Mata uang rupiah jatuh. Dalam sepekan ini nilai tukar rupiah mencapai 15.000 per dolar AS. Ini merupakan level terburuk selama 3 tahun terakhir dan terlemah sejak 1998. Gejolak ini sudah dirasakan semenjak 2013 dan sekarang memicu kepanikan di mana-mana. Pasar saham terguncang, sebanyak 270 saham turun, 70 naik, dan 98 saham tetap. Seorang pengusaha saat diwawancarai CNN Indonesia mengatakan:
“Kalau rupiah melemah terus, industri kita bisa kolaps,”
Kendati pelemahan mata uang Turki dan krisis Argentina menimbulkan masalah ini menjadi serius. Namun tren ini sudah berlangsung sejak lama. Era easy money, dimana negeri-negeri berkembang menikmati kucuran dana dengan bunga mendekati nol telah berakhir. Perlahan-lahan pengontrol kebijakan ini, The Fed menaikkan suku bunga acuan sehingga membuat investasi yang semula memadati negeri-negeri berkembang kembali ke asalnya.
Ini dipicu seiring tumbuhnya perekonomian AS. Pemangkasan besar-besaran terhadap pajak orang kaya di AS membuat gelembung 4,5 triliun dolar mengendap di kantong para bankir sementara jutaan orang terbenam ke dalam kemiskinan. Posisi ini cukup membuat The Fed percaya diri untuk menaikkan suku bungannya mencapai 2,5 persen sepanjang tahun ini.
Namun permasalahannya tidak berhenti di sini. Ketika AS berusaha maju menjadi pertama, akan ada yang dirugikan di belakangnya. Imbas kembalinya aliran modal, membuat tekanan di negeri-negeri terbelakang semakin tak tertanggungkan. Negeri-negeri terbelakang seperti Argentina, Brasil, Afrika Selatan, Turki serta India bertahun-tahun mengalami defisit transaksi berjalan yang membuat perekonomian mereka tidak mampu menghadapi guncangan ekonomi. Fenomena inilah yang membuat mata uang mereka saat ini menjadi semakin terpuruk.
Indonesia bukanlah pengecualian. Pada triwulan I tahun 2018 Indonesia mengalami defisit 2,1 persen dari PDB dan menjadi 3 persen pada triwulan II. Di negeri-negeri Amerika Latin yaitu Argentina, angka ini mencapai 5 persen dan Brazil mencapai 7 persen. Bila di Argentina dan Brasil saja angka ini mampu mengguncang panggung politik mereka, maka akan sangat mustahil bagi Indonesia mengharapkan kestabilan ekonomi dan politik pada periode saat ini.
Untuk mengatasi penurunan ini pemerintah Indonesia telah menaikkan suku bunga 5,5 persen. Skema selanjutnya yang paling mungkin dilakukan adalah menaikkan tarif pajak impor, serta menghentikan proyek-proyek strategis yang mengandung komponen impor. Bila skema ini dilakukan, maka basis bagi pertumbuhan ekonomi di hari depan akan sangat buruk dan ini merupakan resep krisis di hari depan. Kondisi ini hanya mengingatkan kita pada paragraf dari Manifesto Komunis bahwa kapitalisme membukakan jalan untuk krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi syarat-syarat yang dapat mencegah krisis-krisis itu.
Kondisi ini semakin diperparah dengan potensi perang dagang yang diiringi perang nilai tukar antara AS dan China. Untuk melawan perang tarif, China membiarkan mata uangnya melemah sehingga produknya lebih murah. Semua kerumitan ini membuat situasi semakin komplek. Tidak ada satu negeri yang bisa mengisolasi dirinya atas krisis ini. Globalisasi yang disanjung-sanjung dapat menyelesaikan permasalahan, sekarang menjadi kebalikannya. Keberhasilan kapitalisme di masa lalu menjadi bencana di masa sekarang. Kejatuhan rupiah merupakan sinyal dari gejolak lebih besar. Alarm ini telah meraung-raung. Dari Eropa hingga Amerika, alarm ini menuntut darah. Waktunya akan tiba, Asia Tenggara menjadi berikutnya.