Foto-foto yang dikirim kembali dari James Webb Space Telescope (JWST) telah memukau dunia. Foto-foto ini adalah gambar alam semesta yang paling tajam dan paling jauh jangkauannya yang pernah diperoleh umat manusia. Seperti yang diharapkan, salah seorang astronom Jesuit yang bekerja di observatorium Vatikan menjelaskan foto-foto ini sebagai, “Ciptaan Tuhan yang diungkapkan kepada kita, dan di dalamnya kita dapat melihat kemahakuasaanNya yang menakjubkan dan kecintaanNya pada keindahan.”[1]
Namun jauh dari mengagungkan ciptaan Tuhan, JWST kini mulai mengirimkan kembali data-data yang menimbulkan kesulitan serius bagi mitos penciptaan modern: teori Big Bang. Saat meneropong lebih jauh ke luar angkasa, JWST mulai menantang prasangka-prasangka lama tentang asal usul dan perkembangan alam semesta, dan menyoroti problem ilmiah dan filsafat yang mendalam dan penting.
JWST ditempatkan di orbit 1,5 juta kilometer dari planet kita pada Desember 2021, dan setelah sekitar enam bulan kalibrasi dan hanya 12 jam beroperasi penuh, JWST telah menghasilkan foto-foto yang paling mempesona. Dengan cermin seluas 25-meter persegi yang kuat, JWST mampu mendeteksi berbagai cahaya inframerah dengan kekuatan seratus kali lipat dari pendahulunya, teleskop Hubble. Dengan kekuatan ini, JWST dapat merevolusionerkan pemahaman kita tentang alam semesta dan tempat kita di dalamnya.
Pada konferensi pers, NASA merilis lima foto menakjubkan.
Dalam salah satu foto tersebut kita dapat mengamati Carina Nebula, yang terletak 7.500 tahun cahaya dari Bumi: massa gas dan debu yang merupakan tempat kelahiran bintang-bintang baru. Di sini para ilmuwan akan dapat mempelajari dengan presisi yang lebih baik proses kelahiran bintang. Seperti yang dijelaskan oleh ilmuwan NASA Amber Straughn: “Kita melihat sejumlah besar bintang, dengan tebing-tebing kosmik dan lautan tak berujung. Bayi-bayi bintang terlihat di Nebula Carina, di mana radiasi ultraviolet dan angin bintang membentuk dinding debu dan gas yang kolosal. Kita bisa melihat ratusan bintang baru. Contoh-contoh gelembung dan pancaran yang diciptakan oleh bintang-bintang yang baru lahir, dengan lebih banyak galaksi bersembunyi di latar belakang.”
Foto menakjubkan lainnya adalah ‘Eight-Burst Nebula’. Ini menunjukkan sebuah bintang di saat-saat kematiannya, sekitar 2.500 tahun cahaya dari planet kita, dikelilingi oleh bola gas raksasa yang terlihat seperti ameba raksasa dengan sebuah bintang yang bersinar terang di tengahnya, bintang yang tengah sekarat. Di ‘Carina’ para ilmuwan dapat mempelajari bintang-bintang dalam kelahirannya, sementara di sini kita melihat mereka dalam kematiannya.
Yang benar-benar mencengangkan adalah foto ‘The Stephan Quintet’, berjarak sekitar 300 juta tahun cahaya. Lima galaksi terpotret dalam bingkai, empat di antaranya saling mengorbit, yang merupakan kumpulan padat pertama yang pernah diamati. Tarian kosmik raksasa ini tampaknya terkait dengan keberadaan lubang hitam yang memancarkan gas dengan energi setara dengan sekitar 40 miliar kali luminositas Matahari. Menurut astronom ESA Giovanna Giardino, “Kita tidak dapat melihat lubang hitam itu sendiri, tetapi kita melihatnya memakan materi yang berputar-putar.” Dengan menggunakan data terbaru ini, para ilmuwan berharap dapat mengungkapkan interaksi yang terjadi antara galaksi-galaksi, dan peran tarian turbulen tersebut dalam kelahiran entitas kosmik.
