“Menajamnya perjuangan proletar berarti menajamnya metode yang digunakan oleh kapitalis untuk memukul balik … Suatu kemalangan bagi organisasi revolusioner, suatu kemalangan bagi kaum proletar bila mereka sekali lagi tidak siap menghadapi pukulan balik ini!” – Leon Trotsky, Program Transisional (1938)
Trotsky menulis kalimat di atas pada paruh kedua 1930an ketika perjuangan kelas di dunia sedang mencapai titik puncaknya, ketika kelas kapitalis sudah mencampakkan semua hukum dan nilai-nilai demokrasi yang biasanya mereka elu-elukan. Kelas borjuasi membangkitkan kekuatan gelap untuk menghancurkan gerakan buruh, yakni fasisme. Kekuatan fasisme sudah menang di Italia, Jerman, dan Spanyol, dan di banyak negara embrio-embrio organisasi fasis mulai menguat. Milisi-milisi fasis didukung dan digunakan oleh kaum kapitalis untuk meremukkan pemogokan-pemogokan buruh, membubarkan pertemuan-pertemuan buruh, mengobrak-abrik kantor-kantor serikat, dan menteror para buruh.
Sejak awal perjuangan kelas antara kapital dan buruh 200 tahun yang lalu, benturan antara kedua kekuatan ini terjadi kadang-kadang dengan tertutup dan kadang-kadang dengan terbuka: dari pemogokan biasa di satu pabrik yang terjadi relatif damai, hingga benturan berdarah-darah antara buruh dan polisi, antara buruh dan massa-massa reaksioner, dan puncaknya perebutan kekuasaan secara paksa – karena tidak akan ada penguasa yang rela menyerahkan kekuasaan mereka – oleh kaum buruh. Ketika kaum proletar untuk pertama kalinya merebut kekuasaan pada 1917 di tanah Rusia, perang sipil berkecamuk dan 21 tentara imperialis – AS, Prancis, Inggris, Italia, dsb. – mengepung Negara Buruh tersebut. “Menajamnya perjuangan proletar berarti menajamnya metode yang digunakan oleh kapitalis untuk memukul balik,” dari menggunakan cara-cara halus seperti perangkat-perangkat hukum, sampai menggunakan kekerasan polisi dan massa bayaran, dan sampai mengobarkan perang.
Hari ini, ketika buruh Indonesia sudah menunjukkan taringnya, tidak heran kalau kelas kapitalis membalas dengan teror kekerasan yang semakin luas, yakni dengan memobilisasi preman. Gelombang pemogokan 2012 kemarin, yang memuncak pada Pemogokan Umum 3 Oktober, telah mendorong kelas kapitalis menggunakan metode-metode yang lebih tajam. Tidak puas dengan menggunakan polisi dan tentara, sekarang para kapitalis secara sistematis memobilisasi massa-massa reaksioner. Oleh karenanya, masalah mempertahankan gerakan buruh dari premanisme hari ini menjadi penting. Tetapi masalah ini tidak hanya penting untuk didiskusikan buruh ketika mereka mulai diserang oleh massa reaksioner. Masalah pertahanan buruh adalah masalah politik yang berhubungan dengan tugas historisnya untuk perebutan kekuasaan. Oleh karenanya masalah pertahanan buruh tidak bisa dibicarakan hanya dalam ranah teknis saja, tetapi harus didiskusikan dalam ranah politik. Kita harus meneliti masalah milisi atau garda pertahanan buruh secara dialektis materialis, yakni dimulai dari pemahaman akan kapitalisme itu terlebih dahulu.
Demokrasi Kapitalis dan Negaranya
Demokrasi bukanlah sesuatu yang keramat bagi kapitalisme. Bahkan di Amerika dan Eropa, tempat dimana katanya demokrasi adalah prinsip tertinggi dalam masyarakat, berulang kali kekeramatan demokrasi ini dinodai. Kebebasan pers, kebebasan berorganisasi, kebebasan berpendapat, semua ini subordinat di bawah prinsip penghisapan nilai-lebih dari keringat buruh. Bila kapitalisme bisa berkuasa dengan menggunakan sistem demokrasi, yang secara umum lebih murah dan mulus, dimana mayoritas rakyatnya dininabobokan dengan ilusi-ilusi demokrasi dan borjuis, maka ini akan dilakukan oleh mereka. Tetapi ketika ilusi-ilusi tersebut buyar oleh realitas penindasan yang dirasakan oleh buruh, dan demokrasi tidak bisa lagi digunakan oleh para penguasa, maka mereka akan menggunakan kekuatan-kekuatan gelap dan reaksioner. Mereka akan mengerahkan polisi dan tentara mereka dengan brutal. Dan bila ini tidak memadai, mereka akan mempersenjatai milisi-milisi reaksioner. Tidak akan ada lagi perdebatan. Yang ada hanya benturan kekerasan, adu jotos.
