Setelah kemenangan telak Prabowo dalam pilpres, dunia politik kini penuh dengan berita simpang siur mengenai pengguliran hak angket DPR untuk mengusut kecurangan pemilu 2024. Isu pemakzulan presiden Jokowi ramai dibicarakan oleh para pengamat. Tetapi sesungguhnya ini semua hanyalah sandiwara politik borjuis, dan bagian dari lobi-lobi dan politik dagang sapi yang tengah berlangsung di balik layar untuk membentuk koalisi pemerintahan selanjutnya.
Bagi rakyat kebanyakan, kecurangan pemilu adalah hal biasa yang tidak mengejutkan sama sekali. Seperti halnya mereka mafhum betul bahwa KKN adalah realitas yang menjangkiti semua politisi dan pejabat negeri sampai pegawai negeri yang paling rendah sekali pun. Sinisme publik seperti ini sangat berbahaya, sehingga kelas penguasa perlu senantiasa menjaga legitimasi demokratik sistem kenegaraan mereka. Terakhir kali kelas penguasa dan perwakilan politik mereka dengan seenak-enaknya menginjak-injak demokrasi selama Orde Baru, dengan kecurangan pemilu yang begitu blak-blakan, mereka diganjar dengan ledakan revolusioner 1998. Inilah makna sesungguhnya dari semua pernyataan bombastis dari sejumlah politisi borjuis bahwa mereka akan melakukan segalanya untuk menjaga nilai-nilai demokrasi bangsa, dan termasuk juga wacana hak angket baru-baru ini.
Segera setelah hasil quick-count KPU menunjukkan Prabowo-Gibran unggul dan diproyeksikan menang satu putaran, Jokowi dengan segera bertemu dengan ketua Nasdem Surya Paloh untuk memintanya menerima hasil pemilu dan bergabung dengan koalisi pemerintahan yang akan datang. Walaupun ketua-ketua partai lainnya belum duduk bersama dengan kubu Prabowo-Jokowi, komunikasi tentunya sudah dimulai untuk bagaimana mulai membagi-bagi kue kekuasaan dengan “seadil-adilnya”. Semisal, Dradjad Wibowo, anggota dewan pakar tim kampanye Prabowo mengeklaim telah terjadi pembicaraan antara pimpinan partai “layer kedua” dari tiga kubu paslon soal koalisi pemerintahan lima tahun ke depan.
Untuk urusan membagi-bagi kue, Jokowi telah terbukti kemampuannya selama 10 tahun terakhir. Pembagian kue ini hanya masalah waktu, karena akan tampak buruk di mata publik bila “lawan-lawan” politik ini rembukan bahkan sebelum hasil pemilu disahkan. Sejatinya, tidak ada perbedaan fundamental antar semua partai ini.
Masalah hak angket ini juga sebenarnya adalah bagian dari tawar menawar politik. Tidak pernah ada keseriusan untuk menyelidiki, apalagi mengakhiri, kecurangan pemilu. Dari pemilu ke pemilu sudah jadi rahasia umum berbagai praktik curang dalam pemilu yang dilakukan oleh semua partai. Bukti-bukti sudah menumpuk tetapi tidak pernah ditindaklanjuti.
Sesungguhnya, demokrasi yang ada tidak akan pernah menjadi demokrasi yang bersih dan representatif, karena sedari awal ini adalah demokrasinya kelas penguasa. Pertama-tama, hanya politisi dan parpol yang memiliki rekening gendut yang bisa berlaga. Untuk jadi caleg yang berhasil, dibutuhkan miliaran rupiah, dan bahkan ratusan, dan sejatinya uang sebesar itu hanya bisa disediakan oleh kaum kapitalis. Dengan demikian para caleg dan parpol menghamba pada yang memberi uang, yaitu kelas kapitalis. Mereka mengumbar janji akan mewakili rakyat pekerja, tetapi dalam perbuatan justru menindas rakyat pekerja demi kepentingan pemilik modal. Politik Uang ini berlaku tidak hanya di Indonesia, tetapi bahkan di negeri-negeri yang katanya paling demokratik sekalipun, seperti Amerika Serikat. Dan justru di negeri-negeri maju inilah Politik Uang telah disempurnakan sedemikian rupa sehingga telah menjadi sah di mata hukum. Rakyat pekerja hanya jadi lumbung suara, dan di setiap pemilu dibenturkan satu sama lain.
