“Kapan para terpidana mati kasus narkoba itu akan dieksekusi?” tanya Badrun kepada orang-orang—termasuk kepada saya. Badrun, seorang sarjana hukum lulusan Unair, sepertinya ingin memancing diskusi tentang hukuman mati; sepertinya ia ingin mempertanyakan putusan hukuman mati terhadap para gembong narkoba yang hari ini sedang marak diberitakan di televisi.
“Lebih cepat lebih baik!” sergap Mas Parman, mahasiswa pascasarjana bidang humaniora Universitas Udayana.
“Saya menolak hukuman mati!” ucap saya.
“Alasannya apa, Bung Je?” tanya Badrun.
“Marx tidak setuju.”
“Hemm…,” gumam Mas Parman.
“Marx bicara di mana tentang hukuman mati?” tanya Badrun menyelidik.
Saya tidak segera menjawab. Tingkah laku beberapa bule yang sedang duduk di meja paling ujung tiba-tiba menyita perhatian saya. “Oh, bule-bule dengan logat Australia itu sedang berbincang tentang apa ya?” pikir saya. “Jangan-jangan mereka ngrasani Indonesia?”
Saya sedang berada di Bali, untuk mengerjakan sebuah proyek kecil. Setiap sore saya nongkrong di kedai murah milik Pak Wayan. Dan kali ini bersama dua orang teman. Tidak hanya orang lokal saja yang nongkrong di kedai ini, tapi juga bule-bule kere asal Australia. Intensitas perbincangan mereka tentang hukuman mati membuat saya betah berjam-jam di sini. Diam-diam saya nguping pembicaraan mereka.
“Ada apa, Bung Je? Kenapa dengan bule-bule yang Inggris-nya rusak itu?”
“Drun, salah satu dari mereka kemarin berbincang dengan saya soal hukuman mati. Dia protes. Setiap sore dia nongkrong di sini, di kedai Pak Wayan ini.”
“Pasti Bung sepakat dengan dia,” tuduh Badrun sembarangan.
“Drun, saya sangat menentang narkoba, obat adiktif yang merusak otak manusia itu. Bahkan, sebagai seorang Komunis, saya akan berada di garis depan dalam memberantas bisnis gelap milik kapitalis ini!”
“Lalu … dan…?” sahut Mas Parman, dengan ungkapan yang tidak jelas.
“Tapi saya menolak hukuman mati.”
Diskusi panjang lebar akhirnya terjadi. Dan saya mulai mengemukakan alasan kenapa saya menolak hukuman mati. Pertama, saya mempersoalkan kualitas institusi pengadilan (di negara) borjuis. Kedua, saya mengacu pada pendapat Marx tentang hukuman mati.
“Alasannya dua hal itu, Bung,” ucap Badrun.
“Saya tertarik pada alasan kedua,” tambah Mas Parman.
“Alasan pertama, sebagai seorang Marxis, seperti yang telah saya singgung tadi, jelas, tidak percaya dengan kualitas institusi-institusi hukum di negara borjuis. Institusi-institusi tersebut sangat rentan untuk disuap, rentan dijadikan tempat konspirasi, dan, lebih jauh, memungkinkan sekali bahwa semua keputusan hukum di negara borjuis adalah sebuah rekayasa.”
“Berarti Bung menganggap bahwa mereka [para terpidana mati kasus narkoba yang sebentar lagi akan dieksekusi] tidak bersalah?” lanjut Badrun.
“Bukan begitu, Drun. Maksudku, karena posisi hukum subordinat dengan ekonomi dan politik, maka hasil keputusan hukum di negara borjuis akan terkait erat dengan kepentingan ekonomi dan politik kelompok tertentu. Tapi bukan berarti saya membela para gembong itu. Bukan. Jika benar mereka memang pelakunya, maka layak untuk dihukum berat. Namun bukan hukuman mati. Hukuman seumur hidup saja. Sebab jika suatu saat ternyata terbukti tidak bersalah, mereka belum terbunuh. Dan di sini saya tetap menempatkan mereka sebagai obyek dari serangkaian bisnis besar yang dimainkan oleh para cukong [kapitalis] besar dalam skala dunia.”
“Coba Bung perjelas pendapat Marx,” gegas Mas Parman.
“Marx melihat tindakan kriminal sebagai ekses dari sebuah sistem, di mana, di atasnya, tindakan manusia, sebagai individu atau sebagai masyarakat, tidak ditentukan oleh dirinya sendiri, tetapi oleh sistem dominan. Marx pernah menulis, dan ini sudah saya singgung berkali-kali, bahwa ide-ide yang berkuasa adalah ide-idenya kelas yang sedang berkuasa. Marx menolak pandangan Hegel bahwa kriminalitas adalah negasi dari “kebenaran”, dan hukuman adalah negasi dari negasi tersebut.”
“Apakah menurut Hegel tindakan kriminal dianggap sebagai tindakan individu, yang bebas dari semua intervensi?” lanjut Mas Parman.
“Ya, Hegel pernah menulis bahwa kriminalitas adalah aksi dari kemauannya sendiri, dan akibatnya, hukuman adalah negasi dari kemauannya sendiri itu. Tentu, menurut Marx, logika Hegel ini, dan juga logika ‘hukum modern’ di era kita yang masih bercorak idealis, hanyalah ekspresi dari metafisika tua yang Marx sebut dengan istilah ‘jus talionis’, yakni hak pembalasan dengan hukuman yang sama: mata ganti mata, gigi ganti gigi, darah dibalas darah, dan sebagainya.”
“Lalu, apa pandangan Marx tentang hukuman mati?” desak Badrun, tidak sabar.
“Ok, Drun, sekarang kita sudah sampai pada pandangan Marx tentang hukuman mati. Dengan merujuk pada tulisan Mr. A. Quételet yang berjudul l’Homme et ses Facultés, Marx menolak hukuman mati. Logikanya, karena kondisi fundamental dari masyarakat borjuis adalah maraknya kejahatan sebagai akibat logis dari praktek penindasan kapitalisme, maka akan ada banyak ‘pembunuhan legal’ yang dilakukan oleh Negara kepada rakyatnya.”
“Terus, apa kesimpulan dari pandangan Bung, sebagai seorang Marxis, terhadap hukuman mati yang sedang menimpa para bandar narkoba tersebut?” tanya Badrun, yang selanjutnya diperkuat oleh Mas Parman.
“Para bandar itu tetap harus dihukum berat, tapi bukan dihukum mati. Mereka tidak mutlak bersalah. Maka hukuman yang pas, paling berat, adalah hukuman seumur hidup. Hukuman bagi mereka tidak dimaknai sebagai balasan, tetapi sebagai proses penyadaran. Karena, dalam perspektif Marxis, penyebab dari semua aksi kriminalitas adalah adalah sistem yang buruk. Dan di sini saya mengandaikan, jika kita sudah berada di bawah Sosialisme, aksi-aksi kriminal seperti itu tidak akan terjadi, terlebih, tidak akan ada lagi hukuman mati.”