewas dan lebih dari 400 orang terluka .
Dalam kepanikan total, pemerintah kemudian berupaya memberlakukan jam malam, mencegah orang-orang berkumpul di luar gedung parlemen dan gedung-gedung pemerintah lainnya. Perintah ini diabaikan sepenuhnya. Malam itu, para demonstran berkumpul di luar gedung parlemen dan gedung-gedung pemerintah. Seperti yang dijelaskan oleh seorang pengunjuk rasa berusia 23 tahun , “hampir 20 orang dibunuh oleh negara”. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi para pembunuh untuk “bertanggung jawab”.
Layaknya dinamit yang dinyalakan lalu meledak, amarah massa yang terpendam pun meluap. Setiap kali mereka harus berpuasa karena tidak ada makanan, setiap kali gaji mereka tertunda, setiap video yang menunjukkan kekayaan kelas penguasa menambah amarah besar yang dilampiaskan sebagai balas dendam.
Setelah berhasil menyerbu parlemen, para pengunjuk rasa membakarnya. Untuk menghukum semua partai politik atas kegagalan mereka selama hampir dua dekade, sejumlah kantor partai dibakar; menolak sistem hukum yang tidak adil, yang memungkinkan korupsi sistematis, mereka membakar Mahkamah Agung; ingin membalas dendam atas korupsi yang terorganisir, mereka kemudian membakar rumah Perdana Menteri dan politisi lainnya. Mendengar bahwa para politisi sedang dievakuasi oleh tentara melalui helikopter, mereka pun masuk ke bandara dan membakarnya juga. Peristiwa malam itu menunjukkan bahwa, ketika massa bergerak, tidak ada kekuatan di bumi yang dapat menghentikan mereka.
Melihat tidak ada jalan keluar, para menteri negara mundur. Menyadari mereka tak mampu menghentikan protes dengan represi, mereka kemudian mencoba memberikan konsesi. Pemerintah mencabut larangan media sosial, menjanjikan pembentukan komite untuk “menyelidiki kekerasan” dan bahkan “memberikan santunan bagi keluarga korban tewas” serta “perawatan gratis bagi korban luka”. Sambil meneteskan air mata buaya, Perdana Menteri Oli mengatakan ia “sangat berduka” atas kematian tersebut. Namun, protes terus berlanjut.
Ketika gerakan revolusioner terus bangkit, tidak ada yang bisa menghentikannya. Jika pemerintah mencoba melakukan represi, ini hanya akan membuat massa marah dan memprovokasi mereka untuk bertindak lebih lanjut. Namun, jika mereka memberikan konsesi, ini justru mendorong massa lebih berani dan percaya diri.
Kaum borjuis dan pemerintah, pada tahap ini, panik dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Seperti tikus-tikus yang melarikan diri dari geladak kapal yang tenggelam, satu demi satu petinggi negara mengundurkan diri. Selain itu, ada keresahan di dalam partai Perdana Menteri itu sendiri. Partainya disebut Partai ‘Komunis’ Nepal (Marxis-Leninis Bersatu), tetapi selama berkuasa, yang dilakukannya hanyalah ikut serta dalam pengelolaan sistem kapitalis.
Sejumlah anggota partai di tingkat pimpinan daerah dan pusat telah mulai mengundurkan diri sebagai protes atas apa yang terjadi. Beberapa mungkin memiliki hati nurani, tetapi yang lain jelas-jelas mengundurkan diri karena takut akan kemarahan massa.
Akhirnya, pada Selasa pagi, Perdana Menteri Oli akhirnya menyerah. Ia menjelaskan bahwa “mengingat situasi yang sulit di negara ini”, ia mengundurkan diri untuk “menyelesaikan” masalah “secara politis sesuai dengan konstitusi.” Nyatanya, ini jauh dari pengunduran diri sukarela. Ia harus dievakuasi dengan helikopter oleh militer. Ini adalah kemenangan yang fantastis. Rakyat Nepal telah berhasil melawan kekuatan-kekuatan represif dan meruntuhkan rejim.
Namun, yang perlu ditegaskan adalah bahwa ini adalah satu kemenangan dalam satu pertempuran. Perang masih harus dimenangkan. Dan musuh-musuh rakyat Nepal sedang memulihkan diri dan berkumpul kembali. Presiden Nepal yang masih memegang jabatannya telah menyerukan ‘persatuan nasional’. Ia mendesak “semua orang, termasuk warga yang berunjuk rasa, untuk bekerja sama demi penyelesaian damai” atas situasi ini. Ia mengimbau “semua pihak untuk menahan diri”. Dia berbicara tentang persatuan nasional. Tetapi orang kaya dan miskin di Nepal tidak dapat bersatu. Ketimpangan begitu tajam antara mereka yang kaya dan miskin dan tidak ada persatuan atas dasar ini.
