“Marxis-Leninis memenangkan pemilu”. Beginilah tajuk utama media-media internasional akhir-akhir ini dalam menanggapi hasil pemilu presiden Sri Lanka. Ini bukan sepenuhnya berita buruk bagi penguasa, karena “Marxist-Leninis” kali ini cukup jinak di depan kapitalisme. Berita ini dikemas dengan cukup sensasional, meskipun “Marxist-Leninis” yang mereka maksud sangat pro IMF dan tidak ingin menggulingkan kapitalisme di Sri Lanka.
Komisi Pemilihan Umum Sri Lanka baru saja mengumumkan kandidat berhaluan Marxis, Anura Kumara Dissanayake (AKD), dan partainya memenangkan pemilihan umum dengan perolehan suara 42,31 persen. Untuk pertama kalinya semenjak kemerdekaan 1948, sebuah partai di luar arus utama memimpin perolehan suara. Semua partai-partai status quo dipermalukan dalam pemilu kali ini karena rakyat secara mentah-mentah menolak mereka.
Dinasti kelas penguasa sebelumnya yang telah menjarah habis-habisan kekayaan negara benar-benar dipermalukan dalam pemilu kali ini. Sebelum digulingkan oleh revolusi Sri Lanka 2022, terutama pada pemilu 2019, Gotabaya Rajapaksa memperoleh 51 persen suara. Tapi kali ini keponakannya Namal Rajapaksa hanya memperoleh 2,5 persen.
Presiden Ranil Wickremesinghe sebagai pentahana, yang adalah sosok kesayangan kelas penguasa liberal, meskipun dia mampu menjual ‘keberhasilannya’ dalam menegosiasikan dana talangan IMF, tidak lebih baik. Ia hanya memperoleh 17 persen suara. Segala hal yang terkait dengan dinasti keluarga Rajapaksa, lembaga, dan elit lama yang berkuasa di negara tersebut telah ditolak. Inilah kontras gambaran pemilu kali ini.
Sebagai gantinya, kita telah melihat transformasi politik yang paling luar biasa. Partainya AKD Janatha Vimukthi Peramuna (JVP, ‘Front Pembebasan Rakyat’), yang menyebut dirinya sebagai partai ‘Marxis-Leninis’, memimpin dalam perolehan suara kali ini. Perolehan suaranya meningkat dari 3,6 persen menjadi 42 persen, dan AKD memenangkan kursi kepresidenan. Satu generasi sebelumnya, para anggota JVP dibunuh, dipenjara, dan diasingkan setelah memimpin dua ‘pemberontakan pemuda’ yang gagal.
Tetapi kita harus mengatakan bahwa JVP hari ini sudah tidak lagi sama seperti JVP yang dulu. Meskipun masih menggunakan palu dan arit sebagai logo partai, itu tidak lebih bayang-bayang dari masa lalunya yang ‘revolusioner’. AKD telah menjauhkan diri dari masa lalu ini dan mengatakan bahwa partainya tidak akan lagi mengangkat senjata.
Lebih jauh dari itu, dia juga telah melunakkan ideologi JVP. Selama bertahun-tahun partai tersebut telah mengerdilkan asal-usul Marxis-nya, mengingkari perjuangan kelas dan mencampakkan tujuan menggulingkan kapitalisme. Pada 2001, partai ini beraliansi dengan partai-partai kapitalis, termasuk dengan rezim pro-kapitalis Presiden Chandrika Kumaratunga dari tahun 2001 hingga 2003. JVP ikut dalam pencalonan tokoh nasionalis Sinhala Mahinda Rajapaksa untuk kursi kepresidenan pada tahun 2005, dan kampanye presiden mantan Panglima Angkatan Darat Sarath Fonseka pada tahun 2010. Dalam kampanyenya tahun ini, AKD menggunakan nada yang mendamaikan, menekankan persatuan nasional dan menyuarakan dukungan untuk ekonomi pasar.
Kelas penguasa sama sekali tidak mengkhawatirkan AKD sebagai seorang komunis yang akan menggulingkan kekuasaan mereka dan mengeksproriasi kapitalis, karena memang AKD bukanlah Marxis-Leninis sejati. Kekhawatiran kelas penguasa lebih dikarenakan dia belum berpengalaman mengelola kapitalisme yang krisis.