Siapa yang akan menang dalam benturan ini adalah mereka yang punya semangat dan pemahaman bahwa kompromi sudah mustahil. Secara objektif, kemenangan ada di pihak buruh. Mereka adalah mayoritas dalam masyarakat. Ratusan massa reaksioner yang dimobilisasi para pemilik modal kawasan industri Bekasi bukan tandingan ratusan ribu yang termobilisasi pada gelombang pemogokan tahun lalu. Ditambah lagi, posisi strategis buruh dalam ekonomi memberikan mereka bobot sosial dan ekonomi yang berkali lipat. Yang mereka butuhkan hanya keyakinan, kepercayaan diri, kesadaran, dan kepemimpinan. Yang mereka perlukan adalah sebuah organisasi yang dapat memimpin mereka, yang dapat memberikan mereka pemahaman revolusioner mengenai kekuatan mereka dan tugas-tugas historis mereka.
Walaupun demokrasi borjuasi adalah demokrasi yang semu, munafik, dan berpihak, bukan berarti kita tidak bisa menggunakan ruang-ruang demokrasi yang ada untuk kepentingan kita. Selama kita tidak bersandar pada ilusi demokrasi seperti halnya kaum Kiri reformis dan demokrat, maka kita akan dapat secara efektif menggunakan demokrasi borjuasi untuk kepentingan buruh. Di satu pihak kita dapat meraih sejumlah kebebasan yang memungkinkan kita untuk berorganisasi, di lain pihak kita juga bisa – dengan terus menuntut hak-hak demokrasi yang katanya dijanjikan dan terpatri dalam undang-undang dasar negara borjuis – mengekspos kepalsuan demokrasi borjuis dan mengajarkan kepada buruh untuk hanya percaya pada kekuatan mereka sendiri.
Belakangan ini ketika buruh-buruh Bekasi diserang oleh preman-preman bayaran, serikat-serikat buruh memobilisasi demo-demo ke kapolsek untuk menuntut agar polisi melakukan tugas mereka dan membasmi premanisme. Ini adalah taktik yang tepat, hanya bila disertai pemahaman kalau polisi – sebagai aparatus negara borjuis – tidak bisa diandalkan untuk melindungi buruh, bahwa Negara bukanlah institusi netral yang seyogyanya melindungi masyarakat. Ketika kita menggunakan agitasi-agitasi bahwa “Negara harusnya melindungi rakyat”, “Polisi harusnya melindungi rakyat”, pemahaman kaum revolusioner berbeda dengan pemahaman kaum reformis. Yang belakangan benar-benar percaya kalau Negara hari ini – dan aparatus-aparatusnya – mestinya menjadi pelindung rakyat, bahwa Negara hari ini bisa direforma menjadi institusi netral yang berdiri di atas semua kelas secara adil. Namun sebenarnya Negara hari ini secara fundamental adalah alat kekuasaan kaum borjuasi, dibentuk dan didesain sedemikian rupa untuk menindas rakyat pekerja. Tidak ada jalan lain selain mempretelinya sepenuhnya dan membangun Negara yang baru, yakni Negara Buruh. Ketika kaum revolusioner menggunakan kalimat-kalimat agitasi bahwa “Polisi harusnya melindungi rakyat”, ini dimaksudkan untuk mengekspor karakter fundamental Negara dan aparatusnya sebagai alat kekuasaan kapitalis. Seperti halnya buruh tidak bisa mengandalkan pemerintah untuk menyelesaikan masalah-masalah normatif mereka di pabrik, dan lantas hanya dapat memenuhi tuntutan-tuntutan mereka dengan mobilisasi massa seperti yang telah ditunjukkan dengan gamblang pada gelombang pemogokan 2012, maka buruh juga tidak bisa berharap pada perangkat hukum borjuasi untuk mengatasi masalah premanisme. Hanya mobilisasi massa – sampai pada pembentukan detasemen pertahanan buruh – yang pada akhirnya dapat memukul mundur massa reaksioner.