Selain itu, Angkatan Darat Nepal telah memberlakukan jam malam nasional dan juga mengeluarkan pernyataan yang mendesak masyarakat untuk “menahan diri”. Fakta bahwa Presiden dan Angkatan Darat terpaksa memohon kepada para pengunjuk rasa untuk menahan diri merupakan indikasi bahwa mereka tidak dapat lagi mengendalikan situasi. Bahkan, untuk beberapa waktu, tampaknya “tidak ada yang bertanggung jawab”. Massa tidak dapat dihentikan oleh kekuatan represif, tetapi di sisi lain, tidak ada kekuatan yang membimbing dan mengorganisir kekuatan besar ini.
Aparatus-aparatus keamanan mengeluarkan seruan bersama untuk “resolusi damai melalui dialog untuk memulihkan ketertiban dan stabilitas”. Sebagaimana dijelaskan Marx, pada akhirnya, negara, setelah dilucuti dari segala kosmetik demokrasi dan parlementarismenya tidak lain hanyalah badan bersenjata yang membela kepentingan kelas penguasa. Para perwira, kepala polisi, dan birokrat tingkat tinggi di negara telah dipilih dan dididik dengan cermat untuk mewakili kepentingan kaum borjuis, tidak lebih dan tidak kurang.
Mereka yang memperjuangkan perubahan di Nepal harus mencermati perkataan orang-orang ini. Apa yang mereka inginkan? Apakah mereka ingin memberantas korupsi atau memanfaatkan kekayaan Nepal secara kolektif? Tidak! Mereka ingin “memulihkan ketertiban dan stabilitas” kelas penguasa. Dengan kata lain, mereka ingin kembali ke hari-hari damai dimana mereka dapat mengeksploitasi massa, dengan sedikit perubahan kosmetik di pemerintahan. Di bawah kondisi demikian itu artinya, kemiskinan yang sama, pengangguran yang sama, dan korupsi yang sama.
Elemen lain yang turut berperan adalah situasi geopolitik. Ada konflik di kawasan tersebut. India secara tradisional merupakan kekuatan utama yang mendominasi Nepal, tetapi Perdana Menteri Oli dianggap lebih dekat dengan Tiongkok. Dengan lengsernya dia, kekuatan-kekuatan imperialis mencoba mendorong ‘orang-orang mereka’ untuk berkuasa.
Sungguh luar biasa bahwa rakyat Nepal telah mengambil inspirasi dari revolusi Bangladesh dan Sri Lanka. Namun, selain inspirasi, revolusi Bangladesh dan Sri Lanka juga memberikan peringatan keras. Kenyataan yang pahit adalah, kendati kepahlawanan dan keberanian rakyat pekerja Sri Lanka dan Bangladesh yang luar biasa, tidak ada yang benar-benar berubah di negara-negara ini.
Di Bangladesh, kita juga saksikan gerakan yang dipimpin oleh pemuda melawan kemiskinan, penindasan, dan ketimpangan. Gerakan ini menggulingkan pemerintahan Sheikh Hasina dan sejumlah pemimpin gerakan masuk ke pemerintahan. Meskipun wajah-wajah di pemerintahan berubah, kapitalisme masih utuh. Ini berarti kemiskinan, penindasan, dan ketimpangan tetap ada di negara ini. Pada dasarnya, sistem kapitalisme lah yang menjadi akar permasalahan rakyat.
Seperti yang dinyatakan dengan tepat oleh seorang pengunjuk rasa, “pengunduran diri Perdana Menteri saja tidak cukup”. Sudah saatnya untuk “memutus siklus” di mana berbagai partai nasional berkuasa silih berganti dan tidak mengubah apa pun secara fundamental bagi rakyat.
Pada akhirnya, untuk meraih kemenangan, rakyat Nepal tidak boleh tertipu oleh para pemimpin gerakan yang tidak memiliki tujuan menggulingkan kapitalisme. Nepal, Sri Lanka, Bangladesh, dan Indonesia adalah contoh revolusi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pada masa-masa normal, sebagian besar rakyat pekerja tidak memperhatikan politik. Entah mereka tidak punya waktu, setelah jam kerja yang panjang, atau mereka tidak punya keinginan (karena tidak ada yang berubah), dan biasanya merupakan kombinasi keduanya.