Kendati demikian, pemilu kali ini sungguh menggambarkan pergeseran cepat dalam kesadaran massa. Bayangkan saja, pada 2019 rakyat Sri Lanka memberikan suara pada dinasti Gotabaya Rajapaksa dengan kampanye sauvinisme Sinhala-Buddha-nya. Beberapa tahun kemudian rakyat yang sama memilih figur “Marxis-Leninis”.
Pemilu yang ada juga mengungkapkan keterbatasan ‘demokrasi’ di bawah kapitalisme. Setiap 5 tahun sekali rakyat dipaksa memilih daftar nama yang akan menindas mereka. Orang-orang yang berpandangan sempit akan menganggap rakyat Sri Lanka reaksioner karena memilih Gotabaya Rajapaksa yang sauvinis. Seperti halnya mereka men-cap rakyat AS reaksioner dan ‘fasis’ karena memilih Donald Trump.
Tetapi pemilu Sri Lanka 2019 hanyalah gambaran sementara dari kesadaran massa yang terdistorsi melalui sistem partai politik dinasti. Melalui peristiwa-peristiwa besar, dari pandemi Covid 19 sampai revolusi 2022, kesadaran massa diguncang.
Peta elektoral memperlihatkan bagaimana daerah-daerah yang paling banyak memberikan suara untuk dinasti Rajapaksa pada pemilu 2019 kini memberikan suara mayoritas untuk kandidat “kiri mantan Marxis-Leninis!” Demikianlah proses perubahan kesadaran, di mana peristiwa-peristiwa besar, pada tahap tertentu, dapat mengubah kesadaran massa sepenuhnya.
Setelah kemenangan ini JVP (dan aliansi elektoralnya New People’s Power atau NPP) akan menghadapi tantangan besar untuk mengonsolidasikan kekuasaannya. AKD telah membubarkan parlemen yang lama dan akan menggelar pemilu baru. Ini adalah langkah yang didukung massa luas karena parlemen yang lama didominasi oleh dinasti Rajapaksa, yang sama sekali tidak sesuai dengan aspirasi massa hari ini. Namun, JVP akan menghadapi banyak rintangan untuk memenangkan mayoritas dalam pemilu legislatif yang dijadwalkan pada bulan November mendatang. Ada kemungkinan AKD akan memerintah dengan koalisi politik yang rapuh dan kemungkinan besar harus membangun koalisi dengan partai-partai status quo.
Namun, masalah sebenarnya bagi JVP/NPP akan dimulai ketika mereka benar-benar memenangkan pemilihan umum ini dan memperoleh mayoritas. Setelah dua tahun yang sulit, kemenangan JVP telah membangkitkan semangat massa. Massa ingin keluar dari kesulitan ekonomi yang selama ini menjerat leher mereka. Tetapi untuk menyelesaikan penderitaan rakyat tidak cukup hanya dengan program anti-korupsi, yang merupakan salah satu program utama JVP.
Tugas yang dihadapi AKD akan sangat sulit bila ia tetap bertahan pada batas-batas kapitalisme. Dia akan sulit keluar dari dikte IMF. Menerima program restrukturisasi ekonomi dari IMF sama saja menyetujui penghematan lebih lanjut. Mustahil melanjutkan reformasi yang menyakitkan ini tanpa mengasingkan dukungan yang dia dapatkan dari rakyat. Ini jelas bukan tindakan yang populer.
Sekarang AKD mewarisi semua keburukan dari rezim sebelumnya. Di bawah rezim dinasti Rajapaksa ekonomi telah runtuh. Serangkaian kebijakan demi kebijakannya telah menyebabkan produksi dan standar hidup rakyat hancur. Sri Lanka gagal bayar hutang pada April 2022. Tiga bulan kemudian, revolusi terjadi. Massa menyerbu kediaman megah Rajapaksa dan membuatnya melarikan diri.