Untuk mengakhiri politik uang kita harus mengakhiri masyarakat yang memungkinkan adanya segelintir orang yang dapat mengakumulasi begitu banyak kekayaan di tangannya, sehingga dengan kekuatan ekonomi ini mereka dapat menguasai tuas-tuas politik, hukum, dan pemilu. Para pejabat KPU pun terlibat dalam kecurangan karena adanya iming-iming uang dan privilese.
Sejumlah pakar hukum mengemukakan berbagai kendala teknis, legal dan politik yang dihadapi oleh hak angket ini, apalagi pemakzulan presiden. Tidak hanya itu, masa jabatan DPR dan presiden akan berakhir dalam 6 bulan, sehingga menurut para pakar waktunya terlalu pendek. Ini menunjukkan tidak bergunanya parlemen dan perangkat hukum borjuis dalam mengambil langkah-langkah segera yang diperlukan, padahal kecurangan pemilu ini sudah sampai tingkat gawat.
Parlemen dan hukum borjuis memang sedari awal dirancang demikian. Bila berurusan dengan kepentingan rakyat pekerja, parlemen dan hukum adalah alat untuk mengulur-ulur waktu dan mengalihkan perhatian rakyat. Di masa lalu hak angket sudah berkali-kali digunakan, misalnya saja hak angket Bank Century, yang dipimpin saat itu oleh Ganjar Pranowo. Tetapi hak angket tersebut tidak mengungkapkan apapun, tidak menyelesaikan apapun dari skandal korupsi Bank Century. Begitu juga hak angket untuk menyelidiki kebijakan kenaikan BBM dulu, ini tidak menghentikan kenaikan BBM yang menyusahkan rakyat. Tujuannya hanya mengulur-ulur waktu dengan membentuk berbagai pansus atau komisi penyelidikan, yang akan memakan waktu bertahun-tahun. Berbagai republik demokratik di Barat juga gemar membentuk berbagai komisi penyelidikan untuk menangani skandal-skandal yang meresahkan rakyat, tetapi tujuannya adalah menenangkan massa yang resah, membuat mereka menunggu bertahun-tahun sampai akhirnya tekanan massa meredup.
Maka dari itu, bila kita serius ingin melawan kecurangan pemilu, satu-satunya cara adalah dengan memobilisasi aksi massa, bukan bermain-main dengan parlemen dan hukum yang tidak berguna itu. KPU dan Bawaslu telah terbukti tidak punya taring untuk menjaga demokrasi, dan bahkan terlibat aktif dalam praktik curang.
Semua politisi borjuis yang terpilih korup dan telah terlibat dalam kecurangan pemilu, maka tendang keluar mereka semua! Inilah slogan yang harus diusung oleh gerakan massa yang menentang kecurangan pemilu. Kita tidak ingin terjebak dalam sandiwara politik yang ada, di mana wacana kecurangan pemilu ini dimanfaatkan oleh kubu borjuis yang kalah (paslon 01 dan 03) untuk menyerang yang menang (paslon 02). Mereka semua curang. Mereka semua korup. Tidak ada yang lebih baik di antara mereka. Kita harus ingat, politik minus malum yang diusung kaum liberal tempo hari itulah yang berandil memenangkan Jokowi.
Kaum muda dan buruh yang sadar-kelas tidak boleh menaruh kepercayaan secuil pun pada mekanisme negara borjuis. Di setiap kesempatan tugas kita adalah mencerahkan rakyat pekerja mengenai kebobrokan dan kemunafikan negara borjuis; bahwa demokrasi yang ada tidak lain adalah demokrasinya kaum kapitalis, demokrasinya kaum penghisap untuk menindas rakyat pekerja; dan bahwa demokrasi yang sejati – yaitu demokrasi kelas pekerja – tidak akan tercapai dengan mengandalkan negara borjuis ini, tetapi hanya lewat terbentuknya negara buruh di atas reruntuhan negara borjuis yang busuk itu.
Tidak ada kepercayaan pada Hak Angket!
Semua politisi korup! Tendang keluar mereka semua!