Mogok Nasional 3 Oktober lalu telah memberikan warna baru di dalam perpolitikan Indonesia, sebuah warna yang tidak akan begitu mudah luntur dan justru akan menjadi semakin cerah dan mencolok. Untuk pertama kalinya, kelas penguasa Indonesia dihadapkan oleh kekuatan buruh secara masif, bukan lagi dalam tingkatan pabrik saja tetapi dalam tingkatan nasional. Dalam 1 tahun terakhir ini, sudah ada tiga peristiwa besar semacam ini. Yang pertama, keterlibatan aktif – dan bahkan kepemimpinan – buruh dalam aksi menentang kenaikan BBM Maret ini, yang berhasil memukul mundur pemerintah. Yang kedua, aksi May Day tahun ini yang merupakan aksi hari buruh terbesar sejak Reformasi 1998 dimana 160 ribu buruh turun. Tidak hanya itu, mereka melakukan vergadering yang masif di Gelora Bung Karno, yang mana 80 buruh berkumpul dan mendeklarasikan MPBI. Yang ketiga, Getok Monas. Getok Monas merupakan kulminasi dari kedua peristiwa sebelumnya. Tetapi ia bukan serta merta kelanjutan. Ia adalah sebuah lompatan kualitatif dalam gerakan buruh Indonesia. Signifikansi peristiwa ini tidak boleh diremehkan sama sekali.
Setelah eforia dari Getok Monas ini sedikit berlalu, dan debu yang dilontarkan oleh derap langkah buruh sudah sedikit mereda, saatnya kita melihat ke sekeliling kita untuk sejenak, untuk melihat apa-apa yang dapat kita panen dan apa yang harus kita tuai untuk ke depan. Dengan bekal ini, kita bawa tatapan kita ke depan, menyongsong gebrakan buruh yang tak ayal pasti akan lebih besar lagi.
Aksi dan Reaksi
Setiap aksi membawa reaksi, tidak terkecuali Getok Monas ini. Aksi yang begitu masif ini tidak hanya mengundang reaksi dari musuh langsung buruh, yakni kaum kapitalis dan negara, tetapi juga berbagai lapisan masyarakat lainnya. Hanya dengan memahami reaksi maka kita bisa lebih menghargai signifikansi dari aksi yang telah terjadi.
Arogansi, disusul dengan kepanikan, dan lalu serangkaian ancaman. Begitulah reaksi dari kaum borjuis kita. Kesombongan kaum borjuis kita ini terkondisikan oleh fakta bahwa 50 tahun terakhir mereka belum pernah ditantang secara serius oleh kelas buruh. Orde baru telah berhasil mengkebiri gerakan buruh secara fisik dan ideologi. Beberapa hari sebelum mogok nasional, Wakil Ketua Kadin, Hardayi Sukamdani, dengan mental Orde Barunya, mengancam agar para pemimpin buruh ditangkapi saja. “Jika terus begini, kami tidak tinggal diam dan akan mempidanakan mereka,” katanya. Beginilah mental kaum borjuis nasional kita yang merindukan jaman Orde Baru dan tidak punya secuilpun nilai-nilai progresif.
Mereka pun ingin percaya kalau mogok nasional ini tidak akan terjadi, bahwa hanya akan ada segelintir buruh yang mogok. “Hari ini buruh Apindo tidak ikut mogok, bekerja seperti biasa,” ujar ketua Apindo, Sofyan Wanandi. Namun segera setelah menyadari luasnya pemogokan ini, kepanikan pun mengunjungi mereka. Dia langsung mengeluh kalau akan ada kerugian ratusan milyar rupiah, iklim investasi akan memburuk, ekonomi akan anjlok, dsbnya. Ancaman-ancaman pun dilontarkan, dari yang sudah biasa didengar buruh – yakni aksi mogok akan memaksa pengusaha menutup pabrik – sampai yang terdengar agak konyol – bahwa ia akan menggantikan semua buruh dengan mesin.
