Teroris kembali mengguncang Eropa, di Norwegia tepatnya. Namun kali ini teroris kita bermata biru, berkulit putih, dan beragama Kristen. Terkejutlah dunia. Sebelum fakta ini mencuat ke permukaan para komentator sayap kanan berlomba-lomba menuding bahwa ini adalah serangan Al-Qaeda lagi, bahwa Islam kembali menebarkan terornya. Namun ketika terkuak bahwa sang teroris tidak pernah menginjakkan kakinya di Mesjid, kata terorisme pun perlahan-lahan menghilang dari kosakata media dan politisi. Ini bukan terorisme, ini adalah kegilaan seorang ekstrimis, begitu ujar mereka. Kata terorisme harus dijauhkan dari kulit putih dan mata biru.
Banyak pakar yang mencoba mengecilkan peran ideologi di dalam serangan ini, bahwa ini hanya ulah seorang yang sudah kehilangan akal sehatnya. Sementara kaum liberal menuding kaum ekstrimis kanan anti-Islam sebagai biang keladi dari serangan ini, karena mereka dengan demagogi penuh kebencian mendorong Breivik untuk melakukan pembantaian. Di pihak yang lain, kaum Islam fundamentalis pun menggunakan kesempatan ini untuk menyerang Kristen dan menajamkan pertentangan agama untuk kepentingan mereka. Mereka menggunakan kata seperti “teroris Kristen”, seperti halnya media Barat menggunakan kata “teroris Islam”. Yang satu menyerang moral Kristen sebagai sumber keserakahan, sementara yang satu lagi menyerang moral Islam sebagai sumber barbarisme.
Namun hampir tidak ada satupun pakar yang mencoba menjelaskan dasar ekonomi dan sosial dari serangan ini, karena kalau kita coba telusuri ini maka kesimpulannya hanya satu: kapitalisme harus ditumbangkan. Dan ini adalah kesimpulan yang tidak nyaman didengar oleh para pakar terdidik ini.
Kira-kira seminggu setelah tragedi Norwegia, sebuah hasil survei global diterbitkan yang kesimpulannya adalah bahwa hampir setengah responden merasa bahwa imigrasi berpengaruh negatif terhadap negeri mereka. Di Belgia, 72 persen responden punya pendapat negatif terhadap imigrasi. Di Inggris, 64 persen. Di Rusia, 69 persen. Kita harus bertanya, mengapa imigrasi menjadi kekhawatiran di pikiran banyak orang?
Ketika tingkat pengangguran naik, dan semakin banyak orang khawatir kehilangan pekerjaan mereka setiap saat, maka rakyat pekerja menjadi semakin terpecah belah. Mereka melihat satu sama lain sebagai saingan, saling berebut remah roti yang jatuh dari meja kaum kapitalis. Setiap hari rakyat pekerja menjadi semakin takut akan dipecat, takut tidak bisa membayar kredit rumah mereka, takut kehilangan mobil mereka, takut anaknya lapar, dsbnya. Ketakutan ini termanifestasikan dalam kebencian terhadap kaum imigran, yang mereka lihat sebagai pendatang baru yang akan membanjiri pasar tenaga kerja. Rakyat pekerja bukan hanya ditindas secara fisik dalam bentuk tenaga kerja yang mereka jual, tetapi juga secara mental dan spiritual lewat kekhawatiran kehilangan pekerjaan yang terus menerus menghantui mereka.
Tingkat pengangguran di Norwegia meningkat dari 2,4% sebelum krisis ekonomi 2008 ke 3,4% hari ini. Sementara pertumbuhan ekonomi tahun 2010 hanyalah 0,3%. Memang tingkat pengangguran di Norwegia masihlah rendah bila dibandingkan dengan banyak negara lainnya, namun berita-berita buruk mengenai situasi ekonomi dunia mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap ketenangan rakyat Norwegia. Dengan pertumbuhan ekonomi yang hanyalah 0.3%, setiap orang bertanya-tanya kapan mereka akan dipecat. Inilah yang menjadi dasar dari tindakan Breivik. Yah, Breivik mungkin sakit jiwa, tetapi mengapa orang seperti dia tidak muncul di Norwegia 20 puluh tahun yang lalu di masa ketenangan. Ketika artikel ini ditulis, kerusuhan melanda Inggris dan para pemimpin Inggris menuduh elemen-elemen kriminal sebagai biang keroknya. Elemen kriminal selalu ada di setiap negeri, tetapi mengapa kerusuhan semacam ini tidak terjadi 20 tahun yang lalu, namun terjadi sekarang?