Hanya 1.150 tahun cahaya dari Bumi, kita dapat mengamati sebuah planet gas raksasa yang disebut WASP-96b, kira-kira setengah massa Jupiter tetapi 1,2 kali lebih besar. Di dalam atmosfer planet gas ini, sudah ditemukan bukti adanya air. Uap air, yang merupakan prasyarat utama munculnya kehidupan seperti yang kita kenal, bisa melimpah di alam semesta. Sekitar 5.000 exoplanet (planet di luar tata surya kita) telah ditemukan sejak tahun 1995. Teleskop James Webb akan membantu mempelajarinya dan menentukan apakah beberapa di antaranya memiliki kondisi kehidupan.
Gambar-gambar baru menunjukkan beragam materi yang spektakuler, dalam semua momen evolusinya yang luar biasa. Mereka mengungkapkan alam semesta yang merupakan tempat proses kelahiran dan kehancuran yang kolosal, ketegangan yang tak terbayangkan yang menghasilkan bintang dan galaksi, dan dari situ muncul kondisi kehidupan; panorama menakjubkan yang menunjukkan kompleksitas materi yang berevolusi dalam perkembangan dialektisnya.
Teori Big Bang
Mungkin foto yang paling spektakuler dan tersebar luas adalah foto menakjubkan dari galaksi-galaksi jauh yang dikenal sebagai Webb’s First Deep Field. Menurut Bill Nelson, direktur NASA, foto ini mewakili: “sebagian kecil dari Alam Semesta, seukuran sebutir pasir di atas jari tangan yang terulur.” Galaksi yang tak terhitung jumlahnya dengan beragam bentuk yang dapat dibayangkan dapat diamati: galaksi yang memanjang, pipih, bulat, dan ada juga yang begitu terang sehingga menutupi galaksi-galaksi lainnya. “Alam Semesta membuat kita takjub,” kata Nelson. “Kami tidak dapat memahaminya dan membayangkan betapa luasnya Alam Semesta. Lebih baik dengan foto? Tidak ada gambar yang dapat mewakili Alam Semesta dengan segala kehebatannya, tetapi mulai minggu ini kita memiliki hal yang paling dekat. Sepanjang minggu kami menyaksikan foto pertama yang ditangkap oleh teleskop James Webb dengan penuh haru. Betapa Carl Sagan akan tersenyum hari ini jika dia bisa melihat gambar ini!”
Galaksi-galaksi yang paling jauh – yang tampak seperti busur infra merah karena “pergeseran merah” dan pelensaan gravitasi, yang mendistorsi bentuk yang tampak — memancarkan cahayanya lebih dari 13 miliar yang lalu, menurut perhitungan awal; hanya beberapa ratus juta tahun setelah seluruh alam semesta seharusnya tercipta 13,8 miliar tahun yang lalu, menurut teori Big Bang. Kita mengamati semakin banyak galaksi yang ada di waktu ketika alam semesta katanya baru saja tercipta, dan pengamatan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang teori Big Bang. Bagaimana mungkin galaksi-galaksi yang terang dan terbentuk sempurna justru sudah ada hanya sesaat setelah alam semesta katanya tercipta? Ini seperti melihat orang dewasa muncul sepenuhnya dari persalinan. Menurut model pembentukan galaksi yang paling banyak diterima, galaksi raksasa terbentuk dari awan-awan kecil dan redup yang secara bertahap menyatu melalui penggabungan kosmik. Proses ini memakan waktu miliaran tahun.
Pada saat alam semesta dianggap masih dalam masa kanak-kanak, teori Big Bang hanya memprediksi keberadaan galaksi kerdil yang sangatlah redup, yang begitu kecil dan redup sehingga kita hampir-hampir tidak bisa melihatnya. Baru kemudian galaksi raksasa terbentuk dari penggabungan kosmik. Namun di sini, dalam gambar pertama yang dikirim kembali oleh JWST, kita sudah dihadapkan dengan galaksi-galaksi raksasa: raksasa yang tidak mungkin terbentuk dalam rentang waktu yang diprediksi oleh teori Big Bang.
