Pada tahun 1913 seorang mantan ketua serikat buruh kereta api Belanda datang ke Indonesia untuk mencari penghidupan. Di Negeri Belanda namanya telah tercantum dalam daftar hitam karena haluannya yang radikal. Ia adalah Henk Sneevliet.
Tak lama setelah beroleh pekerjaan, Sneevliet mendirikan Perhimpunan Sosial-Demokratik Hindia, ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereniging) pada tahun 1914. Mula-mula ISDV berintikan 85 orang yang berasal dari dua partai sosialis di Negeri Belanda, SDAP dan SDP, yang menetap di Indonesia. Mereka mengintrodusir idea-idea Marxis kepada kaum terpelajar bumiputera yang sedang mencari jalan untuk melawan kekuasaan penjajah.
Pada saat pembentukannya, ISDV belum menuntut kemerdekaan Indonesia. Dalam tahap ini ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota. Di antara mereka hanya ada tiga orang Indonesia. Tapi dengan cepat ISDV bergerak ke arah yang radikal. Di bawah pimpinan Sneevliet, ISDV merasa tidak nyaman dengan kepemimpinan SDAP yang revisionistik di Negeri Belanda. Pada 1917 faksi reformis dari ISDV memisahkan diri. Mereka membentuk ISDP (Partai Sosial-Demokratik Hindia). Pada tahun yang sama ISDV meluncurkan terbitan pertamanya dalam bahasa Indonesia, Soeara Merdeka.
ISDV-nya Sneevliet melihat Revolusi Oktober di Rusia sebagai teladan yang harus diikuti di Indonesia. ISDV pun bekerja di kalangan para prajurit dan pelaut Belanda di Indonesia. Para “Pengawal Merah” (sesuai dengan nama pasukan soviet pekerja dan prajurit di Rusia) terbentuk. Dalam tiga bulan mereka mencapai jumlah 3.000 orang. Di akhir 1917 para prajurit dan pelaut itu memberontak di basis utama angkatan laut Hindia Belanda, Surabaya. Mereka membentuk soviet-soviet. Pemerintah Kolonial menindas soviet-soviet Surabaya dan ISDV. Mereka mengirim pulang para pemimpin ISDV yang berkebangsaan Belanda. Sneevliet tak terkecuali. Pemerintah Kolonial juga menghukum para pemimpin pemberontakan prajurit dan pelaut dengan 40 tahun penjara.
Pengusiran terhadap Sneevliet tidak luput dari perhatian Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis bumiputera berhaluan Kiri. Mas Marco Kartodikromo menanggapi “pembuangan” Sneevliet itu dengan mengekspresikan rasa kagum dan hormat kepadanya: “Sekarang jaman I.S.D.V., jaman mana yang kita harus berkata terus terang kepada publik, mengertinya: bangsa bangsat harus kita katakan bangsat juga, dan bangsa baik pun kita katakan baik. Lantaran Sneevliet dibuang … barangkali semua pemerintahan … ada di dalam perintahnya kapitalisme… Sneevliet berani sampai dibuang! … Bangsa apakah yang tertindas di Hindia sini? Yaitu bangsa kita. Mengapakah orang Belanda seperti Sneevliet yang mesti membela tindasan-tindasan itu, dan sampai ia berani dibuang, sedang bangsa kita yang mengaku menjadi pemimpin rupa-rupanya jarang yang berani bergerak seperti Sneevliet” (Kartodikromo, “Sneevliet Dibuang!!!”, Sinar Hindia, 10 Desember 1918).
Mas Marco juga menyerukan agar kaum bumiputera tampil ke depan meneruskan perjuangan Sneevliet membela kaum tertindas dan melawan kaum penindas, yakni Pemerintah Kolonial dan kaum kapitalis: “ … Sesungguhnya keadaan itu, keadaan yang terbaik! Kalau menilik kesusahannya bangsa kita pada ini waktu, seharusnya kita sendiri mesti bergerak dua kali lebih keras daripada pergerakannya Sneevliet dan konco-konconya.”
ISDV juga mendirikan faksi di dalam organisasi Sarekat Islam. Dua anggota SI dari Semarang, Semaun dan Darsono, tertarik kepada idea-idea sosialis dan komitmen Sneevliet terhadap kaum buruh Indonesia. Di samping itu, banyak anggota SI terdorong untuk mendirikan Sarekat Rakyat – yang lebih revolusioner ketimbang SI, pula sangat dipengaruhi Marxisme.
Pada tahun 1919, ISDV beranggotakan sekitar 400 orang. Dari jumlah tersebut, ada 25 orang yang berkebangsaan Belanda dan beberapa orang Tionghoa. Selebihnya adalah kader-kader bumiputera. Pengusiran yang dilakukan Pemerintah Kolonial terhadap pemimpin-pemimpin dan kader-kader berkebangsaan Belanda di satu sisi dan kaderisasi terhadap kaum muda bumiputera di sisi lain, telah membuat ISDV menjelma sebagai organisasi perjuangan kaum bumiputera Hindia Belanda. Ibu Pertiwi sedang hamil tua. Ia akan segera melahirkan jabang bayi berbedung kain merah!
Dalam pada itu, Sneeviet terus bergerak. Pada 1920 ia mewakili ISDV dalam Kongres Kedua Komintern di Moskow. Selanjutnya pada 1921-1923 ia menjadi perwakilan Komintern di Tiongkok. Kembali ke Negeri Belanda, ia menjadi ketua Sekretariat Nasional Buruh. Pada 1929, ia mendirikan Partai Sosialis Revolusioner dan terpilih sebagai ketuanya. Ketika partai itu berubah nama menjadi Partai Buruh Sosialis Revolusioner, Sneevliet menjadi sekretaris pertama. Kemudian ia menjadi ketua sampai 1940. Sneevliet juga sempat menjadi anggota parlemen Negeri Belanda, 1933-1937. Dalam Perang Dunia II, ia memimpin kelompok perlawanan yang bernama Front Marx-Lenin-Luxemburg. Kaum fasis Nazi menangkap dan mengeksekusinya pada 1942. Sneevliet baru berhenti berjuang setelah ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan!