Revolusi bukanlah drama satu babak dengan naskah yang sudah jadi dan tinggal dibacakan dengan suara yang lantang. Mereka-mereka yang mengharapkan sebuah revolusi yang ideal dan murni pada akhirnya hanya akan menemukan kekecewaan. Revolusi Mesir adalah satu contoh dari sekian banyak yang menunjukkan sebuah proses revolusi yang dialektis, yang tidaklah bergerak dalam garis lurus dan sesuai dengan skema kaku dari pikiran seseorang. Ia adalah sebuah proses yang hidup dan penuh kontradiksi. Ia penuh kontradiksi – dan oleh karenanya hidup – karena revolusi melempar jutaan orang yang sebelumnya tersisihkan dari kehidupan politik ke dalam arena politik secara langsung. Jutaan rakyat jelata ini tidak hanya membawa insting dan tenaga revolusioner mereka, tetapi juga segudang kenaifan, kebingungan, dan prasangka mereka. Yang belakangan ini terus berbenturan dengan fakta-fakta riil revolusi, dan terus mendorong, menarik, dan menghancurkan semua paham lama. Inilah revolusi, dimana bukan hanya pot-pot bunga saja yang pecah tetapi juga semua prasangka lama.
Untuk bisa memahami apa yang terjadi di Mesir, dan, seperti yang diharapkan oleh kawan Ridha, “mengklarifikasikan apa yang sebenarnya kita maksud dengan peranan militer dalam revolusi [Mesir] kini”[1], kita harus kembali lagi ke fakta, fakta, dan fakta. Hanya dengan mendasarkan diri kita pada fakta – terlebih, fakta yang hidup dan mengalir secara historis – maka kita bisa memulai analisa politik kita di jalur yang tepat.
Kekeliruan pertama dari kawan Ridha adalah pemahamannya mengenai peran Ikhwanul Muslimin (IM) dan Morsi dalam Revolusi Mesir yang pertama, dan dari situ maka kekeliruan Ridha mengenai relasi antara Morsi dengan Militer. Morsi bukanlah “anak kandung dari revolusi 2011” seperti yang dikatakan oleh Ridha. Revolusi yang menumbangkan Mubarak ini tidak diorganisir ataupun dipimpin oleh IM. Semua yang terlibat aktif dalam Revolusi Mesir tahu kalau para pemimpin IM menyeret kaki mereka pada momen-momen penting Revolusi, dan, layaknya oportunis tulen, hanya meminta Mubarak turun setelah situasi sudah menjadi jelas kalau Mubarak sudah tidak mungkin lagi dapat mempertahankan kursinya. Bahkan IM sendiri tidak bisa – dan tidak pernah – sesumbar mengatakan bahwa merekalah yang memimpin dan mengorganisir pemberontakan 2011, apalagi mengaku sebagai “anak kandung dari revolusi 2011”. IM bisa terdorong ke depan hanya karena kelemahan pemberontakan rakyat pada 2011, yang meledak dengan spontan dan tanpa organisasi ataupun kepemimpinan revolusioner yang bisa membawanya ke tahapan yang lebih lanjut. Kita melihat hal yang sama dengan spontanitas dari gerakan Occupy, Indignados, dan Revolusi Arab secara keseluruhan.
Mendasari kekeliruan ini sesungguhnya adalah kekurangpahaman kawan Rhida dan banyak orang lainnya terhadap dialektika perkembangan revolusi, kontradiksi-kontradiksi yang ada di dalamnya yang lalu memberikan ruang untuk peran IM dalam kasus Mesir. Oleh karenanya sebelum kita bergerak lebih lanjut ke, kita harus kembali lagi ke ABC dialektika revolusi, yakni masalah spontanitas dan kepemimpinan revolusi. Di sini saya akan kembali ke Rosa Luxemburg. Saya harus meminta maaf karena harus menyeret para pembaca ke masa lalu hampir 100 tahun yang lalu, tetapi konflik antara aksi massa spontanitas dan kerja organisasi yang sadar (kepemimpinan) terus menerus memunculkan kepalanya di setiap episode dan tahapan pergerakan. Tanpa pemahaman akan hubungan dialektis antara keduanya, kita akan terlempar dari satu sisi ke sisi yang lainnya, jadi korban impresionisme dan terlumpuhkan secara politik.
Rosa Luxemburg dan Spontanitas dalam Revolusi
Pada fase awal, spontanitas adalah sebuah kekuatan yang memberikan pemberontakan sebuah keunggulan yang besar. Spontanitas membuat sebuah pemberontakan menjadi tidak terprediksi dan oleh karenanya sulit ditumpas secara langsung oleh kelas penguasa. Spontanitas juga memberikan medan dan ruang yang teramat luas untuk segala bentuk kreatifitas politik jutaan massa yang sebelumnya tak pernah terekspresikan. Spontanitas menghancurkan semua rutinitas lama yang merantai mereka dalam kehidupan sehari-hari, rutinitas dalam tindakan dan juga rutinitas dalam berpikir. Ia membuka lebar-lebar jendela pikiran massa yang sebelumnya tertutup, dan dengan demikian memberikan jalan bagi gagasan-gagasan revolusioner – yang sebelumnya mereka cibir, jauhi, dan tolak – untuk masuk dan mencengkram pikiran mereka, dan menggoncangnya keras-keras.