Pengamatan-pengamatan sebelum JWST diluncurkan sudah membuat beberapa astronom ragu. Pada 2016, galaksi GN-z11 ditemukan. Menurut teori yang ada, cahayanya memancar 13,4 miliar tahun yang lalu, hanya 400 juta tahun setelah apa-yang-dianggap asal usul alam semesta. Dalam dunia astronomi, 400 juta tahun itu seperti satu detik saja. Pada 2020, lubang hitam tertua yang pernah diamati ditemukan, dan lubang hitam ini berusia 12,8 miliar tahun. Tapi bagaimana bisa lubang hitam muncul pada saat materi diduga masih terlalu menyebar untuk bisa menyebabkan keruntuhan gravitasi? Becky Smethurst, seorang peneliti junior di Universitas Oxford dan pakar lubang hitam, mengatakan:
“Mari kita asumsikan bintang pertama membentuk lubang hitam sekitar 200 juta tahun setelah Big Bang. Setelah mereka runtuh, Anda memiliki waktu sekitar tiga belas setengah miliar tahun untuk menumbuhkan lubang hitam Anda menjadi miliaran kali massa Matahari. Itu waktu yang terlalu singkat untuk menjadi sebesar itu hanya dengan pertambahan.”[2]
Lalu pada 2021 galaksi BRI 1335-0417 ditemukan, sebuah galaksi spiral berusia 12,4 miliar tahun, sekitar satu miliar tahun lebih awal dari waktu yang diperkirakan untuk membentuk jenis galaksi kompleks ini, menurut teori Big Bang. “Kami telah menemukan ‘raksasa-raksasa’ di alam semesta di waktu dimana mereka tidak seharusnya ada. Sekarang kami membutuhkan lebih banyak data untuk mengetahui bagaimana mereka bisa berada di sana,” kata fisikawan Guillermo Barro dari University of the Pacific.[3] JWST akan memberikan penjelasan lebih lanjut tentang pertanyaan-pertanyaan ini. Namun kami memprediksi bahwa data-data baru hanya akan menciptakan masalah lebih lanjut bagi para pendukung teori Big Bang.
Ini masih dini, dan analisis yang jauh lebih teliti diperlukan untuk mengkonfirmasi pengamatan-pengamatan awal, tetapi beberapa orang sudah percaya bahwa JWST telah memotret galaksi tertua yang pernah ditemukan: GLASS-z11 dan GLASS-z13, yang dijuluki ‘Glassy’.[4] Menurut analisis awal, galaksi-galaksi ini terbentuk hanya 300 juta tahun setelah Big Bang. Sebagai perbandingan, planet kita berumur 4,5 miliar tahun, dan dibutuhkan 200 juta tahun bagi galaksi kita, Bimasakti, untuk menyelesaikan satu rotasi saja! Teori klasik perkembangan galaksi tidak dapat menjelaskan bagaimana galaksi-galaksi ini dapat terbentuk dalam waktu sesingkat itu. Dan ini baru permulaan. Sejumlah makalah pra-publikasi lainnya mengklaim telah mengidentifikasi galaksi yang lebih tua. Seperti menurut seorang jurnalis sains:
“Faktanya, para astrofisikawan sudah menemukan bahwa alam semesta awal mungkin jauh lebih sibuk dari yang mereka perkirakan awalnya. Bintang-bintang mungkin mulai terbentuk dengan kecepatan yang jauh lebih cepat daripada yang diprediksi oleh beberapa model. Bagaimana materi menyatu dan mulai membentuk galaksi-galaksi ini begitu awal? Kita belum tahu. Tapi Webb, tampaknya, sudah menulis ulang apa yang kita pikir kita ketahui tentang awal mula terbentuknya segala sesuatu.[5]
Mengacu pada ‘Glassy’, artikel yang sama melanjutkan, “para astronom sedang menjelajahi kemungkinan Glassy, yang, selain menjadi pemecah rekor potensial, juga jauh lebih aneh dari yang mereka bayangkan. Para astronom selalu berpikir bahwa galaksi tidak mungkin menjadi sangat besar begitu awal dalam sejarah alam semesta, dan akan mulai membentuk bintang-bintang sekitar 500 juta tahun setelah Big Bang. Tapi Glassy sangat bercahaya, menunjukkan bahwa ia memiliki banyak sekali bintang, yang berukuran 1 miliar kali lebih besar dari matahari kita.”[6]