Begitu pula nasib penerusnya, Ranil Wickremesinghe. Memang dia mampu menstabilkan mata uang, menurunkan inflasi, dan membuat kesepakatan restrukturisasi utang dengan IMF dan kreditor lain, termasuk India dan China. Namun, dia sendiri gagal mengatasi penderitaan ekonomi yang dirasakan oleh rakyat. Dia tidak berbuat banyak untuk menghapus korupsi. Ia juga dianggap terlalu dekat dengan pemerintahan Rajapaksa yang telah menghancurkan negara tersebut sejak awal. Inilah warisan yang dihadapi oleh AKD.
AKD berjanji membasmi korupsi dan merundingkan kembali kesepakatan dengan IMF. Jika ia mengingkari perjanjian itu, maka Sri Lanka dapat kembali terjerumus ke dalam krisis ekonomi. Inilah yang ditakutkan oleh kelas penguasa: bahwa terpilihnya AKD akan menjadi prelude bagi krisis dan gejolak politik selanjutnya.
Kemungkinan besar dia akan mengikuti dikte kapitalisme. Itu artinya dia tidak akan memiliki banyak ruang untuk mewujudkan janji-janji kesejahteraannya. Pembayaran utang saja menghabiskan setengah anggaran negara. Dari mana dia mendapatkan uang mengelola negara yang hancur kecuali memajaki rakyatnya sendiri? Pada akhirnya pemerintahan yang akan datang dibangun di atas landasan yang goyah.
Bagi siapa pun yang memiliki ilusi bahwa AKD dan JVP/NPP dapat berhasil merundingkan kembali kesepakatan dengan pasar dan IMF, kami tunjukkan contoh Yunani.
Pada 2015, rakyat Yunani memilih pemerintahan kiri Syriza dengan program yang jauh lebih jelas daripada AKD, yakni merundingkan kembali persyaratan dana talangan dengan IMF. Setelah negosiasi, Syriza berani memobilisasi massa. Tetapi IMF semakin keras memberlakukan persyaratan kepada rakyat Yunani atas pembangkangan mereka. Pada akhirnya Syriza menyerah. Atas pengkhianatan Syriza inilah, partai kapitalis Yunani, Demokrasi Baru, mampu bangkit kembali ke tampuk kekuasaan.
IMF adalah predator penghisap. Pemerintah Sri Lanka yang baru tidak akan berhasil meyakinkan IMF memberikan ‘itikad baik’. Jalan satu-satunya adalah pecah dengan kapitalisme.
Pemilihan AKD merupakan buah dari revolusi Sri Lanka tahun 2022. Di bawah Rajapaksa dan Ranil Wickremesinghe, kelas penguasa telah berusaha untuk memerintah melalui penindasan yang brutal. Kini, melalui JVP/NPP, mereka akan dipaksa untuk mengubah haluan. Tidak cukup menjadi penguasa hanya dengan memberi rakyat janji-janji manis dan ilusi. Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden, AKD mengatakan sebagai berikut: “Ada satu mimpi yang dilihat rakyat kita setiap hari matahari terbit. Yaitu, ‘hari esok akan lebih baik daripada hari ini!’”
Ya, ini adalah kata-kata yang sangat indah, dan memang mengungkapkan harapan yang sangat sederhana dari rakyat Sri Lanka. Namun, program partai AKD tidak dapat menjamin hal seperti itu. Sistem kapitalis yang AKD bela hanya menjanjikan hari esok yang semakin suram.
Kelas pekerja Sri Lanka harus melewati sekolah baru yang penuh janji dan kata-kata manis ini. Hanya dengan menolak utang IMF dan mengekspropriasi oligarki lokal dan modal asing maka rakyat Sri Lanka bisa keluar dari mimpi buruk yang telah menjerumuskan mereka. Kenyataannya, untuk membawa kemenangan mutlak dari perjuangan yang sudah ditempuh rakyat Sri Lanka, kita harus menyita semua kekayaan kelas kapitalis yang selama ini telah menjarah dan menindas rakyat Sri Lanka. Jalan seperti itu hanya dapat ditempuh oleh sebuah partai revolusioner Marxis sejati. Hanya dengan begitulah Revolusi Sri Lanka 2022 dapat dilanjutkan dan dibawa ke tahapan yang lebih tinggi.