Perwakilan kapital asing juga segera bereaksi. Asian Development Bank meminta agar pemerintah tidak menghapus outsourcing. Dalam hal ini mereka senada dengan kapitalis nasional yang dengan keras kepala juga ingin mempertahankan outsourcing. “Outsourcing bukan barang haram,” tegas Iftida Yasar dari Kadin. Kepentingan fundamental kapital asing dan nasional sama-sama terancam oleh gerakan buruh, sehingga sungguh memalukan kalau ada sejumlah kaum Kiri yang sampai saat ini terus mencoba merangkul kaum borjuis nasional dan menggambarkan mereka sebagai kekuatan progresif yang dapat mensejahterakan rakyat. Kita sungguh bisa belajar banyak dari reaksi kaum kapitalis nasional dan asing ini ketika kepentingan mereka terusik oleh kaum buruh yang bergerak secara mandiri. Mimpi-mimpi akan adanya kelas borjuasi progresif terbuyarkan oleh kenyataan ini.
Sementara, kaum liberal hanya bisa berkata-kata bahwa mogok buruh harus ditanggapi serius oleh pemerintah dan pengusaha. Mereka merengek meminta agar pemerintah dan pengusaha memperhatikan kesejahteraan buruh. Namun rengekan kaum liberal hanya akan masuk telinga kiri keluar telinga kanan para pemilik modal. Kaum kapitalis sadar akan bahaya gerakan buruh. Mereka tahu, bahwa di dalam hukum ekonomi kapitalis, kenaikan gaji akan berarti penurunan profit mereka. Ini adalah sebuah hukum yang sudah terpatri selama ratusan tahun sejarah kapitalisme dan tidak akan berubah hanya karena segelintir kaum liberal moralis meminta mereka untuk simpati pada buruh.
Bahaya rengekan kaum liberal ini justru ada pada pihak kaum buruh. Dalam pernyataan mereka yang tampaknya pro-buruh, tersirat di dalamnya adalah bahwa bila saja kelas kapitalis pengertian dan baikhati maka buruh pun akan sejahtera. Oleh karenanya, kita hanya perlu membuat argumen-argumen pintar dan yang menyentuh hati nurani untuk meyakinkan kaum kapitalis agar mereka simpati pada buruh dan memperhatikan kesejahteraan mereka. Kaum liberal ingin kapitalisme tanpa pertentangan kelas, kapitalisme tanpa penindasan. Dalam usahanya untuk mencapai mimpi ini, kaum liberal akan menyeret kaum buruh ke lumpur kebodohan dan ilusi.
Namun bila ada satu bahaya yang paling harus diperhatikan oleh buruh, ini datang dari reaksi kaum borjuasi oposisi, yakni partai-partai borjuasi oposisi, terutama PDI-P dan Gerindra. Partai-partai ini menyatakan dukungan mereka terhadap mogok nasional untuk satu alasan: kepentingan pemilu. Gerakan buruh yang semakin mempunyai profil politik nasional dapat memberikan mereka basis penting untuk pemilu 2014 nanti. Kemampuan buruh untuk menghentikan roda ekonomi – Getok Monas diperkirakan menyebabkan kerugian sebesar Rp 220 triliun – adalah sebuah kekuatan yang ingin dimenangkan oleh banyak pihak. Ini adalah kekuatan yang bisa digunakan untuk menggoyangkan rejim yang berkuasa, yang kalau bisa dikendalikan oleh partai-partai borjuasi oposisi dapat membawa mereka ke tampuk kekuasaan. Pertanyaannya tentu adalah apakah mereka bisa dengan mudah mengendalikan kekuatan buruh ini? Mereka sendiri juga takut akan kekuatan ini karena dapat menggilas mereka sendiri. Mereka butuh kerjasama dari pemimpin reformis dan birokratis di dalam serikat-serikat buruh – yang tidak sedikit jumlahnya – yang juga ingin menggunakan kekuatan buruh untuk kepentingan pribadi mereka: prestise, posisi di dalam pemerintahan, dll.
Lalu Kemana?