Namun, ada kalanya kemarahan massa memuncak sedemikian rupa sehingga massa merangsek masuk dan terjun langsung ke dunia politik. Namun, ketika massa pertama kali terjun ke dunia politik dalam sebuah revolusi, mereka niscaya melakukannya dengan kenaifan. Mereka dengan cepat mempelajari berbagai hal, seperti negara sebagai kekuatan represif yang membela hak milik pribadi. Mereka melakukannya bukan dengan membaca Negara dan Revolusi, melainkan melalui pentungan dan gas air mata.
Masalahnya, massa tidak dapat selamanya bertempur di jalanan. Melihat teman-teman mereka ditembak mati, dicekik gas air mata, atau berlari ketakutan dari polisi sungguh melelahkan. Oleh karena itu, sering kali massa tidak mampu sepenuhnya menyadari jalan apa yang harus ditempuh. Mereka paham apa yang tidak mereka inginkan yakni: penguasa korup, kemiskinan dan pengangguran; tetapi mereka tidak paham apa yang mereka inginkan.
Di sinilah kepemimpinan revolusioner berperan. Revolusi akan terjadi terlepas ada atau tidaknya kaum Marxis revolusioner. Ini dibuktikan oleh revolusi-revolusi yang telah meledak sebelum Nepal. Namun, yang menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah revolusi bergantung pada kepemimpinan yang tepat.
Jika di Nepal saat ini ada partai layaknya Partai Bolshevik Rusia yang berakar di kalangan rakyat pekerja dan cukup besar untuk didengar oleh rakyat, maka seluruh situasi dapat diubah. Partai ini dapat bertindak sebagai katalisator yang akan mempercepat proses pembelajaran rakyat. Mereka dapat, selangkah demi selangkah, memenangkan kepemimpinan kelas pekerja dan membawa mereka ke tampuk kekuasaan.
Pada dasarnya, apa yang kita saksikan di Nepal sangat mirip dengan Revolusi Februari 1917 di Rusia. Massa telah menunjukkan kekuatan mereka dengan menggulingkan Perdana Menteri. Namun, mereka tampaknya belum cukup sadar untuk bergerak menuju penggulingan kapitalisme. Apa yang absen di Nepal saat ini justru Partai Bolshevik yang dapat memimpin massa untuk menggulingkan sistem kapitalis.
Kelas penguasa saat ini tidak mampu meredam gerakan tersebut, baik melalui represi maupun konsesi. Namun, massa tidak tahu jalan ke depan. Seandainya ada partai revolusioner yang cukup besar yang didengar dan dapat menyerukan para pekerja dan petani untuk membentuk komite-komite aksi yang terhubung di setiap kota, desa dan pabrik-pabrik, maka jalannya peristiwa akan berbeda. Komite-komite ini dapat memilih perwakilan sendiri untuk membentuk komite secara nasional, ini akan menjadi langkah pertama dalam menciptakan bentuk pemerintahan yang sama sekali berbeda.
Alih-alih mengubah politisi mana yang akan mengelola sistem korup ini, kita bisa membentuk pemerintahan buruh. Jika itu terjadi, maka negara buruh ini bisa dengan mudah menyerukan kepada kaum buruh dan tani di semua negara lainnya untuk melakukan hal yang sama. Ini akan memercikkan api revolusi yang membakar seluruh benua Asia.
Kaum revolusioner perlu memperhatikan Nepal dengan saksama. Di seluruh dunia saat ini proses molekuler revolusi yang sama sedang terjadi. Massa dihadapkan dengan tekanan biaya hidup, yang membuat mereka membenci status quo, para pejabat dan lembaga politik yang korup. Kita tidak tahu persis di mana atau kapan ledakan revolusioner berikutnya akan terjadi. Namun, kondisi di Nepal saat ini juga bisa kita temukan di seluruh dunia.
Revolusi ada dalam agenda, dan keberhasilannya akan ditentukan oleh apakah ada partai-partai revolusioner layaknya Bolshevik, yang dibangun tepat waktu untuk memimpin massa menuju kemenangan. Membangun partai revolusioner adalah hal mendesak. Kita harus membangunnya. Bergabunglah bersama kami untuk membangun partai tersebut dan berjuang demi revolusi sosialis!