Segera setelah pandemi virus korona menjadi kenyataan, bursa-bursa saham dunia rontok satu per satu. Kepanikan melanda semua bankir dan pemilik modal. Untuk terus menopang bursa-bursa saham ini, pemerintah menggelontorkan triliunan dolar. Jumlah stimulus yang disediakan selama pandemi jauh lebih besar dibandingkan dengan krisis finansial 2008.
Pada akhir Maret, bank-bank sentral terbesar – AS, Uni Eropa, China, Jepang dan Inggris – memompa hampir 6 triliun dolar US. Ini setara dengan 9,7% produk domestik bruto dari negara-negara tersebut, atau enam kali lipat PDB Indonesia. Di atas itu, pemerintahan-pemerintahan G20 telah menjanjikan stimulus lebih dari 5 triliun dolar. Indonesia sendiri, sampai pada pertengahan April, telah menggelontorkan Rp 400 triliun. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menilai ini masih terlalu kecil dan mengusulkan anggaran Rp 1.600 triliun untuk menangani dampak ekonomi virus korona. Dalam bulan-bulan ke depan, hampir dapat dipastikan kalau biaya penanganan Covid-19 ini akan terus membengkak.
Sebagian besar paket ekonomi pandemi ini adalah untuk perusahaan-perusahaan, dan hanya sedikit untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan bantuan langsung ke rakyat pekerja yang kehilangan mata pencaharian mereka. Bahkan banyak bantuan langsung ke pekerja adalah subsidi untuk pengusaha. Misalnya, di Kanada, pemerintah akan menalangi 75% upah buruh, dengan jumlah total $73 miliar. Di permukaan ini tampak seperti bantuan untuk pekerja, tetapi sebenarnya ini adalah uang gratis untuk pengusaha. Mereka bisa memperkerjakan pekerja-pekerja mereka, dan meraup profit darinya, dengan hanya membayar 25% upah. Oleh karenanya, anggaran yang katanya untuk memerangi Covid-19 pada kenyataannya adalah untuk memastikan agar perusahaan-perusahaan tetap untung selama pandemi.
Utang negara yang sudah menggunung – terutama karena stimulus untuk krisis finansial 2008 – kini menjadi semakin menjulang tinggi. Pertanyaannya: Siapa yang akan membayar ini? Kapitalis atau pekerja? Inilah pertanyaan yang akan menjadi salah satu fokus utama perjuangan kelas menyusul berakhirnya pandemi Covid-19.
Sebelum pandemi, pemerintah-pemerintah seluruh dunia telah dibebani dengan utang besar. Pada 2019, utang dunia telah mencapai rekor tertinggi $253 triliun, atau 322 persen PBD dunia. Beban utang yang besar ini telah menjadi tekanan besar bagi anggaran pemerintah, dengan konsekuensi kebijakan penghematan yang gencar dilakukan selama 10 tahun terakhir. Inilah mengapa pelayanan kesehatan publik kita tidak siap sama sekali menghadapi pandemi, karena telah dipangkas terus menerus.
Paska pandemi, utang negara akan semakin membengkak. Pemerintah akan melakukan apa yang telah mereka lakukan sebelumnya untuk menyeimbangkan anggaran mereka: memperdalam kebijakan penghematan. Anggaran kesehatan, pendidikan, penelitian, perlindungan lingkungan hidup, transportasi publik, tunjangan hari tua, dan pelayanan-pelayanan sosial lainnya akan dikorbankan demi apa-yang-disebut “kesehatan fiskal” negara. Beban krisis pandemi akan ditaruh sepenuhnya di pundak rakyat pekerja, sementara korporasi-korporasi besar dibebaskan dari tanggung jawab.
Maka dari itu, tidaklah cukup kalau kita hanya menuntut pemerintah menyediakan bantuan bahan-bahan kebutuhan pokok dan bantuan langsung tunai untuk rakyat yang terdampak, melakukan tes Covid-19 gratis dan masal, mensuplai alat perlindungan diri untuk tenaga kerja medis dan sektor-sektor esensial lainnya, dan secara umum pendanaan masif untuk rumah-rumah sakit. Kita juga harus menuntut agar pembiayaan anggaran memerangi Covid-19 ditanggung oleh kaum kapitalis. Alih-alih keringanan pajak, terapkan pajak khusus Covid-19 terhadap perusahaan-perusahaan kapitalis dan kaum kaya.
5 orang terkaya di Indonesia – Budi & Michael Hartono dari Drajum Group, Sri Prakash Lohia dari Indorama, keluarga Tahir dari Mayapada Group, dan Prajogo Pangestu dari Barito Pacific – memiliki total kekayaan lebih dari Rp 600 triliun. Dengan kekayaan 5 orang ini saja, ini sudah jauh melebihi Rp 110 triliun yang dijanjikan pemerintah untuk perlindungan sosial selama pandemi. Ada kekayaan yang luar biasa besar yang terkumpul di tangan segelintir pemilik modal, dan ini harus dikerahkan untuk segera mencegah jatuhnya lebih banyak korban virus korona.
Walaupun pandemi virus korona ini, dari sudut pandang biologis, adalah kejadian alami layaknya bencana alam, tetapi konsekuensi buruknya pada rakyat pekerja adalah hasil dari pemangkasan anggaran kesehatan selama periode sebelumnya, sehingga sistem pelayanan kesehatan kita jauh dari memadai untuk bisa mengatasi pandemi ini. Pemangkasan ini pada gilirannya diimplementasikan untuk menutup defisit akibat stimulus dan bail-out besar yang diterima oleh kaum kapitalis. Maka dari itu, kapitalis-lah yang harus membayar, dan bukan rakyat pekerja.
Setelah pandemi ini berlalu, dengan satu cara atau cara lain, pemerintah di seluruh dunia akan berusaha membebankan biaya krisis ini pada rakyat. Kita harus menolaknya. Ajakan Jokowi agar “kita bersama-sama menangani pandemi ini, bergotong royong” tidaklah lebih dari retorika kosong.
Terapkan pajak khusus pandemi untuk korporasi besar dan kaum kaya!
Rakyat pekerja tidak akan membayar untuk krisis ini!