Bukan hanya ukuran galaksi-galaksi ini saja yang menimbulkan masalah bagi teori Big Bang. Begitu juga dengan komposisi mereka. Materi yang menyusun galaksi-galaksi ini menunjukkan bahwa mereka telah didaur ulang selama beberapa generasi pembentukan bintang. Para ahli teori Big Bang menghitung bahwa setelah ledakan awal yang menciptakan alam semesta, yang ada hanyalah Hidrogen dan Helium dan sejumlah kecil unsur-unsur yang lebih berat. Tapi kita sudah menemukan begitu banyak unsur-unsur dan debu yang lebih berat, yang diproduksi di bintang-bintang awal, di galaksi-galaksi dini ini. Sekali lagi, menurut seorang ilmuwan yang meneliti galaksi-galaksi dini ini pada 2020:
“Dari studi-studi sebelumnya, kami memahami bahwa galaksi-galaksi muda seperti itu miskin debu. Namun, kami menemukan sekitar 20 persen galaksi yang sudah terbentuk selama periode awal ini sudah sangat berdebu dan sebagian besar sinar ultraviolet dari bintang-bintang yang baru lahir sudah tersembunyi oleh debu ini.”[7]
Pertanyaan tentang pembentukan galaksi – aglomerasi gas, debu, dan bintang yang berputar-putar – hanyalah puncak gunung es. Astronomi pengamatan telah menemukan struktur-struktur yang jauh lebih besar yang benar-benar membingungkan para kosmolog Big Bang. Menurut asumsi teori Big Bang, tidak ada objek kosmik yang lebarnya bisa lebih dari 250 juta tahun cahaya.[8] Namun, setiap tahun para astronom menemukan megastruktur yang semakin besar dengan lebar miliaran tahun cahaya.
Pada 2021, para astronom mengidentifikasi sebuah struktur yang dijuluki ‘The Giant Arc’. Meskipun terlalu redup untuk dilihat dengan mata telanjang, ia menutupi wilayah langit yang panjangnya mencapai 20 bulan purnama. Namun rangkaian galaksi yang sangat besar ini terletak sejauh 9 miliar tahun cahaya, dan panjangnya 3,3 miliar tahun cahaya. Tidak diragukan lagi JWST akan terus menemukan struktur raksasa lainnya, dan kemungkinan akan ada yang bahkan lebih besar dari ‘The Giant Arc’.[9]
Cahaya saja membutuhkan waktu miliaran tahun untuk melintasi struktur seperti itu. Keruntuhan materi yang jatuh bebas di bawah gravitasi akan memakan waktu yang bahkan lebih lama lagi.
Penemuan-penemuan ini mengguncang teori Big Bang. Para pembela teori ini tidak akan bisa terus menerus mengotak-atik teori mereka, seperti yang telah mereka lakukan selama puluhan tahun untuk memaksakan pengamatan agar sesuai dengan cara pandang mereka.
Sains yang sejati berkembang dengan memformulasikan teori yang dapat menjelaskan pengamatan kita. Akumulasi pengamatan yang tidak dapat dijelaskan pada tahap tertentu akan menuntut diubahnya teori. Yang jelas, ada kecemasan di antara para astronom. “Panic!”, begitu judul salah satu makalah pra-publikasi baru-baru ini. “Saat ini, saya mendapati diri saya terbangun pada pukul tiga pagi dan bertanya-tanya apakah semua yang telah saya lakukan salah,” kicau Alison Kirkpatrick dari University of Kansas.
Namun, kesadaran para elit komunitas ilmiah cukup konservatif. Oleh karena itu, alih-alih mempertanyakan teori kosmologi Big Bang, mereka menyangkal umur galaksi yang baru-baru ini ditemukan. Para pendukung Big Bang berasumsi bahwa galaksi-galaksi awal ini terbentuk lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya.
Tidak ada alasan untuk berasumsi bahwa sejarah alam semesta lokal tidak diselingi oleh periode-periode perkembangan yang mendadak. Mungkin ada satu atau lebih ledakan pembentukan galaksi. Alam semesta penuh dengan proses dialektis yang tiba-tiba dan mendadak. Namun, upaya untuk menyesuaikan kecepatan pembentukan galaksi ini tidak ada hubungannya dengan menjelaskan kelahiran galaksi, dan lebih banyak berhubungan dengan upaya untuk menyelamatkan teori yang mulai dipertanyakan karena adanya penemuan-penemuan baru.