Masalah Negara adalah masalah yang erat kaitannya dengan Milisi Buruh. Tidak mungkin kita bisa berbicara mengenai Milisi Buruh kalau tidak punya pemahaman mengenai apa itu Negara dan karakter-karakternya. Tetapi masalah Negara adalah masalah teori yang rumit, terutama karena para akademisi dan orang-orang pintar borjuis telah menabur begitu banyak kebohongan dan kebingungan mengenai masalah ini. Kaum buruh revolusioner harus bisa melihat menembus kabut kebingungan ini, karena tugas historisnya adalah perebutan kekuasaan Negara.
Bagi kelas penguasa, Negara adalah persoalan yang sangat penting, yang dominasinya – secara fisik dan juga secara ideologis – harus dijaga. Tidak mudah untuk bisa memahami teori revolusioner mengenai Negara, dan mungkin bagi kebanyakan buruh membaca sekali dua-kali tidak akan cukup. Akan tetapi, dengan terus belajar secara cermat, kaum buruh pasti bisa meraih pemahaman penuh mengenai karakter Negara borjuis.
Negara bukanlah sesuatu yang abadi, yang kekal, yang telah ada semenjak keberadaan manusia. Negara hanya muncul ketika masyarakat terbagi menjadi kelas-kelas, yakni di satu pihak kelas yang berkuasa, dan di lain pihak kelas yang dikuasai dan tertindas. Pada jaman primitif, ketika tidak ada kelas dan status yang membedakan satu manusia dari yang lainnya, tidak ada Negara sama sekali. Manusia hidup dalam keharmonisan yang diatur oleh tradisi dan rasa hormat satu sama lain. Tidak ada polisi, tidak ada pengadilan, tidak ada tentara yang berdiri terpisah dari rakyat, tidak ada penjara, yang semuanya adalah fitur-fitur utama dari Negara.
Lalu ketika masyarakat mulai terbagi menjadi kelas-kelas, karena adanya kemampuan untuk menciptakan nilai lebih dari produksi, maka muncullah Negara. Negara ini diciptakan oleh kelas penguasa untuk menjaga dominasinya, yakni dominasinya terhadap nilai lebih yang diciptakan oleh mayoritas rakyat. Di jaman perbudakan, ada kelas pemilik budak yang memeras nilai lebih produksi dari kaum budak. Di jaman feodalisme, ada kelas tuan tanah yang memeras nilai lebih produksi dari kaum tani. Dan hari ini di jaman kapitalisme, nilai lebih kelas buruh yang dihasilkannya di pabrik-pabrik dihisap oleh kelas kapitalis. Untuk menjaga dominasinya atas nilai-lebih ini, maka seperangkat aparatus – beserta hukum-hukumnya – diciptakan. Negara adalah alat kekerasan dari satu kelas terhadap kelas yang lain. Inilah esensi Negara.
Akan tetapi, para teoritisi borjuasi mengatakan bahwa Negara adalah sebuah institusi yang berdiri di atas masyarakat, di atas kelas-kelas, yang fungsinya adalah untuk menjaga keharmonisan masyarakat secara adil. Inilah ilusi utama yang ditaburkan oleh para ideolog borjuasi. Kenyataan hidup terus membongkar ilusi ini, ketika buruh dan tani terus menemui bahwa Negara mereka adalah Negara yang berpihak pada kelas borjuasi. Namun dengan pintar para ideolog borjuis ini mengelak. Kalau ada Negara yang tidak baik, ini karena konsep Negara yang ideal belumnya terlaksana. Yang dibutuhkan adalah perubahan kecil di sana dan di sini untuk mencapai sebuah Negara yang ideal menurut mereka. Maka dari itu, slogan-slogan utama dari kaum demokrat, liberal, dan reformis adalah “Negara seharusnya melindungi rakyat”. Tetapi pada kenyataannya, Negara ini tidak dapat melindungi rakyat, bukan karena orang-orang di dalamnya tidak mau, tidak bisa, atau tidak mampu, tetapi karena secara fundamental Negara ini adalah insititusi dominasi oleh satu kelas terhadap kelas yang lain. Tidak akan ada Negara yang mampu mengayomi seluruh lapisan masyarakat: pemilik modal, tuan tanah, buruh, tani, dan kaum miskin kota. Keharmonisan kelas-kelas di bawah perlindungan sebuah Negara yang adil dan bijaksana adalah ilusi terbesar.