Spontanitas memainkan peran yang teramat positif terutama dalam periode hari ini ketika organisasi-organisasi massa rakyat pekerja telah tenggelam dalam rawa reformisme dan birokratisme, sehingga justru menjadi penghambat gerakan. Para pemimpin organisasi massa raksasa – serikat-serikat buruh dan partai-partai kelas pekerja – telah menjadi kerak dalam roda sejarah, sehingga spontanitas massa dapat menjadi sebuah senjata kuat dalam melawan aparatus reformisme yang kaku. Massa buruh bergerak dengan insting dan kekreatifan mereka tanpa menunggu komando perangkat atau tanpa menggubris larangan mereka.
Namun dalam dialektika kita pelajari bahwa apa yang menjadi terdahulu akan menjadi terakhir, dan yang terakhir menjadi terdahulu. Spontanitas, yang awalnya adalah sumber kekuatan, berubah menjadi titik terlemah dalam revolusi ketika revolusi telah melangkah ke tahapan selanjutnya, yakni ke masalah kekuasaan. Di tahapan inilah dibutuhkan sebuah organisasi dengan program yang jelas dan terdiri dari bunga-bunga terbaik kelas buruh yang telah dikumpulkan dan ditempa dengan seksama jauh sebelum revolusi meledak. Diperlukan sebuah organisasi yang bisa mengumpulkan enerji dari ledakan-ledakan spontanitas and memusatkannya.
Dalam salah satu karya maha besarnya, Pemogokan Massa, yang ditulis Rosa Luxemburg menyusul Revolusi 1905 di Rusia, Rosa mengatakan:
“Jika kemudian Revolusi Rusia mengajarkan kita sesuatu, maka ia mengajarkan bahwa pemogokan massa tidak “dibuat” secara artifisial, tidak “diputuskan” secara serampangan, dan tidak “disebar-sebarkan”, tetapi ia adalah fenomena historis yang, pada momen-momen tertentu, dihasilkan dari kondisi-kondisi sosial dengan keniscayaan historis. … Bila seseorang ingin secara umum mengobarkan pemogokan massa, sebagai sebuah bentuk dari aksi proletarian, dengan cara agitasi yang metodikal, dan berkampanye dari rumah-ke-rumah dengan “gagasan” ini untuk secara perlahan-lahan meyakinkan kelas buruh akan gagasan ini, ini akan menjadi sebuah pekerjaan yang sia-sia dan tidak-berbuah dan konyol, seperti halnya mencoba membuat gagasan revolusi atau perjuangan di barikade sebagai hasil dari sebuah agitasi khusus.”[2]
Revolusi tidaklah diciptakan oleh sekelompok kaum revolusioner. Ia tidak dapat direncanakan seperti sebuah pesta makan malam. Usaha untuk mempercepat datangnya revolusi, untuk mengobarkan revolusi, adalah “sebuah pekerjaan yang sia-sia dan tidak-berbuah dan konyol”. Kapitalisme-lah yang akan menciptakan revolusi, seperti halnya ia menciptakan penggali kuburnya sendiri. Akan tetapi, ini barulah paruh pertama dari persamaan revolusioner. Paruh keduanya adalah bahwa tugas kaum revolusioner adalah untuk memenangkan revolusi yang telah hadir di hadapannya. Disinilah peran organisasi dan kepemimpinan menjadi krusial.
Akan tetapi, setelah kematiannya, banyak sekali karya Rosa Luxemburg yang dicolek seenaknya oleh para musuh Lenin dan Bolshevisme. Dosa terbesar Lenin dan kaum Bolshevik Rusia, bagi para musuhnya, adalah bahwa Lenin dan kawan-kawannya dengan giat telah mempersiapkan sebuah organisasi Marxis yang rapat, disiplin, dan tertempa secara ideologi jauh sebelum revolusi meledak, dan oleh karenanya dapat merebut kekuasaan ketika masalah kekuasaan terkedepankan di dalam revolusi. Dosa “peloporisme” ini harus dibersihkan dari Marxisme. Oleh karenanya, Rosa Luxemburg, setelah dia meninggal, dijadikan nabi “spontanitas revolusioner” yang dipertentangkan dengan “peloporisme” (vanguardism) Lenin. Ini dilakukan oleh para kritikus Bolshevisme karena orang yang sudah mati tidak dapat lagi membela dirinya sendiri. Selain itu, dari Marxisme Jerman, hanya Rosa tokoh yang masih memiliki kredensial revolusioner yang tidak ternodai sama sekali.