Kepanikan kaum kapitalis dan pemerintah setelah menyaksikan Getok Monas adalah konfirmasi nyata kekuatan revolusioner buruh, sesuatu yang memang sudah dinyatakan oleh Marx dan Engels lebih dari 150 tahun yang lalu. Penyangkalan akan potensi revolusioner buruh – yang lama dilakukan bukan hanya oleh rejim penguasa tetapi juga oleh sejumlah orang yang mengaku progresif dan kawan rakyat jelata – hancur berkeping-keping di hadapan fakta ini. Inilah pencapaian utama dari Mogok Nasional ini: kepercayaan diri. Oleh karenanya propaganda luas mengenai keberhasilan buruh dalam menunjukkan taringnya pada Getok Monas harus menjadi agenda selanjutnya dalam gerakan buruh. Bukan hanya satu dua hari saja, tetapi terus berkesinambungan, dengan brosur-brosur, buletin, kelompok diskusi, pembuatan dokumenter pendek, dan cara-cara kreatif lainnya. Getok Monas harus dijadikan sebuah “mitos” hidup, a living “myth”, sebuah cerita yang penuh dengan kebanggaan kelas, untuk terus membangun kepercayaan diri buruh.
Kepercayaan diri ini harus dijaga terus. Setiap usaha untuk melemahkannya harus dilawan. Dalam ranah politik parlementer, penitipan suara lewat partai-partai borjuasi – PDI-P, Gerindra, PKS, dan lain sebagainya – bukan hanya tidak membangun kepercayaan diri buruh tetapi juga melemahkannya. Melakukan ini dan mendukungnya dalam kapasitas apapun berarti mengatakan kepada buruh kalau mereka tidak punya kemampuan dan kekuatan untuk membangun partai politik mereka sendiri. Justru untuk membangun kepercayaan diri buruh lebih lanjut kita harus mempropagandakan kalau hanya buruhlah yang bisa membangun partai politik untuk memimpin perjuangan rakyat tertindas. Kebangkrutan partai-partai politik yang ada telah menciptakan pengharapan yang besar – yang hampir-hampir putus-asa – di dalam masyarakat untuk hadirnya sebuah partai yang bersih dan sungguh-sungguh berpihak pada rakyat tertindas. Buruh bisa – dan harus – mengisi pengharapan ini dengan membangun partai kelas buruh. Getok Monas telah menunjukkan kalau buruh Indonesia tidak kekurangan sumber daya sama sekali untuk membangun partai politiknya sendiri: massa buruh yang tersebar di seluruh pelosok, puluhan ribu kader-kader buruh dan pemimpin-pemimpin ulung, kemampuan mengorganisir vergadering dan aksi massa besar, dll.
Mengharapkan pemerintah yang ada sekarang hanya akan membuahkan kekecewaan. Setelah digoyang oleh Getok Monas, pemerintah berjanji akan segera memenuhi tuntutan buruh. Ternyata Menakertrans menyatakan kalau butuh waktu satu tahun untuk menyelesaikan tuntutan buruh mengenai outsourcing. Kesimpulannya hanya satu: buruh harus merebut kekuasaan dan melakukan perubahan dengan tangannya sendiri. Perebutan kekuasaan mensyaratkan sebuah partai politik, dan bukan partai politik sembarangan. Yang dibutuhkan adalah partai politik kelas buruh dengan sosialisme – yakni kepemilikan alat-alat produksi oleh buruh – sebagai tujuan utama partai.
Bila buruh dalam satu hari saja bisa menyebabkan kerugian Rp 220 trilyun terhadap kaum kapitalis, satu hal yang tidak bisa dilakukan oleh kelas dan sektor manapun di Indonesia (tani, nelayan, miskin kota, mahasiswa, intelektual, dll.), maka membangun partai politik sendiri bukan suatu hal yang mustahil. Ini bahkan menjadi sebuah keharusan. Setiap mogok nasional selalu mengedepankan masalah kekuasaan. Buruh yang menghentikan roda ekonomi nasional secara langsung mengatakan kepada rejim penguasa bahwa dialah yang sesungguhnya memegang tuas kekuasaan, di pabrik-pabrik, di pelabuhan-pelabuhan, di kilang-kilang minyak. Masalah kekuasaan yang terkedepankan ini harus dijawab, dan di sinilah partai buruh akan memainkan perannya. Dengan program-programnya, yang tidak terbatas hanya pada tuntutan-tuntutan kesejahteraan saja tetapi juga mengandung tuntutan-tuntutan perubahan tatanan politik, sosial, dan ekonomi bangsa secara fundamental, partai kelas buruh akan menjadi pemimpin bangsa.