Dalam perjuangannya, serikat buruh adalah organisasi paling dasar dari kelas buruh. Dengan serikat, kaum buruh bersatu dan melawan pemilik modal dalam pertarungan memperebutkan nilai lebih. Dalam situasi normal, benturan kapital-buruh ini mengambil bentuk yang relatif damai, yakni berlangsung secara “demokratis”. Buruh punya serikat yang diakui hukum, yang dapat menuntut gaji lebih tinggi sesuai kerangka hukum yang ada. Negosiasi antara buruh dan pemilik modal diawasi oleh pemerintah agar berjalan sesuai norma-norma hukum. Di sini kita berbicara di negeri-negeri dimana kebebasan berserikat secara umum telah dimenangkan oleh buruh. Tetapi dalam berbagai kesempatan, buruh menemui bahwa hukum yang ada tidak berpihak pada mereka. Mereka pun akhirnya mengambil jalan aksi massa dalam berbagai bentuk, dari yang legal, semi-legal, hingga ilegal. Di sinilah mereka kerap menemui kekerasan dari pemilik modal dan Negaranya. Ketika perjuangan buruh telah mulai mengancam keberlangsungan penghisapan nilai-lebih, kaum kapitalis pun mulai mencampakkan demokrasi mereka dan karakter Negara mereka semakin terungkap, yakni sebagai alat kekerasan.
Buruh pun tidak diam saja. Mereka mulai mengorganisir pertahanan mereka, dari yang bersifat sederhana dan sementara, seperti untuk menjaga aksi-aksi massa dari provokator, kekerasan polisi, dll. sampai yang bersifat revolusioner dan permanen. Tingkatan dari pertahanan buruh ini tergantung pada kebutuhan perjuangan buruh pada saat itu. Dalam kata lain, ia tidak bisa dilahirkan begitu saja dengan dekrit dan perintah dari segelintir orang. Dalam keadaan damai, tidak mungkin bisa muncul milisi pertahanan buruh yang berkarakter massa dan luas.
Namun ini bukan berarti kita menunggu saja. Tidak. Kaum buruh, dimulai dari lapisan yang termaju, harus terlebih dahulu dipersiapkan secara politik. Mereka harus dididik mengenai karakter perjuangan kelas, karakter Negara borjuasi, apa saja yang akan mereka hadapi dalam perjuangan mereka dan apa yang perlu mereka lakukan di tiap-tiap tahapan, sehingga ketika masalah pertahanan buruh mencuat para buruh termaju dapat memberikan kepemimpinan dan tidak tertangkap sedang ketiduran. Para buruh revolusioner dapat membaca situasi dengan tepat dan menyerukan slogan-slogan dan rencana-rencana aksi yang tepat, tanpa tertinggal di belakang peristiwa-peristiwa atau tanpa terlalu terburu-buru melangkah maju. Massa buruh luas juga harus dididik secara politik mengenai ini juga, sehingga ketika waktunya tiba mereka telah siap secara politik.
Politik, bukan teknis
Di sini kita menekankan pendidikan politik. Kita percaya kalau waktunya sudah tiba, buruh dapat menyelesaikan berbagai masalah teknis mengenai pertahanan mereka (bagaimana berlatih, bagaimana mendapatkan alat-alat pertahanan, dsb.) Halangan paling besar adalah tembok-tembok di pikiran mereka. Trotsky mengatakan:
“Kaum proletariat lah yang memproduksi senjata, mentransport mereka, membangun bangunan-bangunan dimana mereka disimpan, menjaga bangunan-bangunan itu, menjadi tentara dan menciptakan semua perlengkapan angkatan bersenjata. Bukan kunci atau tembok yang memisahkan kaum proletar dari senjata, tetapi kebiasaan menunduk, hipnotis dominasi kelas, dan racun nasionalis. Kita cukup menghancurkan tembok-tembok psikologis ini dan tidak akan ada satupun tembok batu yang dapat menghalami mereka. Kaum proletar cukup hanya menginginkan senjata – dan mereka akan menemukan senjata.” (Leon Trotsky)
Ketika Trotsky memimpin Tentara Merah dalam Perang Sipil, ia mengatakan bahwa 90 persen dari perang sipil untuk perebutan kekuasaan tergantung pada perjuangan politik, dan hanya pada tingkatan yang jauh lebih kecil tergantung pada masalah-masalah militer dan teknis. Hal yang serupa benar dalam masalah milisi pertahanan buruh, yang merupakan benturan kekerasan yang skalanya lebih kecil dibandingkan perang sipil untuk perebutan kekuasaan “Milisi dalam dirinya sendiri tidak akan menyelesaikan masalah. Sebuah kebijakan yang tepat dibutuhkan,” begitu ujarnya.