Pergeseran Doppler
Kosmologi Big Bang telah mengalami banyak ‘penyesuaian’ dalam sejarahnya. Teori kosmologis ini ditelurkan dari ekstrapolasi yang mungkin paling absurd dalam sejarah sains. Pada tahun 1920-an, astronom Edwin Hubble menemukan bahwa semakin jauh sebuah galaksi dari kita, semakin ia tampak lebih merah. Kemerahan ini dapat dijelaskan dengan merujuk pada sesuatu yang dikenal sebagai ‘efek Doppler’, di mana spektrum cahaya objek yang menjauh dari kita tampak lebih merah. Dari sini, para astronom menyimpulkan bahwa alam semesta yang dapat diamati tampaknya mengalami ekspansi. Akan tetapi, kesimpulan ini lalu ditarik sampai titik yang ekstrem dan absurd: jika segala sesuatu bergerak menjauh dari yang lain, maka pada suatu saat dalam sejarah alam semesta, semua materi pasti bermula dari satu titik, yang oleh para pembela Big Bang disebut sebagai ‘singularitas’, yang ukurannya tidak lebih besar dari satu atom hidrogen. Pada momen tersebut, tidak hanya semua materi dan energi lahir, tetapi juga semua tatanan ruang dan waktu itu sendiri seharusnya juga lahir.
Tetapi pergeseran Doppler, paling-paling, merupakan bukti adanya ekspansi dalam satu sektor di alam semesta, bukan bukti adanya asal-muasal yang tunggal dan absolut dari ruang dan waktu. Di sini, kita saksikan bagaimana satu fakta ditarik sampai ke batasnya yang tidak masuk akal dan secara harfiah membuat lompatan kosmik. Big Bang bukanlah masalah bukti ilmiah, tetapi interpretasi filosofis dari bukti tersebut. Bahwa sebagian alam semesta dalam cakrawala sempit kita tampak mengembang tidak memberi wewenang kepada kita untuk menegaskan bahwa seluruh alam semesta juga mengalami ekspansi. Bahkan ini bukan bukti bahwa segala sesuatu dilahirkan oleh satu titik singularitas di mana ruang dan waktu secara mistis muncul.
Beberapa menyangkal bahwa Big Bang berarti permulaan waktu. Mereka mengklaim kosmologi Big Bang hanya mendalilkan bahwa alam semesta pernah ada dalam keadaan panas dan padat di masa lalu. Namun para ahli kosmologi modern terkemuka sebenarnya membela adanya permulaan waktu. “Alam semesta tidak ada selamanya,” jelas Stephen Hawking. “Sebaliknya, alam semesta, dan waktu itu sendiri, memiliki permulaan dalam Big Bang… Permulaan waktu nyata, akan menjadi singularitas, di mana hukum fisika akan runtuh.”[10] Terus terang, berbagai teori Big Bang alternatif yang berusaha menghindari singularitas (‘Big Bounce’, tumbukan membran, dll.) tidak kalah spekulatif atau absurdnya dengan gagasan singularitas.
Astronom yang pertama kali mengajukan hipotesis Big Bang pada tahun 1920-an, Georges Lemaître, tentu tidak mempermasalahkan gagasan bahwa pergeseran merah kosmik entah bagaimana membuktikan bahwa alam semesta diciptakan ex nihilo (dari ketiadaan). Ini karena, sebagai seorang pendeta, jelas baginya bagaimana alam semesta dapat diciptakan dari ketiadaan: alam semesta diciptakan oleh Tuhan Sang Pencipta. Lemaître memenangkan banyak penghargaan dari Vatikan atas kontribusinya terhadap iman ini.