Kaum muda hari ini yang mencari-cari gagasan Marxisme lalu disuguhkan kutipan-kutipan dari Rosa yang sudah dikoyak dari maksud dan konteks yang sesungguhnya – sebuah tindakan yang tidak ada bedanya dengan yang dilakukan oleh kaum Stalinis terhadap karya-karya Lenin – untuk mempertentangkan Marxismenya Rosa dengan Lenin. Satu karya yang sering digunakan oleh para pencolek vulgar ini adalah karya Rosa yang aslinya berjudul “Masalah-masalah Organisasional Sosial Demokrasi Rusia” dan lalu diganti – tentunya setelah yang menulis sudah tidak ada lagi – menjadi “Leninisme atau Marxisme”. Padahal polemik yang ditulis Rosa pada 1904 ini sudah tidak pernah lagi diungkit olehnya. Karya-karya Rosa dilihat sebagai sebuah monumen abadi, yang dipisahkan dari perkembangan intelektual dan politik sang penulis itu sendiri. Pada kenyataannya Rosa sendiri dalam berbagai langkahnya melakukan kerja yang disiplin dalam menempa sayap revolusioner di dalam Sosial Demokrasi Jerman dan Polandia. Dia tidak serta merta menunggu mukjizat spontanitas massa untuk mencapai sosialisme. Terutama setelah Revolusi Jerman pada November 1918, dia dengan gigih mengumpulkan kader-kader komunis yang telah pecah dari pengkhianatan Sosial Demokrasi Jerman untuk membentuk Partai Komunis Jerman yang diharapkannya dapat memimpin proletar Jerman ke kemenangan sosialisme.
Setelah dibebaskan dari penjara, Rosa dan kamerad-kameradnya segera menyelenggarakan Kongres pendirian Partai Komunis Jerman. Dalam sesi diskusi Program dan Situasi Politik yang dipimpin oleh Rosa, dia jabarkan dengan jelas karakter spontanitas dari Revolusi Jerman 1918:
“Adalah karakteristik dari kontradiksi-kontradiksi dialektis darimana revolusi [Jerman 1918], seperti revolusi-revolusi lainnya, bergerak, dimana pada 9 November teriakan pertama dari revolusi ini, seperti insting teriakan seorang bayi yang baru lahir, adalah slogan yang akan membawa kita ke sosialisme: dewan buruh dan tentara. Ini adalah seruan yang menyatukan semua orang – dan bahwa revolusi ini secara instruktif menemukan slogan ini, walaupun pada 9 November slogan ini begitu tidak-memadai, begitu lemah, begitu kekurangan inisiatif, begitu kurang-jelas akan tujuannya, sehingga pada hari kedua revolusi hampir setengah instrumen-instrumen kekuasaan yang telah direbut pada 9 November telah hilang dari cengkraman revolusi …
“Aksi pertama ini, antara 9 November dan hari ini, telah dipenuhi dengan ilusi-ilusi dari berbagai sisi … Apa lagi yang lebih karakteristik dari kelemahan internal Revolusi 9 November daripada kenyataan bahwa di kepala gerakan tampak orang-orang yang beberapa jam sebelum revolusi meledak telah mengganggap bahwa tugas utama mereka adalah beragitasi melawannya – untuk membuat revolusi ini mustahil: yakni orang-orang seperti Ebert, Scheidemann, dan Haase. …
Ada metode revolusioner tertentu dimana rakyat bisa terobati dari ilusi, tetapi sayangnya, obat ini harus dibayar dengan darah rakyat.”[3]
Revolusi Jerman November 1918 meledak dengan spontan, tanpa diorganisir terlebih dahulu oleh Rosa dan kolega-koleganya, apalagi oleh para sosial demokrat yang “menganggap bawah tugas utama mereka adalah beragitasi melawannya – untuk membuat revolusi ini mustahil.” Ia meledak dengan “insting teriakan seorang bayi yang baru lahir”, dan dengan spontan meneriakkan slogan “dewan buruh dan tentara”. Namun bahkan slogan spontan yang sudah maju ini – bila dibandingkan dengan slogan-slogan dari gerakan Occupy, Indignados, dan gerakan-gerakan spontan lainnya – masihlah “begitu tidak-memadai, begitu lemah, begitu kekurangan inisiatif, begitu kurang-jelas akan tujuannya” sehingga dalam waktu singkat hampir setengah dari pencapaian revolusi telah direbut kembali.
Ilusi juga kental di dalam tahapan awal Revolusi ini, sampai-sampai orang-orang yang beberapa jam sebelumnya menentang revolusi ini dan berusaha keras membatalkannya terdorong ke depan menjadi pemimpin revolusi ini. Para reformis dan sosial demokrat menjadi pemimpin revolusi yang tidak mereka inginkan, dan kelas penguasa Jerman juga bermanuver mendorong mereka ke pucuk kepemimpinan revolusi agar dapat meredamnya. Di karya yang sama Rosa mengatakan bahwa kaum borjuasi “percaya bahwa dengan kombinasi Ebert-Haase, dengan melalui apa-yang-disebut pemerintahan sosialis, mereka sungguh-sungguh dapat mengekang massa proletariat dan mencekik revolusi sosialis.”