Politik adalah utama. Kalau rakyat pekerja sudah menginginkan senjata, ia pasti akan menemukannya. Kita hanya perlu melihat perjuangan kemerdekaan kita. Ketika rakyat Indonesia sudah terbangunkan secara politik, tidak lagi bermental terjajah, dan menginginkan kemerdekaan mereka, rakyat secara luas bangkit melawan penjajah dengan senjata apapun yang ada. Tidak ada senapan, mereka gunakan bambu runcing. Mereka rebut senapan dari mayat tentara Belanda, dan sering kali bahkan dari mayat kawan mereka sendiri yang mati tertembak.
Fokus pada masalah teknik (bagaimana melatih, bagaimana mendapatkan alat-alat pertahanan, dsb.) hanya akan mengalihkan diri dari tugas politik milisi buruh. Bahkan tidak jarang masalah-masalah teknis digunakan oleh para pemimpin reformis untuk menumpulkan milisi buruh. Kita lihat saja serikat buruh reformis, dengan segala macam pelatihan birokratis mengenai hukum perburuhan, cara bernegosiasi, dll., yang bila tidak disertai pemahaman politik revolusioner hanya jadi alat tumpul.
Dari Garda Pertahanan Buruh ke Negara
Dalam perjuangannya, kaum proletar membentuk berbagai organisasi yang pada akhirnya akan menjadi embrio daripada sebuah Negara Buruh yang baru. Tiap-tiap tahapan perjuangan proletar mendorong buruh untuk menciptakan alat-alat perjuangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Sejarah 200 tahun perjuangan buruh telah menyaksikan berbagai bentuk alat-alat perjuangan buruh, dari serikat buruh, komite pabrik, dewan pabrik, dewan komunal, dsb. Begitu juga dengan organ pertahanan buruh, dari yang sederhana dan sementara, sampai yang revolusioner, luas, dan permanen. Semua ini tergantung dari tahapan yang dimasuki oleh perjuangan proletar.
Milisi pertahanan buruh adalah embrio dari Negara Buruh, yakni alat kekerasan buruh terhadap dominasi kaum kapitalis. Dengan mengorganisir milisi pertahanan buruh, kaum buruh menantang dominasi kekerasan yang ada di tangan kapitalis lewat Negaranya, dan mempersiapkan perebutan kekuasaan. Inilah mengapa kaum penguasa sangat takut kalau buruh sudah mulai punya barisan pertahanan mereka sendiri. Pengaruh politik dari keberadaan organ pertahanan buruh sangatlah signifikan. Ia secara konkrit menantang dominasi kekerasan kaum kapitalis. Dengan milisi pertahanan buruhnya, kaum buruh menyatakan dengan lantang bahwa mereka sudah tidak percaya lagi pada institusi hukum dari pemerintah yang ada dan akan mengambil hukum ke tangannya sendiri. Dengan milisi pertahanan buruh, mereka mempersiapkan jalan untuk menjadi penguasa Negara yang baru, yakni Negara Buruh, yang dalam hal ini adalah institusi buruh untuk menindas kaum kapitalis.
Selain itu, milisi pertahanan buruh juga menghancurkan konsep angkatan bersenjata yang terpisah dari rakyat. Negara borjuasi mengandalkan polisi dan tentara reguler yang dipisahkan dari rakyat di barak-barak, yang tidak demokratis, sehingga dapat setiap saat dengan jentikan jari tangan diperintahkan untuk menindas rakyat. Sementara milisi pertahanan buruh datang dari rakyat pekerja sendiri. Mereka bukanlah tentara atau polisi profesional. Milisi pertahanan buruh ada di bawah kontrol demokratis serikat buruh. Milisi pertahanan buruh adalah rakyat yang tersenjatai. Ia adalah embrio dari Negara Buruh yang baru, dimana polisi dan tentara reguler digantikan dengan rakyat yang tersenjatai, yang universal dan demokratis.