Namun demikian, mungkin tampak mengesankan bahwa teori ini, yang pertama kali diajukan pada tahun 1920-an, berhasil bertahan melalui berbagai ujian pengamatan astronomi selama satu abad penuh. Tetapi teori Big Bang yang ada hari ini sudah sangat berbeda dengan hipotesis asli Lemaître, justru karena kegagalannya yang berulang kali untuk menjelaskan temuan-temuan pengamatan. Satu-satunya ‘keberhasilan’ pengamatan kosmologi Big Bang pada abad terakhir adalah penemuan pada 1965 yang disebut Cosmic Microwave Background Radiation (CMBR) – radiasi benda hitam yang menembus ruang angkasa dan memiliki suhu 2,7K.
Tetapi bahkan penemuan ini tidak sesuai dengan prediksi. Lagi pula, jika alam semesta mengembang, cahaya yang mencapai kita dari satu bagian langit dipancarkan oleh sumber yang tidak akan pernah bersentuhan secara kausal dengan wilayah yang memancarkan cahaya di bagian langit yang berseberangan langsung. Namun, entah bagaimana, suhunya sama. Untuk menjelaskan hal ini dan pengamatan lain yang tidak dapat dijelaskan, apa yang disebut “inflation field” diciptakan, yakni sebuah periode ekspansi yang luar biasa cepat dalam sejarah awal alam semesta. Tidak ada mekanisme yang diketahui untuk fase ekspansi ajaib seperti itu. Ini hanya diciptakan untuk menyelamatkan teori Big Bang. “Inflation field” adalah salah satu dari sejumlah perangkat matematika murni yang tidak memiliki bukti fisik, yang diciptakan oleh para kosmolog untuk menyelamatkan teori tersebut. Yang lainnya termasuk materi gelap dan energi gelap, yang belum pernah dilihat oleh para kosmolog. Tetapi, menurut mereka, materi gelap dan energi gelap merupakan 95% dari seluruh materi yang ada. Kisah terbaru tentang galaksi dan masa kanak-kanak mereka yang terpotong secara mustahil hanyalah tambahan matematis terbaru untuk menyelamatkan sebuah teori yang mulai retak di bawah beban kontradiksi-kontradiksinya.
Gagasan tentang waktu, ruang, materi, dan energi yang muncul dari ketiadaan sama sekali tidak sesuai dengan pandangan materialis tentang alam.
Seluruh pengalaman umat manusia menunjukkan bahwa tidak ada satupun materi yang dapat diciptakan atau dihancurkan. Materi adalah penyebabnya sendiri: menyatu, pecah dan menyatu kembali untuk selama-lamanya. Bila kita mengajukan adanya momen Penciptaan, maka pertanyaannya: apa penyebabnya? Jika penyebabnya bukan faktor material (dan, menurut teori Big Bang, penyebabnya tidak mungkin faktor material karena materi itu sendiri muncul dengan Big Bang) maka penyebabnya pasti adalah seorang Pencipta yang non-material: Tuhan.
Tanggal Penciptaan mungkin telah dimundurkan dari 6.000 tahun yang lalu menjadi 13,8 miliar tahun yang lalu, tetapi ini tidak mengurangi absurditasnya. Tidak, sebagai kaum materialis, kami menolak gagasan bahwa materi diciptakan dari ketiadaan. Alam semesta material tidak terbatas dan terus berevolusi. Tentu saja ini menimbulkan masalah baru: menurut definisi, alam semesta tak terbatas akan selalu mengandung lebih banyak hal untuk ditemukan. Setelah pertanyaan lama diselesaikan, pertanyaan baru yang lebih tinggi akan diajukan. Tapi seperti halnya mitos Penciptaan kitab Kejadian hanya muncul untuk ‘memecahkan’ pertanyaan dari mana Bumi berasal, sebuah pertanyaan yang tidak terpecahkan sampai abad ke-18 ketika kita menemukan asal usul nebular Bumi; maka teori Penciptaan Big Bang itu sendiri tampaknya ‘memecahkan’ pertanyaan seperti pergeseran Doppler dan CMBR.
Kami bukan ahli kosmologi. Kami sama sekali tidak berpura-pura dapat menawarkan solusi lengkap untuk pertanyaan tersebut. Namun kami yakin bahwa penemuan dan pengamatan baru – seperti yang disediakan oleh JWST – akan menegaskan pandangan materialis dan menjungkirbalikkan gagasan tentang momen Penciptaan.