Dalam situasi seperti inilah Partai Komunis Jerman dibentuk dengan tujuan memimpin Revolusi yang sudah bergulir ini ke kemenangan. “Liga Spartakus [Partai Komunis Jerman] adalah bagian proletariat yang paling sadar dan punya tujuan, yang mengarahkan seluruh massa luas kelas buruh menuju tugas-tugas historisnya di setiap langkah,” tulis Rosa[4]. Lalu pada 11 Januari 1919, pada momen-momen genting Revolusi Jerman, 4 hari sebelum dia ditangkap dan dibunuh, dia kembali menekankan pentingnya partai: “Tidak adanya kepemimpinan, tidak adanya sebuah pusat untuk mengorganisir kelas buruh Berlin, ini tidak dapat berlanjut. Bila revolusi ini ingin maju, bila kemenangan proletariat, kemenangan sosialisme, tidak hanya menjadi mimpi, para buruh revolusioner harus membentuk sebuah organisasi kepemimpinan yang mampu memandu dan menggunakan enerji perjuangan massa.”[5] “Peloporisme”nya Rosa menjadi begitu nyata dalam praktek karena dia tidak mengurung dirinya dalam teori “spontanitas revolusioner” yang kaku dan tidak dialektis. Leon Trotsky menilai Rosa seperti berikut ini:
“Teori spontanitas-nya Rosa adalah sebuah senjata dalam melawan aparatus reformisme yang kaku. … Dia terlalu realistis, dalam pemahaman revolusioner, untuk mengembangkan elemen-elemen dari teori spontanitas menjadi sebuah metafisika sepenuhnya. Dalam praktek, dia sendiri, seperti yang telah dikatakan, menyangkal teori ini di setiap langkah.”[6]
Namun usaha Rosa untuk mengorganisir partai komunis ini agak terlambat. Sementara Lenin telah mengumpulkan kader-kader Marxis revolusioner sejak awal, sebagai faksi Bolshevik di dalam Sosial Demokrasi Rusia yang dengan gigih melawan reformisme (Menshevik), Rosa hanya melakukan ini setelah revolusi telah bergulir. Walaupun Rosa sudah lama memimpin polemik tajam melawan tendensi-tendensi reformisme di dalam Sosial Demokrasi Jerman, dia tidak pernah mengambil langkah selanjutnya untuk membentuk sebuah faksi seperti Bolshevik, yang rapat, disiplin, tertempa, dan profesional. Ke-amatiran-an Partai Komunis Jerman juga terpampang begitu jelas oleh ketidakmampuannya untuk melindungi para pemimpinnya. Mereka tidak mampu menyembunyikan Rosa Luxemburg dan Karl Liebknecht dari kejaran Freikorps (milisi anti-komunis). Revolusi Jerman akhirnya kalah dan tenggelam dalam lautan darah.
Kasus Mesir
Tanpa memahami dialektika perkembangan revolusi, yang digerakkan oleh kontradiksi-kontradiksi di dalamnya, maka banyak orang yang mengambil kesimpulan keliru mengenai peran Morsi (IM) dalam Revolusi 2011 dan lalu peran militer dalam Revolusi Mesir babak kedua baru-baru ini. Lantas Morsi menjadi “anak kandung dari revolusi 2011”, yang sama konyolnya dengan mengatakan bahwa pemerintahan Ebert-Scheidemann – yakni para sosial demokrat yang beberapa jam sebelum revolusi masih beragitasi menentang revolusi ini – adalah anak kandung dari Revolusi Jerman 1918.
Spontanitas, dan oleh karenanya ketidaksiapan organisasi dan kepemimpinan, adalah alasan mengapa kekuasaan yang sudah ada di jalanan akhirnya dipungut oleh IM, seperti halnya rakyat pekerja Jerman pada November 1918 terjebak dalam ilusi demokratis pada para pemimpin sosial demokrat. Setelah berhasil menumbangkan Mubarak dengan enerji yang meluap-luap, yang meledak spontan tanpa terikat oleh satu partai atau organisasi manapun, spontanitas akhirnya kehilangan daya enerjinya untuk tugas selanjutnya: perebutan kekuasaan ekonomi dan politik. Seperti halnya kelas penguasa Jerman bermanuver – dan bukannya tanpa kontradiksi-kontradiksinya sendiri – untuk menyerahkan kekuasaan kepada para pemimpin reformis yang dapat dipercaya, begitu juga di Mesir kelas penguasa dan Militer melakukan berbagai manuver dengan elemen-elemen oposisi borjuasi liberal dan IM, tetapi terutama dengan yang belakangan ini karena mereka adalah kekuatan terorganisir yang dapat diandalkan untuk “mengekang massa proletariat dan mencekik revolusi sosialis.”