Pada momen tertentu, apa yang awalnya adalah pertahanan akan – dan harus – menjadi ofensif. Kaum kapitalis akan terus menyerang tanpa ampun, dan bila buruh hanya bertahan saja maka mereka pun akan remuk. Di sinilah masalah milisi pertahanan buruh lalu terikat dengan perebutan kekuasaan. Dalam usahanya untuk mempertahankan keberadaan mereka dan pencapaian-pencapaian mereka, gerakan buruh akan terdorong ke masalah kekuasaan. Ketika perjuangan kelas telah mencapai titik puncaknya, dan keberadaan gerakan buruh yang kuat sudah tidak bisa lagi ditolerir oleh kelas penguasa, maka kaum kapitalis akan melepaskan seluruh kekuatan gelap dan reaksioner mereka untuk meremukkan gerakan buruh dan mencabutnya sampai ke akar-akarnya. Sejarah kita dipenuhi dengan episode ini: Fasisme di Italia, Jerman, dan Spanyol; kediktaturan militer di Chile (Allende) dan Indonesia (Soeharto), dan banyak lainnya. Di Indonesia, PKI yang berhaluan Stalinis menolak untuk merebut kekuasaan dan mendirikan kediktaturan proletar. Alih-alih Aidit dan para pemimpin PKI lainnya bersandar pada Soekarno dan kelas borjuis nasional progresif, menunda perjuangan kelas demi apa-yang-disebut perjuangan nasional, demi apa-yang-disebut kediktaturan rakyat (yang meliputi semua kelas, dari buruh, tani, intelektual, borjuis kecil, dan borjuis progresif), demi apa-yang-disebut revolusi dua tahap. Menolak merebut kekuasaan, bermain-main dengan masalah kekuasaan tanpa mengambil tindakan tegas yang final, PKI beserta seluruh gerakan buruh dan Kiri Indonesia akhirnya dihancurkan oleh popor senapan tentara. Soeharto memobilisasi massa reaksioner, tetapi PKI yang punya serikat buruh SOBSI yang besar sama sekali tidak berkutik, tidak mampu memobilisasi milisi buruh untuk mempertahankan dirinya. Ini karena pada akhirnya para kader-kader mereka tidak pernah dididik mengenai politik revolusi yang sejati, mengenai politik perebutan kekuasaan revolusioner oleh kelas proletar. Kekalahan telak ini, yakni kekalahan tanpa perlawanan, menghantar 32 tahun periode gelap. Sungguh suatu kemalangan bagi organisasi proletar ketika mereka tidak siap menghadapi pukulan reaksioner.
Ringkasan: Beberapa Petunjuk Politik
Dari berbagai pengalaman yang ada, ada sejumlah petunjuk politik umum bisa kita tarik dari semua ini, yang dapat membantu kaum buruh untuk mengorganisir pertahanan mereka.
Pertama, masalah pertahanan buruh terutama adalah masalah politik. Masalah teknis adalah sekunder. Yang menghalangi buruh dari mempertahankan diri mereka bukanlah masalah teknis, tetapi rantai yang lama mengikat pikiran mereka dan menjajah pikiran mereka, yang membuat mereka pasif dan penurut. Patahkan rantai ini dengan pendidikan politik revolusioner dan tidak akan ada tembok apapun yang akan memisahkan mereka dari membentuk organ pertahanan, tidak akan ada masalah teknis apapun yang tidak dapat mereka pecahkan.
Kedua, kelompok pertahanan buruh tidak dapat muncul begitu saja. Ia bukan lahir dari seruan segelintir orang. Ia lahir dari kebutuhan buruh luas untuk mempertahankan diri mereka. Seruan kekiri-kirian untuk membangun organ pertahanan buruh ketika tidak ada kebutuhan ini hanya akan menjadi sebuah avonturisme.
Ketiga, kelompok pertahanan buruh harus bersifat demokratis. Ia harus berada di bawah kontrol demokratis serikat buruh dan anggota luas, dan bukan menjadi kelompok elit terpisah dari organisasi buruh atau menjadi organisasi di dalam organisasi. Terbuka dan demokratis, dengan ini maka kelompok pertahanan buruh akan menggerus dominasi dan monopoli kekerasan yang ada di tangan kaum kapitalis lewat aparatus-aparatus Negaranya dan massa reaksioner mereka.
Keempat, terbuka dan demokratis, organ pertahanan buruh juga harus berpadu dengan aksi massa. Organ pertahanan buruh tanpa aksi massa tidak lain hanya segerombolan gerilyawan kota atau urban yang avonturis.