Revolusi Copernicus
Bila kita amati kondisi ilmu kosmologi modern hari ini, kita diingatkan akan krisis yang pernah melanda kosmologi geosentris (gagasan bahwa Bumi adalah pusat dari seluruh alam semesta) pada abad ke-15. Seperti teori Big Bang hari ini, pandangan geosentris alam semesta telah ada sejak lama – sebenarnya jauh lebih lama daripada teori Big Bang! Anaximander menganut teori semacam itu pada abad ke-6 SM. Aristoteles memberinya bentuk yang lebih matang pada 350 SM, dengan matahari, bulan, bintang, dan planet yang mengorbit Bumi di sepanjang jalur melingkar. Tapi, yang memberi teori itu ekspresi yang lengkap, dan bahkan cukup elegan, adalah Ptolemeus, seorang astronom Alexandrian pada abad ke-2 Masehi.
Dalam alam semesta Ptolemeus ini, matahari, bulan, dan bintang terpaku pada bola kristal yang berputar mengelilingi Bumi. Pergerakan planet selalu sedikit lebih aneh. Untuk menjelaskan gerakan planet-planet, mereka ditempatkan di bola langit, yang disebut epicycles, di dalam bola lainnya, yang disebut deferents. Model alam semesta ini berhasil menjelaskan pengamatan yang ada sampai pada saat itu. Namun, pengamatan-pengamatan baru yang lebih akurat terakumulasi selama berabad-abad. Di atas dasar ilmu kosmologi yang lama, para astronom dapat menghasilkan penemuan-penemuan baru yang baik, tetapi ilmu yang lama ini mulai kesulitan untuk menjelaskan penemuan-penemuan baru tersebut.
Alih-alih membuang teori lama, para astronom terus menambah jumlah bola di dalam bola. Eccentrics, epicycles, dan deferents terus ditambahkan ad absurdum untuk membuat fakta baru sesuai dengan teori, seperti halnya ‘inflasi’, ‘materi gelap’, dan ‘energi gelap’ saat ini. Pada abad ke-15, teori kosmologi lama berada dalam keadaan krisis dan hanya menunggu ditumbangkan. Dan teori lama ini akhirnya ditumbangkan oleh Copernicus pada tahun 1543, ketika dari ranjang kematiannya ia merilis karyanya, De Revolutionibus Orbium Coelestium (‘Mengenai orbit benda-benda langit’).
Menurut Copernicus, Bumi bukanlah titik pusat alam semesta. Bumi bergerak bersama semua planet lain, sepanjang orbit yang hampir melingkar mengelilingi Matahari. Ini adalah revolusi besar dalam astronomi, dan titik awal sains modern di Eropa. Tetapi menegasi teori lama tidak berarti menghancurkannya secara total. Faktanya, teori Copernicus sama sekali tidak berbeda secara matematis dengan pandangan Ptolemeus lama. Nyatanya, setiap kali teori ilmiah yang baru menggantikan teori yang lebih lama, ia akan selalu mengikutsertakan elemen-elemen yang rasional dari teori yang lama, dalam sebuah proses negasi yang dialektis, yang tidak pernah berarti penghancuran total teori yang lama.
Pandangan Ptolemeus yang sudah tua dan membatu ini juga menolak mati dengan sendirinya. Gagasan ini memiliki banyak pendukung yang sangat berkuasa lama setelah kematian Copernicus. Pandangan Ptolemeus telah menjadi bagian integral dari pandangan dunia Gereja, di mana Bumi (dan Manusia) duduk di pusat Ciptaan Tuhan, dikelilingi oleh bola-bola langit yang sempurna. Surga ini adalah rumah bagi hierarki malaikat, malaikat agung, dan, tentu saja – di bola angkasa tertinggi yang melampaui semua bintang – Tuhan sendiri. Tatanan lama melawan teori Copernicus dengan teror Inkuisisi, yang membungkam Galileo dan membakar hidup-hidup Giordano Bruno.