Militer, dengan cara Bonapartis dan dengan restu – yang tidak harus dengan sukarela diberikan – dari kelas borjuasi Mesir secara keseluruhan dan imperialisme AS, mengintervensi untuk menyelamatkan situasi yang sudah tidak terkendalikan ini. Semakin lama Mubarak bercokol, akan menjadi semakin radikal massa rakyat di jalanan dan bisa-bisa semua lapisan kelas penguasa akan tersapu. Ini juga dipahami oleh imperialisme AS, dimana duta besar AS di Mesir saat itu, Frank Wisner, menyampaikan pesan dari Obama kepada Mubarak bahwa sekarang adalah saatnya bagi dia untuk turun dari singgasana. SCAF (Dewan Agung Militer) lalu mengambil alih pemerintahan provisional.
Dalam proses selanjutnya rakyat Mesir dipenuhi dengan ilusi-ilusi dari berbagai sisi yang saling bertabrakan. Sebagian berilusi bahwa SCAF akan dapat memberikan mereka periode transisi ke demokrasi; sebagian berilusi pada kubu liberal, sebagian lagi pada kubu Islamis; sebagian rakyat merindukan Nasser dan Sadat, dan memimpikan kembalinya sosok perwira progresif seperti mereka yang dapat menyelamatkan Mesir; sebagian, yang sangat kecil, terus hanya mempercayai kekuatan mereka sendiri. Inilah proses yang terjadi dalam Revolusi Mesir 2011.
IM sejak awal lebih memilih melakukan negosiasi di atas meja (dan di belakang pintu) ketimbang aksi massa. Dan segera setelah SCAF mengambil alih kekuasaan paska jatuhnya Mubarak, IM terlibat dalam negosiasi di belakang layar dengan militer, sementara rakyat pekerja yang maju, terutama kaum muda, terus melawan SCAF dengan demo-demo yang menelan puluhan korban jiwa. SCAF paham bahwa mereka lebih bisa mempercayai IM daripada kaum muda revolusioner yang berperan aktif dan sentral dalam Revolusi 2011, dan sebaliknya IM juga lebih mempercayai SCAF daripada massa luas yang ada di jalanan. IM adalah oposisi yang loyal dan terhormat, yang pada analisa terakhir punya kepentingan yang sama dengan Mubarak dan SCAF, yakni mempertahankan kestabilan kapitalisme untuk lancarnya laba dan profit mereka. Revolusi yang datang dari massa rakyat pekerja tidak ada di agenda mereka.
Sameh Elbarqy, seorang mantan anggota IM, mengatakan dengan cukup jelas: “Visi ekonomi Ikhwanul Muslimum yang utama, bila kita ingin mengklasifikasinya secara klasik, adalah kapitalis ekstrim.”[7] Basis kelas IM adalah borjuasi. Inilah juga yang luput dari perhatian dan analisa kawan Ridha, yakni basis kelas dari IM. Inilah mengapa Amerika tidak terlalu khawatir dengan terpilihnya Morsi, karena ia dan partainya akan terus menjaga keberlangsungan kapitalisme di Mesir. IM dipercaya dapat menjaga kestabilan Mesir dan meredam gejolak revolusi di Mesir. Pada saat berada di bawah rejim Mubarak, para kapitalis IM memang mengalami diskriminasi politik, dan bahkan kadang-kadang diskriminasi ekonomi. Kelas kapitalis bukanlah satu blok yang homogen. Bisa ada perpecahan dan persaingan di antara mereka. Mereka tersatukan hanya oleh posisi mereka dalam relasi produksi, yakni sebagai pemilik modal, dan oleh karenanya tersatukan dalam perlawanan mereka terhadap kelas buruh.
Rapuhnya dukungan rakyat pada IM, ataupun pada seluruh proses pemilu dan kandidat-kandidat yang ada, dapat dilihat dari potret pemilu presiden pada Mei 2012. Pertama, ada 54% rakyat yang golput. Insting mereka memberitahu mereka bahwa pemilu ini adalah sebuah penipuan dan akal-akalan, bahwa tidak ada satupun kandidat yang benar-benar mewakili revolusi ini. Sungguh tidak dapat dibandingkan dengan pemilu 1999 di Indonesia paska Reformasi 1998, dimana 90% rakyat berbondong-bondong ke TPS. Kedua, dari 46% yang memilih, Morsi hanya meraih 25%, berarti hanya 11,5% dari seluruh populasi pemilih Mesir. Padahal pada pemilu legislatif Nov 2011-Jan 2012 IM dapat meraih 37,5% dari 54% populasi yang memilih, berarti total 20% dari seluruh populasi. Dalam waktu beberapa bulan saja, dari Januari 2012 hingga Mei 2012, mereka telah kehilangan hampir separuh dukungan mereka. Semakin dekat IM ke kekuasaan, semakin terekspos mereka di mata rakyat. Ini tidak berbeda dengan PKS di tanah air – tetapi dengan tempo yang lebih lambat, karena tidak ada proses revolusi di Indonesia – dimana setelah meraih posisi-posisi di dalam pemerintah mereka terekspos sebagai sekelompok pencoleng dan jongos kaum borjuasi.