Kelima, pada momen tertentu, perjuangan pertahanan melawan serangan dari Negara dan preman-preman bayaran kapitalis niscaya akan bergerak ke perjuangan untuk kekuasaan buruh dan sosialisme. Organ pertahanan buruh, bahkan dari yang paling sederhanapun, adalah sekolah untuk mendidik buruh mengenai perjuangan untuk kekuasaan, yakni pemenuhan tugas historisnya.
Pada akhirnya, pengalaman adalah guru terbaik, dan buruh akan belajar mengenai masalah pertahanan gerakannya hanya dengan mempraktekkannya. Tetapi teori, yang telah kita kupas di atas, adalah rangkuman pengalaman buruh itu sendiri dalam sejarah panjang perjuangannya. Ia adalah rangkuman praktek masa lalu. Dengan mempraktekkan teori, maka kita dapat menjauhkan diri kita dari kesalahan-kesalahan lampau yang telah dilalui oleh kaum buruh pendahulu kita. Hanya pendidikan teori politik – dan bukan kata-kata retorika penuh semangat – yang akan dapat menghancurkan dengan pasti sifat-sifat penurut, pasif, penakut, nrimo, dan pasrah yang ada di kalangan buruh. Hanya setelah memahami dengan baik sumber penindasannya dan bagaimana mengjungkirbalikkan sistem penindasan ini dan membangun dunia yang baru, maka seorang buruh tidak akan lagi punya rasa takut dan rasa ragu.
***
Appendix:
Garis Piket, Milisi Kelas Buruh, dan Penyenjataan Kaum Proletar
Oleh Leon Trotsky
Mogok kerja okupasi adalah sebuah peringatan yang serius dari massa yang ditujukan bukan hanya kepada kaum borjuis, tetapi juga kepada organisasi-organisasi buruh, termasuk Internasional Keempat. Pada tahun 1919-20, para pekerja Italia menyita pabrik-pabrik dengan inisiatif dari diri mereka sendiri, dan dengan aksi tersebut mereka memberikan sinyal kepada “pemimpin-pemimpin” mereka akan datangnya revolusi sosial. “Pemimpin-pemimpin” ini menghiraukan sinyal tersebut. Akibatnya, fasisme meraih kemenangan.
Mogok kerja okupasi belumlah berarti penyitaan pabrik-pabrik seperti halnya di Italia, tetapi mereka adalah sebuah langkah yang penting menuju aksi penyitaan. Krisis sekarang ini dapat mempertajam perjuangan kelas sampai pada poin yang ekstrim dan membawa kita lebih dekat ke garis akhir di mana semuanya akan menjadi jelas. Tetapi ini bukan berarti bahwa situasi revolusioner datang dengan satu pukulan. Sebenarnya, kedatangan situasi revolusioner ditandai oleh serentetan gejolak yang berkelanjutan. Salah satunya adalah gelombang mogok kerja okupasi. Tugas seksi-seksi Internasional Keempat adalah untuk membantu kaum pelopor proletar untuk mengerti karakter umum dan tempo dari era sekarang ini dan untuk membuat perjuangan massa lebih produktif dengan kebijakan-kebijakan yang lebih tegas dan bersifat organisasional.
Menajamnya perjuangan proletar berarti menajamnya metode yang digunakan oleh kapitalis untuk memukul balik. Tidak diragukan sama sekali bahwa gelombang-gelombang baru mogok kerja okupasi akan menyebabkan pukulan balik yang lebih keras dari kaum borjuis. Persiapan untuk memukul balik sudah dilaksanakan oleh staf-staf rahasia dari konglomerasi besar. Suatu kemalangan bagi organisasi revolusioner, suatu kemalangan bagi kaum proletar bila mereka sekali lagi tidak siap menghadapi pukulan balik ini!