Masyarakat dalam krisis kerap melahirkan barbarisme dalam berbagai bentuk: rasialisme, fasisme, fundamentalisme relijius, tribalisme, perang saudara, terorisme, dll. Afrika misalnya, sebuah benua yang terus menerus dalam keadaan krisis sosial, politik, dan ekonomi karena eksploitasi imperialis yang ekstrim, melahirkan barbarisme yang terus melanda rakyat Afrika. Timur Tengah, yang dalam beberapa dekade terakhir menjadi medannya imperialisme AS, melahirkan islam fundamentalisme, sebuah kekuatan gelap yang dulunya didukung oleh AS untuk menghancurkan gerakan komunis di Timur Tengah. Yah, Timur Tengah pernah punya sejarah gerakan komunisme yang megah. Memang benar kata Rosa Luxembourg, seorang komunis Jerman, kalau pilihan yang kita hadapi, terutama saat kapitalisme memasuki era krisis, adalah sosialisme atau barbarisme. Jerman pun, paska Perang Dunia Pertama, mendapati dirinya terjerumus dalam fasisme Nazi setelah 15 tahun dalam keadaan krisis, yang pada gilirannya menjerumuskan seluruh dunia dalam barbarisme paling parah dalam sejarah kemanusiaan: Perang Dunia Kedua.
Anders Breivik sendiri adalah seorang borjuis kecil, dan dia lebih merupakan ekspresi ketidak-tenangan kelas borjuis kecil di dalam periode penuh gejolak yang kita masuki. Andreas Breivik, menurut pengakuan seorang temannya, kehilangan 2 juta kroner (3 milyar rupiah) dalam investasi stok saham saat krisis finansial 1997. Empat tahun kemudian, dia mulai menggagaskan rencana pembantaiannya.
Jadi, bukan hanya kelas buruh saja yang terpukul oleh krisis kapitalisme, tetapi juga kelas borjuis kecil. Kita mendengar suara keras ketika Lehman Brothers dan AIG jatuh akibat krisis ekonomi 2008, seperti pohon besar yang tumbang. Namun suara keras dari tumbangnya pohon besar Lehman Brothers dan AIG ini menutupi suara remuknya puluhan ribu pohon-pohon dan tumbuhan-tumbuhan kecil di sekitarnya. Satu per satu, toko-toko kecil, investor-investor kecil, gulung tikar. Para investor kecil kehilangan investasi mereka. Sementara, bila korporasi besar bangkrut, mereka mendapatkan bail out besar dari pemerintah. Bila bisnis kecil bangkrut, mereka tidak mendapatkan apa-apa. Jeritan borjuis kecil ini sering menjadi jerit reaksioner, karena memang begitulah karakter borjuis kecil yang terhimpit di tengah-tengah antara kapitalis besar dan proletariat. Mereka bermimpi ingin menjadi borjuis besar, tetapi juga membenci borjuis besar karena selalu kalah berkompetisi dengan mereka. Mereka juga membenci proletariat, karena secara psikologis mereka takut menjadi kelas proletariat yang berarti gagal menjadi borjuis besar, dan juga karena mereka menganggap kemalangan mereka juga akibat kelas buruh yang terus menuntut gaji lebih besar. Tidaklah heran kalau Brevik menyerang Partai Buruh yang dianggapnya sebagai biang kerok krisis yang melanda Eropa. Dia mengganggap dirinya sebagai “Marxist hunter” (pemburu Marxis).
Segala bentuk ekstrimisme dan fundamentalisme harus dilawan. Tetapi ini tidak bisa dilawan hanya dengan khotbah moral seperti yang dilakukan oleh para elit-elit politik dan media bayaran mereka. Dan ini tidak bisa dilawan oleh mereka-mereka yang justru dalam tindakan mereka menyiapkan lahan yang subur untuk tumbuhnya gagasan-gagasan reaksioner. Pemimpin-pemimpin negara, dengan program-program pemotongan mereka, menciptakan krisis di dalam masyarakat. Rakyat yang tidak tenang mencoba mencari jalan keluar, apapun itu, dan ketika tidak ada gagasan revolusioner mereka menemukannya dalam gagasan-gagasan terbelakang: fasisme, fundamentalisme agama, rasisme dsbnya.
Teroris-teroris lain — yang berkulit kuning, merah, gelap, putih; yang bermata sipit; hidung pesek, mancung; rambut kribo, pirang; beragama Kristen, Islam, Hindu, Budha ataupun atheis maupun agnostik — akan terus bermunculan kalau kapitalisme tidaklah ditumbangkan. Seratus tahun berlalu, dan pilihan kita masihlah sosialisme atau barbarisme.