Pada putaran kedua pemilu Presiden, ketika pilihannya jatuh antara Morsi, kandidat Islamis, dan Shafik, kandidat militer, rakyat melemparkan dukungan mereka ke kedua kandidat ini hampir sama rata; sebagian (51,7%) memilih Morsi karena takut akan kembalinya kubu Mubarak dan militer, sebagian (48,3%) memilih Shafik karena takut akan masuknya sharia Islam ke dalam masyarakat Mesir. Yang ada di pikiran hampir semua rakyat adalah mana yang “terbaik dari yang terburuk” (lesser evil). Bahkan sejumlah Kiri revolusioner pun terjebak dalam logika lesser evil.
IM naik ke tampuk kekuasaan, tetapi dengan kesepakatan dengan SCAF bahwa pemerintahan Morsi tidak akan menyentuh bisnis yang dikontrol militer dan melindungi mereka dari pengadilan sipil atas kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan terhadap rakyat. Sampai sekarang, tidak ada satupun petinggi militer yang dibawa ke pengadilan untuk bertanggung jawab atas pembantaian terhadap rakyat demonstran. Sementara Washington paham bahwa IM adalah rekan yang bisa diandalkan untuk menjaga kestabilan iklim investasi dan juga kestabilan politik. Mesir adalah negeri Arab yang sangat penting. Revolusi di sana dapat mengganggu kestabilan seluruh Timur Tengah. Pada kunjungan John Kerry ke Mesir pada Maret lalu, $250 juta dolar dikucurkan untuk Mesir, yang merupakan tanda kepercayaan Washington pada IM yang dulu dianggap sebagai “organisasi teroris”.
Militer, Negara, dan Bonapartisme
Akan keliru kalau kita berpikir bahwa hubungan IM dengan militer adalah sebuah hubungan yang mesra. Tetapi akan lebih keliru lagi kalau kita lantas berpikir bahwa IM dan militer adalah musuh secara prinsipil. IM dan militer tersatukan oleh ketakutan mereka terhadap rakyat pekerja dan revolusi, dan bersama-sama mereka bermanuver – sambil menjaga sebanyak mungkin kepentingan mereka masing-masing – agar kestabilan dapat tercapai di Mesir.
Rhida, oleh karenanya, sangatlah keliru mengenai relasi Morsi dan militer, yang digambarkannya dengan apa-yang-disebut “logika persamaan”:
“Keterlibatan Militer terhadap kejatuhan Morsi … lebih banyak disebabkan oleh relasi yang tercipta antara Militer dengan Morsi pasca pemilu … Sejak berkuasa, Morsi memang telah melakukan penyingkiran sistematis terhadap Militer. … Situasi ini kemudian menempatkan militer pada posisinya yang marjinal, seperti posisi kekuatan politik lainnya yang sudah terlebih dahulu dimarjinalisasi oleh kepresidenan Mursi dengan Ikhwanul Muslimin-nya, yakni kalangan liberal, sekuler, dan juga kalangan kiri revolusioner. Konjungtur serta konstelasi politik ini kemudian membuat apa yang saya sebut sebagai satu bentuk, mengutip Laclau-Mouffe, logika persamaan (logic of equivalence) di antara mereka yang telah termarjinalisasi oleh Morsi.”
Pertama, militer tidak bisa disamakan begitu saja dengan kekuatan politik lainnya, “yakni kalangan liberal, sekuler, dan juga kalangan kiri revolusioner.” Militer adalah bagian esensial dari Negara, sebagaimana yang dikatakan Marx dan Engels bahwa Negara, pada analisa terakhir setelah dilucuti dari semua pernak-perniknya, terdiri dari badan khusus orang-orang bersenjata yang melayani kepentingan kelas yang berkuasa. Mereka-lah yang mengijinkan IM untuk bisa berkuasa, dan oleh karenanya dapat juga menendang mereka keluar, seperti yang terjadi juga pada Mubarak. Elit-elit militer tidaklah menyukai Ikhwanul Muslimin, dan bahkan tidak terlalu mempercayainya. Tetapi IM adalah terbaik dari yang terburuk di mata mereka, begitu juga di mata imperialisme AS, dimana yang terburuk adalah rakyat pekerja merebut kekuasaan dengan tangan mereka sendiri.