Anehnya, hari ini, tatanan komunitas ilmiah memiliki sekutu besar dari Gereja Katolik dalam membela teori kosmologi Big Bang. Sungguh musuh-musuh lama telah berdamai! Untungnya, orang-orang yang menentang teori Big Bang tidak akan dibakar hidup-hidup hari ini. Namun, mereka menghadapi rintangan yang bahkan mungkin lebih besar. Dunia akademisi adalah bisnis yang sangat besar – miliaran dolar diinvestasikan dalam teori dan lembaga ilmiah. Sebuah teori mungkin sudah usang, tetapi jika ini dapat mendatangkan investasi jutaan dolar, teori tersebut tidak akan mudah digulingkan. Pada periode fajar Revolusi Ilmiah, kapitalisme adalah kekuatan revolusioner. Hari ini, kapitalisme menghambat kemajuan ilmiah. Teori Big Bang masih hidup sampai sekarang karena ‘terlalu besar untuk gagal’.
Ada banyak ilmuwan yang memiliki keahlian teknis yang tinggi, yang jelas telah memberi berbagai kontribusi besar dalam bidang kosmologi Big Bang. Kami tidak berkeberatan dengan kemampuan mereka, tetapi dengan interpretasi filosofis mereka. Kebanyakan ilmuwan tidak memiliki filsafat secara sadar. Oleh karena itu, tak pelak lagi, mereka akan cenderung mengadopsi filsafat yang mendominasi masyarakat, yang mencerminkan kepentingan kelas penguasa yang sudah uzur, yang dalam kebobrokannya menghidupkan kembali mistisisme lama.
Dunia akademisi terdorong ke arah filsafat idealisme oleh kelas penguasa yang bergantung pada ‘tangan Tuhan’. Dunia akademisi diisi oleh lapisan aristokrasi akademik yang dengan gigih membela kepentingan, prestise, dan anggaran mereka. Kesimpulan logis dari idealisme adalah penciptaan dunia: materi muncul dari ketiadaan. Dalam bentuk teori Big Bang, idealisme dan teori Penciptaan telah memasuki koridor akademisi.
Tapi ada kecenderungan lain. Ada banyak ilmuwan yang ingin melawan arus idealisme dan mistisisme dalam sains. Salah satunya adalah Eric Lerner, yang telah dikucilkan oleh komunitas ilmiah karena pendiriannya yang berani melawan teori Big Bang. Kami sangat merekomendasikan artikelnya “The Big Bang didn’t happen”, yang mengomentari pengamatan JWST.
Kaum Marxis memahami bahwa pertempuran melawan kapitalisme yang membusuk tidak hanya terdiri dari perjuangan politik dan ekonomi, tetapi juga perjuangan ideologis. Seperti yang dijelaskan Lenin, dalam pertarungan itu, kaum Marxis harus belajar mencari sekutu di antara “ilmuwan-ilmuwan modern yang condong ke arah materialisme dan tidak takut untuk membela dan mewartakannya sebagai lawan dari pengembaraan filosofis yang modis ke arah idealisme dan skeptisisme yang kini mendominasi dalam apa yang disebut masyarakat terpelajar.”[11]
[1] Catholic News Service, Jesuit astronomer on Webb telescope photo: ‘This is God’s creation being revealed to us.’, America: the Jesuit Review, 14 July 2022
[2] P Barss, The mysterious origins of Universe’s biggest black holes, BBC, 23 August 2021
[3] Editorial, Hallados los ‘mamuts’ galácticos del universo joven, La Vanguardia, 14 May 2019
[4] R P Naidu et al., Two Remarkably Luminous Galaxy Candidates at z≈11−13 Revealed by JWST, Cornell University, Preprint, 19 July 2022
[5]J Ryan, The Webb Space Telescope Might Have Already Smashed Its Own Record, Cnet, July
[6] ibid.
[7] Editorial, Galaxies in the Infant Universe Were Surprisingly Mature, National Radio Astronomy Observatory, 27 October 2020
[8] J K Yadav; J S Bagla; N Khandai, “Fractal dimension as a measure of the scale of homogeneity”, Monthly Notices of the Royal Astronomical Society, 405 (3), 25 February 2010
[9] C Wood, Cosmologists Parry Attacks on the Vaunted Cosmological Principle, Quanta Magazine, 13 December 2021
[10] S Hawking, The Beginning of Time, Lecture, 1996
[11] V I Lenin, “On the Significance of Militant Materialism”, Lenin Collected Works vol 33, Progress Publishers, 1973, pg 232