Kaum borjuis sama sekali tidak puas dengan pasukan polisi dan tentara yang ada. Di Amerika Serikat, bahkan di saat periode yang “damai”, kaum borjuis memiliki batalion buruh pengkhianat (“mangkir”) dan preman-preman bersenjata di pabrik-pabrik. Sekarang, batalion-batalion tersebut ditambah lagi oleh berbagai macam kelompok Nazi Amerika. Saat mereka merasa terancam, kaum borjuis Perancis memobilisasi pasukan-pasukan fasis yang semi-legal atau ilegal, termasuk di dalamnya adalah pasukan tentara. Ketika tekanan dari kaum pekerja Inggris menjadi lebih kuat, seketika itu juga kelompok-kelompok fasis jumlahnya meningkat berlipat ganda untuk menghancurkan para pekerja. Kaum borjuis mengerti bahwa di dalam periode sekarang ini konflik kelas secara tidak terelakkan cenderung berubah menjadi perang sipil. Contoh-contoh di Italia, Jerman, Austria, Spanyol, dan negara lainnya mengajarkan fakta tersebut lebih kepada kaum kapitalis dan pelayan-pelayannya daripada kepada pemimpin-pemimpin resmi kelas proletar.
Politisi-politisi Internasional Kedua dan Ketiga, dan juga kaum birokrat serikat buruh, secara sadar menutup mata mereka terhadap pasukan tentara bayaran kaum borjuis; bila mereka tidak menutup mata mereka, mereka tidak akan mampu mempertahankan aliansi mereka dengan kaum borjuis. Kaum reformis ini secara sistematis menanamkan ke dalam otak para pekerja bahwa kesucian demokrasi akan terjaga dengan sangat baik bila kaum borjuis mempunyai senjata lengkap dan kaum pekerja tidak bersenjata.
Tugas dari Internasional Keempat [10] adalah untuk mengakhiri kebijakan-kebijakan bodoh tersebut untuk selama-lamanya. Kaum demokrat borjuis kecil, termasuk kaum Sosial Demokrat, Stalinis, dan Anarkis, semakin mereka menyerah kepada fasisme dalam ketakutannya, semakin kencang mereka berteriak melawan fasisme. Hanya detasemen-detasemen pekerja bersenjata, yang didukung oleh puluhan juta pekerja, dapat mengalahkan kelompok-kelompok fasis ini. Perjuangan melawan fasisme bukan dimulai di kantor editorial kaum liberal, tetapi di pabrik-pabrik – dan berakhir di jalanan. Para buruh pengkhianat dan preman-preman bayaran adalah inti dasar dari pasukan fasis. Pasukan piket mogok kerja adalah inti dasar dari pasukan tentara proletar. Inilah titik tolak kita. Di setiap mogok kerja dan demonstrasi, kita perlu menyebarluaskan gagasan akan pentingnya membentuk kelompok buruh untuk pertahanan-diri. Adalah perlu untuk mengikutsertakan slogan ini di dalam program dari sayap revolusioner serikat buruh. Adalah perlu, bilamana memungkinkan, dimulai dengan kelompok kaum muda, untuk mengorganisir kelompok pertahanan-diri, untuk melatih dan memperkenalkan mereka bagaimana menggunakan senjata.
Sebuah kebangkitan gerakan massa yang baru harus digunakan untuk meningkatkan jumlah unit-unit pertahanan-diri ini, dan juga untuk menyatukan mereka dalam skala komunitas, kota, dan regional. Kebencian kaum buruh kepada buruh pengkhianat, preman-preman, dan kaum fasis perlu diberikan sebuah ekspresi yang terorganisir. Untuk memastikan keutuhan dan keamanan organisasi-organisasi buruh, pertemuan-pertemuan buruh, dan media pres buruh, sebuah slogan Milisi Buruh harus dikumandangkan.
Hanya dengan kerja agitasi dan organisasi yang sistematis, konsisten, tak kenal lelah, dan berani, yang selalu berdasarkan pengalaman rakyat sendiri, hanya dengan itu kita bisa menyingkirkan tradisi penurut dan pasif dari kesadaran mereka; bisa melatih detasemen-detasemen pejuang yang heroik yang mampu menjadi teladan bagi semua pekerja; bisa mengalahkan preman-preman konter-revolusioner; bisa meningkatkan kepercayaan diri kaum yang terhisap dan tertindas; bisa melemahkan fasisme di mata kaum borjuis kecil dan membuka jalan bagi penaklukkan kekuasaan oleh kelas proletar.
Engels mendefinisikan negara sebagai “institusi orang-orang bersenjata”. Penyenjataan kaum proletar adalah elemen pendamping yang sangat penting bagi perjuangan pembebasan mereka. Bila kaum proletar berkehendak mempersenjatai dirinya, mereka akan menemukan jalan dan cara untuk melakukan hal tersebut. Dalam hal ini, Internasional Keempat akan mengambil kepemimpinan.
Disadur dari “Program Transisional untuk Revolusi Sosialis”