Namun IM juga bukanlah organisasi yang dipenuhi orang-orang bodoh. Menunggangi gelombang revolusi dengan massa yang membenci kesewenang-wenangan militer, IM menghantarkan beberapa pukulan jab pada militer, dengan beberapa usaha retooling, guna memperkuat posisi mereka. Tetapi beberapa pukulan jab yang saling ditukarkan antara Morsi dan militer tidak mengubah hal-hal fundamental bahwa keduanya berdiri di atas basis kelas borjuasi dan militer adalah badan khusus orang-orang bersenjata dari Negara.
Pada situasi krisis di dalam masyarakat, ketika perjuangan kelas menajam, dimana kelas borjuasi tidak mampu lagi mengembalikan kestabilan sementara kelas pekerja walaupun bergejolak tetapi tidak mampu merebut kekuasaan, maka Negara dapat meraih kemandirian tertentu untuk bertindak guna menyelamatkan situasi. Sebuah masyarakat tidak bisa terus menerus ada di dalam tungku panas perjuangan kelas. Negara, dalam hal ini militer, mengintervensi. Di babak pertama revolusi Mesir, dengan menendang keluar Mubarak ketika ia dan partainya NDP tidak dapat lagi mengendalikan situasi dan menjadi liability; di babak kedua, dengan menendang keluar Morsi dan IM, juga untuk alasan yang sama. Inilah fenomena yang disebut Bonapartisme, yakni dimana, seperti yang dipaparkan oleh Ted Grant, “antagonisme di dalam masyarakat sudah menjadi begitu luar biasa sehingga mesin Negara, yang ‘meregulasi’ dan ‘menertibkan’ antagonisme ini, sementara masih tetap merupakan instrumen dari kelas yang berpunya, meraih kemandirian tertentu dari semua kelas. Seorang ‘hakim nasional’, yang mengkonsentrasikan kekuatan di tangannya, secara pribadi ‘mengatur’ konflik-konflik di dalam bangsa, memainkan satu kelas melawan kelas yang lain, meskipun demikian tetap merupakan alat dari kelas berpunya.”[8] Bonapartisme adalah fenomena yang sering kita lihat di negeri-negeri Dunia Ketiga, karena, di satu pihak, borjuasi yang relatif lemah dan, di lain pihak, karena situasi krisis akut yang terus-menerus melanda negeri-negeri ini akibat kemiskinan dan penindasan yang tidak tertanggungkan.
Bagi kawan Ridha, militer terlibat dalam penumbangan Morsi karena “logika persamaan”, yakni karena mereka juga termarjinalisasi oleh Morsi, sehingga bersama-sama dengan kaum liberal, sekuler, dan Kiri revolusioner mereka bahu-membahu mengeluarkan Morsi. Ini adalah kekeliruan yang fatal. Militer Mesir mengintervensi bukan dalam kapasitas “sekutu” atau “rekan” dengan rakyat yang sama-sama termarjinalisasi, tetapi sebagai Negara dalam kapasitas Bonapartis seperti yang saya jelaskan di atas.
Dalam artikel saya yang sebelumnya, telah saya jelaskan bahwa:
“Hari ini rakyat Mesir telah meraih satu kemenangan, tetapi perjuangan belumlah selesai. Tidak adanya sebuah partai revolusioner memungkinkan militer untuk melakukan manuver dan menyelamatkan situasi dengan menaruh Tuan Mansour sebagai kepala negara sementara. Inilah kelemahan dari gerakan Mesir hari ini, dan tidak ada jalan pintas selain terus membangun kekuatan sosialis revolusioner di dalam gerakan ini.”[9]
Tidak ada kesimpulan atau kecenderungan ke kesimpulan, seperti yang dituduhkan oleh Ridha kepada saya, bahwa “militer Mesir kini sudah tersubordinasi dibawah kepemipinan politik yang revolusioner”. Bahkan tidak ada “kepemimpinan politik yang revolusioner” yang dapat kita bicarakan sama sekali! Hanya kelemahan dalam gerakan, yakni ketidaksiapan organisasi dan kepemimpinan, yang memungkinkan manuver dari militer ini. Perlu ditekankan sekali lagi kalau intervensi militer ini datang bukan dari posisi yang kuat tetapi dari posisi yang lemah. Ini terbukti dengan kenyataan bahwa Jendral Sisi setelah menyingkirkan Morsi tidak bisa menaruh SCAF sebagai pemerintahan provisional, seperti yang dilakukan oleh militer ketika Mubarak jatuh. Mereka sekarang bersandar pada elemen-elemen borjuasi liberal di sekitar El Baradei untuk mengarahkan revolusi ini kembali ke jalur-jalur demokrasi yang aman.
Penutup
Majalah The Economist, yang merupakan majalah kelas penguasa yang sangat jujur, karena ia adalah majalah perspektif untuk pemimpin-pemimpin kapitalis, mengatakan dengan jelas apa bahaya dari jatuhnya Morsi:
“Preseden dari ditumbangkannya Morsi adalah sangat buruk bagi negara-negara demokrasi lainnya yang goyah. Ini akan mendorong orang-orang yang tidak puas untuk mencoba menumbangkan pemerintahan bukan dengan pemilu tetapi dengan mengganggu kekuasaan mereka. Ini akan menciptakan insentif kepada kaum oposisi [baca rakyat] di seluruh dunia Arab untuk mengejar agenda mereka lewat jalanan, dan bukan lewat parlemen. Oleh karenanya ini akan mengurangi peluang perdamaian dan kemakmuran di seluruh daerah ini.”[10]
Ilusi demokrasi borjuasi harus kembali ditegakkan di Mesir.
Yang ada di tangan militer dan El Baradei saat ini hanyalah bayang-bayang kekuasaan. Perimbangan kekuatan hari ini ada di pihak rakyat pekerja Tetapi selama massa rakyat tidak punya partai dan kepemimpinan yang dapat menyelesaikan masalah perebutan kekuasaan, maka bayang-bayang ini akan mulai meraih substansi. Massa luas tidak bisa terus-menerus dalam keadaan bergejolak. Mereka tidak bisa terus-menerus turun ke jalan selama berminggu-minggu tanpa adanya kemenangan konkrit di akhir perjalanannya. Kelelahan akan memanifestasikan dirinya, dan kekuatan konter-revolusi akan mengambil keuntungan dari kelelahan ini
Tetapi pertanyaannya: apakah pemerintahan selanjutnya di Mesir dapat menyelesaikan masalah-masalah fundamental di Mesir, yakni masalah roti? Ini bukan hanya masalah demokrasi belaka. Seperti kata Alan Woods: “Bagi massa, demokrasi bukanlah kata kosong belaka. Ujian utama demokrasi adalah bisakah demokrasi mengisi perut-perut yang kosong.”[11] Pada periode krisis dunia yang sedang kita masuki ini, demokrasi borjuasi tidak akan bisa mengisi perut-perut yang kosong. Pemerintahan yang selanjutnya di Mesir hanyalah akan menjadi pemerintahan krisis. Tidak adanya kepemimpinan revolusioner akan memberikan perjuangan rakyat Mesir sebuah karakter yang berkepanjangan (protracted), dengan revolusi dan konter-revolusi yang saling susul menyusul, dengan pasang naik dan pasang surut yang terus menggoncang dan menggerakan kesadaran mereka. Ini adalah sebuah proses pembelajaran bagi massa luas, sebuah proses yang sedihnya harus dibayar dengan darah rakyat. Tetapi tidak ada jalan lain.
Sebuah partai, sebuah kepemimpinan revolusioner, yang dapat memahami perimbangan kekuatan kelas dan mengedepankan slogan dan program yang tepat, dan yang, seperti yang dikatakan Rosa, “adalah bagian proletariat yang paling sadar dan punya tujuan, yang mengarahkan seluruh massa luas kelas buruh menuju tugas-tugas historisnya di setiap langkah”; inilah yang perlu dibangun. Kita tertarik pada masalah revolusi Mesir bukan hanya karena sentimentalitas solidaritas belaka, tetapi karena masalah yang serupa juga akan kita hadapi dalam revolusi Indonesia mendatang. Maka dari itu, partai demikian harus dipersiapkan sedini mungkin sebelum revolusi menggedor pintu kita. Massa proletar Indonesia – dan seluruh negeri – tidak bisa hanya mengandalkan spontanitas revolusioner, mereka juga harus punya partai yang sudah siap merebut kekuasaan. Pada akhirnya, seperti yang Leon Trotsky katakan, “Situasi politik dunia dalam keseluruhannya digambarkan oleh sebuah krisis historis kepemimpinan proletariat.”[12]
Catatan Kaki:
[1] Muhammad Ridha, Revolusi Mesir Sekarang dan Pertanyaan Rumitnya, 8 Juli 2013.
[2] Rosa Luxemburg, “Pemogokan Massa,” 1906
[3] Rosa Luxemburg, “Our Program and the Political Situation”, 31 Desember 1918.
[4] Rosa Luxemburg, “What Does the Spartacus League Want?” 14 Desember 1918.
[5] Dikutip dari Pierre Broue, “The German Revolution 1917-1923”. Rosa Luxemburg, Die Rote Fahne, 11 Januari, 1919.
[6] Leon Trotsky, “Luxemburg and the Fourth International,” 1935.
[7] Suzy Hansen, “The Economic Vision of Egypt’s Muslim Brotherhood Millionaires”, Bloomberg Businessweek, 19 April 2012.
[8] Ted Grant, “Democracy of Bonapartism in Europe – A Reply to Pierre Frank,” August 1946.
[9] Apakah ada Kudeta Militer di Mesir?, 4 Juli 2013.
[10] The Economist, “Egypt’s tragedy”, 6 Juli 2013
[11] Alan Woods, Revolusi Mesir Kedua, 5 Juli 2013.
[12] Leon Trotsky, Program Transisional, 1938